Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Pervasive Developmental Disorders dan Autisme

Nama Kelompok 2:

111411131038 Fitriyah Abu Bakar


111611133009 Regitta Aqmarina F.
111611133016 Adinda Dwi W.
111611133017 Rizky Setya S.
111611133056 Wiola Putri P.
111611133075 Widya Elsa D.
111611133133 Andre Hendarto

M.K KESEHATAN MENTAL ANAK DAN REMAJA B-1

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
Pervasive Developmental Disorders dan Autisme

Berikut merupakan penjelasan dari materi pervasive developmental disorder dan


autisme, intervensi yang diberikan dan studi kasus berdasarkan topik tersebut.

1. Pervasive Developmental Disorders


1.1. Gambaran Umum
Pervasive adalah kondisi Psikologis dimana keterampilan sosial yang
diharapkan, perkembangan bahasa, dan perilaku berkembang tidak sesuai pada
semestinya (Myhr, 1998). Anak-anak yang didiagnosis menderita PDD atau Pervasive
Developmental Disorder mengalami hambatan dalam pemahaman sosial, komunikasi,
minat dan aktivitas, serta memiliki perilaku stereotype yang berulang (Repetitive
Stereotyped Behavior). Gangguan ini biasanya muncul pada anak usia dini dan sangat
berhubungan dengan perkembangan anak (C.Davison, John M.Neale, & Ann , 2014).
Dalam DSM IV gangguan autistik hanyalah salah satu dari beberapa gangguan
perkembangan pervasive; yang lainnya adalah gangguan Rett, gangguan
Disintegrative pada masa anak-anak, gangguan Asperger dan PDD-NOS, sebagai
berikut.
a. Gangguan Rett sangat jarang terjadi dan hanya terjadi pada anak perempuan.
Perkembangan sepenuhnya normal hingga tahun pertama atau tahun kedua usia
anak, ditandai dengan hilangnya fungsi intelektual secara progresif, keterampilan
motorik kasar, perlambatan pertumbuhan kepala dan perkembangan gerakan
tangan stereotip yang terjadi setelah periode perkembangan normal yakni anak
kehilangan kemampuan untuk menggunakan tangannya untuk melakukan gerakan
yang bertujuan, sebagai gantinya mereka melakukan gerakan stereotype seperti
meremas tangan, berjalan secara tidak terkoordinasi, hanya mampu untuk sedikit
belajar berbicara dan mengerti ucapan orang lain, dan mengalami retardasi mental
yang sangat berat. Si anak tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara baik,
meskipun kondisi ini dapat membaik di kemudian hari (C.Davison, John M.Neale,
& Ann , 2014).
b. Gangguan Disintegrative di masa anak-anak, terjadi pada anak-anak yang
mengalami perkembangan normal pada dua tahun pertama usianya yang kemudian
diikuti dengan hilangnya keterampilan sosial, bermain, Bahasa dan motorik secara
signifikan. Abnormalitas dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta munculnya
perilaku stereotype sangat sama dengan yang terjadi pada autism (C.Davison, John
M.Neale, & Ann , 2014).
c. Gangguan Asperger seringkali dianggap sebagai bentuk autism ringan. Hubungan
sosial kurang dan perilaku stereotype intens dan rigid, namun Bahasa dan
intelegensi tetap normal (C.Davison, John M.Neale, & Ann , 2014).

