Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pada masa demokrasi liberal, keamanan nasional terancam oleh
banyaknya gerakan separatis yang menyebabkan ketidakstabilan negara.
Pembangunan ekonomi yang tersendat karena sering terjadinya pergantian kabinet
pada masa demokrasi liberal sehingga program-program yang dirancang oleh
kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh. Hingga Konstituante yang gagal dalam
menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950. Akhirnya pada tanggal 5
Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan mengajukan lagi
undang-undang dasar zaman revolusi melalui sebuah dekrit, dan diikuti dengan
serangkaian perubahan politik besar-besaran, yang disahkan sebagai bagian dari
“Kembali ke Jalur Revolusi”. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno
mendapatkan sambutan baik dari masyarakat Republik Indonesia yang pada
waktu itu sangat mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama
masa liberal. Namun dengan dikeluarkanya dekrit Presiden membawa dampak
bagi partai politik diantaranya adalah kebebasan partai dibatasi dan pada saat itu
Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Namun, pada
periode demokrasi terpimpin ini banyak memperlihatkan pertentangan antara
idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil
yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat
yang sebesar-besarnya. Realita dari pada pemerintahan, yang dalam
perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Terlihat
dari tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-undang
Dasar

1
Demokrasi Terpimpin
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, kami pun merumuskan
permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, adapun rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian, ciri-ciri, dan tujuan demokrasi terpimpin?
2. Bagaimana kehidupan politik pada masa demokrasi terpimpin?
3. Apa ideology demokrasi terpimpin?
4. Bagaimana keberhasilan dan kegagalan demokrasi terpimpin?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian, ciri-ciri, dan tujuan demokrasi terpimpin
2. Mengetahui kehidupan politik pada masa demokrasi terpimpin
3. Mengetahui paham dan ideologi yang ada pada demokrasi terpimpin
4. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan demokrasi terpimpin

2
Demokrasi Terpimpin
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian, Ciri-ciri, dan Tujuan Demokrasi Terpimpin

2.1.1 Pengertian Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh


keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara. konsep sistem
demokrasi terpimpin pertama diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam
pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi
terpimpin ( 1957-1965 ) dimulai dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau
demokrasi Liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana
mentri. Namun begitu, penegasan pemberlakuan demokrasi terpimpin dimulai
setelah dibubarkannya badan konstituante dan dikeluarkannya dekrit Presiden 5
Juli 1959. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh sila
keempat Pancasila.

2.1.2 Ciri-ciri Demokrasi Terpimpin


1. Dominasi presiden, Presiden Soekarno berperan besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Terbatasnya peran partai politik.
3. Meluasnya peran militer sebagai unsur politik
4. Berkembangnya pengaruh Partai Komunis Indonesia.

2.1.3 Tujuan Demokrasi Terpimpin


1. Mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan
masa Demokrasi Parlementer atau Liberal menjadi lebih stabil.
2. Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer
atau Liberal. Hal ini disebabkan karena pada masa Demokrasi parlementer,
kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan
kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.

3
Demokrasi Terpimpin
2.2 Kehidupan Politik Masa Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi terpimpin adalah suatu masa yang menunjukan bentuk
tindak lanjut dari Dekrit Presiden. Yaitu penataan kehidupan politik yang
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Demokrasi Terpimpin. Dekrit
Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959 merupakan dasar dalam
pembentukan demokrasi terpimpin yang memiliki harapan akan dapat
dilaksanakan pemerintahan yang sesuai dengan UUD 1945 atau pelaksanaannya
dapat dilakukan secara murni dan konsekuen. Untuk itu, pada masa demokrasi
terpimpin, tindakan perubahan yang dilakukan dalam menata politik dalam negeri
maupun politik luar negeri, terlihat dari adanya beberapa tindakan-tindakan
sebagai berikut:

