Anda di halaman 1dari 5

FITNAH, PDI PERJUANGAN

DITUDUH ANTI ISLAM

FITNAH, PDI PERJUANGAN DITUDUH


ANTI ISLAM
Seiring dengan Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden, beredar di media sosial fitnah bahwa PDI
Perjuangan itu anti Islam. Fitnah tersebut bertujuan melarang umat Islam memilih Calon Legislatif dan
Capres/Cawapres PDI Perjuangan. Bahkan di antara fitnah itu dikatakan datang dari Pemngurus MUI Pusat. Antara
lain fitnahnya begini: “Saya sangat kecewa dgn ketidaktahuan masyarakat kita yang memilih PDIP dalam pemilu
kemarin. PDIP itu partai yang anti Islam. “Semua RUU yang kita ajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti PDIP
menolak. UU Pendidikan mereka walk out, UU Bank Syariah,UU Ekonomi Syariah mereka tidak setuju, UU
Pornografi juga mereka tidak setuju. Nah sekarang UU Jaminan Produk Halal untuk makanan dan obat-obatan
mereka juga tidak setuju.”. ini Partai Anti Islam !!!. Kenapa banyak Umat Islam yang tidak tahu?. Kita semua harus
ngomong,” jelas beliau.! MUI yg memberi catatan utk PDIP, dg maksud utk memberi info kaitannya dgn Pilpres…
Jokowi yg mengusung PDIP, ada agenda di balik itu tentunya… Ideologiny Sosialis, sangat tdk menguntungkan
buat ummat Islam di Indonesia, Ya Allah, jangan biarkan NKRI jatuh ke tangan pemimpin yang tak amanah…
Hanya kepada-Mu kami bermunajat, mengemis untuk ummat Islam NKRI… Kabulkanlah do’a kami

Jawaban Terhadap Fitnah

Berikut ini kami akan menjawab satu persatu fitnah yang dihembuskan oleh pihak sebagaimana dikemukakan pada
halam pembukaan di atas.

1. PDI Perjuangan itu partai yang anti Islam.?


Adalah logika yang sangat keliru jika memvonis PDI Perjuagan sebagai partai anti Islam. Kepengurusan DPP PDI
Perjuangan Periode 2010-1015, dan juga periode sebelumnya, lebih banyak diisi oleh umat Islam ketimbang umat
agama lain. Katua Umum PDI Perjuangan, Hj. Megawati Soekarnoputri dan Sekjen, Tjahjo Kumolo adalah Muslim
yang taat. Demikian pula pada Tingkat DPD (Provinsi) dan pada tingkat DPC (Kabupaten/Kota), kecuali Provinsi
dan Kabupaten/Kota yang penduduknya mayoritas umat agama lain. Di antara warga Muslim yang duduk pada
tingkat DPP, adalah Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, anggota KAHMI (Korps Alumni HMI) dan Dewan Pakar ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Guru Besar IPB; juga Prof. Dr. Hamka Haq, MA adalah Anggota
Penasehat Majelis Ulama (MUI) Pusat, berlatar belakang akademisi studi agama Islam, dan guru besar UIN
Alauddin Makassar.

