Anda di halaman 1dari 17

AB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri manusia hidup berdampingan,
bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya. Hubungan
itu terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi
sendiri. Kebutuhan hidup manusia bermacam-macam. Pemenuhan kebutuhan hidup tergantung
dari hasil yang diperoleh melalui daya upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin
memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang bersamaan dua manusia ingin
memenuhi kebutuhan yang sama dengan hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak
mau mengalah, bentrokan dapat terjadi. Suatu bentrokan akan terjadi juga dalam suatau
hubungan, antara manusia satu dan manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajiban.

Hal-hal semacam itu sebenarnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang ingin
bebas. Suatu kebebasan dalam bertingkah laku tidak selamanya akan menghasilkan sesuatu yang
baik, apalagi kalau kebebasan tingkah laku seseorang tidak dapat diterima oleh kelompok
sosialnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan ketentraman dalam suatu kelompok sosial, baik
dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial diperlukan ketentuan-ketentuan.
Ketentuan itu untuk membatasi kebebasan tingkah laku itu. Ketentuan-ketentuan yang
diperlukan adalah ketentuan yang timbul dari dalam pergaulan hidup atas dasar kesadaran dan
biasanya dinamakan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa contoh-contoh kasus dari hukum publik?
2. Apa contoh-contoh kasus dari hukum privat?
3. Bagaimana penyelesaian kasus dari hukum tersebut?
C. Tujuan
1. Mengetahui contoh-contoh kasus dari hukum publik
2. Mengetahui contoh-contoh kasus dari hukum privat
3. Mengetahui bagaimana penyelesaian kasus dari hukum tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM PUBLIK
I. Contoh Kasus Hukum Administrasi Negara
Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8
kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan
persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran
mengenai garis sempadan sungai.
Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang
namun apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan
tersebut juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir
Bentuk Sanksi Administratif
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007
yakni Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai
sanksi administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian
perbuatan yang dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada
perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari
Rangkuti, 2005:217)
Bentuk sanksi tersebut dapat berupa:
 peringatan tertulis;
 penghentian sementara kegiatan;
 penghentian sementara pelayanan umum;
 penutupan lokasi;
 pencabutan izin;
 pembatalan izin
 pembongkaran bangunan
Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana
melalui kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam
hukum administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana.
Proses kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana
perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat
dilihat sebagai asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau
fungsi pidana dari ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana
hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas)
serta pendekatan apabila terdapat perluasan dalam berlakunya hukum pidana.
Victor Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang
diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada
pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”

II. Contoh Kasus Hukum Pidana


11 mei 2010, Bupati Kulon Progo memberikan izin kegiatan penambangan besi kepada PT Jogja
Magasa Iron di wilayah pesisir selatan Kulon Progo. Hal itu bertentangan dengan Peraturan
Daerah tentang RT/RW Kulon Progo 2003-2013 yang menyatakan wilayah pesisir pantai selatan
hanya diperuntukkan bagi perikanan dan pertanian. Penambangan besi juga tidak masuk dalam
delapan jenis pertambangan yang ada dalam Perda RTRW tersebut. Pelanggaran terhadap pasal
73 UU 26 tahun 2007, yakni Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin
tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana
dengan pidana penjara paling lama (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Contoh lain kasus hukum pidana
Tim penyidik kasus Rawa Tripa menggunakan jalur hukum pidana dan perdata untuk menangani
tindakan pembakaran dan pembukaan lahan gambut di Kabupaten Nagan Raya, Aceh itu. Ini
diharapkan menjadi contoh penanganan hukum atas kasus-kasus lingkungan.
"Kami (Kementerian Lingkungan Hidup) maju secara pidana dan perdata. Pertanggungjawaban
bisa ke orangnya, korporat, atau keduanya. Nanti dilihat di pemberkasannya bagaimana," ucap
Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat
(18/5/2012), dihubungi dari Jakarta.
Ia mengatakan, kasus ini selesai disidik di lapangan pada pekan lalu oleh tim penyidik gabungan
KLH, Polri, dan kejaksaan. Kini sedang dalam pemberkasan dan persiapan pemeriksaaan saksi-
saksi.
Kasus Rawa Tripa muncul setelah Wahana Lingkungan Hidup dan beberapa LSM di Aceh
menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar di areal Kawasan
Ekosistem Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak majelis hakim.
Kejanggalan pemberian izin ini kemudian tercium oleh Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+.
Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian
Lingkungan Hidup, Polri, dan kejaksaan menangani kasus ini.
Sudariyono mengatakan, secara pidana aksi perusahaan (PT Kalista Alam dan Surya Panens
Subur 20) melakukan pembakaran dan pembukaan lahan melanggar UU Nomor 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara perdata, hal ini merugikan karena
menimbulkan kerusakan lingkungan.

III. Contoh Kasus Hukum Tata Negara


Rektor yang Dipecat Tempuh Upaya Hukum YPIM Digugat Rp 3 Milyar
Kemelut antara pejabat IKIP Mataram yang dipecat dengan Yayasan Pembina IKIP Mataram
(YPIM) bakal berkepanjangan. Setelah keluarnya SK pemecatan, Rektor IKIP Mataram berserta
11 pejabat lainnya yang dipecat akan menempuh upaya hukum. Tak tanggung-tanggung, gugatan
dan laporan pidana dilayangkan sekaligus ke tiga lembaga hukum. Ke mana saja gugatan
dilayangkan?
REKTOR IKIP Mataram Drs.H.Fathurrahim, M.Si yang dinonaktifkan melalui SK No.
15/YPIM/VII/2006 tertanggal 26 Juli 2006, tidak tinggal diam menyusul SK pemberhentian yang
diterimanya. Rektor beserta 11 pejabat yang dipecat menilai SK yang ditandatangani Ketua
YPIM Drs.HL.Azhar cacat.
Demikian pula dengan Rektor IKIP Mataram yang baru dilantiknya, merupakan pejabat yang tak
sah. ”Rektor baru yang dilantik tidak sah, karena diputuskan secara sepihak,” cetusnya. Jika
mengacu pada Statuta menurutnya, pemilihan Rektor yang pelantikannya berlangsung di
kediaman Ketua YPIM Selasa (25/7) sore lalu, itu tidak prosedural.
Seharusnya, jika pergantian rektor dilakukan, pemilihan dilakukan yayasan berdasarkan
pertimbangan yayasan. ”Namun ini mekanisme ini tak dilakukan,” ujarnya. Menyinggung
adanya tudingan pembangkangan yang dilakukan rektorat terhadap yayasan ? Fathurrahim
dengan tegas membantahnya.
”Tuduhan itu fintah,” cetusnya. Soal pengelolaan dana oleh rektorat yang dipersoalkan yayasan
menurutnya bahwa dalam Statuta, ada otonomi dalam pengelolaan keuangan. ”Jadi kami bukan
melakukan pembangkangan dan kami juga tidak menolak eksistensi yayasan. Apa yang kami
lakukan itu mengacu pada Statuta tadi,” jelasnya.
Menyoal keluarnya SK dan dalam dua hari ini, Rektor IKIP yang sah versi yayasan akan
memulai tugasnya di IKIP Mataram? Pihaknya katanya, akan tetap bertahan sambil menempuh
upaya hukum. ”Kami akan tetap berkantor di sini dan menjalankan tugas seperti biasa. Selain itu
kami juga akan melakukan perlawanan secara hukum,” tegasnya.
Langkah-langkah hukum apa saja yang ditempuh? Didampingi kuasa hukumnya, Fathur Rauzi,
SH dan Karmal Maksudi, SH disebutkan bahwa ada tiga upaya hukum yang ditempuh dalam
waktu yang bersamaan. ”Tiga gugatan dan laporan pidana akan kami layangkan serentak hari ini
(kemarin-red),” jelasnya.
Layangkan Gugatan
Upaya hukum pertama yang ditempuh yakni menggugat pengurus yayasan yakni Drs.HL.Azhar
dkk ke Pengadilan Negeri Mataram secara perdata. ”Ini berkaitan dengan kerugian materiil dan
immateriil yang ditimbulkan akibat keluarnya SK pemecatan tersebut. Kami menggugat pihak
yayasan sebesar Rp 3 milyar,” sebutnya.
Gugatan ke dua ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram. Persoalan yang digugat
melalui lembaga ini yakni menyangkut keabsahan SK pemecatan tersebut. Kemudian ke Polda
NTB, laporan pidana dilayangkan karena akibat SK pemecatan tersebut telah menimbulkan
perasaan tak nyaman dan bahkan bisa pencemaran nama baik. ”Kalau ke Polda NTB siapa-siapa
pelaku dari tindak pidaan itu, tergantung penyelidikan polisi,” terang Fathur Rauzi.
Apapun langkah yang ditempuh pihak-pihak yang bertikai ini, dikhawatirkan yang menjadi
korban adalah mahasiswa. ”Saya tinggal menunggu ujian skripsi. Kemelut ini terus terang sangat
mempengaruhi konsentrasi saya menghadapi ujuan akhir ini,” keluh seorang mahasiswa yang
enggan di sebut namanya.
Kemelut di tubuh IKIP Mataram ini menurutnya, sebenarnya sudah terjadi lama. ”Ada
kecenderungan pihak Rektorat tidak transparan dalam mengelola dana dari mahasiswa,” ujarnya.
Ungkapan senada juga dilontarkan mahasiswi lainnya. ”Pengelolaan dana inilah yang sejak awal
menjadi pemicu yang tak menemukan penyelesaian,” ujarnya.
Memang katanya, gebrakan yang dilakukan Rektor Fathurrahim cukup bagus. Sejak
kepemimpiannya, IKIP Mataram mengalami perkembangan yang patut dibanggakan. ”Ada
fakultas baru yang dibuka. Mahasiswa setiap tahun terus bertambah dan banyak yang tertarik
masuk ke sini. Kami akui banyak kemajuan,” aku mahasiswi semester II Fakultas MIPA ini.
”Namun itu tadi, soal pengelolaan dana yang selalu jadi masalah,” katanya.
Namun demikian, apapun persoalan yang saat ini berkecamuk di tubuh IKIP Mataram,
mahasiswa tidak ingin menjadi korban. ”Jangan korbankan kami. Sudah cukup banyak biaya
yang kami keluarkan untuk menempuh studi di sini. Jangan kuburkan cita-cita dan masa depan
kami karena konflik ini,” harapnya.

