Anda di halaman 1dari 12

Clinical Science Session

DIFTERI

Oleh:

Irfani Rahmi 1010312081


Paishal Mizan 1740312290
Yola Anggraeni 1310311081

Preseptor :
dr. Novialdi, Sp.THT-KL(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPADA DAN LEHER (THT-KL) FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL PADANG
2018
Imunisasi Difteri ada 3 jenis, yaitu vaksin DPT+HB+Hib, vaksin
Clinical Science Session DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia yang berbeda.
Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi
Difteri
(di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT+HB+Hib
Irfani R, Phaisal M, Yola A
dengan jarak 1 bulan. Selanjutnya diberikan Imunisasi Lanjutan
(booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak 1 dosis vaksin
PENDAHULUAN
DPT+HB+Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1
Latar Belakang
diberikan 1 dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1
toksin dari bakteri Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini
dosis vaksin Td. Keberhasilan pencegahan Difteri dengan
mempunyai dua bentuk, yaitu tipe respirasi dan tipe kutan. Tipe
imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu
respirasi disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi 3
minimal 95%.
toksin (toksigenik), sedangkan tipe kutan disebabkan oleh
Munculnya KLB Difteri dapat terkait dengan adanya
strain toksigenik maupun yang non toksigenik. Tipe respirasi
immunity gap yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di
biasanya mengakibatkan gejala berat sampai meninggal,
kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini
sedangkan tipe kutan umumnya menunjukkan gejala ringan
terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan
1
dengan peradangan yang khas. Pada makalah ini penyakit
terhadap difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi
difteri yang dimaksud ditujukan kepada difteri tipe respirasi.
atau tidak lengkap imunisasinya. Akhir-akhir ini di beberapa
Difteri ditandai dengan peradangan pada tenggorok, 3
daerah di Indonesia muncul penolakan terhadap imunisasi.
demam yang tidak tinggi dan pembengkakan leher (bullneck)
Suatu penelitian melaporkan bahwa pada golongan
serta terjadi pembentukan membran (pseudomembran)
anak yang diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 81,3%,
keputihan pada tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah
infeksi sedang 16,4% dan infeksi berat hanya 2,3%; sedangkan
apabila dilepas. Peradangan dapat menyebabkan kematian
pada anak yang tidak diimunisasi terjadi infeksi ringan
dengan menyumbat saluran napas. Komplikasi dapat terjadi
sebanyak 19,0%, infeksi sedang 21,5% dan infeksi berat
karena efek toksin dari kuman yang menyerang saraf
59,5%. Mortalitas pada anak yang tidak diberi imunisasi empat
menyebabkan kelumpuhan dan menyerang jantung 1
kali lebih besar dibandingkan anak yang diberi imuniasi.
1
menyebabkan miokarditis.
Untuk itu perlu pemahaman yang baik bagi dokter
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun
layanan primer agar dapat mencegah terjadinya Kejadian Luar
2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus
Biasa Difteri dan menurunkan angka mortalitas akibat difteri.
diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO Batasan Masalah
South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di
Refrat ini membahas tentang anatomi, fisiologi, definisi,
Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013
epidemiologi, etiologi dan faktor resiko, pathogenesis,
(19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus
manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan
menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total SEAR).
prognosis difteri.
Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun Tujuan Penulisan
2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada
Menambah pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi,
tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah
definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor resiko, pathogenesis,
kabupaten/kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami
manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan
peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota
prognosis difteri.
pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/Kota
2
dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/Kota.
TINJAUAN PUSTAKA
Pencegahan utama Difteri adalah dengan imunisasi.
Anatomi Tonsil
Indonesia telah melaksanakan Program Imunisasi termasuk
Tonsil palatine, tonsil faringeal (adenoid) dan tonsil
Imunisasi Difteri sejak lebih 5 dasa warsa. Vaksin untuk
lingual dikenal sebagai bagian dari cincin Waldeyer dan sistem space antara dasar lidah dengan dinding faring posterior
limfoid (mucosa-associated lymphoid tissue/MALT). Tonsil dan sehingga menimbulkan pola pernapasan obstruktif pada saat
adenoid merupakan mekanisme pertahanan tubuh pertama tidur (dan kemudian terjaga) dengan gangguan pernapasan.
dari sistem saluran pernapasan bawah dan traktus Karena letak anatominya, tonsil lebih jarang dikaitkan dengan
gastrointestinal dan juga membantu terbentuknya memori penyakit-penyakit tuba eustacius/telinga tengah dan sinus.
4
terhadap antigen yang menginvasi tubuh inang. Walau demikian, tonsil dan adenoid dipengaruhi secara
5
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di simultan oleh beberapa proses penyakit seperti infeksi.
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari Suplai darah ke tonsil cukup banyak namun secara
anterior oleh pilar anterior yang dibentuk oleh otot umum disuplai oleh faringeal asendens, palatine asendens,
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior yang dibentuk otot dan cabang dari arteri lingual dan fasial, semua cabang dari
palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian arteri karotis eksterna. Jarang yang bercabang langsung dari
lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian arteri karotis externa itu sendiri. Arteri karotis interna
superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. membentang kira-kira 2cm posterolateral tonsil bagian dalam.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang Drainase limfatik tonsil secara primer menuju ke leher dalam
tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi superior dan nodus limfatik jugular oleh karena itu, penyakit
oleh epitel yang meluas kedalam tonsil membentuk kantong inflamasi yang menyerang tonsil merupakan faktor signifikan
4
yang dikenal dengan kripta. terhadap perkembangan adenitis/abses servikal. Saraf sensoris
Adenoid (tonsil faringeal) merupakan massa tonsil berasal dari nervus glossofaringeus dan beberapa
6
berbentuk triangular dari jaringan limfoid, terletak di aspek cabang dari nervus palatine melalui ganglion sfenopalatina.
posterior nasofaring. Nasofaring berfungsi sebagai pipa Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang
penyalur dari udara inspirasi sekresi sinonasal yang mengalir terdiri atas sel makrofag, sel dendrit dan APC’s yang berperan
dari kavum nasi ke orofaring, resonansi suara, dan drainase dalam transportasi antigen ke sel limfosid sehingga terjadi
5
untuk tuba eustachius/telinga tengah/kompleks mastoid. sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
5
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Definisi
Tonsilitis difteri termasuk dalam golongan tonsilitis
membranosa, yaitu radang akut tonsil yang disertai
pembentukan selaput atau membrane pada permukaan tonsil
yang dapat meluas ke jaringan sekitarnya. Membrane ini
6,2
biasanya berwarna putih kekuning - kuningan.
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan
dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri ditandai
dengan adanya peradangan pada tempat infeksi terutama di
2
mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan kulit.
Epidemiologi
Penyakit difteri terseabar diseluruh dunia. Pada tahun

