PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri manusia hidup berdampingan,
bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya. Hubungan
itu terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi
sendiri. Kebutuhan hidup manusia bermacam-macam. Pemenuhan kebutuhan hidup tergantung
dari hasil yang diperoleh melalui daya upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin
memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang bersamaan dua manusia ingin
memenuhi kebutuhan yang sama dengan hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak
mau mengalah, bentrokan dapat terjadi. Suatu bentrokan akan terjadi juga dalam suatau
hubungan, antara manusia satu dan manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajiban.
Hal-hal semacam itu sebenarnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang ingin
bebas. Suatu kebebasan dalam bertingkah laku tidak selamanya akan menghasilkan sesuatu yang
baik, apalagi kalau kebebasan tingkah laku seseorang tidak dapat diterima oleh kelompok
sosialnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan ketentraman dalam suatu kelompok sosial, baik
dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial diperlukan ketentuan-ketentuan.
Ketentuan itu untuk membatasi kebebasan tingkah laku itu. Ketentuan-ketentuan yang
diperlukan adalah ketentuan yang timbul dari dalam pergaulan hidup atas dasar kesadaran dan
biasanya dinamakan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa contoh-contoh kasus dari hukum publik?
2. Apa contoh-contoh kasus dari hukum privat?
3. Bagaimana penyelesaian kasus dari hukum tersebut?
C. Tujuan
1. Mengetahui contoh-contoh kasus dari hukum publik
2. Mengetahui contoh-contoh kasus dari hukum privat
3. Mengetahui bagaimana penyelesaian kasus dari hukum tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM PUBLIK
I. Contoh Kasus Hukum Administrasi Negara
Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8
kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan
persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran
mengenai garis sempadan sungai.
Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang
namun apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan
tersebut juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir
Bentuk Sanksi Administratif
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007
yakni Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai
sanksi administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian
perbuatan yang dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada
perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari
Rangkuti, 2005:217)
Bentuk sanksi tersebut dapat berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara kegiatan;
penghentian sementara pelayanan umum;
penutupan lokasi;
pencabutan izin;
pembatalan izin
pembongkaran bangunan
Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana
melalui kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam
hukum administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana.
Proses kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana
perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat
dilihat sebagai asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau
fungsi pidana dari ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana
hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas)
serta pendekatan apabila terdapat perluasan dalam berlakunya hukum pidana.
Victor Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang
diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada
pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di
media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan
UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi /
penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa
hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian
dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya
di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada
penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak
melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati
dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan
ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan
masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan
penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik
jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan
Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai
saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana
penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti
tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya
sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan
notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi
dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya
dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang
bersangkutan.
SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan
suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda
bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah
dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka
sidang pengadilan.
WAKIL Ketua Pengadilan Negeri Timika Johanes Panji Prawoto, Jumat (23/4), mengatakan,
masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat daripada penyelesaian sesuai
hukum positif. Padahal, hukum ini mengikat seluruh warga negara untuk menaati dan
menjalankan hukum perdata maupun pidana.
Persoalannya, hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana
atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda lain yang harus
ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu bisa bernilai miliaran
rupiah. Denda seperti itu jelas lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri
(PN).
“Di sini, kasus pembunuhan misalnya. Mereka selalu menyebut dalam bahasa adat, ’ganti rugi
kepala manusia’ atau mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah. Jika tidak dalam bentuk
uang, diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi menyangkut kasus asusila. Pihak pelaku
harus mampu menunjukkan kepada keluarga wanita bahwa ia berani berbuat dan berani juga
bertanggungjawab,” kata Panji.
Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-
kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak
untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan
secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di
pengadilan negeri.
Adapun Karel Beanal, Wakil Ketua Lembaga Adat Suku Amungme Mimika mengatakan,
masyarakat lebih tertarik menyelesaikan semua kasus di melalui hukum adat karena masyarakat
menilai hukum adat lebih adil dan dipahami semua warga. Hukum adat sejak nenek moyang
telah diterapkan di kalangan masyarakat dan mereka tahu bagaimana cara mengambil keputusan
di dalam musyawarah adat itu.