2.2.1 Pembaharuan bagi politik dalam negeri Indonesia


Pembaharuan yang terjadi dalam kehidupan politik dalam negeri Indonesia
nampak dari tindakan seperti dari tindakan sebagai berikut :
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden di bawah MPRS akan tetapi
dalam kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan dan
memutuskan berbagai kebijakan. Kedudukan presiden sebagai kepala negara
merangkap menjadi kepala pemerintahan sehingga memiliki kekuasaan yang
bersifat absolut atau mutlak.
2. Presiden Diangkat Seumur Hidup
Berdasarkan UUD 1945, seorang presiden dapat ditunjuk sebanyak dua kali
periode. Tetapi pada masa demokrasi terpimpin, Dari diangkat seumur hidup
tanpa adanya pergantian pemegang kekuasaan.
3. Presiden membentuk MPRS
Tindakan presiden membentuk MPRS bertentangan dengan ketentuan yang
terdapat dalam UUD 1945. Sebab berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam
UUD 1945, pembentukan MPRS dilakukan melalui pemilihan umum.

4
Demokrasi Terpimpin
4. Manifesto politik republik Indonesia
Pidato presiden yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan
sebagai GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Hal itu bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945.
5. Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, seorang presiden
tidak diperkenankan membubarkan DPR. Hal tersebut bertentangan dengan UUD
1945. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1945 karena menolak RAPBN
yang diajukan presiden.
6. Pemasyarakatan ajaran nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
Tujuan presiden memasyarakatkan ajaran nasakom adalah untuk menghindari
kubu-kubu dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ajaran nasakom ini
dimanfaatkan oleh PKI untuk memperluas pengaruhnya dalam masyarakat
Indonesia dan berusaha menggeser ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis.
7. Perjuangan pembebasan Irian Barat
Kebijakan politik luar negeri lainnya adalah melakukan perebutan terhadap
Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Hal ini dilakukan sesuai keputusan KMB di
Den Haag yang menyatakan bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat ke
Indonesia setelah keadaan Indonesia stabil. Untuk melaksanakan kebijakan
politik ini, Indonesia menggunakan jalam damai dalam perjuangan membebaskan
Irian Barat. Kebijakan ini sesuai dengan program kabinet kerja dan kabinet
lainnya yakni pembebasan Irian Barat. Setelah satu tahun Irian Barat masih tetap
dikuasai oleh Belanda, pemerintah Indonesia menempuh usaha-usaha secara
bilateral, namun mengalami kegagalan.
Pada situasi yang demikian itu, Presiden Soekarno selaku
presiden/panglima tertinggi APRI/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Besar
Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan tri komando rakyat
(trikora) di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961 yang berisi tentang
berikut ini:
1. Gagalkan pembentukan negara Boneka Papua bikinan belanda kolonial
2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.

5
Demokrasi Terpimpin
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.
Kesungguhan pihak RI membuahkan hasil. Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) tahun 1969, rakyat Irian Barat memilih tetap bersatu dengan RI. Hasil
pepera itu kemudian diterima oleh Majelis Umum PBB dalam persidangan tahun
1969. Setelah Irian Barat kembali bersatu dengan RI, namanya diganti menjadi
Irian Jaya.
2.2.2 Pembaharuan Bagi Politik Luar Negeri Indonesia
Pada msa demokrasi terpimpin, telah terjadi penyimpangan terhadap politik luar
negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif. Hal itu nampak dari tindakan-tindakan
yang dilakukan presiden dalam melaksanakan politik luar negeri yaitu :
1. Indonesia lebih condong ke NEFO (New Emerging Forces)
NEFO merupakan kelompok Negara-Negara baru yang sedang muncul, yang
bersifat revolusioner yaitu Negara-Negara yang berhaluan komunis. Latar
belakang Indonesia lebih condong pada kelompok NEFO disebabkan
Indonesia menentang terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme
barat.
2. Munculnya politik mercusuar
Politik mercusuar adalah politik yang menganggap bahwa negaranya yang
paling baik dan hebat dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
3. Munculnya politik poros antara Jakarta-peking
Hal ini menyebabkan ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional
menjadi sempit sebab Indonesia berkiblat pada negara-negara komunis.
4. Indonesia keluar dari PBB
Penyebab Indonesia keluar dari PBB adalah adanya konflik dengan Malaysia.
Pembentukan PAN Melayu yang merupakan bentukan dari imperialisme dan
kolonialisme inggris menyebabkan Indonesia menentang segala bentuk
imperialisme dan kolonialisme barat. Sementara itu, Malaysia dicalonkan
sebagai Anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap di PBB, sehingga Indonesia
mengajukan pilihan yaitu jika Malaysia tetap dicalonkan menjadi anggota
dewan keamanan PBB maka Indonesia memilih untuk keluar dari
keanggotaan PBB.