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI Perjuangan, direkomendasikan berdirinya ormas-ormas
sayap PDI Perjuanagan, termasuk ormas Islam. Maka berdirilah ormas Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI)
dideklarasikan pada tanggal 29 Maret 2007, yang bergerak di bidang dakwah Islamiyah menurut ajaran Islam
rahmatan lil`alamin. Sampai hari ini Ormas BAMUSI baru sempat membentuk cabangnya di 27 Provinsi. Dalam
struktur kepengurusan, BAMUSI merekrut tokoh-tokoh dan kader-kader dari ormas Islam terbesar Nahdhatul Ulama
dan Muhammadiyah pada setiap jenjang, di samping melibatkan juga ormas-ormas Islam lokal setempat. Pada
tingkat pusat, duduk sebagai Pembina Bamusi adalah Prof.Dr.Syafi`i Ma`arif (Mantan Ketua Umum
PP Muhammadiyah) dan Prof.Dr.Said Aqil Syiraj (Ketua Umum PB NU).
Di tingkat pusat dan beberapa daerah, BAMUSI telah menyemarakkan syiar Islam, baik dalam bentuk penerbitan
serial khutbah (Bamusi DKI) dan sejumlah Edaran tentang pdoman pelaksanaan ibadah, juga aktif dalam
pelaksanaan Hari Besar Islam (HBI) bekerjasama dengan partai. Sejak berdirinya Bamusi, PDI Perjuangan tidak
pernah alpa memperingati HBI (Tahun Baru Hijriyah, Nuzul “Qur’an, Maulid, Isra Mi`raj, Idil Fitri dan Idil Adhha)
yang diisi dengan diskusi keislaman dan kebangsaan. Lapangan Parkir Kantor PDI Perjuangan di Lenteng Agung
menjadi saksi kesemarakan Idil Fitri dan Idil Adhha setiap tahunnya. Termasuk Pemotongan hewan kurban, PDI
Perjuangan pada tingkat pusat dan beberapa daerah, tidak pernah alpa minimal 10 ekor. Bahkan pada tahun 2008,
jumlah sapi kurban mencapai 113 ekor pada tingkat DPP. Pada tingkat DPD dan DPC pun diinstruksikasn beramal
seperti itu.

2. Semua RUU yang diajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti PDIP menolak.? Termasuk UU Bank
Syariah,UU Ekonomi Syariah benarkah PDI Perjuangan tidak setuju?
Tidak benar bahwa setiap RUU yang berbau Islam ditolak oleh PDI Perjuangan. Kalau ada sikap PDI Perjuangan
yang terkesan menolak, maka sebenarnya, secara substansial PDI Perjuangan tetap menerima konten (materi) nya,
tetapi secara teknis PDI Perjuangan memandang tidak perlu lagi diatur dalam UU baru karena telah diatur dalam UU
lain yang berkaitan dengannya. Misalnya UU Pornografi, telah diatur secara jelas dalam KUHP. Begitupun
misalnya Bank Syariah, tidak perlu lagi diatur secara khusus, karena telah diatur dalam UU dan sejumlah peraturan
menyangkut Keuangan dan Perbankan. Untuk memenuhi maksud tersebut, Bank Syariah secara konstitusional telah
diakui di Indonesia sejak tahun 1992 dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Selanjutnya terbit pula Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang memberi peluang lebih luas bagi
perbankan syari`ah, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor
cabang khusus unit syari`ah. Bank Syariah sebagai bahagian tak terpisahkan dari sistem perbankan nasional, payung
hukumnya tetap mengacu pada sistem perbankan nasional, sehingga dipandang belum memerlukan UU baru lagi.

Ekonomi syariah haruslah sejalan dengan kebijakan makro ekonomi nasional. Dengan demikian, institusi ekonomi
syariah tidak akan egoistik menghembuskan isu-isu keharaman produk institusi ekonomi konvensional, karena hal
tersebut dapat dinilai memperalat isu agama untuk persaingan terhadap sistem konvensional. Biarlah masyarakat
memilih dengan kesadarannya sendiri tanpa penggiringan ke jenis dan sistem ekonomi tertentu atas nama agama.

Dalam proses lahirnya UU yang berkaitan dengan keuangan syariah, jika memang sangat dibutuhkan dan belum
mempunyai payung hukum, PDI Perjuangan justru kadang pro aktif di dalamnya. Misalnya RUU Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk yang disahkan pada 7 April 2008 menjadi UU SBSN (sukuk). Sukuk menurut
fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah semacam surat berharga
jangka panjang berdasarkan prinsip syariah dengan sistem bagi hasil. Untuk memproses RUU SBSN (Sukuk)
tersebut menjadi UU SBSN (Sukuk), Fraksi PDI Perjuangan mengambil inisiatif dan menugaskan Olly
Dondokambey sebagai Ketua Panja (Pnitia Kerja) RUU ersebut. Ini bukti nyata bahwa PDI Perjuangan tidak alergi
dengan UU yang berbau Syariah.