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat
institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga
pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,
Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam
masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah
terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang,
Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga
pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya.
Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan
lembaga lainnya.
Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya
arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal,
jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan
tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di
Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan
kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di
kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru,
yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada
pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk.
Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan
keputusan.
Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa
Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat
diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang
menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam
menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan
damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara
dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita dengar.
Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi
denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang
melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah
penegak hukum atau kerabatnya, orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang
dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.
Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai
dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun
dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah
dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu
pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid),
kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang
penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Menilik hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah sesuai
dengan syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda kepada orang yang silap
tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan memperingati terlebih dahulu? Oleh karena Aceh
ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di Aceh hendaknya jangan bertentangan dengan
hukum Islam. Islam tidak pernah memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di
Aceh selalu berpedoman kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD
nomor 7 tahun 2000 bab II pasal 2.
Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak
kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat
lainnya.
Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim.
Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku
dalam masyarakat, niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari dan terjaga. Maka
masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan dahulu, karena hukum adat selalu
pro rakyat
B. HUKUM PRIVAT
I. Contoh kasus hukum perdata
Kasus Perceraian
Seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama (PA)
dengan data sebagai berikut :
Nama : Rani Anggraeni
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun
Permasalahan / Kronologis
Rani Anggraeni menikah di Jakarta dengan suaminya 6 tahun yang lalu (th 2005). Dikaruniai 1
orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Rani mengalami kekerasan dalam rumah
tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering
berprilaku sangat kasar pada Rani, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang
terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Rani sering tidak tahan sampai berpikir
untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali
tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedemikian parahnya dimana si
suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si
suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Rani
merasa terancam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2011, Rani dipukul / ditonjok
matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga.
Setelah kejadian itu Rani memutuskan untuk bercerai saja.
II. CONTOH KASUS HUKUM PERDAGANGAN
SENGKETA MEREK DAGANG INTERNASIONAL
KASUS POSISI
- Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd, yang berkantor pusat di 60 B Martin Road 05-05/06
Singapore, Warehouse Singapore 0923 adalah pemakai pertama merek “LOTTO” untuk barang-
barang pakaian jadi, kemeja, baju kaos, jaket, celana panjang, roks pan, tas, koper, dompet, ikat
pinggang, sepatu, sepatu olah raga, baju olah raga, kaos kaki olah raga, raket, bola jaring (net),
sandal, selop, dan topi.
- Merek dagang “LOTTO” ini terdaftar di Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen
Kehakiman tanggal 29/6/1979, dengan No. 137430 dan No. 191962 tanggal 4/3/1985.
- Pada 1984 Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman telah menerima pendaftaran
merek “LOTTO” yang diajukan oleh Hadi Darsono untuk jenis barang handuk dan sapu tangan
dengan No. 187.824 pada tanggal 6/11/1984, pendaftaran merek LOTTO untuk kedua barang
tersebut tercantum dalam tambahan Berita Negara RI No. 8/1984 tanggal 25/5/1987.
- Penggunaan merek “LOTTO” oleh Hadi Darsono hampir sama dengan merek yang digunakan
pada barang-barang produksi PTE Ltd.
- Walaupun Hadi menggunakan merek LOTTO untuk barang-barang yang tidak termasuk dalam
produk-produk Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd., namun kesamaan merek LOTTO tersebut
dinilai amat merugikannya.
- Akhirnya pihak Newk Plus Four Far East Ltd Singapore, mengajukan gugatan perdata di
pengadilan terhadap Hadi Darsono sebagai Tergugat I dan Direktorat Paten dan Hak Cipta
Departemen Kehakiman (Bagian Merek-merek) sebagai Tergugat II.