IV. contoh Kasus Hukum Internasional


Hukum internasional
Iran: sanksi Barat langgar hukum internasional

Rabu, 10 Oktober 2012 09:32 WIB | 1665 Views


Fasilitas pengayaan uranium di Isfahan, Iran. Pengolahan urania di fasilitas ini dicurigai menjadi
bagian program rahasia pengembangan senjata nuklir. (wikipedia.org)
Berita Terkait
Qatar-UAE ajukan permintaan pertahanan rudal senilai 7,6 miliar dolar
Iran akan bereaksi keras terhadap sanksi minyak Barat
Netanyahu-Hollande bicarakan program nuklir Iran
Iran kecam pernyataan Menhan Inggris soal program nuklir
Hillary: pemimpin Iran bisa disalahkan karena krisis mata uang
Teheran (ANTARA News) - Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Iran Mayor Jenderal
Hassan Firouzabadi mengutuk sanksi AS dan Uni Eropa terhadap Relublik Islam tersebut
sebagai bertolak-belakang dengan hukum internasional.
Menurut laporan Press TV yang dikutip Xinhua, pada Selasa (9/10) komandan militer Iran itu
mengatakan bahwa embargo Barat bukan hanya bertentangan dengan kedaulatan dan
kemerdekaan satu negara, tapi juga melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Firouzabadi menyebut pengenaan sanksi-sanksi itu sebagai tindakan sia-sia dan menyatakan
bahwa Republik Islam Iran telah membuat larangan Barat tidak efektif melalui peningkatan
kegiatan penelitian.
Dewan Keamanan PBB menjatuhkan empat babak sanksi atas Iran antara 2006 dan 2010
sehubungan dengan penolakannya untuk menghentikan program pengayaan uranium, yang
dicurigai negara Barat dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir.
Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menjatuhkan dan memperluas sanksi mereka sendiri
selama bertahun-tahun kendati Teheran berkeras program nuklirnya semata-mata digunakan
untuk tujuan damai.
Di bawah tekanan ekonomi dan politik Barat karena program nuklir kontroversialnya, nilai mata
uang Iran telah merosot terhadap mata uang asing secara mencolok sejak awal tahun ini.
Negara Persia itu mengalami inflasi tinggi dan banyak kasus kenaikan harga komoditas sampai
lebih dari 50 persen.
Kendati demikian sebagian besar pejabat garis keras Iran tetap membantah sanksi Barat telah
memukul perekonomian negara mereka dan tak akan mundur dari program pengayaan uranium.
(C003) // http://www.antaranews.com/berita/337832/iran-sanksi-barat-langgar-hukum-
internasional

