Anda di halaman 1dari 17

Merdeka.

com - Sejumlah anggota DPR dari fraksi PDIP, Golkar, PPP dan PKB
mengusulkan agar RUU Pengampunan Nasional (Tax Amnesty) dimasukkan ke Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015. Salah satu pasal dalam RUU tersebut, tercantum
bahwa tidak memasukkan tindak pidana korupsi sebagai pengecualian yang tidak dapat
memperoleh pengampunan pajak.

Dalam pasal 9 dan pasal 10 draft RUU pengampunan Nasional yang didapat merdeka.com,
Rabu (7/10) itu tertulis, bahwa;

Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional
sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, memperoleh fasilitas di bidang
perpajakan berupa:

a. Penghapusan Pajak Terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di


bidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan
yang belum diterbitkan ketetapan pajak.

b. Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atas
kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak sebelum
undang-undang ini diundangkan.

c. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau
pemeriksaan bukti permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini
diundangkan, atas pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut
dihentikan.

Pasal 10

Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,


Orang Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan
kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.

Dengan demikian, koruptor dapat berpeluang mendapatkan pengampunan tindak pidana


terkait perolehan kekayaan dari hasil korupsi.

Sedangkan di Pasal 9, orang pribadi atau badan yang mendapatkan pengampunan nasional
dapat memperoleh fasilitas berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi
perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum
undang-undang Pengampunan Nasional ini diundangkan.

Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan


(Kemenkeu) menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional sudah
berbeda apabila dibandingkan dengan rancangan awal yang diberikan oleh pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Sigit Priadi Pramudito mengatakan bahwa koruptor bisa
mendapatkan fasilitas pengampunan pajak (tax amnesty) pada pengajuan awal dari Ditjen
Pajak. Namun di dalam draf RUU versi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, koruptor
dikatakan tak boleh diberikan pengampunan pajak, apalagi mendapat ampunan istimewa
(special amnesty).
"Setahu kami, pelaku korupsi itu berada di luar tiga kasus kriminal yang tidak kami
perbolehkan untuk mendapat pengampunan yaitu pelaku human trafficking, terorisme, dan
narkoba. Namun kalau masalah koruptor boleh atau tidak, kami belum tahu karena DPR
sudah punya rancangan sendiri, beda dengan yang dulu kami usulkan," ujar Sigit di Gedung
DPR, Kamis (8/10).

Atas alasan itu, ia mengaku tak bisa memperkirakan berapa potensi dana yang masuk jika
nantinya RUU Pengampunan Nasional diundangkan.

Pilihan Redaksi “Kami belum lihat


sejauh itu," ujarnya.
 Jokowi akan Bentuk Satgas Pengampunan Nasional Demi Upeti
 DPR Tegaskan Koruptor Tak Dapat Pengampunan Pajak
 Jaksa Agung Sebut RUU Pengampunan Ampuh Genjot Pajak
Selain masalah pelaku
korupsi, Sigit juga
menambahkan kalau
usulan awal Ditjen Pajak tak pernah meminta special amnesty, namun hanya mengajukan
pengampunan pajak (tax amnesty) saja.

Sebagai informasi, special amnesty ini terdiri dari penghapusan sanksi administrasi
perpajakan, sanksi pidana pajak, hingga sanksi pidana umum sedangkan tax amnesty hanya
berbentuk penghapusan sanksi dan kewajiban pajak.

Kendati demikian, Sigit mengatakan kalau perluasan jenis pengampunan ini semakin
berdampak baik bagi penerimaan pajak kendati dia belum bisa memberikan nilainya. "Kalau
mau diperluas menjadi special amnesty silahkan saja. Bisa makin bagus ke pajak," terangnya.
(gen)

JAKARTA, KOMPAS.com - Munculnya usulan pembahasan Rancangan Undang-Undang


Pengampunan Nasional saat rapat pleno Badan Legislasi, Selasa (6/10/2015) lalu,
dipertanyakan. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon J Mahesa mempertanyakan dasar
usulan pembahasan RUU itu.

"Pengampunan ini pengampunan apa? Ini demi kepentingan bangsa apa kepentingan
pragmatis?" kata Desmond saat diskusi bertajuk "RUU Pengampunan Nasional" di Kompleks
Parlemen, Kamis (8/10/2015).

Desmond mengatakan, jika pengampunan yang dimaksud diperuntukkan bagi wajib pajak
yang berutang kepada negara, bagaimana mekanisme pengampunan itu diberikan. Selain itu,
ia juga mempertanyakan, siapa target pajak yang sebenarnya disasar oleh para pengusul RUU
itu.

"Jadi wajib pajak yang berutang itu berapa dan siapa? Dan kenapa harus diampuni? Kalau
kebutuhan nasional itu penting, yang buat kita bingung ini seolah-olah pengampunan
koruptor," kata dia.
Di dalam draft RUU tersebut, yang dimaksud dengan Pengampunan Nasional adalah
penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang
perpajakan.

Selain itu, Pengampunan Nasional juga ditujukan untuk mengampuni sanksi pidana tertentu
dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam UU itu. Ada pun besaran
tarif uang tebusan berkisar antara tiga sampai delapan persen.

Seperti dijelaskan di dalam Bab III tentang Tarif dan Cara Menghitung Uang Tebusan, tarif
uang tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan
Oktober 2015 sampai dengan Desember 2015 sebesar 3 persen dari nilai harta yang
dilaporkan. Sementara, tarif 5 persen berlaku untuk pelaporan antara bulan Januari 2016
sampai dengan Juni 2016. Tarif 8 persen dikenakan bagi mereka yang baru melaporkan
antara bulan Juli 2016 hingga Desember 2016 (Pasal 4).

Pengampunan koruptor

Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan,
ada sekitar Rp 7.000 triliun uang warga negara Indonesia yang tidak masuk ke dalam sistem
perbankan nasional. Uang itu berasal dari berbagai sumber, baik dari hasil pengemplangan
pajak, tindak pidana korupsi hingga tindak pidana pencucian uang.

Desmond mengatakan, usulan pembahasan RUU Pengampunan Nasional seakan menyiratkan


Indonesia akan mengampuni pencuri uang negara. Ia menegaskan, Fraksi Gerindra akan
mempelajari terlebih dahulu usulan pembahasan itu. Sebab, dikhawatirkan usulan itu sarat
kepentingan tertentu.

"Kita harus waspada dan hati-hari saja, jangan sampai kita dibodohi. Fraksi Gerindra nggak
mau dibodoh-bodohi. Siapa yang mau diampuni? Bambang Sutrisno? Siapa?" tegasnya.

Bambang Sutrisno merupakan koruptor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Bank Surya. Diperkirakan kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 1,5 triliun.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Bambang bersalah secara in absentia karena ia
melarikan diri ke Singapura dan Hong Kong.

Desmond menambahkan, sebelum RUU ini diusulkan pembahasannya di rapat pleno Badan
Legislasi DPR, Selasa (6/10/2015), Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani
juga sempat dilobi oleh beberapa pihak untuk membahas RUU itu. Namun, Desmond enggan
mengungkap siapa pihak yang dimaksud.

"Yang jelas mengampuni sesuatu yang dibawa lari dari negara, sama saja mengampuni orang
korupsi yang bikin pesantren, tapi uangnya disimpan dan dia jadi kiai," kata dia.

Penulis : Dani Prabowo

Editor : Fidel Ali

PDIP menyebut RUU Pengampunan Nasional bisa memaafkan para koruptor bila mengembalikan
uang panasnya ke Indonesia. Seperti apa aturannya?
Dalam rancangan RUU Pengampunan Nasional yang dikutip detikcom, Rabu (7/10/2015), aturan itu
tercantum secara implisit di pasal 9 dan pasal 10. Pasal itu menjabarkan fasilitas apa yang akan
didapat oleh orang pribadi atau badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional.

Berikut bunyinya

PASAL 9

Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, memperoleh fasilitas di bidang perpajakan berupa:

a. Penghapusan Pajak Terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang
perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan yang belum
diterbitkan ketetapan pajak.
b. Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti
permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak sebelum undang-undang ini
diundangkan.

c. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti
permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan, atas pemeriksaan
pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut dihentikan.

Selain fasilitas-fasilitas di bidang perpajakan, mereka juga akan diberi 'kemewahan' dalam bentuk
pengampunan pidana terkait perolehan kekayaan. Aturan itu hanya tidak berlaku bagi pelaku tindak
pidana teroris, narkoba, dan perdagangan manusia.

Berikut bunyi aturannya:

PASAL 10

Selain memperoleh fasilitas dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Orang
Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan,
kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.

Di bagian Penjelasan kemudian dijabarkan bahwa banyak pelaku kejahatan yang cenderung
membawa lari hasil tindak pidana ke luar negeri sebagai bentuk pencucian uang atau menjadi
bagian dari kegiatan ekonomi bawah tanah di dalam negeri. Hal itu dilakukan untuk menghindari
kewajiban perpajakan.

Berikut bunyi penjelasannya:

Terdapat berbagai kejahatan masa lampau yang berkaitan dengan uang/dana hasil tindak pidana,
yang diduga belum selesai ditangani oleh instansi penegak hukum. Hal ini diduga karena sulitnya
instansi penegak hukum membuktikan asal dan aliran dana hasil tindak pidana tersebut. Tindak
pidana tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak
pidana pembalakan liar, tindak pidana di bidang perikanan dan kelautan, tindak pidana di bidang
pertambangan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana kepabeanan dan cukai, tindak
pidana perjudian serta tindak pidana di bidang penanaman modal. Kejahatan-kejahatan tersebut
telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya

Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengungkapkan bahwa RUU tersebut tak
memandang dari mana asal-usul kejahatan uang tersebut. Namun demikian yang menjadi tujuan
utama adalah agar uang tersebut bisa kembali ke negara.

"Yang hasil korupsi, pelarian modal, pengemplang pajak, uangnya dilaporkan kepada otoroitas
keuangan dan otoritas fiskal dan dimasukkan ke Indonesia. Maka nanti diampuni," kata Hendrawan
ketika berbincang, Rabu (7/10/2015).

JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-
2019 saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan
Nasional yang nantinya bisa mengampuni berbagai tindak pidana, termasuk pelaku korupsi.

Berbagai penyelewengan uang negara yang bisa diampuni adalah korupsi, pelarian modal dan
pengemplang pajak. Syaratnya, uang tersebut harus dikembalikan sepenuhnya kepada negara.

Usulan RUU Pengampunan Nasional keluar dari empat fraksi di DPR RI yakni, PDI
Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Berikut nama para pengusul RUU Pengampunan Nasional, seperti yang dihimpun Okezone,
Rabu (7/10/2015):

1. F-PDIP

Nusyirwan Soejono

Aria Bima

Dwi Ria Latifa

Ono Surono

My Esti Nijayati

Sofyan Tan

Junico BP Siahaan

Budi Yuwono

Sadarestuwati
Andreas Eddy Susetyo

Ridwan Andi

Henry Yosodiningrat

2. F-Golkar

Misbakhun

Tantowi Yahya

Adies Kadir

Dodi Alex

Babang Wiyogo

John K Aziz

Daniel Mutaqien

Kahar Muzakir

Muhidin Said

Dito Ganinduto

Hamka B Kady

Robert J Kardinal

3. F-PPP

Aditya Mufti Arifin

Mukhlisin

Amirul Tamim

Arwani Thomafi

Elviana

Fadly Nurzal

Dony A.M

4. F-PKB
Irmawan

Rohani Vanath

Sebelumnya, anggota Baleg DPR, Hendrawan Supratikno menyebutkan, aturan ini


memfokuskan pada mengembalikan uang negara yang seharusnya bisa digunakan untuk
kesejahteraan rakyat.

"Kalau tidak diampuni, mereka akan terus bergentayangan di luar negeri," ujar Hendrawan.

Meski begitu, Hendrawan menegaskan bahwa kejahatan seperti terorisme, human trafficking
dan narkoba tidak masuk dalam pasal ini.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyatakan UU


Pengampunan Nasional yang dibahas DPR tidak boleh sebagai alat melepaskan koruptor.

Hakl itu dikatakan Juru Bicara PPP Arsul Sani ketika dikonfirmasi, Minggu (11/10/2015).

"Tidak boleh UU Pengampunan Pajak ini menjadi sarana melepaskan pelaku kejahatan
korupsi, narkotika, terorisme dan tindak pidana pencucian uang untuk tidak diproses secara
hukum," katanya.

Arsul mengatakan pembahasan RUU tersebut harus sebatas untuk mereka yang sebelumnya
tidak membayar atau menyembunyikan pajak atas pendapatan dan harta bendanya secara sah.
Hal itu dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban pajaknya dengan disebut sebagai tebusan
pajak.

"Dengan komitmen kedepan yang bersangkutan harus taat terhadap kewajiban


perpajakannya," imbuhnya.

Namun, kata Anggota Komisi III DPR itu, bila ada pendapatan atau kekayaan yang didapat
dengan cara melanggar hukum sepertit korupsi, maka tidak bisa menghilangkan proses
hukum yang dilakukan penegak hukum.

Suara.com - Selasa (6/10/2015) petang, anggota Badan Legislasi DPR membahas dua
rancangan undang-undang untuk dimasukkan ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional
2015 di gedung DPR. Kedua rancangan yang dibahas yakni UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU tentang Pengampunan Nasional.

Latar belakang pembentukan RUU Pengampunan Nasional ialah rendahnya kepatuhan


masyarakat terhadap pajak.

Anggota Baleg dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan RUU
Pengampunan Nasional urgen karena banyak orang yang menyimpan uang hasil kejahatan di
luar negeri untuk mencari aman.

"Memang itu (menyimpan uang di luar negeri) ada yang merupakan hasil investasi yang baik,
tapi tidak menutup kemungkinan ada juga yang berasal dari hasil korupsi, dan pencucian
uang," ujar Hendrawan, Rabu (7/10/2015).
Hendrawan mengatakan dalam RUU tersebut, asalkan seseorang atau lembaga mau melapor
atau mengembalikan uang hasil kejahatan, mereka akan diampuni atau terhindar dari pidana.

"Yang hasil korupsi, pelarian modal, pengemplang pajak, uangnya dilaporkan kepada otoritas
keuangan dan otoritas fiskal dan dimasukkan ke Indonesia. Maka nanti diampuni," kata
Hendrawan.

Hendrawan menambahkan bila nanti semua uang hasil korupsi kembali ke negara, hal itu bisa
mengurangi desakan utang ke luar negeri dan bisa meningkatkan perekonomian nasional.

"Ini upaya meniadakan tuntutan pidananya. sekarang kita mau berkokoh menjadi malaikat
atau menerima (uang itu)? Kalau tidak diberi pengampunan, mereka akan terus
bergentayangan di luar negeri terus," ujar dia.

Namun, kata Hendrawan, tidak semua kasus bisa dikenakan pengampunan walaupun uangnya
telah dikembalikan kepada negara.

"Pengecualian dikenakan kepada dana terkait kejahatan terorisme, human trafficking, dan
kejahatan narkoba," kata dia.

Dalam rapat kemarin, 33 anggota DPR akhirnya meneken usulan RUU Pengampunan
Nasional. Mereka terdiri dari Fraksi PDI Perjuangan 12 orang, Fraksi Golkar ada 12 orang,
PPP tujuh orang, dan PKB ada dua orang.

Belum ada kesimpulan di akhir rapat. Pimpinan rapat ini, Sareh Wiyono akhirnya menunda
keputusan hingga Senin pekan depan.

SONORA.CO.ID - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ikut angkat


bicara perihal DPR RI yang mengajukan pengampunan terhadap koruptor
pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional.

Dalam RUU tersebut, nantinya seseorang atau lembaga yang mau melapor
atau mengembalikan uang hasil kejahatan, maka akan diampuni atau
terhindar dari pidana.

Menurut Basuki, hal itu sah-sah saja dilakukan. Namun dengan satu syarat.
"Makanya saya bilang, kalau mau ada pemutihan atau pengampunan koruptor
boleh. Tetapi harus disebutkan juga ke depannya bahwa harus ada
pembuktian terbalik harta pejabat dan baru kita rekonsiliasi," kata Ahok,
sapaan Basuki, di Balai Kota, Jumat (9/10/2015).

Melalui pembuktian harta terbalik itu, para pejabat harus membuktikan dari
mana asal harta kekayaannya. Sementara selama ini hanya menghitung
jumlah harta kekayaan saja.
Jika tidak dilakukan pembuktian harta terbalik, maka pengampunan
merupakan keistimewaan bagi para koruptor. "Sudah dapat pengampunan
terus korupsi lagi, kacau dong," kata Basuki.

Mantan Bupati Belitung Timur itu menegaskan perlu ada batas waktu yang
ditetapkan dalam pemberian pengampunan terhadap koruptor.

Tidak semua koruptor dapat diampuni. Misalnya, yang diampuni hanya


koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi pada masa orde baru saja.

Bahkan, ia menyindir para anggota dewan yang kebanyakan memiliki latar


belakang aktivis tahun 1998.

"Katanya kan yang berkuasa sekarang adalah aktivis-aktivis antikorupsi yang


menumbangkan Pak Harto, menumbangkan orde baru. Jadi orang-orang
yang sudah bertekad, mau membaguskan negara ini. Berarti pengampunan
koruptor itu hanya berlaku sampai 1998, misalnya," kata Basuki.

Pada Selasa 6 Oktober 2015 lalu, DPR membahas dua RUU untuk
dimasukkan ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2015. Kedua
rancangan yang dibahas yakni UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi dan RUU tentang Pengampunan Nasional.

Latar belakang pembentukan RUU Pengampunan Nasional ialah rendahnya


kepatuhan masyarakat terhadap pajak.

Menurut anggota DPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, RUU


Pengampunan Nasional mendesak karena banyak orang yang menyimpan
uang hasil kejahatan di luar negeri untuk mencari aman.

Dia menegaskan dalam RUU tersebut, asalkan seseorang atau lembaga mau
melapor atau mengembalikan uang hasil kejahatan, mereka akan diampuni
atau terhindar dari pidana
DPR RI tengah merancang undang-undang kontroversial. Salah satunya rancangan undang-undang
(RUU) Pengampunan Nasional.

Dalam RUU tersebut, nantinya seseorang atau lembaga yang mau melapor atau mengembalikan
uang hasil kejahatan, maka akan diampuni atau terhindar dari pidana.

Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama atau Ahok pun tergelitik untuk angkat bicara. Dia menilai hal
itu bisa saja dilakukan, dengan sejumlah syarat.

"Makanya saya bilang, kalau ada pemutihan pengampunan koruptor boleh, tapi harus disebutkan
juga ke depan bahwa harus ada pembuktian terbalik harta pejabat, baru kita rekonsiliasi," ujar Ahok
di Balai Kota Jakarta, Jumat (9/10/2015).

"Jadi kalau Anda mau rekonsiliasi pengampunan koruptor boleh, tapi ke depan yang mau jadi
pejabat harus bisa mengumumkan hartanya dari mana, bukan cuma berapa, baru adil kan?" lanjut
dia.

Mantan Bupati Belitung Timur itu menegaskan, bila RUU tersebut akan diberlakukan maka perlu ada
batasan waktu yang perlu diberikan pengampunan.

"Misalnya (yang diampuni) kejahatan korupsi sampai tahun 2015 atau 2010 kemarin, atau pasca-
reformasi, kan kita semua reformator nih, ya kan, korupsi yang dilakukan sebelum 98 (tahun 1998
atau era orde baru) kita ampuni, supaya fair kan," tutur Ahok.

Dengan adanya RUU Pengampunan Nasional itu, Ahok pun menyindir para penguasa DPR yang
berlatar belakang aktivis reformasi 1998.

"Katanya kan yang berkuasa sekarang adalah aktivis-aktivis antikorupsi yang menumbangkan Pak
Harto, menumbangkan orde baru, jadi orang-orang yang sudah bertekad, mau membaguskan negara
ini. Berarti pengampunan koruptor itu hanya berlaku sampai 1998, misalnya," pungkas Ahok.