6
Demokrasi Terpimpin
2.2.3 Peran Media Massa pada Demokrasi Terpimpin
Perkembangan politik Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 terjadi perubahan dalam kehidupan berpolitik dengan sistem Demokrasi
Terpimpin. Situasi ini membuat politik menjadi panglima, Soekarno
membentuk aliansi politik yang bertujuan untuk menggalang persatuan yaitu
dengan menggalang kekuatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis yeng
kemudian dikenal dengan Nasakom. Kemunculan Manifesto Politik
(Manipol) yang kemudian dikenal dengan Manipol USDEK yang
diperkenalkan oleh Soekarno sebagai dasar adanya Demokrasi Terpimpin dan
kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara membuat
semakin rumitnya persoalan bagi media massa. Dalam Manipol disebutkan
adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi bangsa demi jalannya
revolusi. Tugas retooling yang dibebankan kepada Panitia Retooling Aparatur
Negara (Paran) yang dipimpin oleh Nasution ini juga mengontrol bidang
kebudayaan dan bidang pers.
Pada tahun 1960 merupakan awal mulai penerapan Manipolisasi media massa
sebagai usaha untuk menyeragamkan pemberitaan yang mendukung
kebijaksanaan pemerintah. Tindakan yang dilakukan pertama kali oleh
pemerintah adalah mengeluarkan peringatan yang dilakukan oleh Menteri
Muda Penerangan R. Maladi yang menyatakan bahwa “langkah-langkah tegas
akan dilakukan terhadap surat-surat kabar, majalah-majalah, dan kantor berita
yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang diperlukan dalam usaha
penerbiatan pers nasional. Apabila surat-surat kabar tidak ingin kehilangan
subsidi dan izin pembelian kertas, mereka harus memberikan sumbangan
pada usaha-usaha pelaksanaan Manifesto Politik dari Presiden serta prinsip-
prinsip kepada Undang-Undang Dasar 1945”.
Menurut Edward C Smith bahwa dari sisi eksistensi media adanya perlakuan
tersebut sebagai bentuk tindakan yang anti pers. Adanya kompleksitas
masalah sistem kenegaraan antara Demokrasi Terpimpin dengan ideologi
Manipol USDEK, jargon-jargon politik sebagai sumber berita yang wajib
disajikan dalam halaman depan oleh tiap media massa tentunya mengancam
kebebasan pers. Ditambah dengan adanya keberpihakan banyak media massa