V. Contoh Kasus Hukum Agraria

Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di
media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
 Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
 Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
 Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan
UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi /
penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa
hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Penyelesaian Sengketa Tanah


Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat
(perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata
Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan
hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari
Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1. mengenai masalah status tanah,
2. masalah kepemilikan,
3. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang
menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas
yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan
tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara
langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi,
maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang
meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat
(perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat
mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat
dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran
Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian
dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya
di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada
penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak
melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati
dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan
ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan
masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan
penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik
jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan
Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai
saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana
penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti
tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya
sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan
notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi
dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya
dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang
bersangkutan.

Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah


Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa
yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal
tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai
kekuatan pembuktian keluar.

SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan
suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda
bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah
dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka
sidang pengadilan.

Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah


Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah:
1) Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang
dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan
ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini
tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama
pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh
para pemodal dengan harga murah.
3) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa
memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah
bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya
dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin
sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah
ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa
demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama.
Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.

VI. Contoh Kasus Hukum Adat


Hukum Adat di Papua
MASYARAKAT Papua tidak hanya memiliki keunikan di bidang sosial dan budaya, tetapi juga
persoalan hukum pun sangat unik. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat
tersendiri yang masih bertahan hingga kini. Hukum adat lebih dominan dalam kehidupan
masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan pihak korban daripada hukum positif.

WAKIL Ketua Pengadilan Negeri Timika Johanes Panji Prawoto, Jumat (23/4), mengatakan,
masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat daripada penyelesaian sesuai
hukum positif. Padahal, hukum ini mengikat seluruh warga negara untuk menaati dan
menjalankan hukum perdata maupun pidana.
Persoalannya, hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana
atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda lain yang harus
ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu bisa bernilai miliaran
rupiah. Denda seperti itu jelas lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri
(PN).
“Di sini, kasus pembunuhan misalnya. Mereka selalu menyebut dalam bahasa adat, ’ganti rugi
kepala manusia’ atau mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah. Jika tidak dalam bentuk
uang, diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi menyangkut kasus asusila. Pihak pelaku
harus mampu menunjukkan kepada keluarga wanita bahwa ia berani berbuat dan berani juga
bertanggungjawab,” kata Panji.

Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-
kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak
untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan
secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di
pengadilan negeri.
Adapun Karel Beanal, Wakil Ketua Lembaga Adat Suku Amungme Mimika mengatakan,
masyarakat lebih tertarik menyelesaikan semua kasus di melalui hukum adat karena masyarakat
menilai hukum adat lebih adil dan dipahami semua warga. Hukum adat sejak nenek moyang
telah diterapkan di kalangan masyarakat dan mereka tahu bagaimana cara mengambil keputusan
di dalam musyawarah adat itu.

Hukum Adat di Aceh


Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam
masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat
gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan
fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat
di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat
institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga
pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,
Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam
masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah
terbentuk.

Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang,
Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga
pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya.
Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan
lembaga lainnya.

Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya
arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal,
jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan
tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.

Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di
Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan
kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di
kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru,
yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.

Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada
pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk.
Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan
keputusan.

Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa
Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat
diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang
menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam
menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan
damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.

Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara
dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita dengar.
Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi
denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang
melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah
penegak hukum atau kerabatnya, orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang
dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.

Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai
dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun
dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah
dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu
pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid),
kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang
penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.

Menilik hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah sesuai
dengan syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda kepada orang yang silap
tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan memperingati terlebih dahulu? Oleh karena Aceh
ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di Aceh hendaknya jangan bertentangan dengan
hukum Islam. Islam tidak pernah memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di
Aceh selalu berpedoman kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD
nomor 7 tahun 2000 bab II pasal 2.
Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak
kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat
lainnya.
Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim.
Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku
dalam masyarakat, niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari dan terjaga. Maka
masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan dahulu, karena hukum adat selalu
pro rakyat

B. HUKUM PRIVAT
I. Contoh kasus hukum perdata
Kasus Perceraian
Seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama (PA)
dengan data sebagai berikut :
Nama : Rani Anggraeni
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun

Permasalahan / Kronologis
Rani Anggraeni menikah di Jakarta dengan suaminya 6 tahun yang lalu (th 2005). Dikaruniai 1
orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Rani mengalami kekerasan dalam rumah
tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering
berprilaku sangat kasar pada Rani, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang
terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Rani sering tidak tahan sampai berpikir
untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali
tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedemikian parahnya dimana si
suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si
suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Rani
merasa terancam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2011, Rani dipukul / ditonjok
matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga.
Setelah kejadian itu Rani memutuskan untuk bercerai saja.
II. CONTOH KASUS HUKUM PERDAGANGAN
SENGKETA MEREK DAGANG INTERNASIONAL
KASUS POSISI
- Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd, yang berkantor pusat di 60 B Martin Road 05-05/06
Singapore, Warehouse Singapore 0923 adalah pemakai pertama merek “LOTTO” untuk barang-
barang pakaian jadi, kemeja, baju kaos, jaket, celana panjang, roks pan, tas, koper, dompet, ikat
pinggang, sepatu, sepatu olah raga, baju olah raga, kaos kaki olah raga, raket, bola jaring (net),
sandal, selop, dan topi.
- Merek dagang “LOTTO” ini terdaftar di Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen
Kehakiman tanggal 29/6/1979, dengan No. 137430 dan No. 191962 tanggal 4/3/1985.
- Pada 1984 Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman telah menerima pendaftaran
merek “LOTTO” yang diajukan oleh Hadi Darsono untuk jenis barang handuk dan sapu tangan
dengan No. 187.824 pada tanggal 6/11/1984, pendaftaran merek LOTTO untuk kedua barang
tersebut tercantum dalam tambahan Berita Negara RI No. 8/1984 tanggal 25/5/1987.
- Penggunaan merek “LOTTO” oleh Hadi Darsono hampir sama dengan merek yang digunakan
pada barang-barang produksi PTE Ltd.
- Walaupun Hadi menggunakan merek LOTTO untuk barang-barang yang tidak termasuk dalam
produk-produk Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd., namun kesamaan merek LOTTO tersebut
dinilai amat merugikannya.
- Akhirnya pihak Newk Plus Four Far East Ltd Singapore, mengajukan gugatan perdata di
pengadilan terhadap Hadi Darsono sebagai Tergugat I dan Direktorat Paten dan Hak Cipta
Departemen Kehakiman (Bagian Merek-merek) sebagai Tergugat II.
- Pihak Penggugat mengajukan tuntutan (petitum) yang isi pokoknya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sebagai hukum bahwa Penggugat sebagai pemakai pertama di Indonesia atas merek
dagang LOTTO dan karena itu mempunyai hak tunggal/khusus untuk memakai merek tersebut di
Indonesia;
3. Menyatakan bahwa merek LOTTO milik Tergugat I yaitu yang didaftarkan pada Tergugat II
dengan nomor register 187824, adalah sama dengan merek Penggugat baik dalam tulisan, ucapan
kata maupun suara, dan oleh karena itu dapat membingungkan, meragukan serta memperdaya
khalayak ramai tentang asal-usul dan kwalitas barang-barang;
4. Menyatakan batal, atau setidak-tidaknya membatalkan pendaftaran merek dengan register nomor
187824 dalam daftar umum atas nama Tergugat I, dengan segala akibat hukumnya;
5. Memerintahkan Tergugat II untuk mentaati keputusan ini dengan membatalkan pendaftaran
merek dengan nomor reg. 187824 dalam daftar umum;
6. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara;
7. Atau menurut kebijaksanaan Hakim.