1.2. Krtieria Diagnostik


1.2.1. Kriteria Diagnostik Gangguan Rett
Kriteria diagnostik Gangguan Rett dalam DSM IV – TR adalah sebagai berikut :
A. Meliputi semua hal berikut :
(1) Normal pada saat perkembangan prenatal dan perkembangan perinatal
(2) Perkembangan psikomotor yang normal selama 5 bulan pertama setelah
kelahiran.
(3) Mempunyai lingkar kepala yang normal saat lahir.
B. Onset (Semua hal setelah periode perkembangan normal) yaitu :
(1) Penurunan pertumbuhan kepala antara usia 5 sampai 48 bulan.
(2) Kehilangan kemampuan tangan tertentu yang telah dikuasai sebelumnya
antara usia 5 sampai 30 bulan dengan diikuti oleh perkembangan gerakan
tangan stereotip.
(3) Menunjukkan ketertarikan sosial pada perkembangan awal.
(4) Menunjukkan kelemahan terkait dengan koordinasi atau pergerakan tubuh.
(5) Mengalami gangguan berat pada perkembangan bahasa maupun
pengekspesian bahasa dengan retardasi psikomotorik berat.
1.2.2. Kriteria Diagnostik Gangguan Disintegratif pada Anak.
Dalam DSM IV – TR disebutkan kriteria diagnostik gangguan disintegratife pada
anak adalah sebagai berikut :
A. Pertumbuhan yang tampaknya normal selama sekurang – kurangnya dua tahun
pertama setelah lahir seperti yang ditunjukkan oleh adanya komunikasi verbal dan
non verbal yang sesuai dengan dengan usia, hubungan sosial, permainan dan
perilaku adaptif.
B. Hilangnya secara signifikan keterampilan yang telah dicapai sebelumnya
(sebelum usia 10 tahun) dalam sekurangnya bidang berikut :
(1) Bahasa ekspresif atau reseptif
(2) Keterampilan sosial atau perilaku adaptif.
(3) Pengendalian buang air besar atau buang air kecil.
(4) Bermain
(5) Keterampilan motorik.
C. Kelainan fungsi dalam sekurangnya dua bidang sebagai berikut :
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial (misalnya gangguan dalam
perilaku non verbal, gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya, tidak ada timbal balik sosial atau emosional)
(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi (misalnya keterlambatan atau tidak
adanya bahasa ucapan, ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan
percakapan, pemakaian bahasa yang stereotip dan berulang)
(3) Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang dan stereotip,
termasuk stereotip dan manerisme motorik.
D. Gangguan tidak dijelaskan oleh gangguan perkembangan pervasif spesifik lain
atau oleh skizofrenia
1.2.3. Kriteria Diagnostik Asperger
Kriteria diagnostik menurut DSM IV TR adalah sebagai berikut :
A. Gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial, ditunjukkan sekurangnya dua
dari gejala sebagai berikut :
(1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal (kontak mata, ekspresi
wajah, gestur).
(2) kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang
sesuai dengan tahap perkembangan.
(3) Kurangnya keinginan spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat, atau
prestasi dengan orang lain
(4) Tidak adanya timbal balik dalam hubungan sosial dan emosional.
B. Pola perilaku repetitive dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan
aktivitas. Sedikitnya harus ada satu dari gejala sebagai berikut :
(1) Mempertahankan satu minat atau lebih secara berulang – ulang yang
abnormal baik dalam intensitas maupun secara fokusnya.
(2) Kepatuhan yang tidak fleksibel terhadap rutinitas yang spesifik dan
nonfungsional
(3) Manerisme motorik stereotip dan berulang (men-jentik dan mengepak-
ngepak tangan atau jari, atau gerakan kompleks seluruh tubuh)
(4) Pre okupasi persisten dengan bagian – bagian dari objek.
C. Gangguan ini menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Tidak terdapat keterlambatan menyeluruh yang signifikan secara klinis dalam
hal bahasa (misalnya menggunakan kata tunggal pada usia 2 tahun, frasa
komunikatif digunakan pada usia 3 tahun)
E. Tidak terdapat keterlambatan yang signifikan secara klinis dalam
perkembangan keterampilan membantut diri sendiri dan perilaku adaptif yang
sesuai dengan usia (selain dalam interaksi sosial), dan keingintahuan tentang
lingkungan pada masa kanak – kanak.
F. Tidak memenuhi kriteria untuk gangguan pervasive spesifik atau skizofrenia.
1.3. Metode Asesmen
Pervasive developmental disorder merupakan suatu gangguan atau ketidaknormalan
pada seseorang yang ditandai dengan tidak berkembangnya kemampuan sosial dan
komunikasi yang diiringi dengan perilaku repetitive dan restrictive (gangguan minat).
Pervasive developmental disorder mempunyai empat klasifikasi, yaitu Autis Disorder,
Asperger syndrome, Rett Syndrome, dan PDD-NOS (Pervasive Development Disorder-
Not Otherwise Specified) (Jauhari, 2017).
Identifikasi dapat dilakukan di asesmen center ataupun bisa dilakukan oleh orangtua,
terapis dan guru. Identifikasi dilakukan untuk menentukan mengetahui perkembangan
komunikasi, karena keempat gangguan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-
beda dalam komunikasi banyak terapi yang tersedia, yakni modifikasi perilaku
dengan penggunaan reinforcement dan prinsip extinction, terapi sensori integrasi, diet
gluten-free maupun pengobatan medis sudah digunakan untuk mengurangi masalah
perilaku pada gangguan ASD. diperlukan adanya proses sistematis yang komprehensif,
berupa informasi (data/fakta/evidence) untuk mengetahui gejala dan intensitasnya,
kendala kendala yang dialami, serta kelemahan dan kekuatan anak, Adanya pembanding
informasi tersebut dengan suatu parameter/ukuran dengan menggunakan instrumen,
Adanya pelaku “ASSESSOR” (melibatkan tim) yang mengumpulkan informasi,
Digunakan untuk menyusun suatu program pembelajaran yang dibutuhkan anak (bersifat
realistis sesuai dengan kenyataan objektif, Program pembelajaran yang digunakan adalah
individual. (Individualized Educational Program).
Dalam menentukan asesmen Pervasive Developmental Disorders diperlukan:
1. Autentik, perilaku nyata dalam setting nyata;
2. Konvergen, sumber informasi yg beragam;
3. Kolaborasi, dilakukan bersama, terutama sekali dengan pengasuh;
4. Ekuiti, mampu mengakomodasi kebutuhan khusus anak;
5. Sensitivitas, dapat memasukan materi yang cukup untuk perencanaan
keputusan;
6. Kongruen, ada kesamaan prosedur yang diterapkan, baik dalam perkembangan
maupun evaluasinya.

2. Autisme
2.1. Gambaran Umum
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang secara menyeluruh
menimbulkan hambatan dalam kemampuan komunikasi, sosialisasi, dan juga berperilaku.
Gejala autis ini umumnya muncul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Biasanya
penyandang autisme mengacuhkan suara, penglihatan, ataupun kejadian yang melibatkan
mereka. Mereka juga menghindari atau tidak merespon kontak sosial. Gangguan-gangguan
yang dialami oleh penyandang autisme yaitu gangguan dalam bidang interaksi sosisal,
komunikasi (verbal maupun non verbal), gangguan perilaku, emosi, dan persepsi-sensorik
(Rahayu, 2014).
Identifikasi, evaluasi dan manajemen dini dan akurat sangat penting untuk dilakukan
pada anak-anak penyandang autisme. Diperlukan kerjasama dengan orang tua maupun
guru dari anak-anak penyandang autisme ini. Hingga 60 persen dari mereka tidak dapat
menjalani kehidupan mereka dengan mandiri dan hanya 4 persen yang mencapai tahap
dimana mereka dapat dibedakan dengan anak-anak normal lainnya (Carr, 2005).
Pada tahun 1943, Leo Kanner menggunakan istilah ‘autisme’ yang berarti hidup
dalam dunianya sendiri, pada anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala ‘aneh’ tersebut.
Dia juga membuat istilah ‘early infatile autism’ atau autisme infatil (autisme masa kanak-
kanak). Istilah tersebut dibuat untuk membedakannya dari orang dewasa yang juga
menunjukkan gejala autisme (Nugraheni, 2012).
Pada sebagian individu, karakteristik gangguan autisme ini mulai muncul sejak bayi.
Ciri-ciri yang sangat menonjol yaitu tidak adanya kontak mata dan menunjukkan reaksi
yang sangat minim terhadap caregiver-nya. Ciri-ciri tersebut biasanya semakin terlihat
jelas sering dengan bertambahnya usia anak tersebut. Sebagian kecil dari penyandang
autisme mengalami perkembangan yang “relatif normal”. Pada saat bayi tidak
menunjukkan ciri-ciri tersebut, namun kemudian sebelum usia 3 tahun, anak tersebut
perkembangannya terhenti dan mengalami kemunduran. Anak dapat dikatakan mengalami
gangguan autisme, apabila ia mengalami gangguan perkembangan dalam tiga aspek yaitu
kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam
kemampuan komunikasi dua arah, dan minat yang terbatas dan gerakan yang repetitif.
Ciri-ciri tersebut terlihat sebelum anak berusia 3 tahun (Sugiarmin, 2011).
Terdapat perubahan diagnosa dari DSM IV-TR ke DSM V mengenai gangguan
autisme. Dalam DSM IV-TR, gangguan autisme ditentukan berdasarkan 3 aspek (triadic)
yaitu aspek komunikasi, sosial, dan perilaku (APA, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition, 2013). Sedangkan pada DSM V, Spektrum Autisme
(ASD) ditentukan berdasarkan 2 aspek (dyadic), aspek komunikasi sosial dan aspek
perilaku (APA, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Forth Edition, Text
Revision, 2000).
Untuk etiologi dari gangguan autisme sendiri dipengaruhi oleh dua faktor neurologis
dan faktor genetik. Pada faktor neurologis, dalam sebuah studi yang menggunakan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa secara keseluruhan otak orang
dewasa maupun otak anak-anak penyandang autisme itu lebih besar daripada otak orang
yang normal (bukan penyandang autisme). Anak-anak penyandang autisme sebagian besar
terlahir dengan ukuran otak yang relatif normal, namun ketika memasuki usia 2 dan 4,
anak-anak dengan autisme tersebut ukuran otaknya menjadi lebih besar secara signifikan
(Courchesne, Carnes, & Davis, 2001;. Piven et al, 1995, 1996 dalam Davidson, Neale, &
Kring, 2014 ).
Anak-anak autis yang memiliki otak lebih besar dari yang normal bukan berarti
merupakan suatu hal yang baik. Sebab hal tersebut menunjukkan bahwa neuron tidak
dipangkas dengan benar. Pemangkasan neuron termasuk bagian yang penting dalam
proses pematangan otak. Penting untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pola pertumbuhan
otak ini berkaitan dengan gejala-gejala autisme. Area otak yang ditumbuhi autisme anta
lain bagian frontal, temporal, dan cerebellar, dimana bagian-bagian tersebut berkaitan
dengan bahasa, sosial, dan juga fungsi emosional (Davidson, Neale, & Kring, 2014).
Kemudian pada faktor genetik, risiko autisme sekitar 75 kali lebih besar terjadi antar
saudara dari orang yang memiliki gangguan autisme daripada orang yang bersaudara
kandung dengan orang yang tidak memiliki gangguan autistik (McBride, Anderson, &
Shapiro, 1996). Dari studi pada anak kembar juga menunjukkan transmisis genetik
autisme, yaitu ditemukan 60-91 persen kesesuaian pada autisme antar kembar identik
daripada antara kembar fraternal(Bailey et al, 1995;. Le Couteur et al., 1996 dalam
Davidson, Neale, & Kring, 2014)..
2.2. Kriteria Diagnostik
Terdapat beberapa kriteria pada anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)
dalam DSM IV, sebagai berikut :
1. Minimal ada 6 gejala dari (1), (2), (3) dengan sekurang – kurangnya dua gejala dari
(1), dan satu dari (2) dan (3).
A. Gangguan kualitatif interaksi sosial, minimal ada dua gejala sebagai berikut:
(1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal (kontak mata, ekspresi
wajah, gestur).
(2) Kesulitan bermain dengan teman sebaya
(3) Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
(4) Kurangnya timbal balik hubungan sosial / emosional.
B. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi yang ditujukan minimal satu
dari gejala – gejala sebagai berikut :
(1) Keterlambatan dalam perkembangan bahasa atau tidak ada perkembangan
sama sekali.
(2) Gangguan dalam memulai atau mempertahankan percakapan.
(3) Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitive atau sulit untuk dimengerti.
(4) Cara bermain kurang variatif dan imajinatif, kurang bisa meniru.
C. Pola perilaku repetitive dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan
aktivitas. Sedikitnya harus ada satu dari gejala sebagai berikut :
(1) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan berlebihan
(2) Terpaku pada suatu rutinitas.
(3) Gerakan gestur khas yang diulang – ulang.
(4) Seringkali terpukau dengan bagian – bagian suatu benda.
2. Sebelum berusia 3 tahun, tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, (3) cara bermain yang kurang
variatif.
3. Bukan disebabkan oleh sindrom Rett dan gangguan disintegratif masa anak – anak.