3. Sikap PDI Perjuangan terhadap Perda Syariah?


Menyangkut Perda Syariah yang lahir di sejumlah Daerah, PDI Perjuangan juga sangat menyetujui substansi
(konten) nya, tapi secara teknis PDI Perjuangan menghendaki Perda yang berbau Syariah seharusnya diangkat
sebagai Perda yang bersifat umum, sehingga tidak terkesan sebagai Perda diskriminatif yang hanya berlaku untuk
sekelompok warga negara (Muslim) saja. Misalnya Perda Syariah Tentang Minuman Keras (Miras) sebaiknya
menjadi Perda yang berlaku umum, sehingga tidak memperatas-namakan Syariah. Sebagai contoh, Perda Miras
yang pada awal tahun 2014 berhasil disahkan dan berlaku umum di Papua; perda tersebut diterima oleh semua
kalangan, semua agama dan etnis, sehingga tidak menimbulkan gesekan negatif antara sesama warga negara di
daerah tersebut.
Akan halnya Perda Syariah menyangkut Jilbab, agaknya perlu dijelaskan bahwa UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal
29 ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal ini mengharuskan Negara dan pemerintah
memberi perlindungan atau jaminan keamanan dan kenyamanan bagi setiap umat beragama dalam menjalankan
ajaran agamanya, tetapi tidak berarti Negara dan Pemerintah berfungsi mewajibkan warga negara untuk
menjalankan agamanya masing-masing. Misalnya ibadah shalat, Negara dan Pemerintah tidak berkewenangan
memaksa warga negara Muslim untuk bershalat, tetapi pada sisi lain negara harus memfasilitasi dan menjamin
keamanan warga negaranya yang ingin bershalat. Demikian pula ibadah haji, Negara dan pemerintah tidak dapat
memaksakan setiap Muslim yang mampu untuk berhaji. Namun, Negara dan Pemerintah berkewajiban
memfasilitasi dan melindungi keamanan umat Islam yang ingin berhaji.
Dalam kontek dan analogi seperti shalat dan haji itulah PDI Perjuangan menyikapi setiap gagasan untuk melahirkan
perda syariah, misalnya jilbab. Negara dan pemerintah juga tidak berkewenangan memaksa setiap umat Islam
(perempuan) untuk berjilbab. Dengan demikian Negara dan pemerintah (pemerintah daerah) tidak perlu membuat
peraturan yang mengharuskan setiap Muslimah untuk berjilbab. Akan tetapi di sisi lain, Negara akan menjamin
kebebasan wanita Muslimah untuk berjilbab, bagi mereka yang ingin memakainya, misalnya di sekolah / kampus,
termasuk sekolah / kampus swasta milik non Muslim. Karena itu, wanita Muslimah yang ingin memakai jilbab di
sekolah negeri dan swasta, hak-hak mereka dijamin berdasarkan Peraturan Mendikbud No 45 Tahun 2014.

4. UU Pendidikan mereka (PDI Perjuangan) walk out?


Adalah salah besar jika dikatakan bahwa Fraksi PDI Perjuangan walk out ketika UU Sisidiknas disahkan pada
Sidang Paripurna DPR RI 11 Juni 2003, karena justeru PDI Perjuangan memang sengaja tidak hadir. Ketidak
hadiran Fraksi PDI Perjuangan (F-PDI P) bukan karena tidak menyetujui RUU Sisdiknas menjadi UU, karena secara
substansial F-PDI P telah menyetujui RUU ersebut, termasuk rumusannya, sampai Priyo Budi Santoso dari Fraksi
Golkar jelas-jelas menyampaikan terima kasih kepada Fraksi PDI Perjuangan atas persetujuan tersebut.