PENGADILAN NEGERI
- Hakim pertama memberi pertimbangan sebagai berikut:
- Dari bukti P1 dan P2 terbukti bahwa “Merek LOTTO” milik Penggugat, terdaftar No. 137.430
dan W 191.962 untuk melindungi jenis barang-barang: pakaian jadi, kemeja, dll.
- Dari bukti P3 diketahui bahwa merek Tergugat I dengan kata “LOTTO” telah terdaftar pada
Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan No. 187.824 untuk melindungi jenis barang handuk dan
sapu tangan.
- Pasal 2(1) UU Merek tahun 1961 menentukan, hak atas suatu merek berlaku hanya untuk
barang-barang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi merek itu.
- Menurut pasal 10(1) UU Merek tahun 1961 tuntutan pembatalan merek hanya dibenarkan untuk
barang-barang sejenis.
- Tujuan UU merek tahun 1961 khususnya pasal 10(1) adalah untuk melindungi masyarakat
konsumen agar konsumen tidak terperosok pada asal-usul barang sejenis yang memakai merek
yang mengandung persamaan.
- Menurut pendapat Majelis, walaupun bunyi dari kedua merek Penggugat dan Tergugat I tersebut
sama yaitu LOTTO, tetapi pihak konsumen tidak akan dikaburkan dengan asal-usul barang
tersebut, karena jenis barang yang dilindungi adalah merek Penggugat sangat berbeda dengan
jenis barang yang dilindungi oleh merek Tergugat I.
- Jurisprudensi yang tetap antara lain Putusan MA-RI No. 2932 K/Sip/1982 tanggal 31/8/1983,
serta No. 3156 K/Pdt/1986 tanggal 28/4/1988, berisi: menolak pembatalan pendaftaran merek
dari barang yang tidak sejenis.
- Pasal 1 SK Menteri Kehakiman No. M-02-HC-01-01 tahun 1987 tanggal 15/6/1987 menyatakan
merek terkenal adalah merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di wilayah Indonesia
oleh seseorang atau badan untuk jenis barang tertentu.
- Majelis berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat tidak cukup berlasan, karenanya gugatan
Penggugat harus ditolak.