Gambar 1. Anatomi Tonsil 2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus
diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO

Tonsil palatine terdapat sepasang, umumnya South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus difteri di

berbentuk oval, terletak di dinding lateral orofaring. Walaupun Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013

biasanya hanya terbatas pada orofaring, pembesaran yang (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus

berlebihan dari tonsil dapat meluas ke nasofaring menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus

menyebabkan insufisiensi velofaringeal atau obstruksi nasal. SEAR). Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat

Lebih sering lagi, pembesaran tonsil tersebut meluas sampai pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529

ke hipofaring, ke tempat yang dikenal sebagai posterior airway kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian
pula jumlah kabupaten / kota yang terdampak mengalami toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif.
kenaikan dibandingkan tahun 2015, dimana pada tahun 2015 Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan
terdapat 89 kabupaten / kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
2 7,6
kabupaten / kota. menimbulkan efek toksik pada sel.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia Toksin diphtheria mula mula menempel pada
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya
tahun, walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim
2
penyakit ini. translokase. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak
Etiologi berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
Tonsilitis difteri merupakan peradangan akut pada diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas
tonsil palatina yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi
diphteria strain toksin yang termasuk dalam kuman Gram lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
negatif , tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi
dan berbentuk batang pleomorfis. Kuman ini hidup di saluran toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
nafas bagian atas seperti hidung, faring dan laring. Tidak terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang
semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
Hal ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga
Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila
6,2
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
7,8
penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan
jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan
pernafasan / suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit
ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin
yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang
Gambar 2. Corynebacterium diphteria dengan pewarnaan bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah
methylen blue terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam
Manusia adalah satu-satunya reservoir Coryne sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya
bacterium diphteria. Penularan terjadi melalui droplet dari manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam
batuk, bersin, muntah, melalui alat makan atau kontak 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
2
langsung dari lesi di kulit. minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis
Patofisiologi toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi
berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan
limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
7,8

fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan


disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul
Manifestasi Klinis timbul perdarahan dari mulut sehingga pasien tidak mau
Manifestasi klinis difteri tergantung pada lokasi infeksi, makan, hidung, dan kulit. Sumbatan jalan nafas atau
imunitas penderitanya, ada atau tidaknya difteri yang beredar Gangguan jantung berupa heart block muncul beberapa hari
9 9,10
dalam sirkulasi darah . Masa inkubasi difteri umumnya 2-5 hari. sesudahnya sehingga berakhir dengan kematian .
Kemudian pasien akan memperlihatkan keluhan-keluhan yang 5. Difteri Kutaneus
9
tidak spesifik seperti : Difteri kutaneus saat ini lebih sering muncul ketimbang
1. Demam dan kadang-kadang menggigil penyakit nasofaring di negara barat. Hal ini berkaitan dengan
2. Kerongkongan sakit dan suara parau alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak higienis.
3. Perasaan tidak enak, mual dan muntah Bentuknya dapat berupa pustule hingga ulkus kronis dengan
4. Sakit kepala membrane keabuan yang kotor. Komplikasi toksik dari difteri
5. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah kutaneus ini jarang terjadi, dan jika terjadi komplikasi, neuritis
6. Teraba benjolan dan sembab pada daerah leher adalah komplikasi yang paling sering bermanifestasi
9,10
dibandingkan miokarditis .
Difteri diklasifikasikan menjadi: 9
6. Difteri konjungtiva
1. Difteri nasal anterior dan posterior 9
7. Difteri vulva/vagina
Gejala dapat berupa keluarnya pus dari hidung dan
adanya pseudomembran. Biasanya timbul unilateral dan bisa Difteri pada saluran pernafasan dapat berkembang
timbul bilateral, kemudian purulent discharge dapat keluar dengan cepat sehingga dapat menimbulkan kesulitan bernafas,
bersama dengan darah dan timbul ekskoriasi pada area lubang karena terjadi sumbatan jalan nafas. Pada pemeriksaan fisik
hidung dan mulut bagian atas. Difteri hidung pada umumnya ditemukan kesulitan bernafas, takikardi, dan pucat. Pada
9,10
timbul pada bayi. pemeriksaan saluran pernafasan dapat ditemukan adanya
2. Difteri fausial (tonsillitis difteri) pseudomembran yang mempunyai karakteristik sebagai
Bentuk ini merupakan bentuk tersering dari difteri. berikut: 1) mukosa membrane edema, hiperemis, dengan epitel
Gejala dapat berupa tonsillitis disertai dengan pseudomembran yang nekrosis, 2) biasanya berbentuk berkelompok, tebal,
yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau kedua fibrinous, dan berwarna abu-abu kecoklatan, terdiri dari
tonsil. Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula, leukosit, eritrosit, sel epitel saluran napas yang mati, dan
9
palatum mole, orofaring, nasofaring, atau bahkan laring. Gejala mudah berdarah.
9,10
dapat disertai dengan mual, muntah, dan disfagia. Membran ini bisa ditemukan pada palatum, faring,
epiglottis, laring, trakea, sampai kepada daerah trakeobronkus.
3. Difteri tracheolaringeal Pada pemeriksaan daerah leher ditemukan edema pada tonsil,
Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri uvula, daerah submandibular, dan leher bagian depan,
faucial. Difteri tracheolaryngeal dapat menimbulkan gambaran ditandaii dengan suara yang parau, stridor, dan bisa ditemukan
9
bullneck pada pasien difteri akibat cervical adenitis dan edema pembesaran KGB servikalis anterior.
yang terjadi pada leher. Timbulnya bullneck merupakan tanda
dari difteri berat, karena dapat timbul obstruksi pernapasan
akibat lepasnya pseudomembran sehingga pasien
9,10
membutuhkan trakeostomi
4. Difteri maligna
Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah
dari difteri. Toxin secara cepat menyebar dengan demam
tinggi, denyut nadi cepat, penurunan tekanan darah dan
sianosis. Biasanya penyebaran membrane meluas dari tonsil,
uvula, palatum, hingga lubang hidung. Pembesaran KGB leher,
periadentis dan pembengkakan jaringan lunak pada
leher.Gambaran leher sapi jantan (bullneck) dapat terlihat, dan
c. Pemeriksaan mikroskopis secara langsung kadang-
kadang tidak memberikan hasil yang pasti, karena hasil
yang negatif belum bisa menyingkirkan diagnosis.
9
2. Diagnosis definitive dan identifikasi hasil
Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya
Corynebacterium diphtheriae dengan melakukan pemeriksaan
kultur dari lesi yang dicurigai. Pemeriksaan ini membutuhkan
waktu dan media yang selektif, yaitu:
a. Media selektif Loffler, media Tellurite, dan Agar
Tindale: tumbuh koloni C.diphtheriae yang berwarna
hitam dikelilingi oleh warna abu-abu kecoklatan.
b. Kultur ini dapat membedakan 3 tipe koloni yang
Gambar 3. Pseudomembran pada tonsillitis difteri menunjukkan isolate tiap tipe dari strain toksigenik
c. Dilakukan kultur dan tes sensitifitas pada saat
sebelum dan sesudah pengobatan untuk meyakinkan
tidak terjadinya resistensi antibiotic.
3. Pemeriksaan produksi toksin secara in vitro, dengan
9
melakukan tes Elek plate test, dan polymerase pig inoculation
4. Pemeriksaan serum terhadap antibody untuk toksin
difteri, dengan Shick test. Uji ini dilakukan pada kasus difteri
ringan dan kasus yang mengalami kontak dengan difteri.
Sehingga bisa diobati dengan sempurna. Tes ini tidak
9
dianjurkan untuk diagnosis difteri secara dini.

Sejak ditetapkannya Indonesia sebagai kasus luar biasa


(KLB) difteri maka di bentuklah laboratorium khusus difteri yaitu
1) laboratorium pemeriksa untuk pemeriksaan kultur kasus dan
kontak 2) laboratorium nasional rujukan regional untuk
pemeriksaan kultur dan isosali C. diptheriae, uji toksigenitas
Gambar 4. Gambaran bullneck pada pasien difteri dengan PCR dan Elek test dan serologi pada kasus difteri.

Diagnosis
Diagnosis difteri sebaiknya dibuat berdasarkan
manifestasi klinisnya yang khas, karena keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan penyakitnya bertambah lanjut
9,2
dan berat
9
1. Diagnosis awal cepat (presumptive diagnosis)
Diagnosis awal dapat dilakukan dengan menggunakan
pewarnaan methylene blue, pewarnaan Gram, dan
imunoflouresens.
a. C.diphteriae terlihat sebagai basil gram positif,
berkelompok, tidak bergerak, dan tidak berkapsul.
b. Dengan pewarnaan Gram jarang ditemukan klaster
basil
Tabel 1. Pembagian wilayah pemeriksaan laboratorium khusus difteri

Gambar 5. Pemeriksaan C. diphteriae di laboratorium rujuka


9
Diagnosis Banding tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus
1. Difteri nasal anterior : Korpus alienum pada hidung, secara intravena.
common cold, sinusitis. Dapat dibedakan dengan pemeriksaan  Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan
speculum hidung dan foto sinus. berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
2. Difteri Fausial berat badan penderita, berkisar antara 20.000-
- Tosilofaringitis: ditemukan suhu yang tinggi, nyeri/sukar 100.000 U.
menelan lebih hebar, pembesaran tonsil, membrane mudah
 Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
lepas dan tidak menimbulkan perdarahan.
fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
- Mononucleosis infeksiosa: ditemukan limfadenopati
 Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
generalisata, splenomegali, adanya sel mononuclear yang
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan
abnormal dalam darah tepi.
selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
- Kandidiasis mulut
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
- Herpes zoster pada palatum: jarang ditemukan
(serum sickness).
3. Difteri Laring: laringotrakeobronkitis, Croup
spasmodic/nonspasmodik, aspirasi benda asing, abses
 Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6%
yang terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS.
retrofaringeal, papiloma laring
Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum
2
Tatalaksana sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.
Prinsip penatalaksanaan pasien difteri: b. Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri yang
1. Dokter memutuskan diagnosis difteria berdasarkan gejala tepat
dan klinis. c. Pemberian antibiotika,
2. Ada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg
Anti Difteri Serum (ADS)dan antibiotik tanpa perlu BB maks 1,5 juta selama 14 hari, atau Eritromisin
konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus oral atau injeksi diberikan 40 mg/KgBB/hari maks
tenggorok). 2g/hari interval 6 jam selama 14 hari.
3. Pasien difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 d. Perawatan suportif, termasuk pada patensi saluran
jam setelah pemberian antibiotik. Namun tetap dilakukan nafas. Bila gawat nafas akibat obstruksi oleh
kultur setelah pemberian antibiotik. pseudomembran atau edema faring lakukan
4. Tatalaksana pada penderita difteri dewasa sama dengan trakeostomi
tatalaksana penderita difteri anak, yaitu sebagai berikut: e. Observasi komplikasi jantung, saraf dan ginjal
a. Pemberian Anti Difteri Serum (ADS). f. Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita

 Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas,

hipersensitivitas terhadap ADS; pemberian antitoksin dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan

secara dini sangat penting dalam hal kesembuhan. prednisone 2mg/KgBB selama 2 minggu kemudian
diturunkan bertahap
 Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit
g. Pada fase kovalesens diberikan vaksin difteri
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS
toksoid.
dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000.

 Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS


dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.

 Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara


desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas
3
Gambar 6. Algoritma diagnosis,terapi dan follow up tersangkan difteri dan kontak difteri .

