Anda di halaman 1dari 5

Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Oleh Rum Rosyid


Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-
1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari
tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan
bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan
Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam
kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya melalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh,
berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral
pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak
ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses
yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan
fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan
berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman.
Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang
merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan
tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di
laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey
mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan
pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan
sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan
keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya
dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia
berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat
tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah.
Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman
tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat
menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem
pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-
buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang
berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku.
Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini
membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini
bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa
manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur
komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya,
pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan,
tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup.
Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan
yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada
alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan
bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung
individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas
kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana
kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat
bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru.
Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan
pengetahuan.

Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam


masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung
cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam
pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan
kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni,
kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman
bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan
membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam
kegiatan bersama.

Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat
sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta
pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-
bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat,
dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu
tidak dapat berkembang. Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat
pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan
mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang
timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan
sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan
problema dan kesulitan tersebut.

Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian
kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide
tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan
kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian
pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan
kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.

Imperialisme Pendidikan : Menuju Imperialisme Ekonomi


Pernah diungkapkan oleh Antonio Gramsci, Louis Althusser, Michel Foucault yang juga
disepakati oleh Paulo Freire mengenai penanaman ideologi melalui lembaga pendidikan
untuk melanggengkan kekuasaan negara. Sehingga tujuan pendidikan yang seharusnya
dapat membantu peserta didik untuk memahami realitas dehumanisasi yang ada di
sekitarnya dalam rangka memahami dirinya sebagai manusia untuk mengenal
Penciptanya sehingga dapat menjalankan tugasnya di bumi ini, menjadi ternistakan oleh
Keuangan Yang Maha Kuasa, dan bukannya malah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, sila pertama dari Pancasila yang seharusnya dijadikan pijakan dalam segala langkah.

Ketika kita mengetahui bagaimana masa lalu sejarah bangsa ini mengakibatkan apa yang
bisa kita lihat sekarang. Solusi yang paling ampuh untuk mengatasi segala persoalan
yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, adalah dengan merombak total sistem
pendidikan nasional kita. Termasuk di dalamnya sistem persekolahan, pendidikan
keguruan, metode belajar-mengajar, dan segala hal yang terkait dengan sistem
pendidikan.

Berabad-abad lamanya budaya tersebut diwariskan secara turun-temurun pada manusia


Indonesia. Ironisnya, tidak hanya budaya saja yang diwariskan secara turun-temurun dari
masa lalu, tetapi juga sistem pemerintahan secara global berikut segala aparatus negara
dan perundangannya. Tentu saja hal tersebut juga berlaku dalam ranah sistem pendidikan.
Mulai dari metode pengajaran hingga sistem evaluasi yang diterapkan saat ini, sangat
berbau feodalistis. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal seperti ini
masih berlangsung hingga masa sekarang.

Manusia -manusia saat ini, masyarakat kita yang sekarang ini, adalah produk keluaran
sekolah formal yang telah dengan sengaja mempraktekkan proses dehumanisasi di
dalamnya. Model pembelajaran gaya bank, seperti yang pernah dikemukakan oleh Paulo
Freire, menjadi model yang secara seragam diaplikasikan pada hampir seluruh jenjang
dan tingkat lembaga pendidikan yang ada di negeri ini. Mengapa bencana pendidikan di
negeri ini menjadi sedemikian kronis dengan sederet permasalahan tersebut, tentunya kita
harus berkaca pada apa yang telah terjadi pada masa lalu bangsa ini. Kita tidak boleh
menjadi bangsa yang buta sejarah, karena dengan mengetahui apa-apa yang telah terjadi
pada masa lampau kita akan mendapatkan penjelasan tentang apa-apa yang terjadi saat
ini, bahkan dapat meramalkan apa-apa yang akan terjadi dimasa mendatang.

Model pendidikan gaya bank yang dianggap sebagai sumber dari segala permasalahan
yang ada tidak hanya permasalahan pendidikan, tetapi segala permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa ini – sebenarnya tidak muncul begitu saja. Melainkan bersumber
dari nenek moyang terdahulu yang berangkat dari kerajaan bersistem kastanisasi dan
memang budayanya begitu feodal dan paternalistik sehingga melahirkan tradisi kebisuan.
Apalagi, budaya tersebut malah semakin difasilitasi dan dijadikan senjata ampuh oleh
Belanda dalam upayanya untuk melanggengkan kekuasaan di bumi nusantara.

Mental bangsa Indonesia dilatarbelakangi oleh warisan budaya yang begitu mengakar
kuat. Bila warisan budaya yang dimaksud adalah kebobrokan moral dalam budaya
feodalistik dan paternalistik yang sudah diwariskan turun temurun pada manusia
Indonesia hari ini, maka budaya tersebut tidak perlu dilestarikan dengan kata-kata ‘bahwa
perubahan tidak akan pernah berhasil’. Perubahan bisa dilakukan dengan mencabut habis
seluruh akar sistem yang ada, tidak hanya dengan memotong dahan yang terlihat sakit.
Semisal budaya korupsi yang dulu telah menggerogoti VOC hingga bangkrut, dapat
digantikan dengan pemerintahan Hindia Belanda yang relatif bersih dengan waktu yang
singkat sebuah pembuktian bahwa korupsi bukanlah budaya orang Belanda dan Indonesia
pun juga bisa melakukan hal yang sama jika menghentikan pelestarian stereotyping
terhadap dirinya sendiri.

Amerika, negara adikuasa ini harus melakukan revolusi dibidang pendidikan selama
kurang lebih 17 tahun sebelum akhirnya mencapai keberhasilan. Begitupula dengan
India, negara miskin yang beberapa tahun terakhir ini mulai merangkak keluar dari
keterpurukan ekonominya dengan jalan pendidikan. Finlandia, sebuah negara dengan
sistem pendidikan yang dianggap terbaik sedunia, telah meninggalkan peningkatan
perekonomian berbasis kehutanan dan menggantikannya dengan integrasi antara lembaga
pendidikan dan industri sehingga meraih keberhasilan dengan industri Nokia yang
melakukan inovasi tiada henti. Masih banyak lagi contoh negara yang mau melakukan
revolusi pendidikan agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Lalu bagaimana
dengan Indonesia yang masih terpuruk dan tidak kunjung mengakhiri keterpurukannya.

Sarana-sarana negara-negara kapitalis untuk melakukan imperialisme ekonomi antara


lain
1. Menyebarkan ide yang berkaitan dengan politik dan ekonomi
Di antara ide-ide ekonomi tersebut, adalah ide pembangunan ekonomi dan keadilan
sosial, agar negara-negara yang baru saja lepas dari penjajahan militer dapat segera
masuk ke perangkap penjajahan ekonomi Amerika. Sebab, pelaksanaan ide-ide itu jelas
membutuhkan banyak dana. Maka dari itu, tertipulah negara-negara tersebut untuk
segera mencari hutang luar negeri dan terjerumuslah mereka menjadi negara
dengan hutang bertumpuk
2. Mengubah sistem mata uang dunia
Presiden Nixon pada tahun 1971 menghapuskan keterkaitan dolar dengan emas,
sehingga dolar tak dapat dikonversi lagi menjadi emas. Maka dolar pun menguasai
sistem mata uang dunia dan memaksa Jepang dan Jerman mendukung dolar, karena
kedua negara tersebut mempunyai cadangan emas sangat besar di dunia
3. Membentuk lembaga-lembaga ekonomi Internasional
Sejalan dengan ide-ide AS yang menyatakan bahwa politik polarisasi dan blok-blok
internasional akan dapat menyulut perang-perang dunia, maka AS bertekad
memantapkan prinsip-prinsip Tata Dunia Baru yang didasarkan pada pembentukan
lembaga-lembaga internasional di bidang politik, ekonomi, kesehatan, peradilan, dan
pendidikan. Maka lalu berperanlah PBB, Dewan Keamanan, IMF, Bank Dunia,
Mahkamah Internasional, dan lembaga-lembaga dunia lainnya.
4. Membentuk blok-blok ekonomi, seperti NAFTA dan APEC
Blok-blok tersebut antara lain terdiri dari AS, Meksiko, Kanada, Australia, New
Zealand, Jepang, Korea, dan Indonesia. Sementara itu di sisi lain ada pula Pasar Bersama
Eropa yang beranggotakan negara-negara Eropa. Peran blok-blok ini untuk bersaing
dalam hal dominasi dan perampasan ekonomi tak perlu dibuktikan lagi.
Di samping blok-blok itu, telah diselenggarakan pula berbagai konferensi internasional
dan regional untuk mengokohkan dominasi Barat dan memaksakan format-format
ekonomi Barat. Konferensi-konferensi seperti ini antara lain adalah kesepakatan GATT,
yang berkaitan dengan tarif (bea masuk) dan tuntutan untuk menghapus segala tarif ini
pada konferensi di Napoli (Italia) pada tahun 1994.

5. Merekayasa Berbagai Perang, Krisis, Kekacauan, dan Kerusuhan


Berbagai perang dan kerusuhan sengaja disulut oleh Barat di negeri-negeri Islam, seperti
Perang Teluk I (perang Irak-Iran) dan Perang Teluk II yang dimaksudkan untuk
menguasai minyak dan mencampuri urusan negeri lain dengan cara membangun
pangkalan-pangkalan militer dan zona-zona kemananan di wilayah Irak Utara dan
Selatan.
Negara-negara kapitalis juga mensponsori gerakan- gerakan separatis - seperti gerakan
separatis Kurdi dan Sudan Selatan - dan perang saudara di Afghanistan. Tujuannya
adalah untuk menyiksa bangsa-bangsa tersebut, merampok harta kekayaannya, dan
memeratakan kemelaratan dan kerusakan.

Anda mungkin juga menyukai