- Pihak Penggugat mengajukan tuntutan (petitum) yang isi pokoknya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sebagai hukum bahwa Penggugat sebagai pemakai pertama di Indonesia atas merek
dagang LOTTO dan karena itu mempunyai hak tunggal/khusus untuk memakai merek tersebut di
Indonesia;
3. Menyatakan bahwa merek LOTTO milik Tergugat I yaitu yang didaftarkan pada Tergugat II
dengan nomor register 187824, adalah sama dengan merek Penggugat baik dalam tulisan, ucapan
kata maupun suara, dan oleh karena itu dapat membingungkan, meragukan serta memperdaya
khalayak ramai tentang asal-usul dan kwalitas barang-barang;
4. Menyatakan batal, atau setidak-tidaknya membatalkan pendaftaran merek dengan register nomor
187824 dalam daftar umum atas nama Tergugat I, dengan segala akibat hukumnya;
5. Memerintahkan Tergugat II untuk mentaati keputusan ini dengan membatalkan pendaftaran
merek dengan nomor reg. 187824 dalam daftar umum;
6. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara;
7. Atau menurut kebijaksanaan Hakim.
PENGADILAN NEGERI
- Hakim pertama memberi pertimbangan sebagai berikut:
- Dari bukti P1 dan P2 terbukti bahwa “Merek LOTTO” milik Penggugat, terdaftar No. 137.430
dan W 191.962 untuk melindungi jenis barang-barang: pakaian jadi, kemeja, dll.
- Dari bukti P3 diketahui bahwa merek Tergugat I dengan kata “LOTTO” telah terdaftar pada
Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan No. 187.824 untuk melindungi jenis barang handuk dan
sapu tangan.
- Pasal 2(1) UU Merek tahun 1961 menentukan, hak atas suatu merek berlaku hanya untuk
barang-barang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi merek itu.
- Menurut pasal 10(1) UU Merek tahun 1961 tuntutan pembatalan merek hanya dibenarkan untuk
barang-barang sejenis.
- Tujuan UU merek tahun 1961 khususnya pasal 10(1) adalah untuk melindungi masyarakat
konsumen agar konsumen tidak terperosok pada asal-usul barang sejenis yang memakai merek
yang mengandung persamaan.
- Menurut pendapat Majelis, walaupun bunyi dari kedua merek Penggugat dan Tergugat I tersebut
sama yaitu LOTTO, tetapi pihak konsumen tidak akan dikaburkan dengan asal-usul barang
tersebut, karena jenis barang yang dilindungi adalah merek Penggugat sangat berbeda dengan
jenis barang yang dilindungi oleh merek Tergugat I.
- Jurisprudensi yang tetap antara lain Putusan MA-RI No. 2932 K/Sip/1982 tanggal 31/8/1983,
serta No. 3156 K/Pdt/1986 tanggal 28/4/1988, berisi: menolak pembatalan pendaftaran merek
dari barang yang tidak sejenis.
- Pasal 1 SK Menteri Kehakiman No. M-02-HC-01-01 tahun 1987 tanggal 15/6/1987 menyatakan
merek terkenal adalah merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di wilayah Indonesia
oleh seseorang atau badan untuk jenis barang tertentu.
- Majelis berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat tidak cukup berlasan, karenanya gugatan
Penggugat harus ditolak.
MAHKAMAH AGUNG RI
- Penggugat menolak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan mengajukan permohonan
kasasi dengan alasan Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum, karena menolak gugatan
Penggugat. Pengadilan Negeri mengesampingkan kenyataan bahwa Penggugat adalah pemakai
pertama dari merek LOTTO di Indonesia. Ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan
perlindungan hukum menurut UU Merek No. 21 tahun 1961. Sementara itu, Tergugat I tidak
dapat mengajukan bukti-bukti yang sah dengan tidak dapat membuktikan keaslian bukti-bukti
yang diajukannya.
