Oleh:
PETA KONSEP
BAB II
TINJAUAN TEORITIK
Proses asimilasi dan akomodasi perlu dalam perkembangan kognitif dan akan terus
berjalan dalam diri seseorang. Dalam perkembangan kognitif tersebut, diperlukan adanya
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi atau disebut dengan equilibrium.
Equilibrium adalah pengaturan diri secara mekanis dalam mengatur keseimbangan
proses asimilasi dan akomodasi atau dari disequilibrium ke equilibrium (Suparno, 2001).
Proses itu akan terus berjalan dalam diri seseorang, sehingga seseorang mampu
menyatukan pengalaman luar dengan struktur skema yang telah ada. Apabila terjadi
ketidakseimbangan, seseorang didorong untuk mencari keseimbangan melalui asimilasi
atau akomodasi (Euis Nurhidayati, 2017).
Pengetahuan tidak sama dengan barang yang dapat dipindahkan dengan mudah
kepada orang lain, terutama peserta didik. Ketika pendiidk ingin memindahkan konsep, ide,
nilai, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus
diinterpretasikan oleh peserta didik melalui keaktifan membentuk pengetahuan. Dalam proses
itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 2001), diperlukan beberapa kemampuan diantaranya
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, serta
kemampuan untuk lebih menyukai pengalam yang satu daripada yang lain.
Adapun, lima elemen belajar yang konstruktivistik menurut Zahorik antara lain
pengaktifan pengetahuan baru (activating knowledge), pemerolehan pengetahuan baru
(acquiring knowledge) dengan mempelajari secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian
memperhatikan detail, pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) dengan
menyusun konsep sementara yang dilanjutkan dengan melakukan kegiatan sharing kepada
orang lain agar mendapat validasi, mempratikkan pengetahuan dan pengalaman (applying
knowledge), dan melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap pengembangan
pengetahuan.
Kegiatan belajar pada peserta didik merupakan kegiatan yang aktif sesuai dengan
pandangan konstruktivisme dimana membangun pengetahuan dan keterampilan secara
individual. Peserta didik bertanggung jawab membuat penalaran dengan apa yang
dipelajari, mencari makna dan membandingkan dengan apa yang telah diketahui dengan
pengalaman dan situasi baru. Makna dicari dan diciptakan oleh peserta didik dari apa
yang dilihat, dengar, rasakan, dan alami (Martini, Angkasa, & Sastranegara, 2017).
Belajar mengarah pada proses menemukan sesuatu daripada suatu proses yang
mengumpulkan sesuatu yang artinya bukan mengumpulkan fakta-fakta, melainkan
proses pemikiran yang berkembang dengan membuat skema yang baru (Fosnot, 1996).
Peserta didik harus memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi, menguji
hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan permasalahan, mencari jawaban, meneliti,
mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dalam
membentuk konstruksi atau skema pengetahuan baru.
Tiap-tiap peserta didik memiliki cara dalam memahami pengetahuan, sehingga dapat
mengerti kelamahan dan keunggulan dalam memahami sesuatu. Caranya, berusaha untuk
menemukan kegiatan belajar yang tepat bagi dirinya dan memungkinkan untuk mencoba
bermacam-macam cara belajar yang sesuai. Peserta didik perlu menciptakan berbagai
situasi dan metode pembelajaran dalam proses membentuk pengetahuan. Pengetahuan
yang dibentuk secara individual maupun sosial dapat dikembangkan melalui belajar
kelompok, diskusi dan cooperative learning. Dalam belajar kelompok, peserta didik akan
mengerjakan suatu persoalan secara besrama-sama dengan mengungkapkan apa dan
bagaimana yang terkait dengan persoalan tersebut. Proses tersebut, akan menuntut
peserta didik untuk berpikir aktif dan membuat abstraksi. Sehingga, peserta didik yang
berpikir aktif akan mampu menjelaskan kepada teman-teman dalam melihat persoalan
lebih jelas sesuai dengan pandangan mereka (Sutarjo Adisusilo, 2005).
Selain itu, dalam konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berkaitan dengan
adanya simbolik atau konsep. Pengetahuan dapat dikonstruksi ketika individu terlibat
secara sosial dalam dialog aktif, diskusi dan bertukar pengalaman. Sehingga, peserta
didik dapat berinteraksi dengan para ahli agar mendapatka konsep dan model dari ilmu
pengetahuan yang telah ada dalam meransang untuk mengontruksi pengetahuan mereka.
Selain itu, pendidik menyediakan sarana yang mendorong peserta didik untuk berpikir
secara aktif dan produktif seperti menyediakan sebuah pengalaman konflik. Pengalaman
konflik dapat berupa pengalaman yang bertentangan dengan pengalaman awal peserta
didik dimana akan berdampak pada peserta didik untuk berpikir secara mendalam.
Kemudian, pendidik melakukan monitoring, mengevaluasi dan menunjukkan pemikiran
atau skema yang telah dibangun oleh peserta didik sesuai atau tidak. Pendidik dapat
mempertanyakan kepada peserta apakah pengetahuan yang telah dibuat mampu dalam
menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Sehingga, pendidik membantu
dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik yang dibangun sebelumnya
(Suparno, 2001).
Pada sistem konstruktivisme, pendidik diharuskan memiliki bahan yang luas dan
mendalam mengenai pengetahuan dari bahan yang akan diajarkan guna memberikan
gambaran secara luas pada peserta didik. Selain itu, tugas pendidik adalah membantu
peserta didik agar dapat mengonstruksi pengetahuan dan menyusun strategi-strategi yang
seusai dengan situasi yang konkret.
BAB III
PENUTUP
Daftar Pustaka
Andre Kukla. (2003). Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Jendela.