Tabel 2. Pemberian anti toksin pada pengobatan difteri


Dokter Muda THT-KL Periode Desember 2017 – Januari 2018 10
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Beberapa hal yang harus di perhatikan dalam Komplikasi difteri dapat berupa:
2
pemulangan pasien difteri 1. Gagal nafas
1. Setelah pengobatan, tetap dilakukan pengambilan 2. Miokarditis
kultur pada pasien (sebaiknya pada hari ke 8 dan 3. Pneumonia bakterialis sekunder
ke 9 pengobatan). 4. Aritmia
2. Apabila klinis pasien setelah terapi baik (selesei 5. Ensefalopati anoksik
masa pengobatan 10 hari) maka dapat pulang 6. Sepsis dan syok sepsis
tanpa menunggu hasil kultur laboratorium
9
Prognosis
3. Sebelum pulang pasien diberi penyuluhan
Prognosis bergentung pada:
komunikasi risiko dan pencegahan penularan oleh
1. Virulensi basil difteri
petugas
2. Lokasi dan perluasan membrane
4. Setelah pulang, pasien tetap dipantau oleh Dinas
3. Status kekebalan penderitanya
Kesehatan setempat sampai hasil kultur terakhir
4. Cepat/lambatnya pengobatan diberikan
negative
5. Perawatan
5. Semua pasien pulang harus melengkapi imunisasi
difteri sesuai usia
Secara keseluruhan angka kematian difteri adalah 5-10%,
6. Pasien yang mendapat ADS harus diimunisasi dengan angka kematian tertinggi pada pasien yang tidak mendapat
lengkap 3x setelah 4-6 minggu dari saat ADS imunisasi yang sempurna dan pasien yang menderita kelainan
diberikan sistemik. Angka kematian pada pasien yang tidak diobati adalah
sebanyak 50%. Difteri yang disebabkan oleh jenis gravis biasanya
Pencegahan
prognosisnya paling jelek, bullneck diphtheria mempunyai angka
Cara yang paling baik untuk pencegahan adalah
kematian 50%. Difteri laring lebih cepat menimbulkan obstruksi
pemberian imunisasi aktif pada masa anak-anak. Biasanya
saluran napas, bila pertolongan terlambat dan pengawasan tidak
pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis
ketat, akan menimbulkan kematian mendadak. Keterlambatan
dan tetanus (DPT). Anak-anak berumur 7 tahun atau lebih
9
9 pengobatan bisa meningkatkan angka kematian 20 kali lipat.
diberikan booster setiap 10 tahun.
Orang yang kontak erat dengan penderita difteri
terutama yang tidak pernah/tidak sempurna mendapat KESIMPULAN
imunisasi aktif dianjurkan booster dan melengkapi vaksin. Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan
Kemudian diberikan profilaksis yaitu penisilin prokai 600.000 dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri ditandai dengan
U IM/hari atau eritromisin 40 mg/KgBB/hari selama 7-10 adanya peradangan pada tempat infeksi terutama di mukosa
2
hari. Bila tidak memungkinkan utuk pengawasan sebaiknya faring, laring, tonsil, hidung dan kulit.
diberikan antitoksin difteri 10.000 U IM. 2 minggu sesudah Difteri ditandai dengan peradangan pada tenggorok,
diberikan dilakukan kultur untuk meyakinkan eradikasi hasil demam yang tidak tinggi dan pembengkakan leher (bullneck) serta
9
C.dyphtheriae. terjadi pembentukan membran (pseudomembran) keputihan pada
9
Komplikasi tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah apabila dilepas.
Timbul komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan Peradangan dapat menyebabkan kematian dengan menyumbat
keadaan sebagai berikut: saluran napas. Komplikasi dapat terjadi karena efek toksin dari
1. Virulensi basil difetri kuman yang menyerang saraf menyebabkan kelumpuhan dan
1
2. Luas membran yang terbentuk menyerang jantung menyebabkan miokarditis .
3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri Diagnosis awal dapat dilakukan dengan menggunakan
4. Waktu antara mulainya timpul penyakit sampai pewarnaan methylene blue, pewarnaan Gram, dan
pemberian antitoksin imunoflouresens. Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya
Corynebacterium diphtheriae dengan melakukan pemeriksaan
9
kultur dari lesi yang dicurigai.
Dokter Muda THT-KL Periode Desember 2017 – Januari 2018 11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri 9. Acang N. 2014. Difteri. Dalam: buku ajar ilmu penyakit
Serum (ADS)dan antibiotik tanpa perlu konfirmasi dalam edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen FK UI
laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok). Pasien p1858-1861
difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah 10. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2016. Difteri.
pemberian antibiotik. Namun tetap dilakukan kultur setelah Available in: http://hmpd.fk.ub.ac.id/difteria/ -Accessed at
2
pemberian antibiotik. January 30th 2018.

DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono. Penyakit tropis. Epidemiologi, penularan,
pencegahan & pemberantasannya. Second revised.
Jakarta: Erlangga, 2011. 22-27pp.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman pencegahan dan pengendalian difteri.
2017. Available in:
http://gudangilmu.farmasetika.com/wp-
content/uploads/2017/12/buku-pedoman-
pencegahan-dan-penanggulangan-difteri.pdf
Accessed at January 30th 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Imunisasi efektif cegah difteri. 2017. Available in:
http://www.depkes.go.id/article/view/17120500001/-
imunisasi-efektif-cegah-difteri.html Accessed at
January 31th 2018.
4. Casteleyn C, et al. The Tonsils Revisited: Review of
the Anatomical Localization and Histological
Characteristics of the Tonsils of Domestic and
Laboratory Animals. Clinical and Developmental
Immunology. 2011
5. Brodsky L, Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT (editors).
th
Head and Neck otolaryngology 4 Edition Volume
One. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2006.
6. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan
Hipertrofi Adenoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
VII. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012. Hal 195-203.
7. Bruce M Lo. Diphthreria. Available in:
https://emedicine.medscape.com/article/782051-
overview#a4. Accessed at January 30th 2018.
8. Dass J FP, Deepika V. Implications from predictions
of HLA-DRB1 binding peptides in the membrane
proteins of Corynebacterium diphtheriae.
Bioinformation. 2008. 3(3):111-3.
Dokter Muda THT-KL Periode Desember 2017 – Januari 2018 11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai