BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Pendahuluan
Perkembangan hasil konsepsi ada kalanya mengalami kelainan antara
lain hasil konsepsi tidak berupa janin, melainkan berkembang secara
patologis berupa gelembung-gelembung yang disebut mola
hydatidosa.
Penyakit trofoblast sendiri terdiri dari penyakit:
- Trofoblas kehamilan (gestational trophoblastic disease), ialah
penyakit trofoblas yang berhubungan denan kehamilan.
- Penyakit trofoblas yang tidak berhubungan dengan kehamilan (non
gestational trophoblastic disease) tetapi berasal dari sel indung telur
dan kejadiannya sangat jarang.
1.2.Status Pasien
RM/Reg : 00839025/09006438
Ruang : Debora 3A
Tanggal masuk : 6 Juli 2010
Nama : Ny. P
Umur : 53 tahun
Alamat : Bandung
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA
Berat badan : 57 kg
Tinggi badan : 157 cm
Anamnesa : (autoanamnesa)
KU : nyeri perut bagian bawah kanan dan kiri
Anamnesa tambahan :
G6P5A0 mengaku hamil 5 bulan, datang dengan keluhan nyeri perut
bagian bawah kanan kiri disertai dengan keluarnya darah hitam yang
3
bergumpal dan berbuih sejak 5 bulan yang lalu. Perdarahan keluar banyak
terutama ketika BAK. Keluhan disertai mual dan pasien mengalami
penurunan berat badan 15 kg sejak 4 bulan yang lalu. 3 hari yang lalu
pasien di USG dan dikatakan ada hamil anggur.
RPD : Ht ( + ), DM( – )
RPK : orang tua HT ( + ), DM (-)
HPHT : lupa
Riwayat mens : lancar, 28-30 hari
PNC : dokter 5x
Menikah : 1x
Pem. Penunjang :
Lab ( 6-7-2010 ) : Hb 10,9 g/dl
Rencana Terapi :
- MTX 100 mg IM
- Clindamysin 2x3
- Asam mefenamat 3x1
- Methergin 2x1
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Mola Hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian
atau seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung
yang menyerupai anggur atau mata ikan. Kelainan ini merupakan penyakit
trofoblas gestasional yang jinak(1,2). Istilah mola hidatidosa berasal dari kata
”hydatis” yang dalam bahasa Yunani berarti ”tetesan air”, yang menunjukkan
adanya sebuah kista yang berisi cairan, dan ”mola” dalam bahasa latin yang
berarti batu/ konsepsi yang salah(10).
Berbagai istilah pernah digunakan untuk menggambarkan kelainan ini,
misalnya bila seluruh vili korialis mengalami degenerasi hidropik, tanpa ada
embrio, disebut sebagai Complete Mole, True Mole, Classic Mole, atau Mole
Hydatidiform. Bila diantara gelembung ditemukan embrio, disebut Transitional
Mole, Incomplete Mole, atau Mole Embryonee(1).
Mola biasanya menempati cavum uteri, tetapi kadang-kadang ditemukan juga
dalam tuba fallopi dan bahkan dalam ovarium(19).
Normal Abnormal
2.2 Insidensi
oleh fertilitas yang menurun disertai keadaan gizi yang baik. Kecenderungan
penurunan insidensi tampak pula di negara kita, misalnya pada tahun 1970-an
jumlah kasus mola yang dirawat di RSHS bisa mencapai 100 per tahun. Tetapi
saat sekarang hanya sekitar 25-30 kasus saja. Dibawah ini insidensi mola
hidatidosa yang ditemukan di berbagai negara(1,3) :
1. Amerika Serikat 1:1.450-1:2.000 persalinan
2. Italia 1:1.642 persalinan
3. Korea 2,3: 1000 persalinan
4. Meksiko 1:486 persalinan
5. Jepang 3:2000 persalinan
6. Bandung dan sekitarnya 1:500 persalinan(1).
Frekuensi kehamilan mola tertinggi ditemukan di Mexico, dan Indonesia(19).
Mola hidatidosa dapat terjadi pada setiap umur dalam masa reproduksi. Pasien
termuda yang pernah dilaporkan berumur 12 tahun dan yang tertua berumur 57
tahun(1).
2.3 Etiologi
Walaupun mola sudah dikenal sejak abad keenam, sampai sekarang masih
belum diketahui penyebabnya(10). Oleh karena itu pengetahuan tentang faktor
resiko menjadi penting agar dapat menghindari terjadinya mola hidatidosa.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab mola hidatidosa antara lain:
1. Faktor ovum (ovum yang patologis)
2. Faktor gizi (malnutrisi)
3. Faktor kromosom (1)
2.4 Patogenesis
Banyak teori yang telah dikemukan tentang patogenesis MHK ini, antara lain
teori Hertig, teori Park, dan teori sitogenetik(1).
8
Teori Hertig
Hertig menyatakan bahwa pada mola hidatidosa terjadi insufisiensi peredaran
darah akibat matinya embrio pada minggu 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuklah kista-kista
kecil yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung
mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang
oedematus tadi(1).
Teori Park
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasia, maupun neoplasia.
Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal, dimana terjadi
absorpsi cairan yang berlebihan ke dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh
darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio(1).
Teori Hertig atau teori Park mengenai patogenesis mola, tampaknya lebih
cocok untuk MHP dibandigkan dengan MHK, karena kedua-duanya berbicaraa
tentang embrio(1).
Teori sitogenetik
Teori yang sekarang banyak dianut adalah teori sitogenetik(1). Secara
sitogenetik dapat dibedakan menjadi 2 macam mola hidatidosa, yaitu:
1. Mola hidatidosa komplit (Complete hydatidiform mole)
2. Mola hidatidosa partial (Partial hydatidiform mole) (5)
2.5 Klasifikasi
Adapun klasifikasi penyakit ini menurut WHO adalah:
1. Lesi Mola
Mola Hidatidosa (komplit maupun parsial)
Mola Invasif
2. Lesi Non-Mola
9
Kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum kosong (tidak berinti) atau yang
intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sebuah sperma haploid 23X, terjadilah
konsepsi dengan kromosom 23X. Kromosom ini kemudian mengadakan
penggandaan sendiri (endoreduplikasi) menjadi 46XX. Jadi, kromosom MHK itu
seperti wanita, tetapi kedua X-nya berasal dari ayah. Jadi, tidak ada unsur ibu
sehingga disebut Diploid Androgenetik(5,10).
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu
yang akan membentuk bagian embrional (anak), dan unsur ayah yang diperlukan
untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll), secara
seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, maka pada MHK tidak ada bagian
embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa
vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur(1).
Ovum yang kosong disebabkan karena gangguan pada proses meiosis,
yang seharusnya diploid 46XX pecah menjadi 2 haploid 23X, terjadi peristiwa
10
Secara sitogenetik, MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23X) dibuahi
secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23X, satu haploid 23X dan satu haploid
23Y, atau dua haploid 23Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69XXX, 69XXY, atau
69XYY. Kromosom 69YYY tidak pernah ditemukan. Jadi, MHP mempunyai satu
haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut sebagai Diandro Triploid.
Karena disini terdapat unsur ibu, maka ditemukan bayi. Tetapi, komposisi unsur
ibu dan ayah tidak seimbang, satu banding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu
menyebabkan pembentukan plasenta tidak wajar, yang merupakan gabungan dari
vili korialis yang normal dengan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh
karena itu, fungsinya pun tidak penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai
besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini(1,5).
2.6 Makroskopis
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan dimana plasenta terdiri dari
vesikel-vesikel yang menyerupai buah anggur yang dapat terlihat dengan mata
telanjang. Vesikel-vesikel tersebut timbul dari peregangan vili korion oleh
cairan(10).
Secara makroskopik MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk
kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3
12
cm, berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti asites atau
edema. kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau
besar, tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Tangkai tersebut
melekat pada endometrium. Umumnya seluruh endometrium dikenai, dan bila
tangkainya putus, terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung
tersebut diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang sudah mengering(1,17).
Pada mola hidatidosa parsial dapat ditemukan adanya janin, namun biasanya janin
tidak dapat bertahan lama dan akan mati dalam rahim. Janin yang diidentifikasi
biasanya memiliki stigmata triploidi berupa retardasi pertumbuhan dan kelainan
congenital yang multiple seperti sindaktili, cleft palate, micropthalmia,
omphalocele dan hidrosephalus(22).
Inspeksi(12)
- Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang
disebut muka mola (mola face)
- Kalau gelembung mola keluar dapat terlihat jelas
Palpasi(12)
- Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
- Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen, juga gerakan janin
16
Auskultasi(12)
- Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (mola hidatidosa komplet)
Pemeriksaan dalam(12)
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin,
terdapat pendarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina serta
evaluasi keadaan servik.
Uji Sonde(13)
Sonde dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis
dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde diputar setelah ditarik sedikit, bila
tetap tidak ada tahanan, kemungkinan mola (cara Acosta-Sison)
17
2.7.2.b Radiologi
1). Foto rontgen thoraks
Karena mola bisa menjadi suatu tumor trofoblastik ganas yang bermetataste ke
paru-paru, maka pemeriksaan foto toraks harus dilakukan.
19
3). Amniogram
Penggunaan bahan radioopak yang dimasukkan ke dalam uterus secara
transabdominal akan memberikan gambaran radiografik khas pada kasus mola
hidatidosa. Kavum uteri ditembus dengan jarum amniocentesis 20ml hypaque
disuntikkan segera, dan 4 - 10 menit kemudian dibuat foto anteroposterior.
Pola sinar X seperti sarang tawon, khas ditimbulkan oleh bahan kontras yang
mengelilingi gelembung-gelembung korion. Pada kehamilan normal terdapat
sedikit resiko abortus akibat penyuntikan bahan kontras hipertonik
intraamnion. Dengan semakin banyaknya sarana USG yang tersedia, tehnik
pemeriksaan amniografi ini sudah jarang dipakai lagi(4,5).
2.7.2.c Hispatologi
1). Mola hidatidosa komplet
Tidak ditemukan jaringan fetus, pembengkakan stroma villus, degenerasi
hidropik villi korialis, proliferasi trofoblastik yang difus merata, kromosom
46XX atau 46XY.
21
2.9 KOMPLIKASI
1. Perdarahan yang hebat seperti syok bila tidak segera ditangani dapat
berakibat fatal(5,6,14).
2. Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia(5,6,12).
3. Perforasi misalnya oleh mola destruens dimana gelembung menembus
dinding rahim sampai perforasi(4,5,14).
4. Infeksi, sepsis(13).
5. Koriokarsinoma setelah mola hidatidosa kurang lebih 4% dan makin
tinggi pada umur tua(5,6,12).
6. Insufisiensi paru-paru akut, yang bisa timbul dalam 4-6 jam setelah
evakuasi mola. Hal ini disebabkan embolisasi trofoblastik masif ke
dalam paru-paru, tetapi penyebab yang paling sering kemungkinan
25
3.0 PENANGANAN
Penanganan kasus mola hidatidosa biasanya dilakukan dalam dua fase
yaitu pengosongan segera gumpalan mola (evakuasi) dan tindak lanjut untuk
mendeteksi adanya proliferasi trofoblas atau perubahan ke arah keganasan.
Terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
- koreksi dehidrasi
- transfusi darah bila ada anemia (Hb ≤ 8 gr%)
- bila ada gejala preeklamsi dan hiperemesis gravidarum harus ditangani
- bila ada gejala tirotoksikosis bisa diberikan profiltiourasil 3 x 100 mg oral
dan propanolol 40 – 80 mg
2. Pengeluaran jaringan mola
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk mengeluarkan jaringan mola
yaitu dengan cara vakum kuretase dan hysterektomi totalis.
Vakum kuretase
Tindakan ini dilakukan pada wanita yang masih berencana untuk hamil. Vakum
kuretase ini dikerjakan setelah keadaan umum diperbaiki.
Langkah-langkah yang dilakukan pada tindakan ini adalah :
- infus oksitosin
Pemberian infus uterotonika diberikan sebelum induksi anestesi
26
- dilatasi serviks
Dilatasi serviks dilakukan dengan memakai laminaria/hegar. Saat serviks
mulai dilatasi harus diantisipasi terjadinya pendarahan karena retensi darah
dalam rongga uterus mungkin keluar saat serviks dilatasi. Apabila
didapatkan dilatasi serviks masih kecil, dapat dipasang laminaria untuk
memperlebar pembukaan selama 12 jam. Setelah itu pasang infus Dextrosa
5% yang berisi 50 satuan oksitosin, lalu cabut laminaria dan setelah itu
lakukan evakuasi isi cavum uteri dengan hati-hati pada kuretase pertama,
keluarkanlah jaringan sebanyak mungkin.
- vakum kuretase
Tindakan selanjutnya dilakukan kuretase. Beberapa saat setelah dilakukan
vakum kuretase akan terlihat penurunan ukuran uterus secara dramatis dan
pendarahan pun akan semakin terkontrol(4,5). Vakum kuret dapat
mengeluarkan sebagian besar massa mola, sisanya dibersihkan dengan
kuret tajam.
- kuret tajam
Kuret tajam dilakukan untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan mola.
Apabila besar uterus ≥ 20 minggu dipertimbangkan untuk melakukan kuret
ke-2 satu minggu kemudian. Hasil evakuasi dikirim ke laboratorium PA,
baik hasil evakuasi dari vakum kuret maupun kuret tajam.
Histerektomi
Tindakan ini biasanya dilakukan pada mola dengan resiko tinggi misalnya
pada mola yang besar, yaitu setinggi pusar atau lebih, tindakan ini dilakukan pada
wanita yang telah cukup mempunyai anak. Alasan lain untuk dilakukannya
tindakan ini adalah karena umur yang tua > 30 tahun dan riwayat paritas yang
tinggi yang merupakan predisposisi untuk terjadinya keganasan. Tidak jarang
pada pemeriksaan sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan hispatologik
sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasif(5,6,7,). Oleh sebab
itu, pasien-pasien tersebut masih harus dilakukan follow up dengan menilai kadar
hCG(15).
27
Bila terdapat kista lutein, berapapun besarnya, tidak perlu diangkat, karena akan
mengecil sendiri setelah jaringan mola dievakuasi. Oleh karena itu, kita tidak
perlu mengangkatnya, walaupun ukurannya sangat besar, kecuali kalau ada
komplikasi seperti torsi atau ruptur. Bila memberikan keluhan mekanis, dapat
dilakukan atau aspirasi(5).
Pemberian Oksitosin, Prostaglandin dan larutan Salin Hipertonik : induksi
persalinan dengan menggunakan prostaglandin, oksitosin dan larutan salin
hipertonik tidak lagi digunakan untuk evakuasi mola hidatidosa. Cara ini potensial
untuk meningkatkan resiko terjadinya penyebaran trofoblast melalui sirkulasi
sistemik akibat kontraksi uterus melawan serviks yang tidak berdilatasi. Juga
sering disertai perdarahan yang banyak dan evakuasi yang tidak lengkap(10,15).
4. Follow up (15)
Tujuan utama :
1) Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal baik
anatomis laboratoris, maupun fungsional seperti involusi uterus, turunnya
kadar β hCG dan kembalinya fungsi haid(5)
2) Deteksi dini setiap perubahan yang menunjukkan kemungkinan
malignitas. Metode umum dan follow up adalah sebagai berikut :
- Ibu dianjurkan jangan hamil dulu selama periode folow up minimal
untuk waktu 1 tahun dan dianjurkan untuk memakai kontrasepsi
kondom atau diafragma. Kehamilan dimana reaksi kehamilan menjadi
positif, akan menyulitkan observasi(3,4).
- Mengukur kadar korionik gonadotropin serum setiap 2 minggu
menggunakan pemeriksaan immunoassay spesifik(3,9). Bila kadarnya
terus menurun secara bertahap, maka tidak diperlukan pemberian obat-
obatan. Biasanya kadar β hcg akan hilang sama sekali rata-rata setelah
12 – 14 minggu. Bila kadar β hcg telah normal pada 3 bulan pertama
pemeriksaan berturut-turut dengan selang waktu 2 minggu maka
pemeriksaan dilanjutkan sebulan sekali selama 3 bulan lagi. Jika pada
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan pemeriksaan berturut-turut juga
menunjukkan kadar β hcg yang normal, follow up dilanjutkan 2 bulan
sekali selama 6 bulan terakhir. Tapi ada pendapat lain yang
mengatakan, setelah kadar β hcg normal pada 6 kali pemeriksaan
berturut-turut setiap bulannya, maka pemeriksaan kadar β hcg tetap
29
Grafik 2. Kurva regresi β hCG normal dan abnormal pasca evakuasi mola
hidatidosa komplet, modifikasi dari Mochizuki.
2.14 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN