SYOK SEPTIK
1
Sindrom sepsis terjadi sepanjang suatu kontinuum penyakit yang termasuk
sepsis berat dan syok sepsis, berdasarkan terjadinya disfungsi organ terkait sepsis.
Sindrom disfungsi organ multipel merupakan sumber utama morbiditas dan
mortalitas pasien yang dirawat pada unit intensif dan timbul pada sekitar 15%
pasien yang dirawat intensif. Beberapa telah berspekulasi bahwa kondisi medis
komorbid seperti kanker, HIV, diabetes dan penyalahgunaan alkohol dapat
mempunyai efek terhadap progresivitas penyakit sepsis. Telah ditemukan bahwa
komorbiditas mempengaruhi risiko dan hasil akhir sepsis, dan komorbid kumulatif
dikaitkan dengan insidens disfungsi organ yang meningkat. Evolusi disfungsi
organ pada proses sepsis dapat memberikan informasi kritis mengenai respons
pejamu, patofisiologi dan aplikasi optimal untuk terapi spesifik. Oleh karena
disfungsi organ bertanggung jawab untuk morbiditas dan mortalitas sepsis, makan
pengenalan awal sangat penting dalam tatalaksana.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Syok septik merupakan keadaan sepsis yang memburuk, awalnya
didahului oleh suatu infeksi. Definisi systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) adalah suatu respon peradangan terhadap adanya infeksi
bakteri, fungi, ricketsia, virus, dan protozoa. Respon peradangan ini timbul
ketika sistem pertahanan tubuh tidak cukup mengenali atau menghilangkan
infeksi tersebut. Sepsis adalah SIRS yang disertai adanya bukti infeksi.1
Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan salah satu disfungsi
organ kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome, atau ≥2
disfungsi organ lain (hematologi, renal, hepatik). Syok septik adalah sepsis
berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi yang menetap selama
1 jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. Literatur
lain menyebutkan syok septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah diberikan cairan isotonik
bolus intravena > 40 ml/kgbb selama 1 jam.2
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti
atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC
atau <36oC); takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan
alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau
penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi
virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain
untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis
tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh,
termasuk organ-organ.1
Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan salah satu disfungsi
organ kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome, atau ≥2
3
disfungsi organ lain (hematologi, renal, hepatik). Syok septik adalah sepsis
berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi yang menetap selama
1 jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. Literatur
lain menyebutkan syok septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular, yang masih berlangsung setelah diberikan cairan isotonik
bolus intravena > 40 ml/kgbb selama 1 jam.2
B. ETIOLOGI
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.3
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat
hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif
atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme
campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal,
atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah
infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh
kultur.3
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
4
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus
atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.3
C. EPIDEMIOLOGI
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.
Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat
dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk
penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali
lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per
100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat.4
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika
Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari
semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah
sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien
rawat inap tersebut.4
D. PATOGENESIS
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan
dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi.
Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh
kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat yang berjauhan
5
dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi
dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab
infeksi.5
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan
perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen
membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,
endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic,
peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.5
6
downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-
activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel,
yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini
menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.
Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut
melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi
melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian
memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang
ekstravaskular yang terinfeksi yang mengarah ke syok septik. 5
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit,
dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO
tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat
mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi
merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang
dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.5
Efek NO lainnya adalah vasodilatasi vaskuler. Stimulasi endotel akan
memicu ekspresi molekul adhesi, seperti e-selectin, intracellular adhesion
molecules (ICAM) dan vascular adhesion molecules (VCAM). Molekul
adhesi penting untuk mengarahkan sel inflamasi ke lokasi infeksi. Stimulasi
sistem koagulasi meningkatkan ekspresi tissue factor (TF), menurunkan
ekspresi thrombomodulin dan meningkatkan ekspresi plasminogen activator
inhibitor (PAI) yang pada akhirnya akan mengakibatkan kondisi
prokoagulasi dan antifibrinolitik. Kondisi ini penting untuk proses
remodeling setelah proses inflamasi reda. Ketika sistem imun tidak efektif
dalam membunuh dan eliminasi antigen, proses inflamasi menjadi tidak
terkendali dan terjadilah kegagalan sirkulasi, trombosis multipel dan
disfungsi organ multipel.5 Hal ini menyebabkan bervariasinya gambaran
klinis sepsis dari ringan sampai berat dengan disertai syok dan disfungsi
organ multipel.