7
Demokrasi Terpimpin
terhadap ideologi tertentu, membuat kualitas pemberitaan menjadi turun.
Adanya ancaman pencabutan subsidi kertas koran, pencabutan Surat Ijin
Terbit mengakibatkan sebuah media massa tidak dapat melaksanakan fungsi
jurnalismenya sebagai kontrol sosial dengan baik dan konsisten.
Penekanan terhadap kebebasan pers tersebut berdasarkan peraturan Peperti
No 10/1960. Peraturan Peperti No 10/1960 yang dikeluarkan pada tanggal 12
Oktober 1960 mewajibkan bagi para penerbit media massa untuk
mendaftarkan kembali medianya kepada pemerintah melalui Peperti. Pada
dasarnya peraturan tersebut membuat seluruh media massa harus
memberitakan tentang semangat revolusi pada masa Demokrasi Terpimpin
yang didasarkan pada Manipol USDEK. Apabila pers melakukan kritik
terhadap kebijakan pemerintah harus selalu sejalan dengan Manipol. Situasi
Masa Demokrasi Terpimpin merupakan masa sulit bagi media di Indonesia,
hal ini dikarenakan adanya penerapan kebijakan yang ketat. Akibatnya
perkembangan media menjadi terhambat dan rendahnya kualitas jurnalistik di
Indonesia. Pers kemudian menjadi terkotak-kotak dan terpolarisasi pada
partai politik, sehingga terjadi penekanan pada pembenaran ideologi. Tentu
saja hal tersebut membuat media massa yang beraliran independen dan kritis
berada dalam posisi sulit. Seperti nasib yang dialami Koran Indonesia Raya
yang dilarang terbit dan pmpinan redaksinya Mochtar Lubis ditahan.
Sikap represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan
percetakan juga mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961
dikeluarkannya peraturan yang menetapkan semua percetakan yang dimiliki
perseorangan atau swasta harus dibawah pengawasan pemerintah dengan
membentuk Badan Pengawas dan Pembinaan yang bertujuan untuk
mengelola serta mengawasi semua percetakan. Unsur-unsur dari badan
pengawas tersebut terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian, Penerangan dan
Kejaksaan.
Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan Masyumi maka
dilakukan pembredelan terhadap Harian Pedoman yang pemimpinnya adalah
Rosihan Anwar yang pro kepada PSI. Sementara Harian Abadi yang
merupakan alat perjuangan Masyumi juga mengundurkan diri. Harian Abadi

8
Demokrasi Terpimpin
secara sukarela mengundurkan diri sebelum dibredel oleh
pemerintah.Mundurnya harian Abadi selain dikarenakan dibubarkannya
Masyumi sebagai partai induknya juga karena masalah penandatanganan 19
butir kesepakatan media massa yang dikeluarkan oleh Penguasa Perang
Tertinggi (Peperti).
Saat Presiden Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak
berdaya karena tidak dilengkapi dengan undang-undang pers yang
melindungi fungsi, tugas, kewajiban dan hak pers. Pers pada tahun tersebut
hanya diatur dengan Ketetapan Presiden nomor 6/1963 dimana peraturan
tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang berhubungan dengan bentuk,
tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan dengan Manipol dalam
usahanya mewujudkan Demokrasi Terpimpin. Dapat disimpulkan bahwa
ketetapan Presiden nomor 6/1963 selain berguna untuk mengekang kebebasan
pers juga diharapkan agar pers pada masa itu membantu menciptakan suasana
yang tetap kondusif dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Pengekangan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya
dengan tidak dikeluarkannnya UU pers, tetapi juga berusaha menghidupkan
kembali Undang-undang pers pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu
juga banyak dimunculkan peraturan-peraturan, pemberitahuan, ketentuan-
ketentuan, dan berbagai macam bentuk pernyataan-pernyatan dari pemerintah
yang berfungsi untuk mengingatkan pers. Dengan banyaknya peraturan-
peraturan yang menyudutkan posisi pers sehingga menyebabkan pemerintah
dapat dengan sangat mudah melakukan pembredelan pers. Seluruh media
masa yang sifatnya oposisi akan sangat mudah dijinakkan dan diberangus.
Kebijakan politik yang ditempuh oleh Demokrasi Terpimpin pada masa itu
membuat perkembangan dunia pers nasional tidak stabil. Dampak nyata dari
hal tersebut terbukti pada tahun 1961, lebih dari 800 orang wartawan ataupun
mereka yang menggeluti dunia pers harus merelakan pekerjaan mereka hilang
karena ditutupnnya perusahaan tempat mereka bekerja. Tahun 1962 terdapat
70 penerbit pers di Indonesia, padahal pada tahun 1960 tercatat penerbit pers
sebanyak 97 buah penerbit. Tahun 1960-1962 menjadi tahun buruk dalam
perkembangan pers Nasional. Perkembangan pers pada tahun 1963

