BAB II
PEMBAHASAN
Konseling Behavioral adalah salah satu dari teori-teori konseling yang ada pada saat
ini. Konseling behavioral merupakan bentuk adaptasi dari aliran psikologi behavioristik,
yang menekankan perhatiannya pada perilaku yang tampak.
Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada
tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi
atas psikoanalisis yang berbicara tentang alam bawah yang tidak tampak. Behaviorisme
ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan dan
diramalkan. Terapi perilaku ini lebih mengkonsentrasikan pada modifikasi tindakan, dan
berfokus pada perilaku saat ini daripada masa lampau. Belakangan kaum behavioris lebih
dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan (
Rakhmat, 1994:21).
Dalam memahami tingkah laku, terdapat beberapa model tingkah laku yang
dipengaruhi oleh teori-teori psikologi. Model-model tersebut antara lain:
Dalam konsep behavioral, perilaku merupakan hasil belajar, sehinga dapat diubah
dengan manupulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling
merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu
memngubah perilakunya agar dapat memecahkan masalah.
Menurut Pavlov, Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang disebabkan oleh
pengalaman. perubahan Anak yang merasa ketakutan ketika berjalan sendiri pada malam hari
merupakan hasil dari belajar anak telah belajar menghubungkan kegelapan dengan suatu
keadaan yang menyeramkan. Reaksi ini dapat diperoleh secara tidak sadar maupun secara
sadar dan juga dapat diperoleh dari hasil belajar
Thoresen (shertzer & Stone, 1980, 188) memberi ciri konseling Behavioral sebagai
berikut:
Selanjutnya dikatakan bahwa terapi Behavioral berusaha menerapkan metode dan prosedur
eksperimental ke dalam praktek klinis. Oleh karena itu maka terapi yang baik adalah dari
ilmu yang baik.
Hal yang mendasar dalam konseling Behavioral adalah prinsip penguatan (rainforcement)
sebagai suatu kreasi dalam upaya memperkuat atau mendukung suatu perilaku yang
dikendaki. Konsep penguatan ini berasal dari percobaan Pavlov (teori classical conditioning),
dan Skinner (teori intrumental conditioning). Ada tiga macam hal yang yang dapat memberi
pengguatan yaitu (1) posistive reinvorcer. (2) negative reinvorcer. (3) no consequence and
neutral stimuli.
Dalam pandangan behavioral manusia pada hakikatnya bersifat mekanistik atau merespon
kepada lingkungan dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam deterministik dan sedikit
peran aktifnya dalam memilih martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku
yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan
macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui hukum-
hukum belajar pembiasaan klasik, pembiasaan operan, dan peniruan. Manusia bukanlah hasil
dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah
dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Menurut Corey (2003: 198) menyatakan bahwa pendekatan behavior tidak menguraikan
asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap manusia dipandang
memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negative yang sama. Manusia pada
dasarnya di dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya. Segenap tingkahlaku
manusia itu dipelajari.
Sementara itu, Winkel (2004: 420) menyatakan bahwa konseling behavioristik berpangkal
pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan
sebagian bersifat psikologis, yaitu:
Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkahlakunya sendiri, menangkap apa yang
dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkahlaku
yang baru melalui proses belajar.
Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh
perilaku orang lain.
Berdasarkan dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia pada pandangan
behavioris yaitu pada dasarnya manusia tidak memiliki bakat apapun, semua tingkahlaku
manusia adalah hasil belajar. Manusia pun dapat mempengaruhi orang lain, begitu pula
sebaliknya. Manusia dapat menggunakan orang lain sebagai model pembelajarannya.
Hakikat manusia menurut pandekatan konseling behavioral adalah pasif dan mekanistik,
manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan
keinginan lingkungan yang membentuknya. Manusia merespon lingkungan dengan kontrol
terbatas, hidup dalam alam deterministik dan memiliki sedikit peran aktif dalam memilih
martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap
lingkungannya, dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk
kepribadian.
Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan fungsi dari stimulus. Eksperimen
yang dilakukan Pavlov terhadap anjing telah menunjukkan bahwa tingkah laku belajar terjadi
karena adanya asosiasi antara tingkah laku dengan lingkungannya. Belajar dengan asosiasi ini
biasanya disebut classical conditioning. Pavlov mengklasifikasikan lingkungan menjadi dua
jenis, yaitu Unconditioning Stimulus(UCS) dan Conditioning Stimulus (CS). UCS adalah
lingkungan yang secara alamiah menimbulkan respon tertentu yang disebut sebagai
Unconditionting Respone (UCR), sedangkan CS tidak otomatis menimbulkan respon bagi
individu, kecuali ada pengkondisian tertentu. Respon yang terjadi akibat pengkondisian CS
disebut Conditioning Respone (CR).