MAHKAMAH AGUNG RI
- Penggugat menolak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan mengajukan permohonan
kasasi dengan alasan Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum, karena menolak gugatan
Penggugat. Pengadilan Negeri mengesampingkan kenyataan bahwa Penggugat adalah pemakai
pertama dari merek LOTTO di Indonesia. Ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan
perlindungan hukum menurut UU Merek No. 21 tahun 1961. Sementara itu, Tergugat I tidak
dapat mengajukan bukti-bukti yang sah dengan tidak dapat membuktikan keaslian bukti-bukti
yang diajukannya.
- Mohon Mahkamah Agung konsisten pada putusannya dalam perkara merek terkenal Seven Up –
LANVIN – DUNHILL: MA-RI No. 689 K/SIP/1983 dan MA-RI No. 370 K/SIP/1983, yang
isinya sebagai berikut: Suatu pendaftaran merek dapat dibatalkan karena mempunyai persamaan
dalam keseluruhan dengan suatu merek yang terdahulu dipakai atau didaftarkan, walaupun untuk
barang yang tidak sejenis, terutama jika menyangkut merek dagang terkenal. Pengadilan tidak
seharusnya melindungi itikad buruk Tergugat I. Tindakan Tergugat I, tidak saja melanggar hak
Penggugat tetapi juga melanggar ketertiban umum di bidang perdagangan serta kepentingan
khalayak ramai.
- Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam putusannya berpendirian bahwa judex
facti salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan selanjutnya Mahkamah
Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
- Pendirian Mahkamah Agung tersebut di dasari oleh alasan juridis yang intinya sebagai berikut:
- Newk Plus Four Far East Ltd, Singapore telah mendaftarkan merek LOTTO di Direktorat Paten
& Merek Departemen Kehakiman RI tanggal 29/6/1976 dan 4-3-1985.
- Merek LOTTO secara umum telah terkenal di kalangan masyarakat sebagai merek dagang dari
luar negeri. Merek tersebut mempunyai ciri umum untuk melengkapi seseorang yang berpakaian
biasa atau berkaitan olah raga beserta perlengkapannya.
- Merek LOTTO, yang didaftarkan Tergugat I adalah jenis barang handuk dan saputangan, pada 6
Oktober 1984.
- Mahkamah Agung berpendapat, walaupun barang yang didaftarkan Tergugat I berbeda dengan
yang didaftarkan Penggugat, tetapi jenis barang yang didaftarkan Tergugat I tergolong
perlengkapan berpakaian seseorang. Dengan mendaftarkan dua barang yang termasuk dalam
kelompok barang sejenis i.c kelengkapan berpakaian seseorang dengan merek yang sama,
dengan kelompok barang yang telah didaftarkan lebih dahulu, Mahkamah Agung menyimpulkan
Tergugat I ingin dengan mudah mendapatkan keuntungan dengan cara menumpang keterkenalan
satu merek yang telah ada dan beredar di masyarakat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setiap hukum harus mempunyai prinsip-prinsip untuk mewujudkan tegaknya keadlian di sustu
negara.
2. Hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan
dan menjalankan peraturan hukum material.
3. Dalam menyelesaikan masalah, kehakiman memiliki wewenang yang bebas, tidak ada lembaga
negara lainnya yang ikut campur.
4. Fungsi hukum acara perdata yaitu meyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran dan
penuntutan.
5. Dalam hukum acara pidana yaitu tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan
dan penuntutan.
6. Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia
dalam memenuhi kepentingan (kebutuhan) nya.
7. Dalam ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata mengatur tentang kepentingan perseorangan
antara lain : hukum pribadi, kukum keluarga, hukum kekayaan dan hukum waris.
8. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum dan perbuatan mana diancam dengan sanksi pidana tertentu.
9. Peristiwa pidana atau juga disebut tindak pidana (Delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian
yang dapat dikenakan hukuman pidana.
B. SARAN
1. Kita harus mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, agar hukum di Indonesia dapat terlaksana
dengan jujur adil dan demokratis.
2. Hendaknya kita sebagai generasi penerus bangsa dapat meneruskan perjuangan para pahlawan
dengan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.
3. Supremasi hukum di Indonesia hendaknya kita dukung sepenuhnya agar tercipta suasana yang
tertib dan aman di negara kita tercinta

Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:

1. sanksi hukum pidana


2. sanksi hukum perdata
3. sanksi administrasi/administratif

Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah:
“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada
orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”

Hukuman sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yaitu:

1. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:

a) hukuman mati

b) hukuman penjara

c) hukuman kurungan

d) hukuman denda

2. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:

a) pencabutan beberapa hak yang tertentu

b) perampasan barang yang tertentu

c) pengumuman keputusan hakim

Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:

1. putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan
untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak dihukum untuk
membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara
2. putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah
menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan
hukum semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik
yang sah atas tanah sengketa

3. putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan
menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu ikatan
perkawinan.

Jadi, dalam hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya dapat berupa:

1. kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban)


2. hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum
baru

Sedangkan untuk sanksi administrasi/administratif, adalah sanksi yang dikenakan terhadap


pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Pada
umumnya sanksi administrasi/administratif berupa;

- denda (misalnya yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008),

- pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin (misalnya yang diatur dalam
Permenhub No. KM 26 Tahun 2009),

- penghentian sementara pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi


(misalnya yang diatur dalam Permenhut No. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008),

- tindakan administratif (misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No.


252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun 2008)

Demikian uraian singkat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


2. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa
Denda

3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan

4. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun 2008


tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

5. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 26 Tahun 2009 tentang Sanksi Administratif


Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Keselamatan Penerbangan

Anda mungkin juga menyukai