Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KARDIOVASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA JANUARI 2018

ATRIAL FIBRILASI

DISUSUN OLEH :

Husnul Khatimah

111 2017 2059

SUPERVISOR PEMBIMBING:

Prof. Dr. dr. Ali Aspar M, Sp.PD, Sp.JP (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KARDIOVASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang.1 Framingham Heart Study yang merupakan suatu
studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat
(tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode 20
tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.2
Sementara itu data dari studi observasional (MONICA multinational MONItoring
of trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di
Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2.4 Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi
28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin
pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah.
Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada
pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010,
meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013). Fibrilasi atrium
menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke, gagal
jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki risiko stroke
5 kali lebih tinggi danrisiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien
tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling dikhawatirkan,
karena stroke yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko kekambuhan yang
lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat FA ini mengakibatkan kematian dua kali
lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.
Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain
seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes
melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium,
kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun
sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung
dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan
gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban
volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.
Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek
septal atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung
koroner meskipun keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih
belum jelas.1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi, Persarafan dan Pembuluh Darah Jantung


a. Anatomi Jantung

Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa darah
melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung manusia
dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang dengan orang yang
lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara normal terletak didalam
rongga toraks, yang berada diantara sternum di sebelah anterior dan vertebra di
sebelah posterior, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan diafragma3,4.

Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi eksternal dan
anatomi internal3,4,5

1. Anatomi Eksternal

Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-lapisan


pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung, yaitu
pericardium, miokardium dan endokardium.

Lapisan perikardium merupakan lapisan jantung bagian luar yang terbuat


oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium
parietal yang berada dibagian luar dan perikardium visceral yang berada dibagian
dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan perikardium visceral
dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan perikardium encer. Fungsi
rongga tersebut adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan jantung.

Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling


tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan ini terdiri dari 3
macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat khusus. Otot atrium
mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel,
hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas jantung berkaitan
dengan fungsi pompa darah ke seluruh tubuh. Otot atrium dan otot ventrikel
mempunyai kinerja kontraksi yang sama, sedangkan otot serat khusus lebih
tergantung dari rangsang konduksi jantung.

Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini


adalah suatu lapisan yang terdiri dari membran tipis di bagian luar
yang membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel
(endotel) dan berhubungan langsung dengan jantung.
2. Anatomi Internal

Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan
dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan kiri (atrium dan
ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang dinamakan septum cordis.
Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah katup jantung, yang terdiri dari
katup trikuspidalis, katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan
katup semilunar aorta.

a. Atrium Kanan

Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi untuk


menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava inferior dan vena kava
superior. Kedua vena kava bermuara pada tempat yang berbeda, vena kava
superior bermuara pada dinding bagian supero-posterior atrium kanan, sedangkan
vena kava inferior bermuara pada dinding bagian infero-latero-posterior atrium
kanan.

b. Ventrikel Kanan

Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan. Darah vena akan
dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang sebelumnya melewati katup
atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.

c. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih) yang
berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonalis
yang bermuara pada dinding postero-posterior atau postero-lateral.

d. Ventrikel Kiri

Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang berfungsi


memompa darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel kiri mempunyai tebal
lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal ini
dipengaruhi oleh fungsi pompa darah ventrikel kanan dan kiri.

e. Katup Semilunar

Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar pulmonalis
dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk katup yang sama,
tetapi secara antomis katup semilunar aorta lebih tebal dibandingkan dengan katup
semilunar pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara
ventrikel kanan dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi
sebagai sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga daun
katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup anterior, dekstra
dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri dari daun katup koroner
dekstra, koroner sinistra dan non-koroner.

f. Katup Atrio-Ventrikuler

Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup trikuspidalis dan
katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis terdiri dari tiga daun katup
yang berbeda ukuran pada setiap daun katup. Ketiga daun katup ini adalah katup
anterior, septal dan katup posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium
kanan dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak
sebagai sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis (mitral)
mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup mitral anterior dan
posterior.
Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur oleh kedua
katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus, daun
katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot ventrikel. Keenam komponen ini
merupakan rangkaian unit fungsional dalam proses aliran darah, sehingga bila
terjadi gangguan pada salah satu komponen akan mengakibatkan gangguan
hemodinamik yang serius.

Gambar 1. Anatomi Jantung

b. Persarafan Jantung

Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf simpatis
dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi daerah
atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf
parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-otot
atrium.
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis
torakal III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan
parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan
diperantarai oleh asetilkolin. Secara fungsional, saraf simpatis mempengaruhi
kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis lebih berperan dalam
mengontrol irama dan menurunkan laju denyut jantung.

c. Pembuluh Darah Jantung

Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner,
yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini, baik arteri
koroner kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava aorta. Arteri
koroner kiri akan bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan arteri desendens
anterior kiri yang memperdarahi sebagian besar bagian proksimal RBB (right
bundle branch), LBB (left bundle branch) dan fasikulus anterior LBB. Sedangkan
arteri koroner kanan akan bercabang menjadi arteri atrium anterior kanan yang
memperdarahi nodus sino-atrial dan arteri koroner desendens posterior yang
memperdarahi nodus atrio-ventrikuler dan fasikulus posterior LBB. Pembuluh
darah balik dari otot jantung adalah vena koroner. Vana koroner ini berjalan
berdampingan dengan arteri koroner yang akan masuk atau bermuara ke dalam
atrium kanan melalui sinus koronarius.

Gambar 2. Pembuluh Darah Jantung


2.2. Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung
a. Fisologi Jantung

Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat adanya
potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot jantung, yaitu
99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik (kontraksi), tetapi tidak
menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik yang tidak melakukan kerja
mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai fungsi dalam mencetuskan dan
menghantarkan potensial aksi3,4,5.

Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik
jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung
dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi
dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga
proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk
memicu kontraksi otot jantung4.

Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi pembukaan


saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan perubahan
potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30 mv. Setelah
mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan segera menutup
yang kemudian diikuti pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan saluran Ca2+ terjadi
secara lambat, yang menyebabkan proses plateau dan influks Ca2+ dari
ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik. Setelah beberapa saat,
saluran Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan saluran K+. Pembukaan saluran
K+ menyebabkan terjadinya proses repolarisasi, yang ditandai dengan keluarnya
atau effluks K+ ke ekstraseluler4,5,6.
Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung

Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses


potensial aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan saluran
Ca2+ secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks Ca2+
atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat dua
mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+ ekstraseluler
berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+ selama fase plateu
pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari cadangan intraseluler
(sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang berasal dari
ekstraseluler5,6.

Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan


Ca2+ dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan
kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen tebal
(miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek tiap
sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan troponin akan menyebabkan
stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca2+ yang tidak berikatan
dengan troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic reticulum dan
sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca2+ ke ekstraseluler
terjadi karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di ekstraseluler.
Kemudian ion Na+ yang telah masuk kedalam intraseluler akan bertukaran secara
aktif dengan ion K+ melalui proses Na+- K+-ATPase.

Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung

b. Sistem Konduksi Jantung

Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga menimbulkan


kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau rangsangan elektrik. Sistem
konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial, nodus atrio-ventrikuler, berkas his,
berkas cabang kanan-kiri dan serabut purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik
pertama jantung berawal di nodus sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-
superior atrium kanan. Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan
kontraksi dari atrium, baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang
bersamaan antara atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan
elektrik melalui traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA. Nodus
SA memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) tercepat
bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain, yaitu sebesar 60-100
potensial aksi/menit. Kemampuan ini menyebabkan nodus SA sebagai pengontrol
utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker) dan mengendalikan
sistem konduksi jantung7,8.

Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan


baik untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien.
Penjalaran sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah
:
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum
kontraksi ventrikel dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium.

Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus atrio-


ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui traktus
internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV merupakan satu-
satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan ventrikel. Disamping
itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan mencetuskan potensial elektrik
(pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-60 potensial aksi/menit. Hal ini
memungkinkan nodus SA sebagai pengontrol dan pengendali sistem konduksi
jantung apabila terjadi blok pada rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis,
nodus AV sebenarnya memiliki keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu
sebesar 0,08-0,12 detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam
memberikan waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu
dalam proses mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu
pengisian ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi9.

Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his sebenarnya
dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal dari nodus AV,
yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke ventrikel. Berkas his
akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang kanan dan berkas cabang
kiri. Berkas cabang kanan (RBB/right bundle branch) merupakan percabangan
dari berkas his. RBB bercabang sebagai struktur tunggal di lapisan
subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian RBB akan terbagi menjadi tiga
cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior dan lateral. Bagian RBB lateral akan
berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan menuju bagian bawah septum
interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman purkinje atau serabut
purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri (LBB/left bundle branch)
mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur percabangan LBB ini
berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masing-masing
percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada percabangan
RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati
berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut
purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi
kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri.

Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung


2.3.Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA
biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada
beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.10

2.4.Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang
pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau
berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga
≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila
strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten
lama.
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain
(gambar 6). Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode
FA paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau
sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu
kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.11

Gambar 6. Klasifikasi Fibrilasi Atrium

Adapun kategori fibrilasi atrium tambahan:

Fibrilasi atrium dapat terjadi secara terisolasi atau berhubungan dengan


aritmia lainnya, paling sering kepak atrium (atrial flutter) atau takikardia atrium.
Kepak atrium (KA) dapat terjadi selama pengobatan dengan agen antiaritmia
untuk mencegah rekurensi FA. Perbedaannya adalah pada KA yang tipikal,
terdapat pola aktivasi atrium yang reguler berupa gigi gergaji pada rekaman EKG
atau disebut gelombang kepak (f), terutama nampak jelas pada sadapan II, III,
aVF dan V1. Secara alami, laju atrium pada KA tipikal sedikit lebih lambat dari
FA, umumnya berkisar antara 240-320x/menit, dengan aksis gelombang f negatif
pada sadapan II, III, aVF serta positif di V1. Arah aktivasi pada atrium kanan
dapat terbalik, sehingga gelombang f positif di sadapan II, III, aVF dan negatif di
V1 (disebut tipikal terbalik). Kepak atrium seringkali juga terjadi dengan blok AV
2:1 sehingga bermanifestasi sebagai laju ventrikel reguler atau ireguler berkisar
120-160x/menit (rata-rata 150x/ menit). Kepak atrium dapat berdegenerasi
menjadi FA dan FA dapat mengalami konversi menjadi KA. Pola EKG mungkin
berfluktuasi antara KA dan FA, sebagai cerminan peralihan aktivasi dalam atrium.
Takikardiaatrium fokal, takikardia reentri atrioventrikular dan takikardia reentri
NAV mungkin juga dapat memicu FA. Pada takikardia supraventrikular lainnya
seperti disebut di atas, gelombang P umumnya dapat diidentifikasi dengan jelas
dan memiliki garis isoelektrik pada 1 atau lebih sadapan EKG. Morfologi dari
gelombang P dapat membantu melokalisasi asal dari takikardia.

AF dengan respon cepat

AF dengan respon normal


AF dengan respon lambat

Gambar 7. Respon Atrium Fibrilasi


2.5. Patofisiologi fibrilasi atrium (FA)
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya
dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut
tentang mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan 2) faktor-
faktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi
masih dapat konversi secara spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya
karena adanya faktor pemicu (trigger) FA, sedangkan pada pasien FA yang tidak
dapat konversi secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang
melanggengkan.12
a. Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling yang
perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses remodelling
yang terjadi di atrium ditandai dengan
proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat
meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling
atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi
di atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan
terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri
yang akan melanggengkan terjadinya aritmia.2 Sistem saraf simpatis maupun
parasimpatis di dalam jantung juga memiliki peran yang penting dalam
patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf
simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf
parasimpatis (vagal). Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan
terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik
dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi. Namun, manfaat ablasi
pleksus ganglionik sampai sekarang masih belum jelas.
Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi
mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan
konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi melaporkan terjadinya
pemendekan periode refrakter efektif atrium pada hari-hari pertama terjadinya FA.
Proses remodelling elektrikal memberikan kontribusi terhadap peningkatan
stabilitas FA selama hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular utama
yang mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan
(downregulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-
regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus,
maka periode refrakter atrium akan kembali normal. Gangguan fungsi kontraksi
atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya FA. Mekanisme yang
mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan
pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.3

b. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu
(trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat
dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme
reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat. Meskipun
demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.
Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-
daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena kava
superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%),
sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium.
Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered
activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai
dan melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter
yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit.
Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu
yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat
dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan pelambatan frekuensi
FA secara progresif dan selanjutnya terjadi konversi menjadi irama sinus.
Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah yang memiliki frekuensi
tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk
melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus.
Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)
Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya konduksi
beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui otot-otot
atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali dikemukakan oleh Moe
yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang tersebar
secara acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau
terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh
karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang, sedangkan yang
lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi
pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.
Fibrilasi atrium menyulut FA (AF begets AF)
Konsep FA menyulut FA dikemukakan pertama kali oleh Alessie dkk.
dalam sebuah eksperimen pada kambing. Observasi mereka menunjukkan bahwa
pemacuan atrium dengan teknik pacurentet (burst pacing) akan menyebabkan FA,
yang akan kembali keirama sinus. Kemudian bila dilakukan pacu-rentet lagi akan
muncul FA kembali. Apabila proses ini dilakukan terus menerus, maka durasi
FAakan bertambah lama sampai lebih dari 24 jam.15 Oleh karena itu pada pasien
yang mengalami FA paroksismal dapat berkembang menjadi FA persisten atau
permanen.

2.6.Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal
yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada
panduan ini, rekomendasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan tingkat
kelengkapan pusat kesehatan terkait.14
Gambar 8. Evaluasi Atrium Fibrilasi
a. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%
episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrialfibrillation). Beberapa gejala
ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
• Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
• Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
• Presinkop atau sinkop
• Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus
berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien
yang dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan,
seperti:
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan
frekuensi gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol).
Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau
perkutan (dengan kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit
jantung valvular, dan PPOK).
b. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway),
pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk
mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan
informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang
adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan
cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien
dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami
bradikadia.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,
pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada
arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK,
asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien
FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum
atau adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel
dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat
menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih
jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada
pasien FA.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh
atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian
serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks
dapat ditemukan pada hipertiroidisme.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit
yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi
menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait
dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna
untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan
menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji toksikologi atau level etanol

d. Elektrokardiogram (EKG)
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang
jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks
QRS yang ireguler pula.
Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi
160-170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah
siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Blok berkas cabang
• Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS
dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.
e. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular
paru (misalnya emboli paru, pneumonia).

f. Uji latih atau uji berjalan enam-menit


Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah
strategi kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah
berjalan 6-menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan
obat antiaritmia kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi FA yang
dicetuskan oleh aktivitas fisik.

g. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini.
Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :
• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)

h. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging


(MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin
diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT
scan atau MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila
direncanakan ablasi FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta
anatomis dari atrium kiri dan VP.

i. Monitor Holter atau event recording


Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada
EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat
dalam kendali laju atau kendali irama.

j. Studi Elektrofisiologi
Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi mekanisme
takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan situs ablasi kuratif.
2.7.Evaluasi Tindakan Lanjut
Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang disebut skor EHRA
(European Heart Rhythm Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang
dapat digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan FA.
Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar
disebabkan oleh FA, dan diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan
konversi ke irama sinus atau dengan kendali laju yang efektif.14

Gambar 9. Klasifikasi Atrium Fibrilasi menurut skor EHRA

2.8. Penatalaksanaan

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol


ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut
pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion)9,15.

a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)


Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah
adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan
atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :

1. Warfarin

Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam


proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak
konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin
di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang
kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.

2. Aspirin

Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari


trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari
COX2 ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di
dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari
trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama faktor
II, VII, IX dan X.

b. Mengurangi denyut jantung

Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan


peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis kalsium.
Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.

1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang abnormal
dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel
dari kontraksi atrium yang abnormal.

2. β-blocker

Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf


simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung
dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.

3. Antagonis Kalsium

Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung


akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati
Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.

c. Mengembalikan irama jantung

Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat


dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol
ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya
kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological
Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion).

1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)


a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus
sinus rhythm).

3. Operatif
a. Catheter ablation

Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan


sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh
darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya AF.

b. Maze operation

Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi


pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi untuk
membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.

c. Artificial pacemaker

Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di


jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.
BAB III

KESIMPULAN

Atrium fibrilasi merupakan kelainan irama yang paling sering ditemukan


pada praktik klinik sehari-hari yang insidennya meningkat dengan pertambahan
usia. Stroke dan tromboemboli sistemik merupakan komplikasi yang sering
ditemukan pada atrium fibrilasi sehingga memerlukan terapi antikoagulan yang
adekuat. Pendekatan terapi dengan strategi kontrol laju atau kontrol irama dapat
dilakukan baik memakai medikamentosa maupun intervensi non-obat dengan
hasil yang baik.
Daftar Pustaka

1. Rilantono, Lily l. 2015. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:


Badan Penerbit FK UI. Hal 390.
2. The Framingham Heart Study and The Epidemiology of Cardiovascular
Diseases: A Historical Prespective.

3. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-


305.
4. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17.
EGC: 682-712.
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.
6. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13.
EGC: 1418-87.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit
Dalaml. Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
8. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to
reduce stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann.
Thorac. Surg. 61 (2): 755–9.
9. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
10. Wibisono, Anton. 2012. Hubungan Fibrilasi Atrium dengan Kejadian
Stroke Iskemik di RSUD dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
11. Rilantono, Lily l. 2015. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI. Hal 392.
12. Rilantono, Lily l. 2015. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI. Hal 395,396,397.
13. Pedoman Tata Laksana Atrium Fibrilasi, Perhimpunan Dokter Spesial
Kardiovaskuler Indonesia 2014.
14. Camm Aj, et UI. Guidelines for the Management of Atrial Fibrillation.
ESC 2010; 12; 360-420
15. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.

Anda mungkin juga menyukai