Perlu juga diingat bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan Hj. Megawati Soekarnoputri, pada saat tersebut juga
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Andai kata F-PDI P memang benar-benar tidak setuju pada RUU
Sisdiknas tersebut, maka akan pastilah Presiden Megawati Soekarnoputri memerintahkan Menteri Pendidikan untuk
menarik RUU Sisdiknasd tersebut dan menggantinya dengan RUU Sisdiknas yang baru; namun hal tersebut tidak
dilakukan.

Singkatnya, kalau ada pihak yang mengatakan bahwa ketidak hadiran F-PDI P menunjukkan sikap yang anti Islam,
sangatlah melanggar kaedah logika, dengan dua alasan. Pertama, bahwa seandainya memang benar PDI Perjaangan
menolak RUU UU Sisdiknas, tentu saja Presiden Megawati (selaku Ketua Umum PDI Perjuangan) menarik RUU
tersebut, tapi itu tidak dilakukannya. Kedua, bahwa RUU yang disahkan itu bukan produk khusus syariah, tetapi
UU Sistem Pendidikan Nasional, jadi tak ada kaitannya drengan soal setuju atau tidak pada syariah.
5. UU Pornografi juga benarkah PDI Perjuangan tidak setuju.?
KUHP sendiri melarang keras perbuatan asusila, seperti menyebarkan gambar dan tulisan porno (pasal 281, 282,
283). Demikian pula KUHP (pasal 290) melarang keras perbuatan cabul, apalagi terhadap wanita di bawah umur,
dan lebih-lebih jika wanita di bawah umur itu disetubuhi di luar nikah. Semuanya diancam hukuman paling lama
tujuh tahun. Jika mengakibatkan penderitaan fisik, hukumannya paling lama dua belas tahun; dan jika wanita
sampai mati, hukumannya lima belas tahun. Hukuman lima belas tahun juga dijatuhkan atas pelaku cabul terhadap
sesama jenis kelamin di bawah umur (pasal 292).

Semangat anti perzinaan, pornografi dan pornoaksi menurut syariah sesungguhnya telah menjadi semangat yang
sama dalam sejumlah pasal KUHP. PDI Perjuangan merasa tidak perlu ada UU atau Perda, karena payung
hukumnya sudah ada, tinggal melakukan aksi yang konkret.

Karena itulah kader PDI Perjuangan yang menjabat Walikota Surabaya berani mengambil langkah konkret untuk
membubarkan lokalisasi PSK. Ada yang mencoba memisahkan langkah tersebut dengan PDI Perjuangan, seolah-
olah hanya merupakan langkah murni dari Walikota saja. Untuk itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sendiri
membantah kalau rencana penutupan lokalisasi Dolly di Putat Jaya, Surabaya, tidak direstui Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Risma mengatakan mendapat dukungan dari Ketua Umum PDI P Megawati
Soekarnoputri. Demikian pernyataan Risma kepadaTempo, Kamis 20 Juni 2014. Bahkan kata Risma, Ibu Megawati
berpesan agar pemerintah kota Surabaya menangani pekerja seks komersial yang mengidap HIV/AIDS.
Coba renungkan dengan akal budi yang sehat, siapakah selain Risma yang berani melakukan tindakan spektakuler
seperti itu. Banyak wali kota yang mungkin diusung oleh partai-partai Islam yang justeru tidak berani melakukan
pembersihan lokalisasi PSK di daerah/kotanya, hal yang seharusnya dilakukan ketimbang hanya memperbanyak
perda-perda yang berwacana mengharamkan PSK, tanpa tindakan nyata menghapuskannya.

