Nama Kelompok 2:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
Pervasive Developmental Disorders dan Autisme
2. Autisme
2.1. Gambaran Umum
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang secara menyeluruh
menimbulkan hambatan dalam kemampuan komunikasi, sosialisasi, dan juga berperilaku.
Gejala autis ini umumnya muncul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Biasanya
penyandang autisme mengacuhkan suara, penglihatan, ataupun kejadian yang melibatkan
mereka. Mereka juga menghindari atau tidak merespon kontak sosial. Gangguan-gangguan
yang dialami oleh penyandang autisme yaitu gangguan dalam bidang interaksi sosisal,
komunikasi (verbal maupun non verbal), gangguan perilaku, emosi, dan persepsi-sensorik
(Rahayu, 2014).
Identifikasi, evaluasi dan manajemen dini dan akurat sangat penting untuk dilakukan
pada anak-anak penyandang autisme. Diperlukan kerjasama dengan orang tua maupun
guru dari anak-anak penyandang autisme ini. Hingga 60 persen dari mereka tidak dapat
menjalani kehidupan mereka dengan mandiri dan hanya 4 persen yang mencapai tahap
dimana mereka dapat dibedakan dengan anak-anak normal lainnya (Carr, 2005).
Pada tahun 1943, Leo Kanner menggunakan istilah ‘autisme’ yang berarti hidup
dalam dunianya sendiri, pada anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala ‘aneh’ tersebut.
Dia juga membuat istilah ‘early infatile autism’ atau autisme infatil (autisme masa kanak-
kanak). Istilah tersebut dibuat untuk membedakannya dari orang dewasa yang juga
menunjukkan gejala autisme (Nugraheni, 2012).
Pada sebagian individu, karakteristik gangguan autisme ini mulai muncul sejak bayi.
Ciri-ciri yang sangat menonjol yaitu tidak adanya kontak mata dan menunjukkan reaksi
yang sangat minim terhadap caregiver-nya. Ciri-ciri tersebut biasanya semakin terlihat
jelas sering dengan bertambahnya usia anak tersebut. Sebagian kecil dari penyandang
autisme mengalami perkembangan yang “relatif normal”. Pada saat bayi tidak
menunjukkan ciri-ciri tersebut, namun kemudian sebelum usia 3 tahun, anak tersebut
perkembangannya terhenti dan mengalami kemunduran. Anak dapat dikatakan mengalami
gangguan autisme, apabila ia mengalami gangguan perkembangan dalam tiga aspek yaitu
kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam
kemampuan komunikasi dua arah, dan minat yang terbatas dan gerakan yang repetitif.
Ciri-ciri tersebut terlihat sebelum anak berusia 3 tahun (Sugiarmin, 2011).
Terdapat perubahan diagnosa dari DSM IV-TR ke DSM V mengenai gangguan
autisme. Dalam DSM IV-TR, gangguan autisme ditentukan berdasarkan 3 aspek (triadic)
yaitu aspek komunikasi, sosial, dan perilaku (APA, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition, 2013). Sedangkan pada DSM V, Spektrum Autisme
(ASD) ditentukan berdasarkan 2 aspek (dyadic), aspek komunikasi sosial dan aspek
perilaku (APA, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Forth Edition, Text
Revision, 2000).
Untuk etiologi dari gangguan autisme sendiri dipengaruhi oleh dua faktor neurologis
dan faktor genetik. Pada faktor neurologis, dalam sebuah studi yang menggunakan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa secara keseluruhan otak orang
dewasa maupun otak anak-anak penyandang autisme itu lebih besar daripada otak orang
yang normal (bukan penyandang autisme). Anak-anak penyandang autisme sebagian besar
terlahir dengan ukuran otak yang relatif normal, namun ketika memasuki usia 2 dan 4,
anak-anak dengan autisme tersebut ukuran otaknya menjadi lebih besar secara signifikan
(Courchesne, Carnes, & Davis, 2001;. Piven et al, 1995, 1996 dalam Davidson, Neale, &
Kring, 2014 ).
Anak-anak autis yang memiliki otak lebih besar dari yang normal bukan berarti
merupakan suatu hal yang baik. Sebab hal tersebut menunjukkan bahwa neuron tidak
dipangkas dengan benar. Pemangkasan neuron termasuk bagian yang penting dalam
proses pematangan otak. Penting untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pola pertumbuhan
otak ini berkaitan dengan gejala-gejala autisme. Area otak yang ditumbuhi autisme anta
lain bagian frontal, temporal, dan cerebellar, dimana bagian-bagian tersebut berkaitan
dengan bahasa, sosial, dan juga fungsi emosional (Davidson, Neale, & Kring, 2014).
Kemudian pada faktor genetik, risiko autisme sekitar 75 kali lebih besar terjadi antar
saudara dari orang yang memiliki gangguan autisme daripada orang yang bersaudara
kandung dengan orang yang tidak memiliki gangguan autistik (McBride, Anderson, &
Shapiro, 1996). Dari studi pada anak kembar juga menunjukkan transmisis genetik
autisme, yaitu ditemukan 60-91 persen kesesuaian pada autisme antar kembar identik
daripada antara kembar fraternal(Bailey et al, 1995;. Le Couteur et al., 1996 dalam
Davidson, Neale, & Kring, 2014)..
2.2. Kriteria Diagnostik
Terdapat beberapa kriteria pada anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)
dalam DSM IV, sebagai berikut :
1. Minimal ada 6 gejala dari (1), (2), (3) dengan sekurang – kurangnya dua gejala dari
(1), dan satu dari (2) dan (3).
A. Gangguan kualitatif interaksi sosial, minimal ada dua gejala sebagai berikut:
(1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal (kontak mata, ekspresi
wajah, gestur).
(2) Kesulitan bermain dengan teman sebaya
(3) Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
(4) Kurangnya timbal balik hubungan sosial / emosional.
B. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi yang ditujukan minimal satu
dari gejala – gejala sebagai berikut :
(1) Keterlambatan dalam perkembangan bahasa atau tidak ada perkembangan
sama sekali.
(2) Gangguan dalam memulai atau mempertahankan percakapan.
(3) Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitive atau sulit untuk dimengerti.
(4) Cara bermain kurang variatif dan imajinatif, kurang bisa meniru.
C. Pola perilaku repetitive dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan
aktivitas. Sedikitnya harus ada satu dari gejala sebagai berikut :
(1) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan berlebihan
(2) Terpaku pada suatu rutinitas.
(3) Gerakan gestur khas yang diulang – ulang.
(4) Seringkali terpukau dengan bagian – bagian suatu benda.
2. Sebelum berusia 3 tahun, tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, (3) cara bermain yang kurang
variatif.
3. Bukan disebabkan oleh sindrom Rett dan gangguan disintegratif masa anak – anak.
4. Studi Kasus
Ada salah satu penelitian yang dilakukan untuk mengobservasi anak autisme dengan hasil
data sebagai berikut.
Identitas Pasien
Nama : NAP
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl.Lahir : Pasuruan/02 Maret 2011
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status Marital : Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : Belum sekolah
ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Anak belum dapat berbicara dengan jelas pada usia saat ini (3 tahun)
b. Hetero Anamnesis
Pasien dibawa ke poli ARLAN (Anak Remaja dan Lansia) RSJ Dr Radjiman
Wediodiningrat Lawang dengan keluhan anak belum dapat berbicara dengan jelas
pada saat usia saat ini. Ibu pasien mengatakan jika anak belum dapat berbicara dengan
jelas hingga usia 3 tahun. Hal ini dirasakan oleh ibu sejak kurang lebih 2 bulan yang
lalu, ketika ibu membawa anaknya untuk berkunjung kerumah saudara. Ibu menyadari
jika anaknya tidak sama dengan anak lainnya yang seusia pasien saat ini. Jika anak
lainnya sudah bisa mengeluarkan banyak kata-kata dengan jelas, anak pasien hanya
bisa mengucapkan kata ayah, dan ibu. Ibu juga mengatakan kalau anaknya tidak bisa
fokus.
c. Keluhan dan keterangan penderita (autoanamnesis)
Alasan datang ke rumah sakit (maksud dan tujuan anak datang kerumah sakit): ketika
pemeriksa memanggil nama pasien tidak ada kontak mata dan tidak ada respon secara
verbal. Pasien hanya berbicara sendiri yang tak jelas kalimatnya.
1) Hobi dan perhatian anak pada sesuatu (bakat, hobi, dan perhatian pada sesuatu
hal): pada saat pemeriksa meminta pasien untuk menggambar sesuatu dengan
pulpen, pasien tidak merespon dan tetap asik dengan memencet-mencet tombol
handphone.
2) Hubungan sosial anak (dengan tetangga, disekolah dan tempat lain, yang
disenangi/tidak): informasi didapatkan dari ibu (pasien kurang disenangi oleh
teman bermainnya karena sering memukul teman bermainnya tanpa sebab)
3) Hubungan dengan teman dekat dan sebaya/peer relation: informasi didapatkan
dari ibu (di lingkungan rumah pasien tidak ada yang ingin bermain dengan pasien
karena pasien dianggap nakal)
4) Rencana anak untuk masa depan:
Anak-anak: -
5) Hubungan anak dengan keluarga rumah: (info dari ibu) pasien sangat di
perhatikan dan di manja oleh keluarga
6) Pembicaraan tambahan/khusus pada persoalan atau kesulitan: belum bisa
berbicara jelas
7) Status kesehatan anak: -
8) Fantasi (dibawah 9 tahun):-
9) Kesadaran sosial anak: (info ibu pasien) jarang bermain di sekitar lingkungan
rumah
d. Riwayat perkembangan anak
Lahir cukup bulan dan mengaku normal. Lahir di rumah sakit dan persalinan dibantu
oleh dokter spesialis kandungan, namun sang ibu bercerita ketika persalinan ibu tidak
kuat mengejan hingga pingsan yang akhirnya melakukan tindakan vakum, setelah
bayi lahir (tidak menangis). Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak pernah
mengkonsumsi obat-obatan atau jamu. Pasien mendapatkan ASI hingga umur 2 tahun.
Pasien mulai diajarkan toilet training pada umur 3 tahun. Pasien dapat duduk,
berjalan, bicara terlambat dari teman sebayanya.
e. Riwayat sakit sebelumnya
Tidak ditemukan.
f. Riwayat sekolah
Pasien belum bersekolah.
g. Riwayat Keluarga
Pasien diasuh oleh ibu kandung.
Pasien merupakan anak tunggal.
Pemeriksaan Psikiatri:
Kesan Umum : Pasien berpakaian rapi, roman wajah sesuai dengan usianya, pasien
tidak berbau, pasien hiperaktif dan Tidak kooperatif, tidak ada kontak
mata
Kontak : Verbal (-) Non verbal (-)
Kesadaran : Sulit dievaluasi
Orientasi : W/T/O +/+/+
Daya ingat : Tidak ditemukan kelainan
Persepsi : Halusinasi visual (-) auditorik (-)
Proses berpikir: Bentuk: sulit dievaluasi, Arus : sulit dievaluasi,
Isi : Sulit dievaluasi
Afek/emosi : Tidak ada gangguan
Kemauan : ADL (+) Social (-) pekerjaan (-)
Psikomotor : Meningkat
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Axis I : (F. Autism)
Axis II : Ciri kepribadian: pasien seorang anak yang hiperaktif
Axis III :-
Axis IV :-
Axis V : GAF saat ini 20 – 11
Intervensi yang disarankan pada kasus ini adalah pemberian psikoedukasi dan
pendekatan terhadap keluarga, sedangkan pada anak dapat menggunakan metode terapi ABA
ataupun TEACCH untuk mengoptimalkan anak sesuai tahap perkembangannya. Hal ini
ditunjukkan untuk mengubah behavior atau perilaku anak agar bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan pada terapi ABA dengan metode pemberian reward maupun token
ekonomi. Sedangkan pada metode teacch, lingkungan menyesuaikan kebutuhan anak untuk
menghindari preditor perilaku negatif yang akan ditimbulkan anak serta mengajarkan apa
yang dilakukan melalui gambar atau secara visual.
Daftar Pustaka
APA. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Forth Edition, Text
Revision. Washington, DC: American Psychiatric Association.
APA. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition. Arlington,
VA: American Psychiatric Association.
Ardina, R. (2018). Terapi aba (applied behavior analysis) tingkat dasar efektif. The Indonesian
Journal of Health Science, 10(1), 89–94.
Carr, A. (2005). The Handbook of Child and Adolescent Clinical Psychology. New York: Tylor
& Francis e-Library.
C.Davison, G., John M.Neale, M. N., & Ann , M. K. (2014). Psikologi Abnormal. 719.
Mesibov G. B. & Shea V. (2010). The TEACCH Program in the Era of Evidence- Based
Practice. Journal Autism Development Disorder, 570–579.
Mulyadi, K., Sutadyi, Anwar, R. dan, & Liza. (2014). Autism Parent Support Group Meeting
(makalah disampaikan diseminar autis Tanggerang).
Myhr, G. (1998). Autism and Other Pervasive Developmental Disorders: Exploring the
Dimensional View. The Canadian Journal of Psychiatry.
Nugraheni, S. A. (2012). Menguak Belantara Autisme. Buletin Psikologi Vol. 20, No. 1-2, 9-17.
Rahayu, S. M. (2014). Deteksi dan Intervensi Dini pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan Anak
Vol. 3, No. 1.
Rohmah, H., & M Farid. (2016). Pengaruh Applied Behaviour Analisys Terhadap Kemampuan
Berbahasa Anak Autis Hamdiyatur Rohmah. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 5(01).
Sugiarmin, M. (2011). Individu dengan Gangguan Autisme.
Yamada S., Kobayashi N., dan S. M. (2008). Effectiveness of the Physical Structure for an
Individual with Autism. Kawasaki Journal of Medical Welfare, 14, 23–37.
Yonezawa T., Kobayashi N., Terao T., et al. (2011). Comprehensively Structured Teaching
Method for an Adult Individual with Autism. Kawasaki Journal of Medical Welfare, 17,
70–78.