Anda di halaman 1dari 12

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8

Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN


BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN,
CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

D. A. P. Pratama*, D. H. Amijaya
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55283
* corresponding author: diyanadityapp@gmail.com

ABSTRAK
Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia.
Formasi ini tersingkap dengan baik pada daerah Paringin, Cekungan Barito, Kalimantan Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan
lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian.
Berdasarkan hasil analisis petrografi organik, komposisi maseral daerah penelitian didominasi oleh
kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok
maseral humotelinit (43,4-72,6%). Kelompok maseral inertinit dan liptinit memiliki kandungan yang
rendah berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%. Kandungan mineral pada batubara di daerah penelitian
didominasi oleh mineral pirit (0,2-2,2%).
Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik
dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Hasil analisis ini menunjukkan batubara di
daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan
berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
TPI dan GI yang relatif tinggi serta kesesuaian pola dan komposisi stratigrafi dengan karakteristik
lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk
batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi
vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan
herbaceous atau marginal aquatic yang rendah.

I. PENDAHULUAN 2013 telah menghasilkan 4.932 juta ton


batubara. Namun, potensi batubara yang
Indonesia memiliki banyak kekayaan alam, tinggi pada Formasi Warukin tidak sebanding
salah satunya berupa kekayaan alam dalam dengan penelitian mengenai batubara yang
bidang energi yaitu batubara. Batubara ada. Jumlah penelitian yang membahas
merupakan batuan sedimen yang mudah mengenai Formasi Warukin khususnya pada
terbakar, berasal dari tumbuhan, dan kandungan batubaranya baik mengenai
mengalami proses kimia serta fisika sejak komposisi maseral, mineral, lingkungan
terendapkan yang menyebabkan terjadinya pengendapan atau penelitian yang lainnya
penambahan kandungan karbon relatif sedikit. Berdasarkan hal tersebut
(Sukandarrumidi, 1995). Persebaran batubara diperlukan adanya penelitian-penelitian yang
di Indonesia paling banyak dijumpai di pulau baru guna menambah pengetahuan mengenai
Sumatera dan Kalimantan. formasi ini khususnya pada kandungan
Formasi Warukin merupakan salah satu batubaranya.
formasi pembawa batubara yang penting di Pada penelitian ini akan dibahas mengenai
Indonesia. Formasi ini memiliki potensi mengetahui komposisi maseral dan mineral
batubara yang besar, hal ini telah terbukti dari serta tipe paleomire dan lingkungan
proses penambangan yang telah dilakukan pengendapan batubara berdasarkan analisa
oleh PT. Adaro Indonesia terhitung sejak petrografi organik. Daerah penelitian berada
penambangan 1992 hingga per 31 Desember
582
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

pada Formasi Warukin, bagian Timur Laut dari III. DATA DAN METODE
Cekungan Barito. Daerah ini termasuk ke PENELITIAN
dalam wilayah penambangan batubara PT. Pada penelitian ini menggunakan dua data
Adaro Indonesia, tepatnya pada Open Pit yaitu data primer berupa sampel batubara
(Tambang Terbuka) Tutupan Utara. dengan jumlah sampel sebanyak 11 sampel
dan data sekunder berupa hasil pengukuran
II. GEOLOGI REGIONAL DAERAH
stratigrafi (Dearga, 2015).
PENELITIAN
Interpretasi lingkungan pengendapan
Daerah penelitian terletak pada Cekungan batubara dilakukan berdasar atas analisis
Barito yang berada di sebelah Tenggara petrografi organik dan didukung dengan data
Kalimantan serta dibatasi oleh Pegunungan analisis stratigrafi yang ada. Analisis petrografi
Meratus pada bagian Timur dan Sundaland organik terdiri atas analisis komposisi maseral
pada bagian Barat. Pada bagian Utara terdapat dan mineral, analisis TPI dan GI serta GWI dan
Sesar Andang atau Barito-Kutei Cross Fault VI. Analisis stratigrafi dilakukan dengan
yang membatasi antara Cekungan Barito dan membagi hasil pengukuran stratigrafi menjadi
Cekungan Kutai (Kusuma dan Darin, 1989). beberapa fasies berdasarkan atas geometri,
Cekungan Barito memiliki bentuk yang litologi, dan struktur sedimen.
asimetri yang terdiri dari foredeep pada zona
frontal dari Pegunungan Meratus dan platform IV. ANALISIS STRATIGRAFI
yang berbatasan dengan kerak Sundaland Berdasarkan atas ciri-ciri fisik yang teramati
(Satyana dan Silitonga, 1994). stratigrafi daerah penelitian (Gambar 1) dapat
Secara umum struktur yang berkembang pada dibagi menjadi 9 fasies yaitu:
Cekungan Barito dapat terbagi menjadi 2 a. Fasies Batubara Serpihan; fasies ini
rezim tektonik (Patra Nusa Data, 2006). Rezim memiliki karakteristik berupa warna
pertama berupa rezim transtensional yang hitam kecoklat-coklatan, pelapukan
menghasilkan sesar geser sinistral yang sedang, kusam, ukuran butir lempung,
memiliki orientasi arah Barat Laut-Tenggara pecahan tidak rata, cerak coklat, struktur
dan rezim kedua berupa rezim transpresional laminasi, komposisi berupa material
yang diikuti convergent up-lift, reaktivasi dan karbon dan material sedimen berukuran
pembalikan dari struktur yang telah ada lempung. Ketebalan fasies ini berkisar
sebelumnya dan menghasilkan wrenching, 0,3-1 m.
lipatan serta patahan. b. Fasies Serpih Berlaminasi; fasies ini
Formasi Warukin berumur Miosen dengan memiliki karakteristik berupa warna abu-
litologi penyusun berupa batulempung dengan abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur
sisipan batupasir dan batubara (Kusuma dan laminasi, komposisi berupa kuarsa,
Darin, 1989). Lingkungan pengendapan material sedimen berukuran lanau-
formasi ini berupa lingkungan prodelta hingga lempung. Ketebalan fasies ini berkisar
upper delta plain. Formasi ini memiliki antara 2,5-40 m.
karakteristik batubara berupa lapisan yang c. Fasies Batulempung Karbonan Masif;
tebal berkisar 0,5 m hingga >20 m, memiliki fasies ini memiliki karakteristik warna
struktur perlapisan yang baik, lunak dan abu-abu kehitam-hitaman, memiliki
memiliki nilai kalori < 6000 kal/g (Darlan dkk, ukuran butir lempung, struktur masif, dan
1999). komposisi berupa material sedimen
berukuran lempung dan material karbon
serta terdapat konkresi oksida. Fasies ini
memiliki ketebalan 4 m.

583
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

d. Fasies Batubara ; fasies batubara memiliki m dengan karakteristik berupa warna