Pada Selasa 6 Oktober DPR membahas 2 rancangan undang-undang untuk dimasukkan ke dalam
prioritas Program Legislasi Nasional 2015 di gedung DPR. Kedua rancangan yang dibahas yakni UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU tentang Pengampunan
Nasional.

Latar belakang pembentukan RUU Pengampunan Nasional ialah rendahnya kepatuhan masyarakat
terhadap pajak.

Menurut anggota DPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, RUU Pengampunan Nasional
mendesak karena banyak orang yang menyimpan uang hasil kejahatan di luar negeri untuk mencari
aman. Dia menegaskan dalam RUU tersebut, asalkan seseorang atau lembaga mau melapor atau
mengembalikan uang hasil kejahatan, mereka akan diampuni atau terhindar dari pidana. (Put/Mut)

Rancangan UU Pengampunan Nasional tidak ada kata-kata `pelaku korupsi` jadi RUU itu
terkait dengan `tax amnesty`."
Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji
menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional yang diusulkan
DPR tidak terkait langsung dengan tindak pidana korupsi.

"Rancangan UU Pengampunan Nasional tidak ada kata-kata pelaku korupsi jadi RUU itu
terkait dengan tax amnesty," kata Indriyanto dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta,
Rabu.
RUU Pengampunan Nasional diajukan 33 anggota DPR dari fraksi Partai Golkar, PDI-
Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa untuk menjadi
RUU prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 meski belum pernah dibicarakan
dalam pembahasan Prolegnas 2-15 dan Prolegnas 2015-2019.

"Tujuan RUU Pengampunan Nasional itu kan bukan pemutihan tindak pidana tapi untuk
memasukkan uang dari masyarakat Indonesia yang beredar di luar untuk ditingkatkan lagi ke
Indonesia yang terkait dengan permasalah-permasalahan pajak, pajaknya itu salah satunya
adalah terkait dengan tindak pidana korupsi," ungkap Indriyanto.

Menurut RUU tersebut, Pengampunan Nasional adalah penghapusan pajak terutang,


penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang
perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.

Setiap orang Pribadi atau Badan berhak mengajukan permohonan Pengampunan Nasional
dengan menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional. Terdapat sejumlah
pengelompokkan tarif uang terbusan berdasarkan periode Surat Permohonan Pengampunan
Nasional yaitu sebesar 3 persen, 5 persen dan 8 persen berdsarkan harta yang dilaporkan.

"Tapi memang itu baru sebatas rancangan, bukan dilihat apakah ada kadaluarsa dugaan
tindak pidana korupsi atau tidak. Mengapa tindak pidana korupsi itu masuk karena ada tindak
pidana yang dikecualikan untuk pengampunan nasional yaitu terorisme, narkoba,
perdagangan manusia, jadi RUU ini baru sebatas itu dan bukan bagian dari semacam
amnesti," tambah Indriyanto.

Sehingga RUU ini menurut Indriyanto pun lebih fokus kepada pengampunan pajak para
wajib pajak.

"RUU ini pun belum mengatur mengenai kapan kadaluarsa atau sampai tahun ke berapa sejak
ditanda tanganinya UU tersebut pengampunan nasional itu diberikan kepada wajib pajak,"
tambah Indriyanto.

Dalam RUU ini juga diatur mengenai pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Nasional
melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran Surat Permohonan Pengampunan Nasional
beserta lampirannya (pasal 8).

Dalam penjelasan umum RUU ini disebutkan banyak pelaku kejahatan yang cenderung
membawa lari hasil tindak pidana ke luar negeri sebagai bentuk pencucian uang atau menjadi
bagian dari kegiatan ekonomi bawah tanah di dalam negeri. Banyaknya dana atau harta yang
diduga disimpan di dalam dan luar negeri dengan berbagai alasan antara lain karena harta
atau penghasilan tersebut berasal dari hasil tindak pidana dan untuk menghindari pembayaran
kewajiban perpajakan.

Terdapat berbagai kejahatan masa lampau yang berkaitan dengan uang/dana hasil tindak
pidana, yang diduga belum selesai ditangani oleh instansi penegak hukum yag diduga karena
sulitnya instansi penegak hukum membuktikan asal dan aliran dana hasil tindak pidana
tersebut. Tindak pidana tersebut antara lain korupsi, pencucian uang, pembalakan liar, tindak
pidana di bidang perikanan dan kelautan, di bidang pertambangan, di bidang perbankan, di
bidang kepabeanan dan cukai, perjudian serta di bidang penanaman modal.
Menyadari sepenuhnya bahwa aparatur pemungutan pajak belum mampu menghadapi
pelanggaran-pelanggaran fiskal tersebut dan masih besarnya tantangan dan hambatan bagi
aparat penegak hukum untuk mengusut kejahatan yang berkaitan dengan asal-usul harta yang
tidak benar, dan di sisi lain terdapat banyak potensi masyarakat pembayar pajak yang masih
enggan mengungkap hartanya kedalam sistem perpajakan karena khawatir dengan
pengusutan asal-usul harta mereka, maka pemerintah membentuk suatu kebijakan untuk
mengatasi hal tersebut.

Dengan diterapkannya kebijakan pengampunan nasional, masyarakat pembayar pajak yang


merasa bersalah dan hendak meminta pengampunan atas harta yang dimiliki, diharapkan akan
bersedia memenuhi panggilan pemerintah untuk ikut serta dan sukarela untuk segera
melaporkan harta kekayaan yang ada di dalam dan luar negeri serta membayar uang tebusan
untuk memperoleh pengampunan.

Editor: B Kunto Wibisono

Merdeka.com - Partai Golkar salah satu yang setuju dengan Rancangan Undang-Undangan
Pengampunan Nasional. Golkar menilai, RUU tersebut dapat memberikan pemasukan pajak untuk
negara. RUU Pengampunan Nasional juga memperbaiki ekonomi negara yang sedang melemah.

"Kalau Golkar menyetujuinya, ini adalah upaya bagaimana untuk mengumpulkan uang sebanyak-
banyaknya melalui wajib pajak. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan uang sebesar Rp 700 triliun
yang mengendap di luar negeri dalam rangka memperbaiki ekonomi," kata Politikus Partai Golkar
Tantowi Yahya di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (7/10).

Selain itu, kata dia, aturan tersebut akan membuat Warga Negara Indonesia (WNI) mau menyimpan,
melaporkan dan memasukkan dana mereka ke dalam negeri. Mengingat, WNI yang menyimpan
dananya di luar negeri.

Dengan WNI menaruh dananya di tanah air akan menjadi masukan pajak negara dan melatih
warganya untuk patuh
membayar pajak.

"Supaya WNI kita bisa belajar patuh untuk membayar pajak kepada negara," ujarnya.

Meskipun begitu, dia menampik bahwa RUU Pengampunan Nasional akan mengampuni pelaku
tindak korupsi dengan hanya mengembalikan uangnya kepada negara.

"Kita nggak bicara soal korupsi yang mendapatkan pengampunan tapi ada keinginan untuk
mengambil pajak yang bertujuan untuk menguatkan ekonomi," ungkapnya.

Seperti diketahui, alasan DPR mengusulkan RUU Pengampunan Nasional untuk mengatasi
pertumbuhan ekonomi di tanah air yang mulai melambat. Maka, diperlukan sumber pembiayaan
yang dapat dipergunakan untuk melakukan investasi di sektor publik.

Untuk meningkatkan penerimaan pajak di tanah air, perlu adanya suatu langkah kebijakan yang
ditempuh oleh pemerintah agar pihak-pihak yang menyimpan dan belum melaporkan hartanya
untuk melaporkan harta yang disimpan di luar negeri tersebut ke dalam negeri yang diharapkan
akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia.

Merdeka.com - Partai Golkar salah satu yang setuju dengan Rancangan Undang-Undangan
Pengampunan Nasional. Golkar menilai, RUU tersebut dapat memberikan pemasukan pajak untuk
negara. RUU Pengampunan Nasional juga memperbaiki ekonomi negara yang sedang melemah.

"Kalau Golkar menyetujuinya, ini adalah upaya bagaimana untuk mengumpulkan uang sebanyak-
banyaknya melalui wajib pajak. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan uang sebesar Rp 700 triliun
yang mengendap di luar negeri dalam rangka memperbaiki ekonomi," kata Politikus Partai Golkar
Tantowi Yahya di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (7/10).

Selain itu, kata dia, aturan tersebut akan membuat Warga Negara Indonesia (WNI) mau menyimpan,
melaporkan dan memasukkan dana mereka ke dalam negeri. Mengingat, WNI yang menyimpan
dananya di luar negeri.

Dengan WNI menaruh dananya di tanah air akan menjadi masukan pajak negara dan melatih
warganya untuk patuh
membayar pajak.

"Supaya WNI kita bisa belajar patuh untuk membayar pajak kepada negara," ujarnya.

Meskipun begitu, dia menampik bahwa RUU Pengampunan Nasional akan mengampuni pelaku
tindak korupsi dengan hanya mengembalikan uangnya kepada negara.

"Kita nggak bicara soal korupsi yang mendapatkan pengampunan tapi ada keinginan untuk
mengambil pajak yang bertujuan untuk menguatkan ekonomi," ungkapnya.

Seperti diketahui, alasan DPR mengusulkan RUU Pengampunan Nasional untuk mengatasi
pertumbuhan ekonomi di tanah air yang mulai melambat. Maka, diperlukan sumber pembiayaan
yang dapat dipergunakan untuk melakukan investasi di sektor publik.

Untuk meningkatkan penerimaan pajak di tanah air, perlu adanya suatu langkah kebijakan yang
ditempuh oleh pemerintah agar pihak-pihak yang menyimpan dan belum melaporkan hartanya
untuk melaporkan harta yang disimpan di luar negeri tersebut ke dalam negeri yang diharapkan
akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia.

 Hendrawan Supratikno Berita Hendrawan Supratikno

Berita Terkait
 Draf RUU Pengampunan Nasional, aset hasil korupsi bisa diampuni
 'Pengampunan pajak hanya akan diberikan satu kali'
 Ini nama-nama anggota DPR pengusul RUU Pengampunan Nasional

Merdeka.com - Salah satu anggota DPR pengusul RUU Pengampunan Nasional


Hendrawan Supratikno kembali menegaskan bahwa dalam Pasal 10 RUU tersebut memang
ditujukan untuk mengampuni para koruptor. Namun dengan syarat uang dari hasil
korupsinya dikembalikan ke negara.

Hendrawan pun membantah pernyataan dua anggota Fraksi Golkar M Misbakhun dan
Tantowi Yahya yang menyebut RUU tersebut hanya ditujukan untuk pengampunan pajak.

"Berarti dia (Misbakhun) tidak membaca secara akurat, padahal ikut tandatangan, termasuk
Pak Tantowi juga, baca dong pasal 10 dan penjelasannya," kata Hendrawan di Gedung DPR,
Jakarta, Kamis (8/10).

Hendrawan juga kembali menjabarkan bahwa dalam Pasal 10 tersebut mengampuni para
pelaku tindak pidana korupsi dengan pengecualian, yaitu terorisme, perdagangan manusia
(human trafficking) dan narkoba.

"Jadi lain-lain masuk di sini. Jadi ini pengampunan luar biasa, dan tentu akan menimbulkan
pro dan kontra," katanya.

Meski terkesan ngotot menggodok RUU tersebut, dia membantah inisiatif tersebut datang
dari fraksinya, PDIP. Dia justru menyebut RUU tersebut merupakan inisiatif dari DPR untuk
membantu pemerintah menambah pemasukan negara.

"Yang berkepentingan seharusnya pemerintah karena pemerintah sangat membutuhkan


tambahan penerimaan negara," elaknya.

Adapun, lewat pengampunan tersebut, pihaknya menargetkan negara akan mendapatkan


pemasukan sebesar Rp 7000 triliun.

"Kalau skenario pesimis di atas kertas kurang lebih Rp 3000 T, optimisnya Rp 7000 T, kalau
dikenakan uang tebusan dan pajak, kan di sini 3-8 persen, katakanlah rata-rata 5 persen
berarti kali 7000 T, kalau optimis artinya Rp 350 T, kalau pesimis Rp 210 T," ucapnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun membantah bahwa RUU Pengampunan


Nasional buat mengampuni para koruptor dengan mengembalikan uang hasil korupsinya. Dia
menyatakan, RUU tersebut hanya berisi tentang tax amnesty atau penghapusan denda pajak.

"Tidak benar isi pengampunan pajak ampuni koruptor. Tidak, saya siapkan draf dan baca draf
yang ada tidak ada keinginan kita ampuni koruptor," kata Misbakhun di Gedung DPR,
Jakarta, Rabu (7/10).
"Orang yang hartanya terkena sita karena kasus tipikor tidak bisa dimasukkan dalam skema
pengampunan pajak. Orang yang sedang dalam proses tipikor pun tidak bisa memasukkan
HKL nya dalam proses pengampunan pajak," ujarnya menambahkan.

Seperti diketahui, Dalam pasal 9 dan pasal 10 draft RUU pengampunan Nasional yang
didapat merdeka.com, Rabu (7/10) itu tertulis, bahwa:

Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional
sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, memperoleh fasilitas di bidang
perpajakan berupa:

a. Penghapusan Pajak Terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di


bidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan
yang belum diterbitkan ketetapan pajak.

b. Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atas
kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak sebelum
undang-undang ini diundangkan.

c. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau
pemeriksaan bukti permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini
diundangkan, atas pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut
dihentikan.

Pasal 10

Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,


Orang Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan
kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.

Dengan demikian, koruptor dapat berpeluang mendapatkan pengampunan tindak pidana


terkait perolehan kekayaan dari hasil korupsi.

Sedangkan di Pasal 9, orang pribadi atau badan yang mendapatkan pengampunan nasional
dapat memperoleh fasilitas berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi
perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum
undang-undang Pengampunan Nasional ini diundangkan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kementerian Hukum dan HAM mengatakan


Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional memang bukan untuk koruptor.
RUU tersebut ditujukan untuk pengampunan untuk pembayar pajak (tax amesty).

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly, mengatakan pihaknya di satu sisi
mendukung RUU tersebut untuk mendongkrak perekonomian Indonesia. Menurut Yasonna,
uang para pengusaha Indonesia yang berada di luar negeri itu ditarik masuk ke Indonesia dan
pada tahun berikutnya baru membayar pajak.
"Nanti kan kalau sudah masuk, tahun berikutnya bayar (pajak) juga, bisa menjadi uang," kata
Laoly di sela-sela upacara Ulang Tahun ke-13 Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat
(9/10/10/2015).

Meski demikian, Laoly mengatakan RUU harus dipikirkan secara teliti dan diputuskan mana
yang paling baik. Politikus PDI Perjuangan itu mencontohkan bahwa DPR tidak sepakat
apabila uang yang ditarik berasal dari terorisme, perdagangan narkoba, atau dari perdagangan
manusia.