- Mohon Mahkamah Agung konsisten pada putusannya dalam perkara merek terkenal Seven Up –
LANVIN – DUNHILL: MA-RI No. 689 K/SIP/1983 dan MA-RI No. 370 K/SIP/1983, yang
isinya sebagai berikut: Suatu pendaftaran merek dapat dibatalkan karena mempunyai persamaan
dalam keseluruhan dengan suatu merek yang terdahulu dipakai atau didaftarkan, walaupun untuk
barang yang tidak sejenis, terutama jika menyangkut merek dagang terkenal. Pengadilan tidak
seharusnya melindungi itikad buruk Tergugat I. Tindakan Tergugat I, tidak saja melanggar hak
Penggugat tetapi juga melanggar ketertiban umum di bidang perdagangan serta kepentingan
khalayak ramai.
- Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam putusannya berpendirian bahwa judex
facti salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan selanjutnya Mahkamah
Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
- Pendirian Mahkamah Agung tersebut di dasari oleh alasan juridis yang intinya sebagai berikut:
- Newk Plus Four Far East Ltd, Singapore telah mendaftarkan merek LOTTO di Direktorat Paten
& Merek Departemen Kehakiman RI tanggal 29/6/1976 dan 4-3-1985.
- Merek LOTTO secara umum telah terkenal di kalangan masyarakat sebagai merek dagang dari
luar negeri. Merek tersebut mempunyai ciri umum untuk melengkapi seseorang yang berpakaian
biasa atau berkaitan olah raga beserta perlengkapannya.
- Merek LOTTO, yang didaftarkan Tergugat I adalah jenis barang handuk dan saputangan, pada 6
Oktober 1984.
- Mahkamah Agung berpendapat, walaupun barang yang didaftarkan Tergugat I berbeda dengan
yang didaftarkan Penggugat, tetapi jenis barang yang didaftarkan Tergugat I tergolong
perlengkapan berpakaian seseorang. Dengan mendaftarkan dua barang yang termasuk dalam
kelompok barang sejenis i.c kelengkapan berpakaian seseorang dengan merek yang sama,
dengan kelompok barang yang telah didaftarkan lebih dahulu, Mahkamah Agung menyimpulkan
Tergugat I ingin dengan mudah mendapatkan keuntungan dengan cara menumpang keterkenalan
satu merek yang telah ada dan beredar di masyarakat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setiap hukum harus mempunyai prinsip-prinsip untuk mewujudkan tegaknya keadlian di sustu
negara.
2. Hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan
dan menjalankan peraturan hukum material.
3. Dalam menyelesaikan masalah, kehakiman memiliki wewenang yang bebas, tidak ada lembaga
negara lainnya yang ikut campur.
4. Fungsi hukum acara perdata yaitu meyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran dan
penuntutan.
5. Dalam hukum acara pidana yaitu tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan
dan penuntutan.
6. Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia
dalam memenuhi kepentingan (kebutuhan) nya.
7. Dalam ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata mengatur tentang kepentingan perseorangan
antara lain : hukum pribadi, kukum keluarga, hukum kekayaan dan hukum waris.
8. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum dan perbuatan mana diancam dengan sanksi pidana tertentu.
9. Peristiwa pidana atau juga disebut tindak pidana (Delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian
yang dapat dikenakan hukuman pidana.
B. SARAN
1. Kita harus mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, agar hukum di Indonesia dapat terlaksana
dengan jujur adil dan demokratis.
2. Hendaknya kita sebagai generasi penerus bangsa dapat meneruskan perjuangan para pahlawan
dengan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.
3. Supremasi hukum di Indonesia hendaknya kita dukung sepenuhnya agar tercipta suasana yang
tertib dan aman di negara kita tercinta
Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu:
Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah:
“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada
orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”
Hukuman sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yaitu:
a) hukuman mati
b) hukuman penjara
c) hukuman kurungan
d) hukuman denda
Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:
1. putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan
untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak dihukum untuk
membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara
2. putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah
menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan
hukum semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik
yang sah atas tanah sengketa
3. putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan
menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu ikatan
perkawinan.
- pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin (misalnya yang diatur dalam
Permenhub No. KM 26 Tahun 2009),
Dasar hukum:
3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan