Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LEAFLET

Leaflet adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui


lembaran yang dilipat, isi informasi dapat dalam bentuk kalimat maupun gambar, atau
kombinasi (Notoatmodjo, 2003).
Kelebihan leaflet menurut Notoatmodjo (2005) yaitu, tahan lama, mencakup orang
banyak, biaya tidak tinggi, tidak perlu listrik, dapat dibawa kemana-mana, dapat mengungkit
rasa keindahan, mempermudah pemahaman dan, meningkatkan gairah belajar. Sedangkan
kelemahannya menurut Notoatmodjo (2005) adalah, media ini tidak dapat menstimulir efek
suara dan efek gerak, mudah terlipat.
Syarat pembuatan leaflet menurut Agustiansyah (2009), antara lain menggunakan
bahasan sederhana dan mudah dimengerti oleh pembacanya, judul yang digunakan harus
menarik untuk dibaca, tidak banyak tulisan, sebaiknya dikombinasikan antara tulisan dan
gambar, materi harus sesuai dengan target sasaran yang dituju.
Tips dalam membuat leaflet diantaranya adalah:
1. Content Isi / teks
Isi materi tulisan dalam leaflet atau pamflet bisa saja mencakup keseluruhan isi materi
yang akan disampaikan, tetapi harus jelas dan padat agar terkesan komposisi desain dapat
dipahami dan minimalis. Namun banyak juga leaflet atau pamflet yang hanya mencantumkan
30 % dari konten teks isi materi,selanjutnya para pembaca akan diarahkan ke media lain
seperti Website atau nomor telfon untuk mengetahui informasi selengkapnya.
2. Layout
Layout atau posisi tata letak berkaitan erat dengan bentuk leaflet atau pamflet, ukuran
dan isinya, baik teks, gambar, maupun desain lainnya. Karena layout merupakan panduan
awal yang penting untuk menentukan dimana nantinya teks, gambar, atau desain akan
diletakkan dalam media leaflet atau pamflet, sehingga dengan arah penempatan yang
ditentukan sebelumnya serta isi materi akan dapat tersusun dengan sempurna dan akan
memudahkan untuk dimodifikasi kembali.
3. Typografi
Pemilihan jenis font sangat mendukung estetika tampilan teks dari sebuah leaflet atau
pamflet. Typografi juga dapat dijadikan alternatif pengganti gambar karena font dapat
dimodifikasi sedemikian rupa untuk menggantikan fungsi gambar. Namun yang perlu
diperhatikan disini adalah jangan menggunakan font yang susah di baca, karena akan
menyulitkan para pembacanya sendiri.
4. Gambar
Gambar dalam bentuk bitmap ataupun vector juga sangat berpengaruh besar dalam
mendukung unsur seni dalam sebuah leaflet atau pamflet. Contoh gambar leaflet atau pamflet
disarankan untuk sesuai dengan temanya. Penggunaan gambar yang sesuai dan berhubungan
dengan informasi yang akan disampaikan akan lebih terkesan pada pembaca.
5. Warna
Pemilihan warna yang tepat dapat menambah energi dalam leaflet atau pamflet, karena
setiap warna memiliki makna dan arti yang berbeda. Sehingga jika memungkinkan pilihlah
warna sesuai dengan informasi yang ingin berikan.
6. Desain Grafis
Penambahan sentuhan desain grafis yang menarik akan membuat tampilan leaflet atau
pamflet unik. Desain memang diperuntukkan untuk memberikan sentuhan tersendiri bagi
pembacanya, sehingga desain dapat menarik psikologis dan emosi dari pembaca.
7. Bahan
Penentuan jenis bahan kertas brosur juga menentukan nilai kualitas dari leaflet atau
pamflet di mata pembaca. Jika leaflet atau pamflet menggunakan jenis kertas yang eksklusif
tentunya hal itu juga membuat daya tariknya akan menjadi terkesan elegan. Pada umumnya
leaflet atau pamflet banyak yang tercetak di atas bahan kertas jenis Art Paper, Art Karton,
Mate Paper, maupun kertas HVS
8. Ukuran
Sebelum menentukan untuk mencetak brosur tentukan ukuran brosur yang akan dibuat
terlebih dahulu, karena selisih 1 cm saja dalam menentukan ukuran dapat mereduksi
sebanyak 10-20% biaya cetak. Pada umumnya ukuran leaflet atau pamflet adalah sebagai
berikut :
• A5yaitu berukuran : 14.8 x 21 cm
• A4 yaitu berukuran : 21 x 29.7 cm
• A3 yaitu berukuran : 29.7 x 42 cm
• F4 yaitu berukuran : 21.9 x 33 cm, dan untuk selanjutnya dapat dimodifikasi dengan
penentuan garis lipat.
9. Vernish, Spot & Laminating
Penambahan polesan luar dari kertas leaflet atau pamflet pasca percetakan akan
memberikan sentuhan berbeda di tangan pembaca baik secara kasat mata maupun sentuhan
langsung. Pada umumnya leaflet atau pamflet diberi beberapa jenis lapisan luar untuk alasan
daya tarik maupun daya tahan. Lapisan – lapisan tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:
• UV Vernish, yaitu pemberian semacam zat kimia cair ( Varnish ) yang dilekatkan
pada permukaan kertas, biasanya kertas yang diberikan lapisan varnish langsung kering
melalui penyinaran ultraviolet pada mesin UV
• Laminating Glosy, laminating ini biasanya berupa plastik tipis yang berwana putih
bening yang dilekatkan pada permukaan brosur, biasanya digunakan untuk menjaga daya
tahan leaflet atau pamflet dari percikan air. Hasil akhir pun tidak jauh berbeda dengan lapisan
varnish yang mengkilap
• Laminating Doff, laminating ini jenis bahannya hampir sama dengan laminating
glossy hanya saja terdapat perbedaan yang mencolok yaitu pada dasar permukaan leaflet atau
pamflet tidak terlihat mengkilap namun lebih cenderung bersifat lembut jika disentuh
• Spot UV, penggunaan spot uv biasanya ditambahkan pada posisi–posisi tertentu saja,
seperti pada tulisan utama atau tulisan-tulisan maupun gambar yang ingin lebih ditonjolkan
dari tulisan lainnya. Sehingga tulisan tersebut dapat terlihat lebih mengkilap.
10. Pond
Dengan beberapa model pisau pond, model leaflet atau pamflet dapat diberi aksen
berbeda seperti penambahan lubang. Hal ini dapat menjadikan brosur anda menjadi brosur
unik.

2.2 OSTEOPOROSIS
2.2.1 Patofisiologi
Osteoporosis dicirikan oleh rendahnya massa tulang, menurunnya jaringan tulang yang
dapat menyebabkan kerapuhan/fragility tulang dan meningkatkan resiko fracture/patah
tulang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah mengklasifikasikan massa tulang atas dasar
nilai T (T Score). Nilai T adalah jumlah standar deviasi dari rata-rata kepadatan mineral
tulang (BMD) pada populasi normal dewasa muda. Berikut adalah variasi klasifikasi nilai T
tersebut :
 Massa tulang normal adalah dengan nilai T lebih dari – 1
 Osteopenia dengan nilai T -1 sampai dengan -2,5
 Osteoporosis dengan nilai T kurang dari -2,5
2.2.2 Etiologi
Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya, yaitu:
1. Osteoporosis primer
yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (prosesalamiah).
Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan atau terhentinya
produksi hormon (khusus perempuan yaitu estrogen) disamping bertambahnya usia (DepKes
RI,2008). Dapat terjadi pada berbagai usia, dihubungkan dengan faktor resiko meliputi,
merokok, aktifitas, berat badan, alkohol, ras kulit putih Asia, riwayat keluarga, postur tubuh
dan asupan kalsium yang rendah. Osteoporosis primer terdiri dari:
 Osteoporosis primer tipe I.
Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause yang terjadi pada wanita
usia 50-65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang belakang), iga atau tulang
radius.
 Osteoporosis tipe II.
Sering disebut dengan istilah osteoporosis senile, yang terjadi pada usia lanjut. Hal ini
kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia
dan ketidak seimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan
tulang baru (osteoblas) (Junaidi,2007). Pasien biasanya berusia ≥70 tahun, pria dan
wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya pada tulang
paha. Selain fraktur maka gejala yang pelu diwaspadai adalah kifosis dorsalis, makin
pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.
2. Osteoporosis sekunder
yaitu osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti
infeksi tulang tumor tulang pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama.
Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat tertentu.
Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi
glukokortikoid (Dipiro et al, 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan
absorpsi kalsium di usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk
memenuhi kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan
kerapuhan tulang.
Mekanisme obat yang dapat memicu osteoporosis dapat digolongkan menjadi 3
kelompok besar yakni Pertama, aktivasi osteoklast dan meningkatkan pergantian tulang.
Kedua, menekan aktivitas osteoblast. Ketiga, menghambat mineralisasi tulang. Beberapa obat
yang dapat memicu osteoporosis adalah kortikosteroid, obat-obat antikonvulsi (fenitoin,
fenobarbital, karbamazepin, dan primidone), heparin, progestin, hormon tiroid, obat lainnya
seperti metotrexate, antasida yang mengandung aluminium, fluoride, furosemid, litium,
siklosporin, dan vitamin A.
2.2.3 Diagnosa
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan
tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnosa penyakit osteoporosis kadang-
kadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang
pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya
dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat
diubah kembali. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1142/Menkes/SK/VII/2008,
pelaksanaan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan osteoporosis ialah :
a. Adanya faktor resiko (factor prediposisi)
b. Terjadi patah tulanh secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma.
c. Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan
d. Tunbuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)
Anamnesis dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit resiko
osteoporosis yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis Foundation).
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali. Bila ada indikasi dianjurkan juga
untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid, hati dan ginjal. Pengukuran ekskresi
kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan pasien mal absorpsi kalsium (total
ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang jumlah ekskresi kalsium sangat tinggi
(>250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen kalsium atau vitamin D atau
metabolismenya mungkin berbahaya.
Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme, maka perlu
diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan kearah malabsorpsi maka
perlu diperiksa kadar 25 OHD
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi osteoporosis
lanjut atau jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan
alat densitometer menunjukkan positif tinggi.
c. Pemeriksaan densitometer (ultrasound)
Pemeriksaaan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang (BMD) berdasarkan
standar deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut, densitometer merupakan alat test
terbaik untuk mendiagnosis seseorang penderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes
ini tidak dapat menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang. Jika densitometer
ultrasound menunjukkan nilai rendah (T-score dibawah -2,5) sebaiknya disarankan
menggunakan densitometer X-ray.
2.2.4 Terapi
Berdasarkan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1142/Menkes/SK/VII/2008,
secara umum penatalaksanaan Osteoporosis dapat dilihat pada bagan berikut:
1. Terapi Non Farmakologi / Non-medikamentosa
a. Nutrisi
Pasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan
pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara
densitas tulang. Nutrisi tersebut dapat berupa vitamin D yang bisa didapatkan dari
brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan salmon, susu, kuning telur, hati dan
sardine serta paparan sinar matahari (Gomez, 2006).
b. Olahraga
Olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat
dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara
kekuatan tulang (Chisholm-burns et.al, 2008). Prinsip latihan fisik untuk kesehatan
tulang adalah latihan pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya
tahan (endurans) dalam bentuk aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk
mencegah dan mengobati terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan
osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan
(Anonim, 2010)
2. Terapi Farmakologi
a. Terapi medis
Biasanya pada tahap patah tulang terjadi rasa sakit yang hebat, bila tidak dapat
digunakan pereda sakit biasa maka dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulaimereda, tablet pereda sakit seperti paracetamol atau codein
atau kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co-codramol atau co-proxamol
cukup memadai bagi banyak pasien sehingga bisamelakukan aktivitas sehari-hari
(Wirakusumah, 2007).
b. Terapi Hormon
 Estrogen (Hormon Replacement Therapy/HRT)
 Kalsitonin
 SERM / Selective Estrogen Receptor Modulator (Raloxifen)
 Testosteron
 Hormon Paratiroid (Teriparatide)
c. Terapi Non-Hormonal
 Bifosfonat
 Kalsium
 Vitamin D
 Fitosteron
 Tiazid
d. Terapi Herbal
Hasil penelitian di Inggris yang dilaporkan dalam American Journal of Clininal
Nutritionedisi april 2000 menyimpulkan bahwa wanita yang mengkonsumsi teh
ternyata memiliki ukuran kerapatan mineral tulang (BMD) lebih tinggi dibanding
mereka yang tidak minum teh secara berkala. Senyawa aktif yang terkandung di
dalam teh berperan menyerupai hormon estrogen yang membantu melindungi
tulang terhadap kerapuhan tulang (Maharani, 2010). Beberapa resep herbal lain
yaitu dengan kedelai bermutu baik, seledri, buah adas, biji bunga matahari, kacang
panjang.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Teriparatide Padatkan Tulang Lebih Baik . Majalah Farmacia Edisi Januari
2010 Vol.9.

Chisholm-burns et all. 2008. Pharmacotherapy principles and practice. McGraw-Hill


Companies, Inc : USA.

Dipiro, et all. 2005. Pharmacotheraphy a Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition.


McGraw-HillCompanies, Inc : USA.

Gomez, J. 2006. Awas Pengeroposan Tulang! Bagaimana Menghindari dan Menghadapinya.


Arcan : Jakarta.

Junaidi, I. 2007. Osteoporosis. PT. Bhuana Insan Popular : Jakarta.

Maharani, S. 2010. Herbal sebagai Obat Bagi Penderita Penyakit Mematikan. A+ book:
Jogjakarta.

Menteri Keseharan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


No.1142/Menkes/SK/VII/2008 tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi kesehatan teori dan Aplikasi. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Tri Aan Agustiansyah. 2009. Syarat – syarat Pembuatan Poster, Leaflet, Lembar Balik dan
Slide Transparansi (OHP).

Wirakusumah, E.S. 2007. Mencegah Osteoporosis. Penebar Plus : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai