Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

Review Teori Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan


Serta Contoh Penerapan di Indonesia

Oleh:

111611133016 Adinda Dwi W.


111611133021 Rr. Wina Ayudya A.
111611133064 Farah Alfiyyatur R.
111611133067 Jessica Devina S.
111611133076 Husnun Nadliroh

M.K Psikologi Pendidikan A-1


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
BAB I

PETA KONSEP
BAB II

TINJAUAN TEORITIK

2.1 Pengertian Filsafat Konstruktivisme

Pada tahun 19710, Giambatista Vico mengemukakan pandangan filsafat


konstruktivisme, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan
berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”
(Adisusilo, 2005). Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana
membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang akan mengetahui sesuatu jika ia dapat
menjelaskan unsur-unsur apa saja yang membangun sesuatu itu (Suparno, 2001). Filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu
melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka (Sutarjo
Adisusilo, 2005).
Menurut Karli, konstruktivisme adalah pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya
konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses
belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi
dengan lingkungannya (Sutarjo Adisusilo, 2005).

2.2 Prinsip-prinsip Pembelajaran Konstruktivisme


Terdapat beberapa prinsip konstruktivisme secara garis besar menurut Suparno,
diantaranya :
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara individu maupun sosial,
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar,
3. Murid aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep
ilmiah,
4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
siswa berjalan mulus. Selain itu, pembelajaran konstruktivistik memandang bahwa
siswa secara terus menerus memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan
aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi
(Danarjati, Murtiadi, & Ekawati, 2014, dalam (Euis Nurhidayati, 2017))
2.3 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Berikut ini merupakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa
literatur (Sutarjo Adisusilo, 2005), yaitu:
1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya
2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman
4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama
dengan orang lain
5. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus
terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah

2.4 Macam-Macam Konstruktivisme

Konstruktivisme dibagi menjadi dua pembahasan yakni konstruktivisme psikologis


(personal) dan konstruktivisme sosial (Suparno, 2001), sebagai berikut.

2.4.1 Konstruktivisme personal atau Individual Cognitive Constructivist

Dalam konstruktivisme personal, tokoh yang mengemukakan adalah Jean Piaget.


Piaget menyoroti bagaimana anak-anak membentuk, mengembangkan, dan mengubah
skema pengetahuan (Fosnot, 1996). Pertama, Piaget menekankan bagaimana anak secara
individual mengonstruksi pengetahuan dari interaksi dengan pengalaman dan objek yang
dihadapi. Kedua, bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi secara sederhana
maupun refleksif dalam membentuk pengetahuannya. Piaget memperhatikan keaktifan
individu dalam membentuk pengetahuan dikarenakan pengetahuan dibentuk oleh anak
itu sendiri ketika sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua (Sutarjo Adisusilo,
2005). Sehingga, pengetahuan tidak berasal dari lingkungan sosial, tetapi interaksi sosial
yang penting sebagai stimulus terjadinya konflik kognitif internal pada individu dimana
menekankan pada aktivitas belajar yang ditentukan oleh siswa dan berorientasi
penemuan sendiri (Euis Nurhidayati, 2017). Pandangan pada konstruktivisme personal
terkadang dikenal sebagai konstruktivisme psikologis, yang memandang bahwa
pembentukan pengetahuan berasal dari peran individu dalam proses pembentukan ilmu
pengetahuan. Dalam memahami teori Piaget, perkembangan kognitif dimana ada
beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses seseorang dalam mencapai
pengertian yakni skema/skemata, asimilasi, akomodasi, dan equilibration.

Skema dalam struktur kognitif merupakan proses mengorganisasi dan merespon


pada tiap-tiap pengalaman. Artinya, skema akan membuat pola sistematis dari pikiran,
perilaku, tindakan, dan strategi pemecahan masalah yang memberikan suatu kerangka
pemikiran dalam menghadapi berbagai situasi. Sehingga, skema akan dipahami sebagai
suatu struktur mental dan kognitif seseorang secara intelektual beradaptasi dan
mengoordinasi lingkungan sekitarnya (Suparno, 2001). Skema akan beradaptasi dan
terus-menerus diperbaruhi atau pun berubah selama perkembangan kognitif seseorang
terus berkembang.

Menurut Piaget, pengetahuan anak dibentuk melalui asimilasi dan akomodasi


dalam proses yang terus-menerus atau berkelanjutan hingga dewasa (Suparno, 2001).
Asimilasi merupakan proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep, nilai-nilai atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang telah ada,
dengan menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau stimulasi baru yang ada di
dalam pikirannya. Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru, sehingga seseorang secara terus-
menerus akan mengembangkan proses asimilasi. Ketika seseorang tidak mampu
mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah ada, seseorang ini akan
membentuk pengetahuan melalui akomodasi. Akomodasi dilakukan dengan membentuk
skema baru yang sesuai dengan stimulus yang baru atau memodifikasi skema yang telah
ada, sehingga sesuai dengan stimulus tersebut.

Proses asimilasi dan akomodasi perlu dalam perkembangan kognitif dan akan terus
berjalan dalam diri seseorang. Dalam perkembangan kognitif tersebut, diperlukan adanya
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi atau disebut dengan equilibrium.
Equilibrium adalah pengaturan diri secara mekanis dalam mengatur keseimbangan
proses asimilasi dan akomodasi atau dari disequilibrium ke equilibrium (Suparno, 2001).
Proses itu akan terus berjalan dalam diri seseorang, sehingga seseorang mampu
menyatukan pengalaman luar dengan struktur skema yang telah ada. Apabila terjadi
ketidakseimbangan, seseorang didorong untuk mencari keseimbangan melalui asimilasi
atau akomodasi (Euis Nurhidayati, 2017).

Bagi Piaget, proses pembentukan pengetahuan atau perkembangan kognitif


mengarah pada keadaan personal atau idividual dimana juga sedikit berkaitan dengan
lingkungan sosial. Dalam taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah (sensori-motor
dan pra-operasional), pengaruh lingkungan sosial dipahami oleh anak sama dengan
objek-objek yang sedang diamati. Anak belum mampu menangkap ide-ide dari
masyarakat karena masih membangun pemahaman-pemahaman dan mengoordinasikan
pengalaman sensor dengan tindakan motorik fisik. Pada taraf perkembangan yang lebih
tinggi (operasional konkret dan operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi
lebih jelas. Anak mampu melakukan operasi bilangan dan penalaran logis ke dalam
contoh-contoh spesifik atau konkret. Sehingga, anak dapat bertukar gagasan dan
berdiskusi dengan teman atau di lingkungan sosial.

2.4.2 Konstruktivisme sosiokultural atau Sociocultural Constructivist

Tokoh yang mengemukakan konstruktivisme sosial adalah Lev Vygotsky. Dia


berpandangan bahwa pengetahuan berada dalam konteks sosial disamping individu,
sehingga menekankan pentingnya bahasa dalam belajar yang timbul dalam situasi-situasi
sosial berorientasi pada aktivitas. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi atau
berinteraksi agar anak memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari masyarakat.
Menurut Vygotsky, anak-anak dapat belajar dengan terlibat secara langsung ke dalam
akitivitas-aktivitas bermakna dengan orang-orang lebih mengetahui dan memahami
keadaan sekitarnya. Berinteraksi dengan orang lain, akan berdampak pada anak dengan
menambah dan memperbaiki pemahaman dan pengetahuan (Euis Nurhidayati, 2017).
Vygotsky menyatakan bahwa kematangan fungsi kognitif anak melalui proses kerjasama
dengan orang lain, seperti yan dinyatakan oleh Newman sebagai berikut: “The
maturation of the child’s higher mental functions occurs in this cooperative process, that
is, it occurs through the adult’s assistance and participation.”

Konsep penting teori Vygotsky mengenai perkembangan kognitif yang sesuai


dengan revolusi sosiokultural dalam teori belajar adalah teori hukum genetik tentang
perkembangan (genetic law of development) dan zona perkembangan proksimal (zone of
proximal development) dan mediasi.
Hukum genetik tentang perkembangan menurut Vygotsky, setiap kemampuan
seseorang akan tumbuh dan berkembang melalui dua tataran, yakni tataran sosial tempat
orang-orang membentuk lingkungan sosial dan tataran psikologis di dalam diri orang
yang bersangkutan. Pandangan ini menyebabkan lingkungan sosial dianggap sebagai
faktor primer dan pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang.

Zona perkembangan proksimal terdiri dari tingkat perkembangan aktual dan


tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual dilihat dari kemampuan
seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan berbagai masalah secara
mandiri. Sedangkan pada tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan
seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibimbing
orang dewasa atau bekerjasama dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Jarak antara
tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial disebut zona
perkembangan proksimal, dimana sebagai fungsi atau kemampuan-kemampuan yang
masih dalam proses pematangan. Dalam memahami konsep zona perkembangan
proksimal dapat menggunakan scaffolding. Scaffolding adalah bantuan pengajaran yang
diberikan kepada seorang anak pada tahap-tahap awal pembelajaran yang selanjutnya
anak tersebut mampu menyelesaikan atau mengambil tanggung jawab segera setelah dia
dapat melakukannya. Dalam hal ini, ada beberapa tipe scaffolding yaitu modeling, think
a loud, promt dan cue.

Menurut Vygotsky, perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling


terkait, tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan partisipasi dalam kegiatan sosial.
Vygotsky juga menyatakan bahwa anak mengembangkan konsep-konsap yang
sistematis, logis, rasional dimana orang-orang yang terampil dan bahasa memainkan
peran dalam perkembangan kognitif seorang anak.

2.5 Konstruktivisme dan Pengetahuan

Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menyatakan bahwa


pengetahuan adalah hasil bentukan dari orang yang sedang belajar atau dengan membentuk
pengetahuannya sendiri. Kukla menjelaskan bahwa setiap orang adalah konstruktivis
dikarenakan membentuk pemahaman yang baru secara terus-menerus dari orang yang belajar
dengan setiap mengadakan reorganisasi (Fosnot, 1996). Penganut konstruktivis berpendapat
bahwa pengetahuan bukan suatu yang telah ada, melainkan suatu proses menjadi (Suparno,
2001). Contohnya, pengetahuan mengenai “kucing”, awal mula dibentuk sejak bertemu
pertama kali dengan kucing baik gambar maupun secara langsung. Pengetahuan tentang
kucing sewaktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun pengetahuan mengenai kucing
semakin lengkap di saat semakin banyak berinteraksi dengan kucing yang ada bermacam-
macam jenisnya, tetapi semua disebut “kucing”.

Pengetahuan tidak sama dengan barang yang dapat dipindahkan dengan mudah
kepada orang lain, terutama peserta didik. Ketika pendiidk ingin memindahkan konsep, ide,
nilai, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus
diinterpretasikan oleh peserta didik melalui keaktifan membentuk pengetahuan. Dalam proses
itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 2001), diperlukan beberapa kemampuan diantaranya
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, serta
kemampuan untuk lebih menyukai pengalam yang satu daripada yang lain.

Pemahaman pengetahuan menurut konstruktivisme bukan suatu tiruan dan gambaran


dari kenyataan yang ada (Suparno, 2001). Melainkan, pengetahuan selalu akibat dari suatu
konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Hal tersebut, akan memproses seseorang
dalam membentuk skema, konsep, nilai, dan struktur pengetahuan. Oleh sebab itu,
pengetahuan bukan mengenai dunia lepas dari pengamatan, tetapi merupakan hasil konstruksi
manusia dari pengalamannya. Proses ini akan berlangsung terus-menerus dengan adanya
suatu pemahaman yang baru. Pengetahuan berupa konsep, norma, nilai dibentu oleh pikiran
dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, dan kenyataan yang ada di sekitar manusia
(Andre Kukla, 2003). Selain itu, Piaget memiliki pernyataan bahwa pengetahuan dibentuk
dari interaksi seseorang dengan orang lain. Pengetahuan akan muncul dalam kebudayaan
tertentu, sehingga pengetahuan dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok
lainnya.

2.6 Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar

Menurut pemikiran filsafat konstruktivisme, manfaat dalam proses belajar peserta


didik antara lain pertama, pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara personal maupun
sosial. Kedua, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali
dengan keaktifan peserta didik untuk menalar. Ketiga, peserta didik aktif mengontruksi
secara terus-menerus agar mengalami perubahan konsep menuju konsep yang lebih lengkap
dan rinci sesuai dengan konsep ilmiah. Keempat, pendidik hanya membantu menyediakan
sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik dapat berjalan dengan baik (Suparno,
2001).

Adapun, lima elemen belajar yang konstruktivistik menurut Zahorik antara lain
pengaktifan pengetahuan baru (activating knowledge), pemerolehan pengetahuan baru
(acquiring knowledge) dengan mempelajari secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian
memperhatikan detail, pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) dengan
menyusun konsep sementara yang dilanjutkan dengan melakukan kegiatan sharing kepada
orang lain agar mendapat validasi, mempratikkan pengetahuan dan pengalaman (applying
knowledge), dan melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap pengembangan
pengetahuan.

2.7 Konstruktivisme dalam Pendidikan

Dalam paradigma konstruktivisme, siswa dilihat sebagai pribadi yang memiliki


kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal akan menjadi dasar dalam
mengonstruksi pengetahuan baru. pendekatan konstruktivisme mengajarkan pada siswa
dalam membangun pengetahuan pada pikirannya sendiri. Peran guru adalah membantu proses
ini dengan mengajar dan memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka.

Adanya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, membuat pengetahuan


yang dimiliki siswa berawal dari keaktifan siswa untuk mencari dan menemukan. Siswa akan
menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki melalui
interaksi sosial dengan siswa lainnya. Pengetahuan tersebut akan membentuk dan menyimpan
sebuah informasi yang ditandai dengan skema baru atau skema yang ada disesuaikan.
Sehingga, belajar merupakan suatu proses internal yang terdiri dari ingatan, pengolahan
informasi, emosi dan aspek lainnya dimana pengetahuan yang diterima dan disesuaikan
dengan struktur kognitif ang sudah dimiliki oleh seseorang berdasarkan pengetahuan yang
telah ada sebelumnya (Sutarjo Adisusilo, 2005).

2.8 Pengaruh Konstruktivisme terhadap makna belajar dan proses mengajar

2.8.1 Terhadap Makna Belajar

Kegiatan belajar pada peserta didik merupakan kegiatan yang aktif sesuai dengan
pandangan konstruktivisme dimana membangun pengetahuan dan keterampilan secara
individual. Peserta didik bertanggung jawab membuat penalaran dengan apa yang
dipelajari, mencari makna dan membandingkan dengan apa yang telah diketahui dengan
pengalaman dan situasi baru. Makna dicari dan diciptakan oleh peserta didik dari apa
yang dilihat, dengar, rasakan, dan alami (Martini, Angkasa, & Sastranegara, 2017).
Belajar mengarah pada proses menemukan sesuatu daripada suatu proses yang
mengumpulkan sesuatu yang artinya bukan mengumpulkan fakta-fakta, melainkan
proses pemikiran yang berkembang dengan membuat skema yang baru (Fosnot, 1996).
Peserta didik harus memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi, menguji
hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan permasalahan, mencari jawaban, meneliti,
mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dalam
membentuk konstruksi atau skema pengetahuan baru.

Tiap-tiap peserta didik memiliki cara dalam memahami pengetahuan, sehingga dapat
mengerti kelamahan dan keunggulan dalam memahami sesuatu. Caranya, berusaha untuk
menemukan kegiatan belajar yang tepat bagi dirinya dan memungkinkan untuk mencoba
bermacam-macam cara belajar yang sesuai. Peserta didik perlu menciptakan berbagai
situasi dan metode pembelajaran dalam proses membentuk pengetahuan. Pengetahuan
yang dibentuk secara individual maupun sosial dapat dikembangkan melalui belajar
kelompok, diskusi dan cooperative learning. Dalam belajar kelompok, peserta didik akan
mengerjakan suatu persoalan secara besrama-sama dengan mengungkapkan apa dan
bagaimana yang terkait dengan persoalan tersebut. Proses tersebut, akan menuntut
peserta didik untuk berpikir aktif dan membuat abstraksi. Sehingga, peserta didik yang
berpikir aktif akan mampu menjelaskan kepada teman-teman dalam melihat persoalan
lebih jelas sesuai dengan pandangan mereka (Sutarjo Adisusilo, 2005).

Selain itu, dalam konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berkaitan dengan
adanya simbolik atau konsep. Pengetahuan dapat dikonstruksi ketika individu terlibat
secara sosial dalam dialog aktif, diskusi dan bertukar pengalaman. Sehingga, peserta
didik dapat berinteraksi dengan para ahli agar mendapatka konsep dan model dari ilmu
pengetahuan yang telah ada dalam meransang untuk mengontruksi pengetahuan mereka.

2.8.2 Terhadap Proses Mengajar

Konsep mengajar bukan memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik,


melainkan kegiatan peserta didik yang membangun pengetahuannya. Pendidik tidak
melihat peserta didik sebagai individu yang tidak tahu apa-apa, melainkan individu yang
membawa konsep, norma, nilai, sikap dan tingkah laku terteu ketika mengikuti pelajaran
pertama kali. Hal tersebut sebagai pengetahuan awal dan menjadi dasar dalam
membangun pengetahuan selanjutnya yang akan terus berkembang sehingga diperlukan
pendidik dalam melakukan kegiatan mengajar.

Mengajar merupakan berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk


pengetahuan, membuat makan, bersikap kritis dan mempertanyakan suatu persoalan.
Menurut pandangan konstruktivisme, pendidik memiliki peran sebagai mediator dan
fasilitator yang membatu proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Fungsi
sebagai mediator dan fasilitator ini dijelaskan dengan menyediakan pengalaman belajar
dengan membuat desain dan penelitian, memberikan kegiatan yang menstimulasi
keingintahuan peserta didik sehingga muncul pertanyaan, mencari dan membentuk
pengetahuan, serta mengkomunikasikan ide-ide ilmiah.

Selain itu, pendidik menyediakan sarana yang mendorong peserta didik untuk berpikir
secara aktif dan produktif seperti menyediakan sebuah pengalaman konflik. Pengalaman
konflik dapat berupa pengalaman yang bertentangan dengan pengalaman awal peserta
didik dimana akan berdampak pada peserta didik untuk berpikir secara mendalam.
Kemudian, pendidik melakukan monitoring, mengevaluasi dan menunjukkan pemikiran
atau skema yang telah dibangun oleh peserta didik sesuai atau tidak. Pendidik dapat
mempertanyakan kepada peserta apakah pengetahuan yang telah dibuat mampu dalam
menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Sehingga, pendidik membantu
dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik yang dibangun sebelumnya
(Suparno, 2001).

Pada sistem konstruktivisme, pendidik diharuskan memiliki bahan yang luas dan
mendalam mengenai pengetahuan dari bahan yang akan diajarkan guna memberikan
gambaran secara luas pada peserta didik. Selain itu, tugas pendidik adalah membantu
peserta didik agar dapat mengonstruksi pengetahuan dan menyusun strategi-strategi yang
seusai dengan situasi yang konkret.
BAB III

Contoh Penerapan di Indonesia


BAB IV

PENUTUP
Daftar Pustaka

Andre Kukla. (2003). Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Jendela.

Euis Nurhidayati. (2017). Pedagogi Konstruktivisme Dalam Praksis Pendidikan Indonesia.


Indonesian Journal of Educational Counseling, 1(1), 1–14.

Fosnot. (1996). Enquiring Teachers Enquiring Learners. A constructivist Approach for


Teaching. New York: Columbia University.

Martini, S., Angkasa, S. M. A., & Sastranegara, H. (2017). Landasan Filsafat


Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains, I(2), 55–65. https://doi.org/ISSN 2527-
99939

Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Sutarjo Adisusilo, J. (2005). Konstruktivisme dalam pembelajaran, 1–25.

Anda mungkin juga menyukai