Anda di halaman 1dari 5

MERGER BANK BUMN SYARIAH

Nia Agusitna

Bank adalah suatu lembaga keuangan dan sebuah bisnis yang sangat ketata
pengaturannya, hal tersebut karena sifat dasarnya sebagai lembaga kepercayaan dengan tugas
pokok menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada
masayrakat /pengusaha yang memerlukannya. Bank dalam menghimpun dana dari
masyarakat dan mengembalikan lagi dana tersbeut kepada masayrakat dalam bentuk kredit
adalah keinginan yang wajar dari bank maupun dari debitur dalam menjalankan kredit yang
akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan yaitu pinjaman melalui kredit menjadi
produktif sehingga kedua belah pihak baik biphak perbankan maupun pihak pengusaha yang
mendapat pinjaman dari bank masing masing mendapat keuntungan yang diharapakan.

Tujuan penggabungan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain secara
umum dilakukan sebagai upaya untuk restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi perusahaan
tersebut biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan antara lain yaitu memperbaiki kinerja
perushaaan, mengadakan persiapan untuk menghadapi kompetisi, memperkuat aset dan
modal perusahaan menghindari kerudian, menghndari kehancuran dan kebangkrutan, serta
menambah modal karena adanya ketentuan yang baru.

Undang- undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah dibuat
oleh undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya menggunakan
istilah merger. Semantara itu undang undang no 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
selanjutnya disebut UU PT menggunakan istilah Penggabungan dan Peleburan. Latar
belakang penggabungan sesuia dengan kebijakan kepemilikan tunggal Bank Indonesia

Kendati terdapat pro dan kontra, Kementerian BUMN tidak menghentikan rencana mengenai
penggabungan anak usaha bank syariah yang dimiliki oleh 4 emiten bank milik pemerintah.

Deputi Usaha Jasa Keuangan, Jasa Konstruksi dan Jasa Lainnya Kementerian BUMN
Gatot Trihargo mengatakan kajian mengenai perbankan syariah tersebut telah hampir final.
Gatot mengatakan terdapat sejumlah opsi terkait wacana penggabungan PT BNI Syariah yang
dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT Bank Syariah Mandiri milik PT
Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT BRI Syariah milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Tbk., dan unit usaha syariah milik PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. opsi tersebut
adalah penggabungan bank syariah tersebut menjadi satu entitas atau menjadi BUMN
tersendiri.

Selama lebih dari 20 tahun, industri perbankan syariah Indonesia bisa dibilang
tumbuh subur. Setidaknya saat ini ada 2.944 jaringan kantor perbankan syariah yang
beroperasi. Pertumbuhannya juga mencapai kisaran 500%. Kondisi tersebut cukup
menggembirakan. Bank BUMN pun mencoba peruntungan dengan masuk ke pasar syariah
dengan anak usahanya. Namun sayangnya, produk syariah tak juga cepat dikenal masyarakat.
Saling sikut pun terjadi dan pemerintah ingin menggabungkan anak usaha syariah milik
BUMN.

Sebenarnya, perbankan syariah Indonesia kalah start bila dibanding negara lain. Di
negara-negara Timur Tengah, bank syariah sudah marak sejak 1970-an. Di Asia Tenggara,
tonggak bank syariah justru muncul di Malaysia, yakni dengan berdirinya Bank Islam
Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983. Namun bank syariah nasional pertama, Bank
Muamalat, baru hadir di tahun 1991. Padahal, Indonesia adalah negara dengan penduduk
muslim terbanyak di dunia.

Industri perbankan syariah Indonesia baru berkembang di era 2000-an. Kala itu bank-
bank konvensional dan swasta berbondong-bondong membentuk anak usaha syariah. Usaha
syariah seakan menjadi tren yang melanda bisnis jasa keuangan secara keseluruhan. Hingga
ini saat pemainnya sudah mencapai ratusan (terbanyak di dunia). Ada 12 Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) 22 bank, plus 164 Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS).

Namun sayang, pertumbuhan jumlah bank syariah yang menggembirakan belum


sejalan dengan perkembangan aset. Banyak pemain, namun kapitalisasi masih kecil-kecil.
Menurut catatan Bank Indonesia (BI), total aset perbankan syariah baik BUS maupun UUS
hanya Rp 272,3 triliun, atau baru 4,9% dari total aset perbankan konvensional. Aset syariah
yang masih di bawah 5% sangat memilukan, mengingat Indonesia adalah negara dengan
pasar syariah terbesar di dunia. Di Malaysia, aset perbankan syariah sudah mencapai 21%.
Kalau di Arab Saudi bahkan sudah 23%.

Kekhawatiran pertumbuhan aset perbankan syariah yang lambat memunculkan wacana


pembentukan bank syariah BUMN. Wacana pertama kali digulirkan oleh Deputi Menteri
BUMN Bidang Jasa Kementerian BUMN, Gatot Trihargo. Gatot mengusulkan, tiga BUS
yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), BNI Syariah, BRI Syariah, dan unit usaha syariah BTN
digabung jadi BUS nasional. Tujuan merger ini demi memperkuat permodalan dan
mendukung ekspansi. Selain itu sebagai persiapan menghadapi pasar tunggal ASEAN.

Jika prosesnya lancar dan sudah ada kata sepakat dari bank-bank BUMN, maka merger bisa
direalisasikan tahun 2015 ini. Manajemen bank-bank BUMN yang banyak dirombak pada
Maret lalu, akan segera dipanggil untuk duduk bersama. Ini baru selesai perubahan
manajemen. Nanti pihak-pihak terkait akan duduk untuk membicarakan kembali soal merger.
Akan segera kami selesaikan, sedang dipersiapkan, kata Gatot kepada BUMN Track.

Sikap Kontra Mandiri

Sejak digulirkan dua tahun lalu, gaung wacana penyatuan anak-anak usaha syariah
bank BUMN belakangan semakin nyaring terdengar. Ada yang menanggapi pro, ada pula
yang kontra. Resistensi terutama muncul dari induk bank bersangkutan.

Salah satu bank BUMN yang gamblang menyebut merger bukan langkah yang tepat
adalah Bank Mandiri. Bank pelat merah dengan aset terbesar di Indonesia ini menilai merger
bukanlah solusi. Direktur Utama Bank Mandiri, Budi G. Sadikin, menyebut, saat ini
perbankan syariah mengalami kesulitan menekan tingginya tingkat kredit bermasalah (non
performing loan/NPL). Seperti contohnya BSM yang NPL-nya di 2014 masih tinggi, yakni di
kisaran 5%. Jika digabung, maka hasilnya akan menjadi kurang baik. Dan Tahapan yang
perlu dilakukan adalah perbaikan dari struktur industri perbankan syariah dulu, karena NPL-
nya masih tinggi.karena akan berbahaya jika merger pada saat NPL tinggi.

Persoalan tingginya NPL di perbankan syariah, menurut Budi harus dibenahi terlebih
dulu. Namun jika merger tetap dijalankan, maka ia menegaskan bakal manut apapun putusan
pemerintah. Senada dengan Dirut Mandiri, Dirut Keuangan dan Strategi BSM, Agus Dwi
Handaya menyatakan akan fokus dulu pada penguatan fundamental. Jika itu sudah dilakukan,
maka apapun corporate action bakal lebih mudah dilakukan.

Selain itu ada juga aspek seperti Sumber Daya Manusia (SDM), culture bussiness
management, dan pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi (IT), yang harus
diperhatikan sebelum merger. Sementara itu, Direktur BNI yang baru saja ditetapkan dalam
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) pada Maret lalu, Bob Tyasika Ananta, mengatakan,
rencana merger anak usaha yang diusulkan pemerintah sedang dalam pembahasan internal
BNI.
Manfaat atau Mudharat?

Menanggapi keberatan dari induk bank syariah BUMN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mengaku bertekad bersama-sama Kementerian BUMN tetap terus maju merealisasikan
terbentuknya Bank BUMN Syariah. Hal tersebut ditegaskan Ketua Dewan Komisioner OJK,
Muliaman D Hadad.

OJK membantah jika tujuan merger hanya demi kepentingan membesarkan aset. Ia meminta
semua pihak untuk duduk bersama menyampaikan kajian.. Menurut Muliaman, dengan
adanya bank syariah BUMN yang besar, maka bisa membuka peluang dan kontribusi dalam
pembiayaan proyek infrastruktur. Rencana merger juga dapat menyokong pertumbuhan
ekonomi Indonesia lima tahun ke depan. Sama seperti OJK, BI juga punya skenario optimis
soal pembentukan bank syariah BUMN ini. Direktur Eksekutif Departemen Perbankan
Syariah BI, Edy Setiadi, mengatakan, merger akan mendorong pangsa pasar dari 4,9%
menjadi 6,25%.

Namun pendapat berbeda disampaikan peneliti ekonomi syariah dari Karim Consulting
Indonesia, Adiwaman Azwar Karim. Dalam diskusi ekonomi syariah yang digelar Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) beberapa waktu lalu, ia memberi catatan
hasil kajiannya. Dalam kajiannya, jika merger dilakukan saat ini dengan aset total bank-bank
syariah BUMN masih di kisaran Rp 110 trilun, maka lebih banyak mudharat dibanding
manfaat. Sebab setiap merger pasti diiringi masa konsolidasi tiga tahun. Dalam masa
konsolidasi, biasanya aset mengerut dan tidak ekspansif. Juga potensi resistensi internal
bank-bank syariah.

Adiwaman merekomendasikan, sebaiknya bank BUMN membesarkan dulu anak bank


syariahnya sampai aset mencapai 20 persen induk. Tahap ini bisa dilakukan selama empat
tahun, yakni 2015-2018. Saat aset masing-masing bank BUMN syariah sudah 20 persen dari
induknya, barulah merger dilakukan. Pemerintah juga harus menambahkan modal sehingga
pemegang sahamnya empat bank induk plus pemerintah. Tahap ini direkomendasikan
dilaksanakan pada 2018-2020.
Sementara itu dalam kajian Lembaga Kajian Ekonomi dan Pembangunan Islam (LKEPI)
yang dirilis beberapa waktu lalu, disebutkan, pemerintah perlu mendirikan bukan hanya bank
syariah BUMN. Anak-anak usaha syariah BUMN lainnya juga perlu disatukan. Misalnya
Asuransi Syariah BUMN, Pegadaian Syariah BUMN, Multifinance BUMN Syariah,
Securitas BUMN. LKEPI menilai, perlu ada dukungan pemerintah secara total terhadap
praktek keuangan syariah. Yang terjadi selama ini, usaha syariah tumbuh hanya sebatas anak
perusahaan BUMN, bukan didirikan secara mandiri oleh pemerintah. Hal tersebut membuat
usaha syariah harus terus menginduk dengan induk perusahaan dan bukan berdiri sendiri.
Akibatnya, Indonesia yang punya pasar syariah terbesar di dunia, justru tidak punya lembaga
keuangan syariah yang besar dan kuat.

Anda mungkin juga menyukai