2.3. Metode Asesmen


Seperti yang telah tercantum dalam DSM-IV, gangguan autisme dimulai pada masa
kanak-kanak. Hal ini ditandai oleh adanya perkembangan yang sangat abnormal atau
terganggu dalam interaksi sosial, komunikasi, aktivitas repetitif serta minat yang sangat
terbatas. Manifestasi gangguan sangat bervariasi tergantung pada tingkat perkembangan
dan usia kronologis individu.
Dalam melakukan asesmen untuk Autisme, secara garis besar dapat dilakukan
dengan metode observasi, wawancara anak dan orang tua, serta dengan menggunakan
beberapa alat tes. Alat tes yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi kepada
anak dengan gejala autisme di antaranya adalah sebagai berikut:
2.3.1. Vineland Adaptive Behavior Scales
Vineland Adaptive Behavior Scales digunakan untuk mengukur keterampilan
pribadi dan sosial individu sejak lahir hingga dewasa. Karena perilaku adaptif
mengacu pada kinerja khas individu dari kegiatan sehari-hari yang diperlukan
untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan sosial, skala ini menilai apa yang
sebenarnya dilakukan seseorang, daripada apa yang mampu dilakukannya. Untuk
menentukan tingkat perilaku adaptif individu, seseorang yang akrab dengan
individu itu, seperti orang tua atau pengasuh, diminta untuk menggambarkan
aktivitasnya. Kegiatan-kegiatan itu kemudian dibandingkan dengan orang-orang
lain pada usia yang sama untuk menentukan daerah mana yang rata-rata, di atas
rata-rata, atau yang membutuhkan bantuan khusus.
2.3.2. Childhood Autism Rating Scale (CARS)
Childhood Autism Rating Scale adalah skala peringkat perilaku yang digunakan
untuk menilai keberadaan dan tingkat keparahan gejala gangguan spektrum
autisme. CARS diselesaikan oleh evaluator setelah evaluasi perkembangan
selesai, dan informasi dari pengamatan klinis, langkah-langkah tes, dan laporan
orang tua digunakan untuk menetapkan peringkat CARS.
2.3.3. Autism Diagnostic Observation Schedule (ADOS)
Autism Diagnostic Observation Schedule adalah penilaian standar terstruktur
komunikasi, interaksi sosial dan perilaku bermain semi-terstruktur. Instrumen ini
terdiri dari "tekanan," atau interaksi sosial terencana, yang disajikan oleh
evaluator terlatih untuk mendorong anak untuk memulai dan menanggapi
interaksi sosial dalam suasana yang alami. ADOS memiliki empat modul yang
sesuai dengan berbagai tingkat bahasa ekspresif mulai dari kata-kata pra-verbal /
tunggal hingga ucapan yang lancar. Algoritma ADOS menyediakan cutoff
diagnostik untuk gangguan autistik, ASD, dan non-ASD.
2.3.4. Mullen Scales of Early Learning (MSEL)
Mullen Scales of Early Learning (MSEL) adalah skala ukuran perkembangan
kognitif untuk anak-anak hingga 68 bulan yang mencakup item yang mengukur
keterampilan pada lima skala, yaitu motorik kasar, penerimaan visual
(keterampilan pemecahan masalah non verbal), motorik halus , bahasa reseptif,
dan bahasa ekspresif.

