Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
D. A. P. Pratama*, D. H. Amijaya
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55283
* corresponding author: diyanadityapp@gmail.com
ABSTRAK
Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia.
Formasi ini tersingkap dengan baik pada daerah Paringin, Cekungan Barito, Kalimantan Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan
lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian.
Berdasarkan hasil analisis petrografi organik, komposisi maseral daerah penelitian didominasi oleh
kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok
maseral humotelinit (43,4-72,6%). Kelompok maseral inertinit dan liptinit memiliki kandungan yang
rendah berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%. Kandungan mineral pada batubara di daerah penelitian
didominasi oleh mineral pirit (0,2-2,2%).
Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik
dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Hasil analisis ini menunjukkan batubara di
daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan
berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
TPI dan GI yang relatif tinggi serta kesesuaian pola dan komposisi stratigrafi dengan karakteristik
lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk
batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi
vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan
herbaceous atau marginal aquatic yang rendah.
pada Formasi Warukin, bagian Timur Laut dari III. DATA DAN METODE
Cekungan Barito. Daerah ini termasuk ke PENELITIAN
dalam wilayah penambangan batubara PT. Pada penelitian ini menggunakan dua data
Adaro Indonesia, tepatnya pada Open Pit yaitu data primer berupa sampel batubara
(Tambang Terbuka) Tutupan Utara. dengan jumlah sampel sebanyak 11 sampel
dan data sekunder berupa hasil pengukuran
II. GEOLOGI REGIONAL DAERAH
stratigrafi (Dearga, 2015).
PENELITIAN
Interpretasi lingkungan pengendapan
Daerah penelitian terletak pada Cekungan batubara dilakukan berdasar atas analisis
Barito yang berada di sebelah Tenggara petrografi organik dan didukung dengan data
Kalimantan serta dibatasi oleh Pegunungan analisis stratigrafi yang ada. Analisis petrografi
Meratus pada bagian Timur dan Sundaland organik terdiri atas analisis komposisi maseral
pada bagian Barat. Pada bagian Utara terdapat dan mineral, analisis TPI dan GI serta GWI dan
Sesar Andang atau Barito-Kutei Cross Fault VI. Analisis stratigrafi dilakukan dengan
yang membatasi antara Cekungan Barito dan membagi hasil pengukuran stratigrafi menjadi
Cekungan Kutai (Kusuma dan Darin, 1989). beberapa fasies berdasarkan atas geometri,
Cekungan Barito memiliki bentuk yang litologi, dan struktur sedimen.
asimetri yang terdiri dari foredeep pada zona
frontal dari Pegunungan Meratus dan platform IV. ANALISIS STRATIGRAFI
yang berbatasan dengan kerak Sundaland Berdasarkan atas ciri-ciri fisik yang teramati
(Satyana dan Silitonga, 1994). stratigrafi daerah penelitian (Gambar 1) dapat
Secara umum struktur yang berkembang pada dibagi menjadi 9 fasies yaitu:
Cekungan Barito dapat terbagi menjadi 2 a. Fasies Batubara Serpihan; fasies ini
rezim tektonik (Patra Nusa Data, 2006). Rezim memiliki karakteristik berupa warna
pertama berupa rezim transtensional yang hitam kecoklat-coklatan, pelapukan
menghasilkan sesar geser sinistral yang sedang, kusam, ukuran butir lempung,
memiliki orientasi arah Barat Laut-Tenggara pecahan tidak rata, cerak coklat, struktur
dan rezim kedua berupa rezim transpresional laminasi, komposisi berupa material
yang diikuti convergent up-lift, reaktivasi dan karbon dan material sedimen berukuran
pembalikan dari struktur yang telah ada lempung. Ketebalan fasies ini berkisar
sebelumnya dan menghasilkan wrenching, 0,3-1 m.
lipatan serta patahan. b. Fasies Serpih Berlaminasi; fasies ini
Formasi Warukin berumur Miosen dengan memiliki karakteristik berupa warna abu-
litologi penyusun berupa batulempung dengan abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur
sisipan batupasir dan batubara (Kusuma dan laminasi, komposisi berupa kuarsa,
Darin, 1989). Lingkungan pengendapan material sedimen berukuran lanau-
formasi ini berupa lingkungan prodelta hingga lempung. Ketebalan fasies ini berkisar
upper delta plain. Formasi ini memiliki antara 2,5-40 m.
karakteristik batubara berupa lapisan yang c. Fasies Batulempung Karbonan Masif;
tebal berkisar 0,5 m hingga >20 m, memiliki fasies ini memiliki karakteristik warna
struktur perlapisan yang baik, lunak dan abu-abu kehitam-hitaman, memiliki
memiliki nilai kalori < 6000 kal/g (Darlan dkk, ukuran butir lempung, struktur masif, dan
1999). komposisi berupa material sedimen
berukuran lempung dan material karbon
serta terdapat konkresi oksida. Fasies ini
memiliki ketebalan 4 m.
583
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
585
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Hasil plot nilai TPI dan GI menunjukkan Calder, dkk (1991, dengan modifikasi).
lingkungan pengendapan batubara daerah Berdasarkan hasil perhitungan sampel
penelitian relatif seragam berada pada batubara daerah penelitian memiliki nilai GWI
lingkungan atau zona telmatik dengan tipe yang rendah dan nilai VI yang rendah sampai
mire berupa wet forest swamp. Zona telmatik tinggi. Nilai GWI setiap sampel batubara
menurut Diessel (1992) merupakan zona atau menunjukkan nilai < 0,5. Menurut Calder, dkk
lingkungan dengan level air pada lahan (1991) nilai GWI kurang dari 0,5
gambut atau mire dikontrol oleh sea level atau mengindikasikan lingkungan purba didominasi
variasi permukaan air. Pada zona ini akan oleh kondisi telmatik. Nilai GWI yang rendah
menghasilkan gambut yang tidak terganggu ini juga menunjukkan kondisi lingkungan bog
dan tumbuh insitu ditunjukkan dengan nilai dan bog forest ombrotropik (Gambar 4).
TPI dan GI yang relatif tinggi. Pada zona ini Lingkungan ini dicirikan dengan level air yang
tingkat kerapatan pepohonan bertambah. Hal berada di bawah permukaan gambut dan
ini didukung dengan kandungan subkelompok gambut memperoleh nutrisi atau makanan
maseral humotelinit yang tinggi berdasarkan dari air hujan. Gambut yang terbentuk pada
analisis kandungan maseral. lingkungan ini memiliki suplai makanan yang
rendah (oligotropik) dan terbentuk dalam
Wet forest swamp dicirikan dengan
kondisi asam.
pengendapan batubara yang relatif lembab
atau basah atau selalu tergenang oleh air Nilai VI sampel batubara daerah penelitian
dengan kondisi pembentukan batubara yang menunjukkan nilai yang relatif beragam yaitu
berkembang dengan baik. Pada lingkungan ini berkisar 1,595-6,413 (Tabel 3). Nilai VI
tumbuhan pengisi gambut didominasi oleh merupakan suatu nilai perbandingan yang
tumbuhan kayu. Lingkungan gambut wet menunjukkan tipe mire dari suatu tipe
forest swamp dicirikan dengan kandungan vegetasi tertentu, yang merupakan hasil dari
kelompok maseral huminit yang tinggi perbedaan maseral pada suatu afinitas hutan.
(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan
Menurut Calder, dkk (1991) nilai VI kurang dari
memiliki kandungan huminit atau vitrinit
3 menunjukkan tumbuhan atau vegetasi
berstruktur yang lebih besar dibandingkan
pengisi lahan gambut berasal dari herbaceous
dengan huminit atau vitrinit tidak berstruktur
atau marginal aquatic, sedangkan untuk nilai
dan kandungan huminit atau vitrinit lebih
VI lebih besar dari 3 menunjukkan vegetasi
besar dari inertinit (Lamberson, 1991).
pengisi lahan gambut cenderung berupa
VII. ANALISIS GWI DAN VI tumbuhan kayu atau forest. Kandungan
tumbuhan kayu ini dicirikan dengan
Analisis groundwater index (GWI) dan kandungan subkelompok maseral humotelinit
vegetation index (VI) merupakan metode yang yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut sampel
digunakan untuk mengetahui evolusi batubara pada daerah penelitian terbagi
lingkungan pengendapan batubara dan menjadi dua kelompok yaitu kelompok
digunakan untuk menunjukkan karakteristik pertama berupa kelompok yang memiliki nilai
lahan gambut atau mire pembentukan VI kurang dari 3. Kelompok ini terdiri dari
batubara. Perhitungan nilai GWI dan VI sampel P5 Coal, P10 Coal, dan P11 Coal yang
menggunakan persamaan yang dibuat oleh memiliki kisaran nilai VI antara 1,595-2,651.