ketebalan 0,5-13 m dengan karakteristik putih kecoklat-coklatan dengan ukuran
berupa warna hitam, pelapukan sedang, butir medium hingga pasir halus, sub
litotipe dull-banded dull, pecahan tidak angular, high sphericity, grain supported,
rata, cerat hitam, memiliki retakan (cleat) sortasi baik, struktur sedimen berupa
yang intensif yang terkadang terisi oksida laminasi dan flaser, komposisi berupa
dan pirit, komposisi tersusun atas kuarsa, feldspar, litik, karbon, batulanau.
material karbon, sulfida, resin, batubara i. Fasies Batupasir Bergradasi Terbalik;
tersilisifikasi dan oksida. Pada beberapa fasies ini tersusun atas litologi berupa
lapisan (seam) batubara dijumpai batupasir dengan ketebalan berkisar 0,8-
kandungan batubara serpihan (shaly coal) 1,3 m. Litologi batupasir memiliki
dan sisipan (parting) batupasir. karakterstik berwarna putih kecoklat-
e. Fasies Batupasir Bergradasi Normal; fasies coklatan, memiliki ukuran butir medium
ini tersusun atas litologi berupa batupasir hingga pasir halus, grain supported,
dengan karakteristik berupa warna putih sortasi baik, struktur sedimen gradasi
ke coklat-coklatan, pelapukan sedang, terbalik dan laminasi, komposisi berupa
ukuran butir pasir halus hingga pasir kuarsa, plagioklas, dan material karbonat
sedang, subangular, high sphericity, grain pada bagian atas.
supported, sortasi baik, struktur sedimen
Interpretasi lingkungan pengendapan
berupa trough cross bed pada bagian
berdasarkan analisis stratigrafi dilakukan
bawah dan tangential cross bed pada
dengan membandingkan fasies-fasies batuan
bagian atas serta terdapat struktur
yang telah dibuat dengan fasies model yang
berupa ripple dan gradasi normal,
telah ada sebelumnya. Model pembanding
perlapisan bergelombang. Komposisi
yang digunakan adalah model lingkungan
berupa kuarsa, feldspar, litik, dan karbon.
pengendapan menurut Horne dkk (1978).
Fasies ini memiliki ketebalan berkisar 5,5-
Secara keseluruhan apabila diamati terdapat 2
27 m.
pola pengendapan, yaitu pola menghalus ke
f. Fasies Perselingan Serpih dan Batupasir;
atas atau gradasi normal (Gambar 2a) dan pola
fasies ini tersusun atas litologi berupa
mengkasar ke atas atau gradasi terbalik
perselingan serpih dan batupasir. Litologi
(Gambar 2b). Hasil pembandingan
serpih memiliki karakteristik warna abu-
menunjukkan lingkungan pengendapan fasies
abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur
batuan pada daerah penelitian terdiri dari
laminasi, komposisi berupa kuarsa,
lingkungan transisi lower delta plain dan upper
material sedimen berukuran lanau-
delta plain (pada sublingkungan channel, levee,
lempung. Batupasir dicirikan warna abu-
rawa gambut, interdistributary bay, dan
abu, ukuran butir pasir halus, struktur
crevasse splay).
laminasi, komposisi berupa material
sedimen berukuran pasir halus. Fasies ini
V. KOMPOSISI MASERAL DAN
memiliki ketebalan berkisar 9-16 m.
MINERAL BATUBARA
g. Fasies Batulanau Masif; fasies ini memiliki
karakteristik berupa warna abu-abu Komposisi maseral batubara pada daerah
kehitam-hitaman, memiliki ukuran butir penelitian terdiri atas maseral huminit 52,2-
lanau, struktur masif, dan komposisi 79,8%, kandungan inertinit 2,8-18,8%, dan
berupa material sedimen berukuran lanau. kandungan liptinit 9,8-43,6% (Tabel 1). Hasil
Fasies ini memiliki ketebalan 2,5 m. analisis maseral sampel batubara daerah
h. Fasies Batupasir Berlaminasi; fasies penelitian menunjukkan kandungan kelompok
batupasir masif memiliki ketebalan 1-1,5 maseral huminit yang tinggi dengan komposisi
subkelompok maseral humotelinit yang
584
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

dominan. Kandungan humotelinit yang tinggi VI. ANALISIS TPI DAN GI


menunjukkan bahwa batubara di daerah Perhitungan nilai TPI dan GI setiap sampel
penelitian dominan terbentuk dari jenis batubara pada daerah penelitian dilakukan
tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan dengan menggunakan persamaan perhitungan
kandungan kelompok maseral liptinit yang nilai TPI dan GI untuk batubara peringkat
rendah yang menandakan kandungan rendah (brown coal) yang dibuat oleh Amijaya
tumbuhan perdu yang rendah atau tingginya dan Littke (2005). Persamaan ini dipilih
kandungan tumbuhan kayu. Menurut Diessel mengingat peringkat batubara pada daerah
(1992) kandungan humotelinit yang tinggi penelitian termasuk batubara peringkat
dapat juga sebagai indikasi tingginya derajat rendah.
pengawetan dari jaringan sel dalam kondisi
basah, pH rendah pada forested peatland atau Hasil perhitungan nilai TPI dan GI setiap
forested wet raised bogs. Kondisi lingkungan sampel batubara tersaji pada Tabel 2.
yang basah atau lembab didukung dengan Berdasarkan hasil perhitungan nilai TPI setiap
kandungan kelompok maseral inertinit yang sampel batubara memiliki nilai yang bervariasi
relatif rendah. berkisar antara 3,5-14. Setiap sampel batubara
yang ada secara keseluruhan mempunyai nilai
Kandungan kelompok maseral inertinit yang TPI>1, nilai ini menunjukkan secara
relatif rendah menunjukkan lingkungan keseluruhan material pembentuk batubara
pengendapan gambut yang relatif basah dominan berasal dari tumbuhan kayu
dengan tingkat oksidasi yang rendah sehingga dibandingkan dengan tumbuhan perdu,
dapat diperkirakan tingkat kelembaban sehingga struktur jaringan lebih banyak
gambut pada saat terbentuk di daerah terawetkan dengan baik. Hal ini didukung
penelitian relatif terjaga dengan baik. dengan kandungan subkelompok humotelinit
Kandungan maseral huminit yang tinggi juga yang lebih besar dibandingkan dengan
menunjukkan batubara berasal dari subkelompok maseral humodetrinit dan
lingkungan gambut wet forest swamp humokolinit serta kandungan kelompok
(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan maseral liptinit yang rendah yang
mengindikasikan lingkungan pengendapan menunjukkan kandungan tumbuhan kayu yang
berupa upper delta plain (Diessel, 1992). lebih dominan sebagai pembentuk batubara.
Komposisi mineral batubara daerah penelitian Untuk nilai GI berdasarkan hasil perhitungan
terdiri dari mineral pirit singenetik atau menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar
framboidal, pirit epigenetik, mineral lempung, antara 3,56-18,64. Nilai GI yang cukup tinggi
agregat mineral, dan kalsit. Pirit singenetik mengindikasikan proses oksidasi pada lahan
atau pirit framboidal merupakan mineral yang gambut tidak dominan. Lahan gambut relatif
penting untuk interpretasi lingkungan basah atau lembab ditunjukkan dengan
pengendapan. Mineral ini mencirikan adanya kandungan kelompok maseral inertinit yang
pengaruh air laut selama proses pembentukan rendah.
gambut berlangsung. Kandungan pirit
singenetik atau framboidal ini dijumpai pada Interpretasi lingkungan pengendapan setiap
setiap sampel batubara hal ini menunjukkan sampel batubara dilakukan dengan
bahwa lingkungan pembentukan gambut pada memplotkan nilai TPI dan GI pada diagram
setiap sampel berada pada daerah yang Lamberson dkk (1991, dengan modifikasi).
terpengaruh oleh transgresi air laut. Diagram ini digunakan karena lebih sesuai
untuk batubara dengan berbagai peringkat.
Hasil pengeplotan dapat dilihat pada Gambar
3.

585
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

Hasil plot nilai TPI dan GI menunjukkan Calder, dkk (1991, dengan modifikasi).
lingkungan pengendapan batubara daerah Berdasarkan hasil perhitungan sampel
penelitian relatif seragam berada pada batubara daerah penelitian memiliki nilai GWI
lingkungan atau zona telmatik dengan tipe yang rendah dan nilai VI yang rendah sampai
mire berupa wet forest swamp. Zona telmatik tinggi. Nilai GWI setiap sampel batubara
menurut Diessel (1992) merupakan zona atau menunjukkan nilai < 0,5. Menurut Calder, dkk
lingkungan dengan level air pada lahan (1991) nilai GWI kurang dari 0,5
gambut atau mire dikontrol oleh sea level atau mengindikasikan lingkungan purba didominasi
variasi permukaan air. Pada zona ini akan oleh kondisi telmatik. Nilai GWI yang rendah
menghasilkan gambut yang tidak terganggu ini juga menunjukkan kondisi lingkungan bog
dan tumbuh insitu ditunjukkan dengan nilai dan bog forest ombrotropik (Gambar 4).
TPI dan GI yang relatif tinggi. Pada zona ini Lingkungan ini dicirikan dengan level air yang
tingkat kerapatan pepohonan bertambah. Hal berada di bawah permukaan gambut dan
ini didukung dengan kandungan subkelompok gambut memperoleh nutrisi atau makanan
maseral humotelinit yang tinggi berdasarkan dari air hujan. Gambut yang terbentuk pada
analisis kandungan maseral. lingkungan ini memiliki suplai makanan yang
rendah (oligotropik) dan terbentuk dalam
Wet forest swamp dicirikan dengan
kondisi asam.
pengendapan batubara yang relatif lembab
atau basah atau selalu tergenang oleh air Nilai VI sampel batubara daerah penelitian
dengan kondisi pembentukan batubara yang menunjukkan nilai yang relatif beragam yaitu
berkembang dengan baik. Pada lingkungan ini berkisar 1,595-6,413 (Tabel 3). Nilai VI
tumbuhan pengisi gambut didominasi oleh merupakan suatu nilai perbandingan yang
tumbuhan kayu. Lingkungan gambut wet menunjukkan tipe mire dari suatu tipe
forest swamp dicirikan dengan kandungan vegetasi tertentu, yang merupakan hasil dari
kelompok maseral huminit yang tinggi perbedaan maseral pada suatu afinitas hutan.
(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan
Menurut Calder, dkk (1991) nilai VI kurang dari
memiliki kandungan huminit atau vitrinit
3 menunjukkan tumbuhan atau vegetasi
berstruktur yang lebih besar dibandingkan
pengisi lahan gambut berasal dari herbaceous
dengan huminit atau vitrinit tidak berstruktur
atau marginal aquatic, sedangkan untuk nilai
dan kandungan huminit atau vitrinit lebih
VI lebih besar dari 3 menunjukkan vegetasi
besar dari inertinit (Lamberson, 1991).
pengisi lahan gambut cenderung berupa
VII. ANALISIS GWI DAN VI tumbuhan kayu atau forest. Kandungan
tumbuhan kayu ini dicirikan dengan
Analisis groundwater index (GWI) dan kandungan subkelompok maseral humotelinit
vegetation index (VI) merupakan metode yang yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut sampel
digunakan untuk mengetahui evolusi batubara pada daerah penelitian terbagi
lingkungan pengendapan batubara dan menjadi dua kelompok yaitu kelompok
digunakan untuk menunjukkan karakteristik pertama berupa kelompok yang memiliki nilai
lahan gambut atau mire pembentukan VI kurang dari 3. Kelompok ini terdiri dari
batubara. Perhitungan nilai GWI dan VI sampel P5 Coal, P10 Coal, dan P11 Coal yang
menggunakan persamaan yang dibuat oleh memiliki kisaran nilai VI antara 1,595-2,651.
Amijaya dan Littke (2005) untuk batubara Rendahnya kandungan VI ini menunjukkan
peringkat rendah. tumbuhan atau vegetasi pengisi lahan gambut
Hasil perhitungan nilai GWI dan VI tersaji pada pada sampel P5 coal, P10 Coal dan P11 Coal
Tabel 3. Hasil perhitungan ini selanjutnya dominan berasal dari herbaceous atau
diplot pada diagram GWI dan VI menurut marginal aquatic.

586
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

Kelompok kedua terdiri dari sampel P1 Coal, lembab atau basah atau selalu tergenang oleh
P4 Coal, P6 1/1 Coal, P6 1/2 Coal, P6 2/1 Coal, air dengan kondisi pembentukan batubara
P6 2/2 Coal, P6 2/3 Coal, dan P9 Coal. yang berkembang dengan baik. Pada
Kelompok kedua ini dicirikan dengan nilai VI lingkungan ini tumbuhan pengisi gambut
yang lebih besar dari 3. Hal ini menunjukkan didominasi oleh tumbuhan kayu. Selain itu
bahwa tumbuhan atau vegetasi pada sampel gambut pembentuk batubara bersifat
kelompok ini dominan berupa vegetasi hutan ombrotropik yaitu suatu keadaan level air
atau tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan berada di bawah permukaan gambut dan
kandungan subkelompok maseral humotelinit gambut memperoleh nutrisi atau makanan
yang tinggi berdasarkan hasil analisis dari air hujan. Kondisi lahan gambut relatif
kandungan maseral yang telah dilakukan. Nilai basah atau lembab yang ditunjukkan
VI yang tinggi menunjukkan bahwa proses rendahnya kandungan kelompok mineral
pengambutan berlangsung cepat sehingga inertinit. Komposisi vegetasi lahan gambut
proses humifikasi berlangsung tidak sempurna didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest
dan menghasilkan pengawetan jaringan dan terdapat kandungan tumbuhan
tumbuhan yang baik. herbaceous atau marginal aquatic yang
rendah.
VIII. INTERPRETASI PALEOMIRE &
LINGKUNGAN PENGENDAPAN IX. KESIMPULAN
BATUBARA Berdasarkan atas hasil penelitian yang telah
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan,
diinterpretasikan batubara di daerah antara lain:
penelitian terendapkan pada lingkungan
telmatik dengan fasies lingkungan 1. Komposisi maseral pada daerah
pengendapan berupa lingkungan transisi lower penelitian didominasi oleh kelompok
delta plain dan upper delta plain. Hal ini maseral huminit (52,2-79,8%) dengan
ditunjukkan dengan karakteristik nilai TPI dan kandungan paling banyak berupa
GI relatif tinggi didukung dengan pola dan subkelompok maseral humotelinit (43,4-
komposisi stratigrafi yang sesuai dengan 72,6%). Untuk kelompok maseral inertinit
karakteristik lingkungan transisi lower delta dan liptinit pada daerah penelitian
plain dan upper delta plain. Nilai TPI yang memiliki kandungan berkisar 2,8-18,8%
tinggi (>1) menunjukkan komposisi penyusun dan 9,8-43,6%.
batubara didominasi oleh tumbuhan kayu, hal 2. Komposisi mineral berupa mineral pirit
ini didukung oleh kandungan subkelompok (pirit singenetik atau framboidal dan pirit
maseral humotelinit yang tinggi. Nilai GI yang epigenetik) serta terdapat kandungan
cukup tinggi mengindikasikan proses oksidasi mineral lempung, agregat mineral, dan
pada lahan gambut tidak dominan. Lahan kalsit dalam jumlah yang rendah.
3. Batubara di daerah penelitian
gambut relatif basah atau lembab ditunjukkan
dengan kandungan kelompok maseral inertinit terendapkan pada lingkungan telmatik
yang rendah. Selain itu lingkungan ini dicirikan dengan fasies lingkungan pengendapan
dengan adanya pengaruh transgresi air laut berupa lingkungan transisi lower delta
yang ditunjukkan oleh adanya kandungan plain dan upper delta plain. Tipe atau
mineral pirit singenetik atau framboidal pada jenis paleomire berupa wet forest swamp.
komposisi batubara. Gambut pembentuk batubara daerah
penelitian bersifat ombrotropik dengan
Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest kondisi relatif basah atau lembab.
swamp. Wet forest swamp dicirikan dengan Komposisi vegetasi lahan gambut
kondisi pengendapan batubara yang relatif didominasi oleh tumbuhan kayu atau
587
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

forest dan terdapat kandungan tumbuhan rendah.


herbaceous atau marginal aquatic yang

DAFTAR PUSTAKA
Amijaya, H., Littke, R., 2005. Microfasies and Depositional Environment of Tertiary Tanjung Enim Low
Rank Coal, South Sumatra Basin, Indonesia. International Journal of Coal Geology 61, p. 197-221.
Calder, J.H., Gibling, M.R., Mukopadhyay, P.K., 1991. Peat formation in a Westphalian B piedmont
setting, Cumberland Basin, Nova Scotia: implications for the maceral-based interpretation of
rheotrohic and raised paleo-mires: Bulletin de la Socie´te´ Ge´ologique de France 162/2, p. 283-298.
Darlan, D., Zuraida, R., Purwanto, C., Sulistyani, R., Setyabudhi, A., Masduki, A., 1999. Studi Regional
Cekungan Batubara Wilayah Pesisir Tanah Laut-Kotabaru Kalimantan Selatan. Bandung; Pusat
Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL). p. (20-1) – (20-10).
Dearga, A., 2015, Lingkungan Pengendapan Formasi Warukin Bagian Atas Daerah Tutupan Utara &
Paringin, Kabupaten Tabalong & Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan (Skripsi: in prep),
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Diessel, C.F.K., 1992. Coal-bearing Depositional Systems. Springer Verlag. Berlin. 721 p.
Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and
Mine Planning in Appalachian Region; In American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 62
(12). p. 2379-2411.
Kusuma, I., Darin, T., 1989. The Hydrocarbon Potential of the Lower Tanjung Formation, Barito Basin,
Kalimantan Selatan, in Proceedings of IPA 18th, Annual Convention, p. 107-138.
Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. 1991. Lithotype (maceral) composition and variation as
correlated with paleowetland environments, Gates Formations, Northeastern British Columbia.
Canada; International Journal of Coal Geology 18. p. 87–124.
Patra Nusa Data, 2006. Indonesia Basins Summaries, Jakarta: PT. Patra Nusa Data, The Gateway to
Petroleum Invesment In Indonesia. 466 p.
Satyana, A.H., Silitonga, P.D., 1994. Tectonic reversal in East Barito Basin, South Kalimantan:
consideration of the types of inversion structures and petroleum system significance: in Proceedings
of the IPA 23rd Annual Convention. p. 57-74.
Sukandarrumidi., 1995. Batubara dan Gambu. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 150 p.
Teichmüller, M., Teichmüller, R., 1982. Fundamental of coal petrology. In:Stach E, Mackowsky, M-T.,
Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., Teichmüller, R., (eds) Stach’s textbook of coal petrology,
3rd edition. Gebrüder Borntraeger. Berlin, 535p.

588
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

TABEL
Tabel 1. Komposisi petrografi sampel batubara daerah penelitian

Tabel 2. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian

No. Nomor Sampel Nilai TPI Nilai GI


1. P1 Coal 8,87 3,56
2. P4 Coal 8,92 4,03
3. P5 Coal 3,5 4,66
4. P6 1/1 Coal 14 4,6
589
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

5. P6 1/2 Coal 10,32 10,55


6. P6 2/1 Coal 5,82 3,74
7. P6 2/2 Coal 3,72 4,42
8. P6 2/3 Coal 8,78 3,77
9. P9 Coal 3,63 5,45
10. P10 Coal - 18,64
11. P11 Coal 3,79 4,38

Tabel 3. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian

No. Nomor Sampel Nilai GWI Nilai VI


1. P1 Coal 0,033 3,160
2. P4 Coal 0,042 6,413
3. P5 Coal 0,032 2,537
4. P6 1/1 Coal 0,050 6,367
5. P6 1/2 Coal 0,013 4,691
6. P6 2/1 Coal 0,027 4,477
7. P6 2/2 Coal 0,141 3,815
8. P6 2/3 Coal 0,063 5,739
9. P9 Coal 0,003 3,232
10. P10 Coal 0,027 1,595
11. P11 Coal 0,028 2,651

590
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

GAMBAR

Gambar 1. Kolom stratigrafi daerah penelitian (Dearga, 2015 dengan modifikasi).

591
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Perbandingan model lingkungan pengendapan transisi lower delta plain dan upper delta
plain menurut Horne dkk (1978) dengan stratigrafi daerah penelitian. (A) Pola menghalus ke atas; (B)
Pola mengkasar ke atas.

592
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Hasil plot nilai TPI dan GI sampel batubara daerah penelitian (Lamberson dkk, 1991
dengan modifikasi)

Gambar 4. Hasil plot nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian (Calder dkk, 1991 dengan
modifikasi)
593

Anda mungkin juga menyukai