"Bagaimana dengan uang korupsi? korupsi seperti apa, ya kan? Di luar ditaruh, nggak ada
manfaatnya buat kita, negara lain yang menikmati.
Ada positif ada negatifnya, kita timbang aja, yang mana lebih besar mudharatnya atau
manfaatnya," tukas Laoly.

Diberitakan sebelumnya, empat Fraksi di DPR mengusulkan dibahasnya rancangan undang-


undang Pengampunan Nasional (Tax Amnesty) agar masuk sebagai Prolegnas Prioritas 2015.
Keempat fraksi tersebut adalah Fraksi PDIP, Golkar, PKB dan PPP.

Usulan inisiatif DPR RI atas RUU Pengampunan Nasional itu dibahas dalam rapat internal
Badan Legislasi (Baleg), Selasa (6/10/2015). Latar belakang pengusulan dibahasnya RUU
Pengampunan Nasional adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I dan II
2015.

"Dengan didorong oleh keinginan luhur dan rasa tanggungjawab yang besar terhadap
penyelenggaraan negara dan pelaksanaan pembangunan nasional serta mengacu kepada hak
konstitusional Anggota dan DPR, kami para pengusul berketetapan untuk mengajukan usul
inisiatif atas RUU Pengampunan Nasional," bunyi dokumen usulan RUU Pengampunan
Nasional yang diterima Tribunnews.com.

AKARTA, KOMPAS.com - Munculnya usulan pembahasan Rancangan Undang-Undang


Pengampunan Nasional saat rapat pleno Badan Legislasi, Selasa (6/10/2015) lalu,
dipertanyakan. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon J Mahesa mempertanyakan dasar
usulan pembahasan RUU itu.

"Pengampunan ini pengampunan apa? Ini demi kepentingan bangsa apa kepentingan
pragmatis?" kata Desmond saat diskusi bertajuk "RUU Pengampunan Nasional" di Kompleks
Parlemen, Kamis (8/10/2015).

Desmond mengatakan, jika pengampunan yang dimaksud diperuntukkan bagi wajib pajak
yang berutang kepada negara, bagaimana mekanisme pengampunan itu diberikan. Selain itu,
ia juga mempertanyakan, siapa target pajak yang sebenarnya disasar oleh para pengusul RUU
itu.

"Jadi wajib pajak yang berutang itu berapa dan siapa? Dan kenapa harus diampuni? Kalau
kebutuhan nasional itu penting, yang buat kita bingung ini seolah-olah pengampunan
koruptor," kata dia.

Di dalam draft RUU tersebut, yang dimaksud dengan Pengampunan Nasional adalah
penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang
perpajakan.
Selain itu, Pengampunan Nasional juga ditujukan untuk mengampuni sanksi pidana tertentu
dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam UU itu. Ada pun besaran
tarif uang tebusan berkisar antara tiga sampai delapan persen.

Seperti dijelaskan di dalam Bab III tentang Tarif dan Cara Menghitung Uang Tebusan, tarif
uang tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan
Oktober 2015 sampai dengan Desember 2015 sebesar 3 persen dari nilai harta yang
dilaporkan. Sementara, tarif 5 persen berlaku untuk pelaporan antara bulan Januari 2016
sampai dengan Juni 2016. Tarif 8 persen dikenakan bagi mereka yang baru melaporkan
antara bulan Juli 2016 hingga Desember 2016 (Pasal 4).

Pengampunan koruptor

Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan,
ada sekitar Rp 7.000 triliun uang warga negara Indonesia yang tidak masuk ke dalam sistem
perbankan nasional. Uang itu berasal dari berbagai sumber, baik dari hasil pengemplangan
pajak, tindak pidana korupsi hingga tindak pidana pencucian uang.

Desmond mengatakan, usulan pembahasan RUU Pengampunan Nasional seakan menyiratkan


Indonesia akan mengampuni pencuri uang negara. Ia menegaskan, Fraksi Gerindra akan
mempelajari terlebih dahulu usulan pembahasan itu. Sebab, dikhawatirkan usulan itu sarat
kepentingan tertentu.

"Kita harus waspada dan hati-hari saja, jangan sampai kita dibodohi. Fraksi Gerindra nggak
mau dibodoh-bodohi. Siapa yang mau diampuni? Bambang Sutrisno? Siapa?" tegasnya.

Bambang Sutrisno merupakan koruptor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Bank Surya. Diperkirakan kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 1,5 triliun.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Bambang bersalah secara in absentia karena ia
melarikan diri ke Singapura dan Hong Kong.

Desmond menambahkan, sebelum RUU ini diusulkan pembahasannya di rapat pleno Badan
Legislasi DPR, Selasa (6/10/2015), Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani
juga sempat dilobi oleh beberapa pihak untuk membahas RUU itu. Namun, Desmond enggan
mengungkap siapa pihak yang dimaksud.

"Yang jelas mengampuni sesuatu yang dibawa lari dari negara, sama saja mengampuni orang
korupsi yang bikin pesantren, tapi uangnya disimpan dan dia jadi kiai," kata dia.

Penulis : Dani Prabowo


Editor : Fidel Ali

Anda mungkin juga menyukai