Amijaya dan Littke (2005) untuk batubara Rendahnya kandungan VI ini menunjukkan
peringkat rendah. tumbuhan atau vegetasi pengisi lahan gambut
Hasil perhitungan nilai GWI dan VI tersaji pada pada sampel P5 coal, P10 Coal dan P11 Coal
Tabel 3. Hasil perhitungan ini selanjutnya dominan berasal dari herbaceous atau
diplot pada diagram GWI dan VI menurut marginal aquatic.
586
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Kelompok kedua terdiri dari sampel P1 Coal, lembab atau basah atau selalu tergenang oleh
P4 Coal, P6 1/1 Coal, P6 1/2 Coal, P6 2/1 Coal, air dengan kondisi pembentukan batubara
P6 2/2 Coal, P6 2/3 Coal, dan P9 Coal. yang berkembang dengan baik. Pada
Kelompok kedua ini dicirikan dengan nilai VI lingkungan ini tumbuhan pengisi gambut
yang lebih besar dari 3. Hal ini menunjukkan didominasi oleh tumbuhan kayu. Selain itu
bahwa tumbuhan atau vegetasi pada sampel gambut pembentuk batubara bersifat
kelompok ini dominan berupa vegetasi hutan ombrotropik yaitu suatu keadaan level air
atau tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan berada di bawah permukaan gambut dan
kandungan subkelompok maseral humotelinit gambut memperoleh nutrisi atau makanan
yang tinggi berdasarkan hasil analisis dari air hujan. Kondisi lahan gambut relatif
kandungan maseral yang telah dilakukan. Nilai basah atau lembab yang ditunjukkan
VI yang tinggi menunjukkan bahwa proses rendahnya kandungan kelompok mineral
pengambutan berlangsung cepat sehingga inertinit. Komposisi vegetasi lahan gambut
proses humifikasi berlangsung tidak sempurna didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest
dan menghasilkan pengawetan jaringan dan terdapat kandungan tumbuhan
tumbuhan yang baik. herbaceous atau marginal aquatic yang
rendah.
VIII. INTERPRETASI PALEOMIRE &
LINGKUNGAN PENGENDAPAN IX. KESIMPULAN
BATUBARA Berdasarkan atas hasil penelitian yang telah
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan,
diinterpretasikan batubara di daerah antara lain:
penelitian terendapkan pada lingkungan
telmatik dengan fasies lingkungan 1. Komposisi maseral pada daerah
pengendapan berupa lingkungan transisi lower penelitian didominasi oleh kelompok
delta plain dan upper delta plain. Hal ini maseral huminit (52,2-79,8%) dengan
ditunjukkan dengan karakteristik nilai TPI dan kandungan paling banyak berupa
GI relatif tinggi didukung dengan pola dan subkelompok maseral humotelinit (43,4-
komposisi stratigrafi yang sesuai dengan 72,6%). Untuk kelompok maseral inertinit
karakteristik lingkungan transisi lower delta dan liptinit pada daerah penelitian
plain dan upper delta plain. Nilai TPI yang memiliki kandungan berkisar 2,8-18,8%
tinggi (>1) menunjukkan komposisi penyusun dan 9,8-43,6%.
batubara didominasi oleh tumbuhan kayu, hal 2. Komposisi mineral berupa mineral pirit
ini didukung oleh kandungan subkelompok (pirit singenetik atau framboidal dan pirit
maseral humotelinit yang tinggi. Nilai GI yang epigenetik) serta terdapat kandungan
cukup tinggi mengindikasikan proses oksidasi mineral lempung, agregat mineral, dan
pada lahan gambut tidak dominan. Lahan kalsit dalam jumlah yang rendah.
3. Batubara di daerah penelitian
gambut relatif basah atau lembab ditunjukkan
dengan kandungan kelompok maseral inertinit terendapkan pada lingkungan telmatik
yang rendah. Selain itu lingkungan ini dicirikan dengan fasies lingkungan pengendapan
dengan adanya pengaruh transgresi air laut berupa lingkungan transisi lower delta
yang ditunjukkan oleh adanya kandungan plain dan upper delta plain. Tipe atau
mineral pirit singenetik atau framboidal pada jenis paleomire berupa wet forest swamp.
komposisi batubara. Gambut pembentuk batubara daerah
penelitian bersifat ombrotropik dengan
Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest kondisi relatif basah atau lembab.
swamp. Wet forest swamp dicirikan dengan Komposisi vegetasi lahan gambut
kondisi pengendapan batubara yang relatif didominasi oleh tumbuhan kayu atau
587
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
DAFTAR PUSTAKA
Amijaya, H., Littke, R., 2005. Microfasies and Depositional Environment of Tertiary Tanjung Enim Low
Rank Coal, South Sumatra Basin, Indonesia. International Journal of Coal Geology 61, p. 197-221.
Calder, J.H., Gibling, M.R., Mukopadhyay, P.K., 1991. Peat formation in a Westphalian B piedmont
setting, Cumberland Basin, Nova Scotia: implications for the maceral-based interpretation of
rheotrohic and raised paleo-mires: Bulletin de la Socie´te´ Ge´ologique de France 162/2, p. 283-298.
Darlan, D., Zuraida, R., Purwanto, C., Sulistyani, R., Setyabudhi, A., Masduki, A., 1999. Studi Regional
Cekungan Batubara Wilayah Pesisir Tanah Laut-Kotabaru Kalimantan Selatan. Bandung; Pusat
Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL). p. (20-1) – (20-10).
Dearga, A., 2015, Lingkungan Pengendapan Formasi Warukin Bagian Atas Daerah Tutupan Utara &
Paringin, Kabupaten Tabalong & Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan (Skripsi: in prep),
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Diessel, C.F.K., 1992. Coal-bearing Depositional Systems. Springer Verlag. Berlin. 721 p.
Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and
Mine Planning in Appalachian Region; In American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 62
(12). p. 2379-2411.
Kusuma, I., Darin, T., 1989. The Hydrocarbon Potential of the Lower Tanjung Formation, Barito Basin,
Kalimantan Selatan, in Proceedings of IPA 18th, Annual Convention, p. 107-138.
Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. 1991. Lithotype (maceral) composition and variation as
correlated with paleowetland environments, Gates Formations, Northeastern British Columbia.
Canada; International Journal of Coal Geology 18. p. 87–124.
Patra Nusa Data, 2006. Indonesia Basins Summaries, Jakarta: PT. Patra Nusa Data, The Gateway to
Petroleum Invesment In Indonesia. 466 p.
Satyana, A.H., Silitonga, P.D., 1994. Tectonic reversal in East Barito Basin, South Kalimantan:
consideration of the types of inversion structures and petroleum system significance: in Proceedings
of the IPA 23rd Annual Convention. p. 57-74.
Sukandarrumidi., 1995. Batubara dan Gambu. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 150 p.
Teichmüller, M., Teichmüller, R., 1982. Fundamental of coal petrology. In:Stach E, Mackowsky, M-T.,
Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., Teichmüller, R., (eds) Stach’s textbook of coal petrology,
3rd edition. Gebrüder Borntraeger. Berlin, 535p.
588
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
TABEL
Tabel 1. Komposisi petrografi sampel batubara daerah penelitian
Tabel 2. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian
Tabel 3. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian
590
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
GAMBAR
591
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 2. Perbandingan model lingkungan pengendapan transisi lower delta plain dan upper delta
plain menurut Horne dkk (1978) dengan stratigrafi daerah penelitian. (A) Pola menghalus ke atas; (B)
Pola mengkasar ke atas.
592
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 3. Hasil plot nilai TPI dan GI sampel batubara daerah penelitian (Lamberson dkk, 1991
dengan modifikasi)
Gambar 4. Hasil plot nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian (Calder dkk, 1991 dengan
modifikasi)
593