6. UU Jaminan Produk Halal untuk makanan dan obat-obatan, benarkah PDI Perjuangan tidak
setuju?
Sebenarnya PDI Perjuangan sangat menyetujui substansi dari RUU tersebut, namun sikap PDI Perjuangan
menyangkut hal ini adalah berlandaskan dua hal, yakni:

Pertama, PDI Perjuangan menengarai adanya keinginan pemerintah (Kementerian Agama) lewat Undang Undang
itu untuk mengambil alih penangannya yang selama ini sudah ditangani secara baik oleh Majelis Ulama Indonesia.
Jadi dalam hal ini PDI Perjuangan adalah semata-mata bermaksud untuk menegakkan wibawa dan kewenangan
MUI menyangkut produk halal tersebut.
Kedua, bahwa soal produk halal telah diatur secara jelas dalam berbagai peraturan pemerintah. Untuk hal ini,
sebenarnya telah terbit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang ini kemudian
diikuti sejumlah peraturan, termasuk Inpres dan Surat Keputusan dari dua menteri (Menteri Kesehatan dan Menteri
Pertanian). Lebih dari itu, terbit pula Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Undang-Undang Pangan, dinyatakan perlunya produsen atau importir pangan mencantumkan label halal,
guna melindungi konsumen Muslim dari barang yang diharamkan syariah (pasal 30 huruf e). Mereka yang
mengedarkan pangan tidak seuai dengan mutu (halal) atau menyalahgunakan label akan dipidana penjara paling
lama lima tahun (pasal 58).

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/Menkes /SK /I /1996, tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada
Label Makanan, dinyatakan bahwa makanan halal adalah semua jenis makanan dan minuman yang tidak
mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram menurut hukum agama Islam (pasal 1 ayat 2). Tujuan tulisan
halal pada label itu dimaksudkan sebagai jaminan kehalalan suatu makanan bagi pemeluk agama Islam (pasal 1 ayat
3). Karena itu, produsen atau importir yang mencantumkan label “halal” harus bertanggung jawab atas halalnya
makanan tersebut (pasal 5).

Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/ MENKES/SK/VIII/1996, dinyatakan bahwa
produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan “halal”, wajib siap diperiksa oleh
Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (pasal I ayat
1). Hasil pemeriksaan dan evaluasi tersebut, diajukan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh fatwa
berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat, atau penolakan bagi yang tidak memenuhinya (pasal I
ayat 2).

Persoalan yang mencuat pula ialah pasokan daging dari luar negeri. Untuk memberi jaminan kehalalan, Menteri
Pertanian menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 745/KPTS/TN. 240/ 12/ 1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan
Pemasukan Daging dari Luar Negeri. Di dalamnya termuat ketentuan bahwa pemasukan daging untuk keperluan
konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat
Islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal (pasal 8 ayat 1).

Selain itu terbit pula Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 306/ KPTS/ TN.330/4/1994, tentang Pemotongan
Unggas dan Penanganan Daging Unggas Serta Hasil Ikutannya. Di dalamnya ditetapkan syarat-syarat dan tata cara
pemotongan unggas, antara lain ditegaskan bahwa penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam
(pasal 3 huruf d). Kemudian ditegaskan bahwa menyembelih unggas dilakukan oleh juru sembelih Islam menurut
tata cara agama Islam, yaitu membaca basmalah, memutus jalan napas, memutus jalan makanan, dan memutus dua
urat nadi (pasal 6 ayat 2). Sungguh luar biasa, demikian terinci dan telitinya guna menyesuaikan ketentuan
hukumnya dengan syariat Islam.
Sebagai konsumen, umat Islam lebih memperoleh jaminan hak-haknya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini mengatur hak-hak konsumen, antara lain hak
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa (pasal 4 huruf a.). Berkaitan
dengan makanan halal, pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang yang tidak
mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label (pasal 8
huruf h). Mereka yang melanggar ketentuan ini, akan dipidana penjara paling lama lima tahun (pasal 62 ayat 1).

Jika diperhatikan secara cermat, segenap produk perundang-undangan dan peraturan tentang pangan dan yang
berkaitan dengannya, seperti dikemukakan di atas, rasanya telah sangat memenuhi ketentuan syariat Islam. Tak
salah jika dikatakan bahwa Undang-Undang dan peraturan tersebut telah menerapkan syariah secara kultural, tanpa
menyebut dirinya sebagai produk syariah, sehingga tidak menjadi Undang-Undang diskriminatif.

7. Yang mengusung Jokowi adalah PDIP, benarkah ada agenda di balik itu tentunya yaitu Ideologi
Sosialis, sangat tdk menguntungkan buat ummat Islam di Indonesia,?
Adalah tidak benar bahwa jika Jokowi menjadi Presiden, sistem ekonomi Indonesia akan menjadi sistem sosialis
komunis. Jokowi selaku kader PDI Perjuangan tentu akan menerapkan sistem ekonomi berdasarkan ideologi PDI
Peruangan yakni ekonomi kerakyatan, yang dibangun secara mandiri (berdikari) sesuai dengan ajaran Tri Sakti
Bung Karno, yakni: Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidan ekonomi dan Bermartabat di bidang budaya.

Sistem ekonomi kerakyatan justeru sejalan dengan sistem ekonomi yang diajarkan Islam, yakni sama-sama berpihak
pada rakyat kecil (ekonomi lemah). Pemberdayaan kaum lemah (mustadh`afin) di bidang ekonomi merupakan
ajaran Islam. Tujuan syariah mengenai ini adalah agar harta benda itu dapat dinikmati secara adil oleh masyarakat
sebagaimana ditegaskan ayat berikut ini: “Agar tidaklah harta itu beredar di kalangan orang kaya saja di antara
kamu” (Q.S.al-Hasyr [59]: 7). Itulah hikmahnya, mengapa syariah menetapkan kewajiban mengeluarkan zakat,
agar rezeki orang kaya turut dinikmati pula oleh fakir miskin. Berbagai sumber ekonomi yang potensil dan strategis
dikategorikan dalam fikih klasik sebagai harta yang wajib dizakati,
Sejalan dengan semangat keislaman tersebut, PDI Perjuangan merasa bertanggung jawab untuk memberdayakakan
rakyat di bidang ekonomi. Mereka perlu keterampilan, penyuluhan dan pendampingan, perlu jaringan ekonomi bagi
produk-produknya yang melimpah dengan nilai ekonomi tinggi. Bahkan yang paling utama dari segalanya ialah
mereka butuh tanah garapan yang memadai. Apa yang terjadi, berupa penelantaran rakyat kecil, pembiaran
terjadinya kezaliman dan pembodohan, perampasan tanah milik, rendahnya mutu dan harga hasil bumi dan kerajinan
rakyat, semua adalah pelanggaran prinsip ekonomi kerakyatan sekaligus penyimpangan syariah yang harus dicari
solusinya. Intinya ialah melepaskan kaum mustadh`afin (wong cilik) dari keteraniayaan dan ketidak berdayaan
melalui kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat, dengan falsafah kesejahteraan, bukan falsafah keuntungan
dan pertumbuhan yang nyata-nyata lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis (pemodal atau pebisnis).

Maka adalah sangat ironis jika gagasan ekonomi kerakyatan yang menjadi inti perjuangan PDI Perjuangan seperti
diuraikan sepintas lalu di atas dipandang bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dipandang membahayakan umat
Islam. Bukankah rakyat kecil yang menjadi tujuan pemberdayaan ekonomi kerakyatan adalah sebahagian besarnya
umat Islam di hampir seluruh pelosok negeri kita? Wahai para ulama dan tokoh Islam mari kita memahami bahwa
ajaran Islam soal ekonomi sangat sejalan dengan ideologi PDI Perjuangan dan Tri Sakti Bung Karno yang bertujuan
membangun kedaulatan ekonomi bagi rakyat, atas dasar kegotong royongan dan secara mandiri
(Berdikari). Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Anda mungkin juga menyukai