7
Berbeda dengan syok septik pada dewasa yang disebabkan oleh
paralisis vasomotor, pada anak lebih sering dijumpai hipovolemia berat.
Pemberian cairan resusitasi secara agresif umumnya dapat ditoleransi
dengan baik. Pada anak, kematian akibat sepsis lebih sering disebabkan oleh
penurunan curah jantung bukan penurunan resistensi vaskular sistemik
seperti pada pasien dewasa. Pada anak, upaya mempertahankan indeks
jantung antara 3,3 sampai 6 L/menit/m2 berkorelasi dengan menurunnya
mortalitas. Penelitian Ceneviva dkk. menunjukkan bahwa pada syok septik
anak yang resisten terhadap cairan, 58% mengalami penurunan curah
jantung dan peningkatan resistensi vaskuler sistemik, sedangkan 22 %
lainnya mengalami penurunan curah jantung dan penurunan resistensi
vaskuler sistemik. Syok persisten dijumpai pada 33% kasus, sebagian besar
dengan penurunan fungsi jantung.
E. KLASIFIKASI
Vasokonstriksi adalah suatu respon normal terhadap keadaan tekanan
arteri sangat rendah untuk memenuhi perfusi jaringan, seperti pada syok
hemoragik akut atau syok kardiogenik. Pada syok septik, seringkali
hipotensi yang timbul adalah akibat kegagalan dari otot-otot halus pembuluh
darah berkonstriksi.6
Syok septik merupakan kombinasi dari tiga tipe klasik syok yaitu:
hipovolemik, kardiogenik, dan distributif.4 Syok hipovolemik terjadi akibat
kehilangan cairan intravascular melalui kebocoran kapiler, syok kardiogenik
terjadi karena efek depresan miokardium akibat sepsis, dan syok distributif
diakibatkan oleh menurunnya tahanan vaskular sistemik. Syok septik adalah
bentuk dari syok distributif yang ditandai oleh vasodilatasi dari pembuluh
darah arteri dan vena.24 Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm
Shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang
meningkat, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse dan cold
8
shock ditandai oleh curah jantung yang menurun, kulit lembab dan dingin,
serta nadi yang lemah.
9
bayi dengan keadaan critically ill adalah HR < 90 x/menit atau >
160x/menit. Syok septik harus dicurigai pada bayi baru lahir yang
mengalami takikardi, respiratory distress, malas menetek, tonus buruk,
sianosis, takipnea, diare, atau penurunan perfusi, khususnya dengan adanya
riwayat ibu dengan korioamnionitis atau ketuban pecah lama.6
Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan pada pasien syok
septik, meliputi pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan elektrolit, serta
mencari sumber infeksi dengan pemeriksaan rontgen toraks. Pemeriksaan
kultur dari darah dan urin juga dilakukan, pungsi lumbal untuk kultur cairan
serebrospinal (CSF), dan kultur yang secara klinis diperlukan atau sesuai
indikasi dapat membantu menegakan diagnosis. Petanda biologis sebagai
suatu respon terhadap infeksi yang meningkat salah satunya adalah C-
reactive protein (CRP) yang membutuhkan waktu 12-24 jam untuk
mencapai kadar dalam darah yang dapat di ukur.6
H. TATALAKSANA
Tujuan penanganan syok adalah untuk menjaga tekanan perfusi.
Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa penanganan syok early
goal-directed resuscitation dapat meningkatkan angka harapan hidup
penderita syok septik. Penggunaan ekspansi volume dan agen inotropik
diperlukan untuk mencapai perfusi renal dan jaringan yang adekuat. Pada
tahap awal digunakan penggunaan volume ekpansi cairan, berikutnya
digunakan agen inotropik. Dopamin dan dobutamin merupakan obat-obatan
inotropik yang digunakan untuk mengatasi syok pada neonatus. Penggunaan
kortikosteroid diberikan jika ekspansi volume dan agen inotropik tidak
dapat mengatasi syok. Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis masih
kontroversial. Suatu penelitian menunjukkan penggunaan dosis tunggal
dapat dilakukan pada hipotensi refrakter tanpa menyebabkan reaksi simpang
pada neonatus, tetapi berdasarkan tinjauan penelitian lain menyebutkan
10
tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung pemberian rutin steroid pada
hipotensi neonatus.
Terapi antibiotik empiris diberikan setelah pengambilan spesimen
untuk kultur, yang dianjurkan adalah antibiotik broad spectrum, seperti
ampisilin intravena dan gentamisin. Vankomisin dapat diberikan
menggantikan ampisilin, jika diduga adanya infeksi stafilokokus (sering
pada neonatus yang berusia lebih dari 3 hari dengan monitoring invasif
menggunakan kateter atau chest tube). Beberapa institusi menganjurkan
penggunaan sefotaksim, terutama jika terdapat infeksi sistem saraf pusat,
penggunaan vankomisin menggantikan gentamisin untuk mencegah
nefrotoksisitas. Dipertimbangkan penggunaan ini terutama pada kuman
gram negative yang spesifik dan jika terdapat resistensi.
Pemberian intravena imunoglobulin (IVIG), penggunaannya masih
kontroversial. Pada beberapa tinjauan terkini ditemukan bahwa
penggunaannya dapat menurunkan mortalitas sepsis sebesar 3%.2,1 IVIG
diketahui dapat membatasi kerusakan jaringan yang dicetuskan oleh aktivasi
faktor komplemen dan merubah komplek imun inflammatory
potentialoluble. Beberapa institusi memberikan dosis tunggal IVIG pada
neonatus, seperti Veronate (antistafilokokus IVIG spesifik), tetapi
pemberiannya tidak terbukti efektif sehingga hal ini memerlukan evaluasi
lebih lanjut.
1. Terapi Antimikrobial Dini
Hubungan antara terapi antimikrobial yang tepat waktu dan sesuai
dengan perbaikan morbiditas dan mortalitas telah banyak dibuktikan
dalam keadaan rawat intensif. Penelitian observasional menunjukkan
adanya penurunan mortalitas signifikan pada saat antibiotika diberikan
dalam waktu 4 sampai 8 jam pertama (p<0,01). Rekomendasi Surviving
Sepsis Campaign terkini adalah untuk memberikan antibiotika dalam
waktu 1 jam setelah terjadi diagnosis sepsis. Strategi antibiotika spesifik
tidak akan dibahas dalam artikel ini dan ulasan mengenai strategi
11
antibiotika dapat ditemukan disumber lainnya. Meskipun demikian,
direkomendasikan untuk pemberian antibiotika spektrum luas pada
awalnya yang disesuaikan dengan sumber infeksi potensial dan menurut
pola sensitivitas dan resistensi lokal rumah sakit. Konsultasi bedah
untuk pengendalian sumber layak dilakukan apabila pasien mempunyai
abses yang tidak dapat didrainase atau sumber sepsis intraabdominal.
Pertimbangan juga harus diberikan pada kemungkinan organisme
resisten pada saat pasien tinggal di dalam rumah jompo atau para
pengguna obat-obatan intravena.
2. Optimalisasi Hemodinamik Dini
Strategi resusitasi untuk kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis
telah diteliti secara intensif dan menjalani perdebatan bertahun-tahun.
Penelitian melibatkan strategi yang ditujukan untuk mencapai target
fisiologik supranormal pada pasien ICU sampai 72 jam rawat inap,
menunjukkan hasil negatif dan bahkan berbahaya untuk pasien. Meta-
analisis untuk penelitian resusitasi sepsis telah mengindikasikan bahwa
intervensi dini, yang timbul sebelum terjadinya disfungsi organ
memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien
gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk
membandingkan resusitasi hemodinamik sampai parameter fisiologik
dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early goal directed
therapy) menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara
statistik (16,5%).
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi
(gambar 10) yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan
antara sediaan dan kebutuhan oksigen pada kasus-kasus sepsis berat
atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat gawat darurat. Strategi ini
mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat dengan optimalisasi
volume intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan vena
sentral (CVP – central venous pressure), tekanan darah (afterload)
12
dengan pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure –
MAP), kontraktilitas dengan pemantauan untuk menghindari takikardia
dan pemulihan keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan
kebutuhan oksigen (dipandu dengan pengukuran SCVO2) untuk
mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-komponen EGDT
diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care
Medicine untuk dukungan hemodinamik pada sepsis.
3. Pemantauan Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan
vena sentral (CVP), tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan
tekanan intra-arterial direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien
dengan obat-obatan vasopresor, namun dengan catatan bahwa obat-
obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan arterial sentral terlihat
lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat diukur secara
intermiten dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal
kateter vena sentral standar atau secara kontinyu dengan menggunakan
kateter vena sentral serat optik. Meskipun pada tangan ahli arteri
pulmonar tetap merupakan tempat pengukuran yang efektif, bukti
keuntungan kesintasan dari penggunaannya masih harus dibuktikan.
4. Terapi Volume
Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume
intravaskular pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan
bolus 500 cc secara cepat dan berulang baik cairan kristaloid ataupun
koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-40 cc/kgBB,
sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa saat yang lalu
tidak ada penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti
menunjukkan adanya keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid
pada pasien kritis. Namun demikian, suatu studi acak terkontrol besar
yang membandingkan antara 4% albumin dengan normal salin pada
6997 pasien sakit kritis heterogen dan membutuhkan resusitasi volume
13
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam mortalitas antar
kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan sepsis
berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada
kelompok yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus
dipandang sebagai sarana pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan
konfirmasi dengan penelitian acak terkontrol pada pasien sepsis.
5. Obat-obatan Vasoaktif
Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila
pasien tetap hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target
tekanan arterial rerata 65mmHg telah ditunjukkan secara fisiologis
ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-obatan vasopresor
termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40-300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04
unit/menit). Baik noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai
obat-obatan vasopresor lini pertama pada kasus-kasus sepsis. Oleh
karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh vasopresor β-agonis, obat-
obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti noradrenalin dan
penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau
penyakit koroner mendasar.
Pada saat hipotensi tetap terjadi pada pasien yang telah
mendapatkan obat-obatan vasopresor, kekurangan vasopresin dapat
dipertimbangkan; vasopresin sendiri merupakan hormon yang
diproduksi endogen dan sering mengalami kekurangan pada pasien
dengan syok sepsis. Pemberian vasopresin eksogen dalam dosis
penggantian fisiologik (0,01-0,04 unit/menit) dapat beraksi sinergistik
dengan obat vasopresor lainnya dan telah dikaitkan dengan penarikan
dini obat-obatan katekolamin lainnya. Dosis terapi saat ini dengan 0,01-
0,04 unit/menit dimaksudkan untuk merefleksikan dosis penggantian
fisiologik. Dosis tinggi 0,06-1,8 unit/menit (sebagaimana digunakan
terdahulu) tidak di rekomendasikan pada konteks syok sepsis oleh
14
karena adanya efek samping.