9
Demokrasi Terpimpin
berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya. Dilaporkan pada tahun
tersebut tercatat sebanyak 105 penerbit surat kabar terdapat di Indonesia
dengan oplah sebesar 1.304.000.
Pasang surutnya perkembangan surat kabar di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan pers Indonesia
semakin terkekang pada tahun 1963 dengan dibentuknya suatu badan
pengawas pers yang berada di bawah wewenang Departemen Penerangan.
Pembentukan badan pengawasan ini bertujuan untuk mempermudah
pengawasan dan pengontrolan fungsi pers agar tetap berada dalam jalur
politik nasional. Pers juga diharapkan dapat menjadi juru bicara resmi
pemerintah, dan secara tidak langsung pemerintah berupaya untuk
melenyapkan cita-cita terbentuknya pers yang independen dan kritis.
Kebijakan-kebijakan otoriter Demokrasi Terpimpin terhadap bidang pers
benar-benar mematikan kreativitas para wartawan dan pimpinan surat kabar
yang kritis dan idealis. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya harus
berurusan dengan penegak hukum karena keberanian tulisan mereka dalam
mengkritik pemerintah. Kebanyakan kasus penangkapan-penangkapan
terhadap wartawan pada tahun 1963 tanpa melalui prosedur hukum yang
berlaku. Wartawan dan pemimpin surat kabar yang ditangkap pada masa itu
dikenakan tuduhan sebagai penghasut, melakukan permusuhan dan
penghinaan kepada penguasa. Landasan dari tuduhan tersebut adalah pasal
Hatzaai Artikelen, yang merupakan hukum warisan Belanda semasa menjajah
Indonesia. Pada jaman Kolononial pasal ini digunakan untuk menangkap para
pejuang kemerdekaan.
Penggunaan Hatzai Artikeelen oleh Soekarno, bertujuan untuk menjaga status
quo pemerintah dari serangan-serangan pihak oposisi yang dimungkinkan
menggunakan media massa sebagai sarananya. Langkah Soekarno dalam
penerapan pasal-pasal tersebut yaitu dengan jalan menangkap para
pengritiknya yang menuangkan aspirasi mereka dalam bentuk tulisan ternyata
sangat efektif. Dalam perkembangannya untuk semakin memperkuat
tekanannya kepada pers, pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor
11/PNPS/1963 yang intinya tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal-

10
Demokrasi Terpimpin
pasal dalam Undang-undang tersebut, merupakan sebuah tameng pemerintah
dari segala ancaman dan serangan apapun yang dikhawatirkan dapat
meruntuhkan kewibawaan pemerintah di mata rakyatnya.
Hatzai Artikeelen dan UU nomor 11/PNPS/1963 tidak dilepaskan dari
kepentingan politik. Kedua produk hukum tersebut tidak ditetapkan melalui
proses legislatif, melainkan murni kehendak penguasa dengan alasan
ketertiban umum dan stabilitas politik. Penguasa yang begitu represif,
menyebabkan para pengelola surat kabar tidak dapat mengekspresikan
tulisannnya. Kenyataan yang terjadi adalah perasan takut dan khawatir
dialami oleh para wartawan dan pihak percetakan karena dianggap sebagai
“teroris politik”.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno sangat jauh dari konsep pers idealis
yaitu sebagai mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi
yang mengontrol antara hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada
sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang segalanya berada di bawah
kekuasaan seorang Presiden. Wina Armada menuliskan bahwa kebebasan
pers adalah kebebasan berekspresi untuk mengungkapkan pendapat yang
mempunyai posisi dan fungsi yang penting serta dihargai sepenuhnya.
Kenyataanya, kondisi pers pada masa Demokrasi Terpimpin berada dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan. Berbagai macam tekanan yang
dilakukan pihak pemerintah kepada insan pers semakin mempersempit ruang
gerak mereka dalam mewujudkan kebebasan pers. Wartawan dan pimpinan
redaksi pers pada masa itu harus bersifat pro dengan pemerintah kalau ingin
tetap mempunyai pekerjaan. Kebebasan pers pada waktu Demokrasi
Terpimpin adalah sesuatu yang tidak mungkin, dikarenakan sama sekali tidak
didukung oleh kondisi politik yang kondusif melainkan harus menghadapi
politik tangan besi Soekarno yang menjadikan dirinya sebagai penguasa
otoriter.
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat
menjadi masalah karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri.
Pemerintah memandang kegiatan pers dianggap bisa mengganggu stabilitas
politik dan penerapan kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai

11
Demokrasi Terpimpin
pelanggaran etika politik dan dengan alasan pelanggaran etika politik itulah
Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan
tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut,
kebijakan Soekarno dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk
kepentingan politik otoriter semata tanpa pernah mempertimbangkan nilai
moral dan etika.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebenarnya pernah mengusulkan
kepada Soekarno untuk terlebih dahulu membicarakan keputusannya bila
akan melakukan pemberedelan pers. Usulan PWI tersebut pada akhirnya
hanya menjadi sebuah usulan saja, karena ketidakmampuan mereka melawan
penguasa yang sudah sedemikian kuat. PWI sendiri sebenarnya sudah tidak
mampu untuk bersikap mandiri, terbukti dengan pendaftaran organisasi ini
menjadi bagian dari Front Nasional, padahal PWI bukanlah organisasi massa.
Menariknya, PWI tetap diterima menjadi anggota Front Nasional dngan
pertimbangan PWI mempunyai pengaruh yang besar dalam hal menggerakan
massa. Sebagai konsekuensinya, PWI harus menyesuaikan diri dengan politik
Nasakom yang sudah menjadi ideologi negara. Masuknya PWI kedalam Front
Nasional menjadi bukti kongkrit bahwa adanya Nasakomisasi dalam tubuh
pers. Pers yang bisa menerima Nasakomisasi Soekarno dibiarkan tetap hidup
dan sekaligus dijadikan alat untuk menyuarakan kepentingan politik suatu
partai tertentu. Akibatnya, pers secara terang-terangan membela kepentingan
kelompoknya sehingga agresifitas pers tergantung dari sikap partai politik
yang berada dibelakangnya.
Situasi pers yang demikian dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh PKI
melalui surat kabar yang mendukungnya Harian Rakjat. Harian tersebut
menjadi alat propaganda utama PKI dalam melancarkan agitasi politiknya.
Sebagai contoh, PKI dengan gencar menyebarluaskan istilah “Tujuh Setan
Desa” melalui harian ini. Populernya istilah Tujuh Setan Desa tersebut secara
otomatis menjadikan terhasutnya rakyat dipedesaan untuk melakukan Ofensif
Revolusioner di daerah pedesaan. Akibatnya, situasi dan suhu politik semakin
memanas karena dilain pihak PNI yang notabene adalah saingan PKI juga
didukung oleh harian Merdeka.

12
Demokrasi Terpimpin
2.3 Ideologi Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap
otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang
muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk
menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang
lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden
Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada
tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno
menyadari bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan
kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-
kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Dari kelompok sipil ini
yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau
tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang
diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa
pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun
Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri
masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling
bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu
mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu
ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi
dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi
dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam
usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda
di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia
berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang
tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim
(neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa,
Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang
akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup
sistem Demokrasi Terpimpin.

13
Demokrasi Terpimpin
Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada
bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama
dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada
pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan tetapi, tekananannya
kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya
kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang
kali. Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.
Demokrasi terpimpin dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah
menguasai komunikasi massa sejak pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak
mungkin bagi surat kabar atau majalah berani terang-terangan mengecam
Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-semboyan baru. Pada paruh
kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan lambang-lambang.
Dalam hubungan ini yang terpenting ialah pidato kenegaraan presiden pada
ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja Dewan
Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis dalil-dalil yang
terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang
membenarkan mengapa harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru dalam pidato presiden, tetapi
pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya kembali Undang-
Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya
itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto
politik Republik Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan
rincian sistematikanya yang disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam
pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu mengungkapkan bahwa
revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting. Pertama, Undang-Undang
Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin;
keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian
Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu maka
muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia”
disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-
USDEK”.

14
Demokrasi Terpimpin
Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat
politik. Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama
mendukung apa yang selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan,
menempatkan kepentingan nasional diatas kepentringan golongan dan
kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang dilakukan dengan
penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan
kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat
Indonesia. Dan kedua, bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat
kehidupan yang mereka rasakan akibat keterpecahbelahan mereka dalam
tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik kepada gagasan
bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang yang
berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa
komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan
makna yang sesungguhnya dalam berbagai skema rumit yang disampaikan
presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar Manipol-
USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah
sekarang ini.
Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan
bahwa ideologi ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak
tertarik pada makna dasar dari arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden
menawarkan sesuatu pada saat terjadi ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-
nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling berbenturan, sehingga
timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan
skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum
terhadap Manipol-USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan
ideologi yang sangat baik atau lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an
dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka pembangunan Indonesia.
Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK
diterima sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan
dan kekhawatiran. Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu,
bukan pula suatu upaya unutk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi
politik yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu

15
Demokrasi Terpimpin
menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis
Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK
tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam
yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan
baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan
manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.

2.4 Keberhasilan dan Kegagalan Demokrasi Terpimpin


Keberhasilan pada masa demokrasi terpimpin yang gampang diingat adalah
pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945. Sistem demokrasi
terpimpin digunakan untuk melanjutkan kebijakan dari pemerintah tanpa ada
campur tangan rakyat meskipun dilaksanakan pemilihan umum yang telah
diambil pemerintah. Para pemilih dalam pemilu masih bisa menentukan
suaranya dengan bebas dan hak-haknya dipenuhi, tetapi dibatasi agar tidak
menimbulkan pengaruh besar kepada kebijakan Negara. Keberhasilan itu
terlihat dalam pembebasan Irian Barat dan memasukannya dalam kesatuan
Indonesia pada 1962. Operasi Trikora kala itu sukses memukul mundur tentara
asing yang mencoba menghalangi upaya pemerintah dalam menyatukan Irian
Barat.
Disisi lain pelaksanaan demokrasi terpimpin juga mengakibatkan kegagalan
yang mengakibatkan demokrasi terpimpin hancur.
Adapun Penyebab Kegagalan massa Demokrasi Terpimpin,
1. Adanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden, menyebabkan
penyimpangan dan penyelewengan terhadap penyelewengan terhadap
undang-undang dasar 1945dan pancasila dan pada akhirnya terjadi
perebutan kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965
(G30S/PKI) yang merupakan bencana bagi bangsa Indonesia
2. Kedudukan presiden yang bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan
UUD 1945, kedudukan presiden berada dibawah MPR. Akan tetapi,
kenyataan bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada
presiden. Presiden menentukan apa yang harus di putuskan oleh MPRS.
Hal ini tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat ketua

16
Demokrasi Terpimpin
MPRS dirangkan oleh wakil perdana menteri III serta pengangkatan wakil
ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil
ARBI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.
3. Pembentukan MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945. Presiden juga
membentuk MPRS berdasarkan penetapan presiden No.2 tahun 1959.
Tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945 karena berdasarkan UUD
1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus
melalui pemilu sehingga partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-
anggota yang duduk di MPR.
4. Kegagalan kontituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga
membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak
mempuyai pijakan hukum yang mantap.
5. Situasi politik yang semakin buruk.
6. Konflik antar partai yang mengganggu stabilitas nasional.
7. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling bebeda pendapat sementara
sulit untuk mempertemukannya.
8. Masing-masing politik berusaha untuk menghalalkan segala cara agar
tujuan partainya tercapai. Banyak tindakan menyimpang pada masa ini,
termasuk ketika dikeluarkan Tap MPRS No. III/1963 yang mengangkat
Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Pada masa ini juga didirikan
badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang diketahui
sebagai media kelompok komunis berkegiatan.
Tanggung jawab Negara di pegang sendiri oleh Soekarno, karena lebih
mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter, misal Presiden
mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk
Komandan Operasi Tertinggi (KOTI). TNI dan POLRI disatukan menjadi
ABRI. ABRI menjadi golongan fungsional dan kekuatan sosial politik.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menandai mulainya demokrasi
terpimpin yang secara otomatis pemerintahan mengarah kepada sistem
pemerintahan yang otoriter. Pemberontakan yang gagal di Sumatera,
Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958,

17
Demokrasi Terpimpin
ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika
Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi
1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang
besar, dia tidak menemui banyak hambatan. Soekarno mengambil
kebijaksanaan berkaitan dengan GANEFO sebagai tandingan olimpiade
dan tidak mengikutsertakan Israel dan Taiwan pada Asian Games sebagai
bentuk simpati pada Negara Arab dan RRC. Adanya bentukan organisasi
baru yaitu GANEFO dan OLDEFO. Isu yang berkembang adalah adanya
usaha untuk mempertahankan kehormatan bangsa Indonesia setelah
Malaysia ditetapkan sebagai dewan Keamanan PBB. GANEFO dan
OLDEFO adalah organisasi yang terdiri dari Negara-negara yang baru saja
merdeka dan berusaha agar dunia dapat mengakui kedaulatan Negara-
negara tersebut.
Kedekatan Soekarno dengan PKI sangat erat. Hubungan tersebut adalah
hubungan timbal balik antara Soekarno dengan PKI. Dengan Soekarno
membentuk Nasakom, maka hal tersebut membentuk citra Soekarno
sebagai komunis. Padahal pemimpin harus memilki citra sebagai manusia
yang beriman, karena dengan iman mampu meredam keinginan duniawi
dan menjauhkan dari penyimpangan-penyimpangan. Tapi pada
kenyataannya banyak penyimpangan yang dilakukan Soekarno. Indonesia
keluar dari kenggotaan PBB dan Soekarno mulai berinteraksi dan menjalin
hubungan dengan Negara-negara lain. Dalam hal ini Soekarno memilki
kemampuan berkomunikasi yang baik yang ditandai dengan bergabungnya
Negara-negara tersebut bersama Indonesia. Selain itu di dalam negeri,
pengaruh Soekarnoisme mulai tersebar luas. Komitmen meningkatkan
kualitas SDM dapat dilihat dari segi pendidikan yaitu dari adanya
penambahan universitas baru di setiap ibukota provinsi. Berbagai usaha
dilakukan pemerintah antara lain seperti rencana pengajaran Sapta Usaha
Tama (sistem pendidikan Indonesia).

18
Demokrasi Terpimpin
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia,


yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada
bulan 5 Juli1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden. Stabilitas keseimbangan kekuatan di masa
Demokrasi Terpimpin bergantung pada kelanjutan kerja sama antara Presiden
Soekarno dan pimpinan Angkatan Darat. Namun, stabilitas tersebut tidak
berlangsung lama karena Soekarno terlalu melindungi partai politik yang
berideologi komunis. Selain itu, Soekarno terlalu mendominasi kehidupan politik
Indonesia sehingga menjadikan ia sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Sehingga pada pelaksanaan demokrasi terpimpin khususnya
Presiden Soekarno banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap
UUD 1945.

SARAN

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat


kekurangan baik dari segi penulisan maupun materi, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritikan dari rekan-rekan mahasiswa yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan makalah yang selanjutnya.

19
Demokrasi Terpimpin

Anda mungkin juga menyukai