Dalam eksperimen tersebut ditemukan bahwa tingkah laku tertentu dapat terbentuk
dengan suatu CR, dan UCR dapat memperkuat hubungan CS dengan CR. Hubungan CS
dengan CR dapat saja terus berlangsung dan dipertahankan meskipun individu tidak disertai
oleh UCS dan dalam keadaan lain asosiasi ini dapat melamah tanpa diikuti oleh UCS.
Teori pengkondian yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan pada peran
lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu tingkah laku.
Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau dipertahankan sangat
ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan maka
tingkah lakunya cenderung dipertahankan dan diulang, sebaliknya jika konsekuensinya tidak
menyenangkan maka tingkah lakunya akan dikurangi atau dihilangkan. Dari
prinsip ini dapat dipahami bahwa tingkah laku bermasalah dapat terjadi dan dipertahankan
oleh individu di antaranya karena memperoleh konsekuensi yang menyenangkan yang berupa
ganjaran dari lingkungan. Konsekuensi yang tidak tidak menyenangkan yang berupa
hukuman tidak cukup kuat untuk mengurangi atau melawan ganjaran yang diperoleh dari
lingkungan lainnya. Dipertegas oleh Skinner bahwa tingkah laku operan sebagai tingkah laku
belajar merupakan tingkah laku yang non reflektif, yang memiliki prinsip-prinsip yang lebih
aktif dibandingkan dengan pengkondisian klasik.
1. Teori Peniruan
Asumsi dasar teori yang dikembangkan oleh Bandura ini adalah bahwa tingkah laku
dapat terbentuk melalui observasi model secara langsung yang disebut dengan imitasi dan
melalui pengamatan tidak langsung yang disebut denganvicarious conditioning. Tingkah laku
yang terbentuk karena mencontoh langsung maupun mencontoh tidak langsung akan menjadi
kuat kalau mendapat ganjaran.
Paparan kerangka teori behavioral di atas menunjukkan bahwa tingkah laku yang
tampak lebih diutamakan dibadingkan dengan sikap atau perasaan individu.
Pandangan para behavioris juga menganggap manusia sama saja, tidak ada yang baik
dan tidak ada yang jahat. Semasa lahirnya mereka adalah sama, masing-masing mempunyai
potensi seimbang ke arah menjadi sama ada baik ataupun jahat. Hasilnya, ahli-ahli teori
tingkah laku tidak sepenuhnya memberikan definisi tabiat asas kemanusiaan itu yang boleh
membantu teori-teori mereka sendiri. Bagaimanapun, Dustin dan George menyenaraikan
empat andaian berhubung dengan tabiat kemanusiaan dan bagaimana manusia berubah yang
menjadi inti kepada konseling tingkah laku itu sendiri, diantaranya adalah :
Manusia itu dilihat sebagai manusia biasa, tidak ada yang sepenuh-penuhnya jahat
atau sepenuh-penuhnya baik, tetapi adalah sebagai organisme berpengalaman yang
mempunyai potensi kepada semua jenis tingkah laku.
Manusia berupaya memahami konsep serta mengawal tingkah lakunya sendiri.
Manusia berupaya memperoleh tingkah lakunya yang baru.
Manusia mempunyai keupayaan untuk mempengaruhi tingkah laku lain sebagaimana
ia dipengaruhi oleh orang lain terhadap tingkah lakunya sendiri.
Bagi konselor tingkah laku, individu adalah hasil daripada pengalaman. Ahli-ahli
tingkah laku melihat tingkah laku yang salah terima itu sebagai makhluk yang mempelajari
tingkah lakunya, perkembangan dan pembaikannya adalah sama dengan sebarang tingkah
laku lain. Satu implikasi daripada pandangan ini ialah tidak adanya tingkah laku yang salah
terima bagi diri mereka itu. Selain itu sesuatu tingkah laku itu menjadi wajar disebabkan
seseorang itu menganggapnya tidak begitu. Setengah-setengah tingkah laku mungkin
dianggap wajar di rumah, tetapi tidak wajar di sekolah, begitu juga sebaliknya.
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah
laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang
salah.Manusia bermasalah mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungan.
Tingkah laku maladaftif terjadi karena kesalah pahaman dalam menanggapi lingkungan
dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan dapat diubah
dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
Perilaku yang bermasalah dalam pandangan Behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku
atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah suai terbentuk melalui proses interaksi
dengan lingkungannya. Artinya bahwa perilaku individu itu meskipun secara social adalah
tidak tepat, dalam beberapa saat memperoleh ganjaran dari pihak tertentu Dari cara demikian
akhirnya perilaku yang tidak diharapkan secara sosial atau perilaku yang tidak tepat itu
menguat pada individu
Perilaku yang salah suai dalam penyesuaian dengan demikian berbeda dengan perilaku
normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya yaitu
tidak wajar dipandang. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah
perilaku yang bukan sekedar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang
tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih luas, dan dalam jangka yang lebih panjang.
Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam
menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara
belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip
belajar.
Dilihat dari sudut pandang behavioris, perilaku bermasalah dapat dimaknai sebagai perilaku
atau kebiasaan yang negatif atau dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak tepat dan tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Masalah perilaku yang biasanya sering terjadi pada konseli
meliputi serangan panik, membantu anak untuk mengatasi rasa takut terhadap gelap,
meningkatkan produktivitas kreatif, mengelola kecemasan dalam situasi sosial, mendorong
berbicara di depan kelas, pengendalian merokok, dan berurusan dengan depresi
Dalam suasana hidup seperti di atas, banyak orang menggunakan mekanisme pelarian dan
mekanisme pertahanan diri yang negatif. Untuk dapat bertahan dan menghindari kesulitan
hidup tidak sedikit terjadi tindakan kriminal. Bentuk mekanisme yang negatif menyebabkan
timbulnya tingkah laku yang tidak normal (patologis).
Menurut pandangan behavioral, perilaku bermasalah adalah kebiasaan negatif atau perilaku
yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku bermasalah ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah adanya salah suai dalam proses interaksi
dengan lingkungan, adanya pembelajaran yang salah dalam rumah tangga, tempat bermain,
lingkungan sekolah, dan lingkungan lainnya. Perilaku dikatakan salah suai jika perilaku
tersebut tidak membawa kepuasan bagi individu, atau membawa individu kepada konflik
dengan lingkungannya.
Terbentuknya perilaku yang dicontohkan di atas disebabkan karena adanya peran lingkungan
dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu perilaku dan hal itu
termasuk dalam teori belajar perilaku operan dari Skinner. Selain teori belajar Skinner,
Bandura juga mencontohkan perilaku agresif di kalangan anak-anak.
Timbulnya perilaku bermasalah yang ditandai dengan tindakan melukai atau menyerang baik
secara fisik maupun verbal, dikarenakan adanya proses mencontoh atau modeling baik secara
langsung yang disebut imitasi atau melalui pengamatan tidak langsung (vicarious). Misalnya
anak bersikap agresif karena sering dipukuli atau anak sering melihat orang tuanya
bertengkar bahkan lewat media televisi anak dapat mencontoh adegan-adegan yang bersifat
kekerasan.
Perilaku yang salah dalam penyesuaian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini tidak
terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya, yaitu tidak wajar dipandang,
dengan kata lain perilaku dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya
membawa kepuasan bagi individu atau akhirnya membawa individu pada konflik dengan
lingkunganya. Rasa puas yang dirasakan bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus
dipertahankan, karena boleh jadi perilaku itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari.
Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang tidak
menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan dalam jangka yang lebih panjang.
Menurut Latipun (2008: 135) menyatakan bahwa perilaku yang bermasalah dalam pandangan
behavioris dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku
yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Konsleing behavioral digunakan untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan
perilaku-perilaku maladaptif. perilaku yang bermasalah dalam pandangan behaviorist dapat
dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat,
yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. konseling behavioral juga dapat
menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara
adaptif hingga mengatasi gejala neurosis Sedangkan menurut Feist & Feist (2008: 398)
menyatakan bahwa perilaku yang tidak tepat meliputi:
1. Perilaku terlalu bersemangat yang tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi, tetapi
mungkin cocok jika dilihat berdasarkan sejarah masa lalunya.
2. Perilaku yang terlalu kaku, digunakan untuk menghindari stimuli yang tidak
diinginkan terkait dengan hukuman.
3. Perilaku yang memblokir realitas, yaitu mengabaikan begitu saja stimuli yang tidak
diinginkan.
4. Pengetahuan akan kelemahan diri yang termanifestasikan dalam respon-respon-respon
menipu diri.
Bagi individu tingkah laku yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai kesulitan baik bagi
diri individu itu sendiri, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut aliran behavioral
tingkah laku yang tidak tepat dipelajari dengan cara yang sama dengan tingkah laku yang
tepat. Tingkah laku ini dipelajari karena pada perkembangan tertentu pernah menjadi jalan
untuk memperoleh kepuasan.
Misalnya siswa berbuat kenakalan dikelas karena mereka belajar bahwa cara itulah yang
perlu efektif untuk menarik perhatian guru. Hukuman guru diterima anak sebagai hadist yang
memberi kepuasan kebutuhan perhatian. Walaupun orang lain memandang tingkah laku itu
tidak tepat, namun bagi siswa dapat memberi reinforcement yang diharapkannya. Sama
halnya, orang yang menarik diri, yang di pandang terisolir secara sosial. Hadiah dari tingkah
laku menarik diri adalah tidak perlu berpartisipasi dengan situasi yang menakutkan, dimana
takut ini juga dipelajari melalui pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu.
Contoh lain : seorang anak yang tidak mengerjakan soal-soal mata pelajaran matematika,
bagi siswa lain tentu keadaan ini merugikan, karena tidak boleh mengikuti mata pelajaran.
Namun bagi siswa tersebut merasa puas karena ia tidak senang dengan mata pelajaran
matematika sebagai pekerjaan rumah. Guru menyuruhnya keluar tidak mengikuti pelajaran
matematika, ia merasa puas karena dapat memberikan reinforcement yang diharapkan.
Tingkah laku yang tidak tepat berbeda dengan yang tepat, hanya dalam derajat tingkah laku
itu mengecewakan individu dan lingkungannya. secara luas, kebudingayaan ikut menentukan
mana tingkah laku yang tepat dan tidak tepat.dari interaksi dengan kebudayaan impuls
individu belajar merangsang apa saja yang dapat memuaskan dan tidak dapat memuaskan diri
dan lingkungannya, dan menyususnnya dalam hirarki khasanah tingkah laku.
Tingkah laku manusia dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang
menyertai tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent yang disebut dengan
consequence.
1. Pembiasaan klasik, yang ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu
respon. Misalnya bayi merespon suara keras dengan takut.
2. Pembiasaan operan, ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak
respon. Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat
tingkah laku. Sebaliknya penguatan negatif bisa memperlemah tingkah laku.
Munculnya perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan
menghilang apabila dikenai hukuman.
3. Peniruan, yaitu orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki tingkah
laku melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:Tingkah laku yang
ditiru memang mampu untuk ditiru oleh individu yang bersangkutan dan tingkah laku
yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai publik positif.
Konseling Behavioral sebagai model konseling yang memiliki pendekatan yang berorientas
pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Perilaku
manusia termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan perilaku itu dapat
diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar yang dimaksud disini adalah
perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.
Teoritisi belajar berpendapat, tingkah laku yang tidak tepat dapat diterangkan dengan prinsip
yang sama dengan pola tingkah laku yang tidak tepat, karena pada dasarnya semua tingkah
laku adalah usaha individu untuk memodifikasi situasi sehingga dapat memberikan kepuasan
setiggi-tingginya.
Semua tingkah laku dibentuk melalui proses belajar, tetapi tidak peduli hasilnya nanti adaptif
dan maladaptif. Individu memantapkan pola tingkah lakunya karena dapat memperoleh
kepuasan-kepuasan. Ini yang akan menjadi salah satu kunci proses konseling behavioral,
yakni kemampuan konselor membantu klien menentukan kepuasan bagaimana yang bakal
diperolehnya dari suatu tingkah laku.
Berdasarkan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa tingkah laku yang tidak dapat diperoleh
dan dikembangkan oleh seseorang karena ia belajar dengan salah, sehingga tingkah lakunya
tidak tepat, kurang, dan berlebihan. Misalnya menyendiri, belajar hanya dengan waktu yang
paling minimal, merokok berlebihan, pobia, tidur berlebihan, ngeluyur, tidsk ksruan dan
sebagainya
Banyak tingkah laku yang menyimpang karena individu itu hanya mengambil sesuatu yang
disenangi, dan menghindari yang tidak disenangi. Psikoterapi melatih klien untuk dapat
bertingkah laku yang menurut pendapatnya tidak menyenangkan. Bila seorang klien datang
pada seorang psikoterapis bahwa ia mengalami suatu kecemasan. Salah satu cara untuk
menghindarkan kecemasan itu dengan memanipulasi stimulus sehingga menimbulkan respon
yang mendatangkan suatu ganjaran, maka terapis itu menolong klien mengurangi kecemasan.
Hal ini terjadi karena stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku
yang tidak dikehendaki (simtomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang tidak
menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku
yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi
antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Perilaku bermasalah adalah perilaku individu yang negative dan / atau perilaku yang tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan, perilaku yang tidak membawa kepuasaan bagi individu,
atau perilaku yang menyebabkan konflik antara individu dengan lingkungannya. Perilaku
bermasalah terjadi karena adanya salah suai dalam proses interaksi individu dengan
lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena proses belajar, terbentuk oleh peristiwa-
peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam
menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara
belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip
belajar.
Perilaku bermasalah juga dapat terbentuk karena modeling, perilaku mencontoh, baik berupa
pengamatan langsung (imitasi), atau secara tidak langsung (vicarious). Teori belajar dengan
mencontoh ini dapat dilakukan dengan modeling dan vicarious. Modeling merupakan proses
belajar individu dengan menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan oleh orang lain
sebagai model dengan melibatkan penambahan atau pengurangan tingkah laku yang diamati,
menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Vicarious
classical conditioning merupakan modeling yang digabung dengan conditioning classic.
Modeling ini digunakan untuk mempelajari respon emosional. Proses vicarious classical
conditioning ini dapat dilihat dari kemunculan respon emosional yang sama dalam diri
seseorang dan respon tersebut ditujukan ke obyek yang ada didekatnya saat dia mengamati
model ituAnak yang sering dihukum fisik, ditampar, dipukul, menyaksikan kedua
orangtuanya bertengkar, maka anak akan belajar dan mencontoh perilaku agresif tersebut.
Perilaku bermasalah dapat juga terjadi karena mencontoh adegan-adengan dalam games, TV,
atau film.
Perilaku bermasalah ini akan tetap atau berubah tergantung pada konsekuensi-konsekuensi
yang menyertai perilaku tersebut dalam lingkungan dimana individu berada. Seorang anak
yang membuat gaduh di kelas, akan terus berulah jika lingkungan, guru dan teman sekelas,
melakukan pembiaran, pujian atau bahkan dukungan (reinforcement), sebaliknya jika
lingkungan memberikan punishment (hukuman) maka perilaku tersebut akan berhenti.
Perubahan perilaku terjadi jika punishment dan reinforcement diberikan dengan tepat.
Punishment yang diberikan menjadi tidak efektif jika tidak mampu meredam kekuatan
reinforcement.
Perilaku bermasalah adalah perilaku individu yang negative dan / atau perilaku yang tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan, perilaku yang tidak membawa kepuasaan bagi individu,
atau perilaku yang menyebabkan konflik antara individu dengan lingkungannya.
Perilaku bermasalah terjadi karena adanya salah suai dalam proses interaksi individu dengan
lingkungannya. Perilaku bermasalah terjadi karena proses belajar, terbentuk oleh peristiwa-
peristiwa yang terjadi sebelumnya. Perilaku akan terbentuk dan dipertahankan jika diberi
ganjaran. Sebaliknya perilaku akan berkurang dan hilang jika diberi hukuman.
Secara general menurut Skinner bahwa pribadi manusia dapat mempengaruhi tingkah
lakunya melalui manipulasi lingkungan. Asumsi yang mendasari pendekatan behavioral ini
adalah bahwa karena individu yang terganggu oleh berbagai masalah spesifik maka
dibutuhkan banyak strategi untuk menghasilkan perubahan
Konseling behavioral berasusmsi bahwa perilaku yang salah akibat dari pembelajaran dan
pendidikan yang salah, baik sebagai akibat dari pengaruh lingkungan maupun aspek sosial
lainya. Sebagai contoh, ketika menangani anak yang senang minum-minuman keras, maka
yang akan dilakukan adalah memberikan terapi yang realistis dengan permasalahan yang ada.
Seperti memberikan tahap-tahap dalam mengatasi kecenderungan minuman keras, disamping
itu dengan merubah kebiasaan yang dari klien.
Dari penjelasan mengenai asumsi perilaku bermasalah yang telah di jelaskan tersebut dapat
disimpulkan bahwa
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau
tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan
lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang
salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif
dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman
dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku
tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belaj
3. Tujuan Konseling
Tujuan konseling behavioral adalah membantu klien untuk mendapatkan tingkah laku baru.
Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk
tingkah laku maladaptive (salah usai). Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa
unlearned (dihapus dari ingatan)Konseling behavioral pada hakikatnya terdiri atas proses
penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar
yang didalamnya respon-respon yang layak yang belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Dari tujuan diatas dapat dibagi menjadi beberapa sub tujuan yang lebih konkrit yaitu:
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri
sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial,
memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self
management dan self control. (Sutarno, 2003 : 8) Sehingga tujuan dari konseling behavioral
adalah membentuk perilaku baru yang adaptif melalui proses belajar dan lingkungan.
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang
diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil
belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentukan tingkah laku. Adapun karakteristik konseling behavioral menurut Corey (1997)
dan George dan Cristiani (1990) adalah :
Berdasarkan karakteristik ini dapat dipahami bahwa tujuan dari terapi tingkah laku dalam
konseling adalah :
Ada tiga fungsi tujuan konseling behavioral, yaitu : (1) sebagai refleksi masalah klien dan
dengan demikian sebagai arah bagi proses konseling, (2) sebagai dasar pemilihan dan
penggunaan strategi konseling, dan (3) sebagai kerangka untuk menilai konseling.
Secara operasional tujuan konseling behavioral dirumuskan dalam bentuk dan istilah-istilah
yang khusus, melalui : (1) definisi masalah, (2) sejarah perkembangan klien, untuk
mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan
interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya, (3) merumuskan tujuan-tujuan
khusus, (4) menentukan metode untuk mencapai perubahan tingkah laku.
Sedangkan tujuan konseling menurut Krumboltz harus memperhatikan criteria berikut : (1)
tujuan harus diinginkan oleh klien , (2) konselor harus berkeinginan untuk membantu klien
mencapai tujuan dan (3) tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dinilai pencapaiannya
oleh klien .
Tujuan konseling dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu (1) memperbaiki perilaku salah
sesui, (2) belajar tentang proses pembuatan keputusan, dan (3) Pencegahan timbulnya
masalah-masalah.
Adapun tujuan dari pembahasan tentang teknik konseling behavioral ini adalah :
Menurut Corey (1986, 178) ada tiga tujuan dalam konseling behavioral yaitu (1) sebagai
refleksi masalah klien dan dengan demi dan sebagai arah bagi konseling , (2) sebagai dasar
pemilihan dan penggunaan strategi konseling , dan (3) sebagai kerangka untuk menilai hasil
konseling. Urutan pemilihan dan penetapan tujuan yang digambarkan oleh Cormier and
Cormier (Corey, 1986,178) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor dengan
klien , adalah sebagi berikut :
Bila pemilihan tujuan di atas dapat diselesaikan, maka proses penentuan tujuan dimiliki.
Proses ini mencakup usaha bersama dimana konselor dan klien membahas tingkah laku yang
dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut, kondisi-kondisi perubahan, tingkat perubahan
tingkah laku, hakikat sub-sub tujuan dan rencana tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Setelah tujuan ditetapkan dan ditentukan, tugas terapis adalah untuk memilih strategi
terapeutik yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dalam poin itulah klien
dan terapis melakukan kesepakatan terapeutik. Gotman dan Laiblum (1973) menyatakan
bahwa kesepakatan/persetujuan tertulis dan ditandatangani dapat digunakan untuk
menegaskan kesepakatan tujuan dan aturan-aturan prosedural treatment. Dalam pandangan
mereka, ada implikasi penting dari memiliki kesepakatan seperti :
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli,
yang di antaranya :
Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus
memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan
pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para
kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, ahli dalam
mendiagnosis tingkahlaku yang maladatif dan dalam menentukan prosedur-prosedur
penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Hakikatnya fungsi dan peranan konselor terhadap konseli dalam teori behavioral ini
adalah :
Perubahan dalam perilaku itu harus di usahakan melalui suatu proses belajar atau
belajar kembali, yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu ,proses konseling
di pandang sebagai suatu proses pendidikan yang berpusat pada usaha membantu dan
kesediaan di bantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai
macam permasalah. Perhatian di fokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat di amati
,yang selam aproses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya
menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat di saksikan dengan jelas. Semua usaha
untuk mendatangkan perubahan dalam tingkah laku di dasar kanpadateori belajar yang di
kenal dengan nama Behaviorism dan sudah di kembangkan sebelum lahirnya aliran
Behavioral dalam konseling. Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam
membantu konseling. Wol pemengemukakan peran yang harus di lakukan konselor, yaitu
bersikap menerima, mencoba memahami konseli dan apa yang di kemukakantan pamenilai
atau mengkritiknya. Dalam hal menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting untuk
mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan sebagai guru yang
membantu konseli melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah,
tujuan yang hendak dicapai
Terapi behavior memiliki prosedur kerja yang jelas, sehingga konselor dan konseli
memiliki peran yang jelas. Ini berarti untuk mencapai tujuan terapi sangat dibutuhkan
kerjasama yang baik antara konselor dan konseli. Adapun sikap, peran dan tugas konseli
dalam proses terapi ialah meliputi :
Memiliki motivasi untuk berubah
Kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapi, baik selama sesi terapi maupun
dalam kehidupan sehari-hari
Klien terlibat dalam latihan perilaku baru dan umumnya menerima pekerjaan rumah
yang aktif (seperti self-monitoring perilaku bermasalah) untuk menyelesaikan antara
sesi terapi.
Terus menerapkan perilaku baru setelah pengobatan resmi telah berakhir.
Peran Konselor
Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral bersikap aktif dalam
proses konseling. Konseli belajar menghilangkan atau belajar kembali bertingkah laku
tertentu. Dalam proses ini, konselor berfungsi sebagai konsultan, guru, pemberi dukungan
dan fasilitator. Ia bisa juga memberi instruksi atau mensupervisi orang-orang pendukung
yang ada di lingkungan konseli yang membantu dalam proses perubahan tersebut. Konselor
behavioral yang efektif beroperasi dengan perspektif yang luas dan terlibat dengan konseli
dalam setiap fase konseling (Gladding, 2004).
Sikap yang dimiliki oleh konselor behavior ialah menerima, dan mencoba memahami
apa yang dikemukakan konseli tanpa menilai atau mengkritiknya. Dalam proses terapi,
konselor berperan sebagai guru atau mentor. Tugas utama terapis adalah untuk melakukan
tindak lanjut penilaian untuk melihat apakah perubahan yang tahan lama dari waktu ke waktu
Fungsi dan tugas konselor juga dijelaskan untuk mengaplikasikan prinsip dari
mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif dengan
perilaku yang lebih adaptif. Kemudian menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli,
dengan membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif
sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang
dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum.
Lebih rincinya peranan seorang konselor dalam proses konseling kelompok ini, antara
lain adalah :
1. Konselor berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku
yang ditunjukan oleh konseli.
2. Konselor harus menerima dan memahami konseli tanpa mengadili atau mengkritik.
3. Konselor juga harus dapat membuat suasana yang hangat, empatik dan memberikan
kebebasan bagi konseli untuk mengekspresikan diri.
4. Memberikan informasi dan menjelaskan proses yang dibutuhkan anggota untuk
melakukan perubahan.
5. Konselor harus memberikan reinforcement.
6. Mendorong konseli untuk mentransfer tingkah lakunya dalam kehidupan nyata.
Peran Konseli
Adapun peranan atau hak seorang konseli dalam proses konseling kelompok
behavioral, antara lain adalah :
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan
agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan masalah-masalah
konseli sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur
konseling behavioral sangat terdefinisikan, juga demikian pula peranan yang jelas dari
konselor dan konseli.
Konseli harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, ia harus memiliki motivasi
untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling, baik ketika
berlangsung konseling maupun diluar konseling.Dalam hubungan konselor dengan konseli
ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu :
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling behavioral
adalah :
Latihan asertif merupakan latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain
yang menimbulkan kecemasan. Klien yang menunjukkan rasa cemas, diberi tahu bahwa
dirinya mempunyai hak untuk mempertahankan diri.Ia silatih untuk memelihara harga dirinya
dengan berulang kali diberi latihan mempertahankan diri. Lathian seperti ini memungkinkan
klien dapat mengendalikan lingkungannya. Apabila rangsangan dari lingkungan tersebut
terlalu kuat sehingga berat untuk mengendalikannya dapat dilakukan dengan desensitisasi.
Menurut Corey, (2011:213) latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan
berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya (3) memiliki kesulitan
untuk mengatakan “tidak” (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan
respons-repons positif lainnya (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan
dan pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Suatu masalah yang khas
yang bisa dikemukakan sebagai contoh adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya
di kantor. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan
tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam
mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi
interpersonal.Fokusnya adalah memprakterkan melalui permainan peran, kecakapan-
kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehinggal individu-individu diharapkan mampu
mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran mereka secara lebih luas dan terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak
untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka. (Corey, 2010: 215)
Sehingga dapat disimpulkan untuk latihan asertif ini lebih membentuk tingkah laku baru
dalam menghadapi hubungan dengan orang lain dan menghapus tingkah laku yang lama yang
memuat klien merasa cemas.
Contohnya, seorang siswa yang takut kalau dimarahi gurunya, pertama-tama klien
memainkan peran sebagai gurunya dan konselor sebagai siswanya, lalu konselor meniru cara
siswa dalam berpikir dan cara menghadapi gurunya. Lalu antara keduanya saling bertukar
peran, konselor sebagai gurunya dengan arahan klien untuk menunjukkan peran guru secara
realistis, sambil konselor melatih dan mengarahkan klien dalam menghadapi gurunya. Maka
secara perlahan akan terbentuk tingkah laku baru pada diri klien.
1. Desensitisasi sistematis
Latihan rileks ini bisa dilakukan dalam lima atau enam sesi. Apabila klien telah
mampu melakukan rileks, klien dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang
mencemaskan.Dalam hal ini, klien diminta secara bertahap membayangkan stimulus mulai
dari yang paling kurang menemaskan hingga yang paling mencemaskan; klien dilatih untuk
tetap rileks disaat mengahadapi stimulus yang mencemaskan itu. Demikian seterusnya hingga
ia dapat membayangkan stimulus itu tanpa adanya kecemasan lagi. Jadi, dengan teknik ini
dimaksudkan agar klien dapat mengganti perasaan cemas terhadap stimulus tertentu dengan
perasaan rileks terhadap stimulus tertentu.
Menurut Gerald Corey dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi hlm 210 bahwa
Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi keliru
apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan.
Desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-
ketakutan yang digeneralisasi.
Sehingga dapat disimpulkan teknik desentisisasi sistemik ini lebih membantu klien
dalam terapi penyembuhan kecemasan dalam diri klien yang lebih disebabkan oleh fobia-
fobia maupun ketakutan klien dengan mengajak klien untuk rileks membayangkan hal-hal
yang membuat takut dari hal yang paling mengerikan sampai hal yang kurang mengerikan.
Contohnya, klien fobia dengan balon, selalu ketakutan kalau melihat balon, lalu klien
diajak rileks membayangkan bentuk balon, kecemasan ditingkatkan yaitu dengan klien diajak
melihat balon dari kejauhan, ditingkatkan lagi dengan mengajak klien memegang balon disini
kecemasan klien meningkat tajam sampai akhirnya klien diajak untuk meletuskan balon
disini tingkat kecemasan klien sampai pada puncaknya dengan memberikan klien stimulus
yang berupa motivasi, musik atau air minum.
1. Pengkondisian Aversi
Hal ini dilakukan dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan)
sehingga perilaku yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang
tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya
perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk
asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Contoh, untuk menyembuhkan pria homoseks. Kepada pria homoseks diperlihatkan foto pria
telanjang sambil mengalitkan setrum listrik pada kakinya yang tidak beralas.Dalam terapi ini,
setiap kali kepada klien diperlihatkan stimulus yang disenangi (foto pria telanjang) diikuti
dengan rasa sakit akibat di setrum listrik.Begitu terus setiap melihat foto pria telanjang selalu
dibarengi rasa sakit dan lama kelamaan tidak tertarik lagi pada pria.
Teknik- teknik pengkondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa hukuman
dengan kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali aversi bisa
melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik
kepada anak autistik ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul. Butir yang
penting adalah bahwa prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan
respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk
memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya
(Corey, 2010:216-217)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku baru
yang lebih spesifik yang adaptif dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku yang sesuai
aturan.
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat
tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien
tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau
lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku
yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian
sebagai ganjaran sosial.
Tema : Phobia
Ritme Cerita
1. Attending
duduk.
1. Opening
1. Acceptance
Konseli :Hmm… gini bu, saya itu pobia dengan ulat, dan pobia
itu sangat mengganggu saya.
1. Restatement
Konseli :Saya benar-benar merasa takut terhadap ulat bu. Yang hal tersebut
membuat saya sering dibully.
1. Reflection of feeling
Konseli : Bu.. saya sudah berusaha mencoba agar tidak takut terhadap
ulat tapi tetap saja.
1. Clarification
Konselor : Dengan kata lain, anda takut karena pernah kejatuhan ulat.
1. Paraphrashing
Konseli : Hal ini membuat saya merasa takut dan trauma yang
berkepanjangan.
1. Structuring
Konseli : Bu. Saya sulit sekali untuk menghilangkan pobia ini, karena
pobia ini saya sering di bully oleh teman-teman, jadinya saya
terganggu.
Konselor : Coba anda tutup mata, bayangkan di depan anda ada sebuah
ulat. Kemudian katakan dalam hati “Saya tidak takut ulat”
berkali-kali (beberapa menit).
Konselor :Kalau begitu, ini ada sebuah gambar. Coba anda lihat gambar
ini (sambil menunjukkan gambar ulat yang sebelumnya sudah
di browsing).
Konseli : (Histeris)
Konselor : Bagaimana mba sofah apakah ingin berhenti sampai sini saja
atau di lanjut dilain hari?
Konseli : Saya rasa cukup untuk hari ini dan diganti dilain hari saja
bagaimana bu?
Hari kedua
Konseli : Silahkan bu
Konselor : (menyodorkan mainan ulat kepada konseli) coba anda sentuh
ulat ini
BAB III
PENUTUP
1. Saran
Demikianlah makalah yang sederhana yang telah tersusun jika masih ada banyak kekurangan
di sana sini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini.
2. Simpulan
Sejarah konseling behavioral bermula pada Ivan Sechenov (1829-1905), bapak psikologi
Rusia. Struktur hipotetiknya, dikembangkan sekitar 1863.
Konseling Behavioral pada mulanya disebut dengan Terapi Perilaku yang berasal dari
dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F. Skinner. Mula-
mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk menanggulangi (treatment) neurosis.
Tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-
Respon (S-R) sedapat mungkin.
Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat diartikan
sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku
Dalam konsep behavioral, perilaku merupakan hasil belajar, sehinga dapat diubah
dengan manupulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling
merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu
memngubah perilakunya agar dapat memecahkan masalah.
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau
tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan
lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan
yang salah.
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri
sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial,
memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self
management dan self control. Sehingga tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk
perilaku baru yang adaptif melalui proses belajar dan lingkungan.
Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan pengetahuan
ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para kliennya. Terapis
tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis
tingkahlaku yang maladatif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang
diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling behavioral
adalah :