16
kerjanya untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan resistensi
tekanan vaskular perifer. Seiring dengan respons komplians dan
kontraktilitas ventrikel, CVP akan turun seiring dengan perbaikan
volume pompa. Penggantian cairan lebih lanjut diperlukan untuk
mempertahankan tekanan CVP 8-12 mmHg. Dobutamin kemudian
dititrasi dengan peningkatan 2,5μg/kg/menit setiap 20-30 menit untuk
mencapai pengukuran SCVO2 70%. Klinisi harus berhati-hati untuk
menghindari takikardia (dengan mempertahankan laju jantung <100
kali/menit) untuk mengoptimalkan volume pompa dan meminimalisasi
konsumsi oksigen miokardial.
Milrinon, suatu penghambat fosfodiesterase, dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif untuk meningkatkan keluaran
jantung. Sebagaimana dobutamin, obat ini adalah inotropik yang juga
menurunkan tekanan vaskular perifer. Meskipun demikian, waktu
paruhnya (2,4 jam) lebih panjang dibandingkan dobutamin dan
mengalami akumulasi pada gagal ginjal.
8. Menurunkan Konsumsi Oksigen
Pada pasien sepsis berat, hantaran oksigen maksimal mungkin
tidak dapat secara adekuat mengembalikan keseimbangan antara
sediaan dan permintaan. Strategi untuk meminimalkan permintaan
oksigen harus dipertimbangkan. Intubasi, sedasi dan analgesia dengan
ventilasi mekanis akan menurunkan baik kerja pernapasan dan
konsumsi oksigen oleh otot-otot pernapasan. Pengendalian demam
dengan antipiretik seperti asetaminofen juga akan membantu
menurunkan konsumsi oksigen.
9. Strategi Tambahan
Beberapa terapi tambahan yang dapat dilakukan pada 24 jam
pertama setelah identifikasi sepsis berat dan syok sepsis, baru-baru ini
telah didemonstrasikan memberikan keuntungan mortalitas.
Implementasi awal terapi ini dapat memperbaiki kesintasan pasien, oleh
17
karena mereka dapat menunda beberapa jam bahkan sampai harian
untuk transfer ke ICU.
10. Terapi Steroid
Pada respons neurohumoral terhadap syok sepsis, banyak pasien
menunjukkan cadangan adrenal inadekuat, atau adanya insufisiensi
adrenal relatif (RAI-relative adrenal insufficiency). Mekanisme RAI
kompleks dan belum dipahami secara sempurna, namun nampaknya
disebabkan sebagian oleh kaskade inflamasi yang menyebabkan
pelepasan atau respons inadekuat terhadap adrenokortikotropin,
dikombinasikan dengan resistensi steroid perifer pada tingkatan
reseptor. RAI harus dipertimbangkan secara klinis berbeda dengan
insufisiensi adrenal absolut, oleh karena RAI biasanya hilang seiring
dengan perbaikan syok sepsis. Pasien dengan RAI olehkarenanya tidak
memerlukan terapi penggantian steroid setelah perbaikan syok.
Dibandingkan dengan plasebo, pemberian hidrokortison dosis
rendah pada pasien dengan syok sepsis menurunkan kebutuhan mereka
akan vasopresor dan menurunkan laju mortalitas. Pada suatu penelitian
acak terkontrol multicentre yang menunjukkan adanya keuntungan
mortalitas, kortikosteroid (hidrokortison 50 mg intravena setiap 6 jam
dan fludrokortison 50μg per oral sekali sehari) dimulai dalam 8 jam
setelah diagnosis syok sepsis dan dilanjutkan selama 7 hari. Terdapat
penurunan 10% dalam mortalitas 28 hari pada kelompok yang
menerima hidrokortison dan fludrokortison serta didiagnosis dengan
RAI pada randomisasi. RAI didiagnosis apabila peningkatan kortisol
serum pasien setelah menerima 250 μg adrenokortikotropin hanya 250
nmol/L (9 μg/dL) atau kurang. Meskipun demikian studi ini tidak dapat
menentukan apakah pemberian kortikosteroid aman dan efektif untuk
kelompok pasien yang tidak mempunyai RAI berdasarkan definisi yang
ditentukan oleh studi tersebut.
18
Oleh karena nilai batasan untuk keuntungan masih dipertanyakan,
keputusan dikembalikan kepada klinis yang merawat untuk
memutuskan apakah tes stimulasi adrenokortikotropin akan dilakukan
untuk membantu keputusan klinis. Oleh karena dexametason tidak
mempengaruhi hasil tes adrenokortikotropin, maka pemberian terapi
empirik dengan 2mg steroid ini dapat diberikan dan tes dilakukan pada
saat yang lebih memungkinkan.
11. Protein C Teraktivasi
Protein C merupakan antikoagulan endogen yang juga memiliki
efek profibrinolitik, anti-inflamatorik, anti-apoptosis dan dapat
memperbaiki aliran mikrosirkulasi. Studi PROWESS (the Recombinant
Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis),
suatu penelitian multicentre acak terkendali, menunjukkan bahwa
pemberian r-APC (juga dikenal sebagai drotecogin alfa activated atau
Xigris) menurunkan mortalitas sepsis berat atau syok sepsis sebesar 6%
dibandingkan dengan plasebo. Analisis subgrup juga menunjukkan
bahwa kesintasan dengan r-APC meningkat pada pasien dengan skor
APACHE II 25 atau lebih tinggi dan juga mempunyai disfungsi 2 organ
atau lebih. Pemberian r-APC juga dikaitkan dengan kecenderungan
risiko perdarahan (3,5% vs. 2,0%; p=0,06). Pada studi PROWESS, r-
APC dimulai dalam waktu 24 jam setelah kriteria sepsis berat dipenuhi.
12. Strategi Perlindungan Paru
Data-data eksperimental telah menunjukkan bahwa ventilasi
mekanis dengan volume tidal besar dapat menarik jaringan paru
sampai berlebihan (trauma volume), mengeksakserbasi respons
inflamatorik dan menyebabkan trauma paru akut. Suatu studi
multicentre acak terkendali yang melibatkan pasien dengan trauma
paru akut dan sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
mengevaluasi efek volume tidal rendah (6 cc/kgBB) dibandingkan
dengan strategi volume konservatif (12 cc/KgBB) menunjukkan bahwa
19
tekanan plateau dipertahankan <30 cmH2O dan adanya penurunan
kematian 28 hari absolut sebesar 9,9% pada pasien dengan volume
tidal rendah. Oleh karena sepsis merupakan penyebab ARDS tersering,
maka penting untuk memberikan ventilasi dengan volume tidal rendah
pada saat kerusakan paru atau ARDS terjadi.
13. Kendali Glikemik Ketat
Strategi terapetik lain yang telah ditemukan memberikan
keuntungan mortalitas pada pasien sakit kritis dan terutama pada
pasien kardiotorasik pasca bedah adalah kendali glikemik ketat. Pada
saat kendali glikemik konservatif (10,0-11,1 mmol/L) dibandingkan
dengan kendali ketat (4,4-6,1 mmol/L) pada suatu penelitian
multicentre acak terkendali, kendali ketat memberikan penurunan
mortalitas signifikan (8,0% vs 4,6%, p<0,04) dan perbaikan morbiditas
12 bulan. Hasil ini termasuk penurunan kegagalan organ signifikan
(p=0,04) dengan fokus septik terbukti.
I. PROGNOSIS
Angka mortalitas syok septik sangat tergantung pada lokasi pertama
kali infeksi, patogenisitas organisme penyebab, timbulnya multiorgan
disfunction syndrome (MODS), serta respon imun dari pejamu. Pada
neonatus, terutama dengan berat badan lahir rendah, mempunyai risiko
tinggi terhadap timbulnya sepsis berat yang dapat memburuk menjadi syok
septik.7
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22