3. Intervensi Pervasive Developmental Disorder dan Autisme


Intervensi anak autisme dan pervasive developmental disorder bertujuan agar
perkembangan yang terlambat pada dirinya dapat diatasi sesuai dengan perkembangan
usianya. Intervensi secara intensif dan optimal dapat bermanfaat untuk penanganan anak autis
dan pervasive sebagai stimulasi bagi perkembangan sel-sel otak. Adapun intervensi yang
diberikan sebagai berikut.
3.1. Psikoedukasi
Intervensi yang dapat dilakukan untuk pervasive developmental disorder dan
autism adalah dengan memberikan psikoedukasi kepada keluarga terutama orang tua
yang memiliki anggota keluarga atau anak yang memiliki pervasive developmental
disorder dan juga autism sendiri. Psikoedukasi ini bertujuan untuk menjelaskan
diagnosis dan membuat gangguan pervasive developmental disorder lebih koheren
kepada orang tua. Poin-poin berikut mungkin berguna dalam menjelaskan secara
lebih jelas dan komprehensif pervasive developmental disorder dan autism serta
bagaimana cara penanganannya (Carr, 2005).
3.2. Educational Placement (Penempatan dan Pengarahan Pendidikan)
Intervensi lainnya yang dapat diterapkan adalah melakukan educational
placement. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan karena pendidikan juga menjadi
salah satu faktor atau hal yang menentukan aspek pertumbuhan dan perkembangan
anak dalam jenjang kehidupannya. Masalah utama yang menjadi fokus dalam
merawat anak-anak atau orang dengan pervasive developmental disorder dan autism
adalah menempatkan mereka di sekolah khusus atau menempatkan mereka di
sekolah umum dengan pendampingan dan dukungan tambahan. Hal ini perlu banyak
pertimbangan dan pengarahan karena sejauh ini tidak ada data yang menunjukkan
keputusan mana yang paling efektif, semua kembali kepada kondisi dan kebutuhan
yang ada dan pertimbangan pragmatis & etis (Carr, 2005)
3.3. Family-Based Approach to Management
Pemberian intervensi untuk menghasilkan perkembangan yang optimal
diperlukan pada hubungan atau kerjasama antara orang tua maupun keluarga. Hal ini
dikarenakan anak autism maupun pervasive developmental disorder lebih banyak
bersama dengan keluarga. Orang tua juga akan didampingi dan diajarkan oleh
terapis terkait pemberian intervensi saat berada di rumah agar sesuai dengan
kebutuhan anak. Orang tua akan terlibat dalam terapi dan program-program
pelatihan dalam menyediakan lingkungan bagi anak untuk mengembangkan
keterampilan anak berdasarkan apa yang telah diajarkan oleh terapis (Carr, 2005)
3.4. Applied Behavior Analysis
Awal tahun 1960-an, Applied Behavior Analysis telah digunakan terapis untuk
mengajarkan komunikasi, bermain sosial, akademik, perawatan diri, pekerjaan, dan
keterampilan hidup masyarakat, dan untuk mengurangi masalah perilaku pada
peserta didik dengan autisme (Rohmah & M Farid, 2016). Pemberian intervensi
ABA menunjukkan efektivitas untuk meningkatkan hasil perkembangan terutama
pada kognitif dan kemampuan bahasa. Tujuan terapi ABA adalah memberikan
penguatan yang positif setiap kali anak merespon dengan benar sesuai dengan
instruksi yang diberikan (Ardina, 2018). Terapi ABA menggunakan peristiwa
lingkungan dimana akan menganalisis apa yang mendorong perilaku dan kemudian
mengembangkan strategi konsekuensial sehingga anak mampu menguasai berbagai
kemampuan dengan ukuran standar yang ada di masyarakat.
Dasar terapi adalah menggunakan pendekatan teori behavioral yaitu tahap
awal menekankan kepatuhan, keterampilan anak dalam meniru dan membangun
kontak mata. Konsep kepatuhan ini sangat penting agar dapat mengubah perilaku
dan melakukan interaksi sosial. Selain itu, keberhasilan dalam terapi ABA untuk
menghasilkan secara optimal dapat dilakukan dengan intervensi dini. Terapi ABA
mengajarkan kedisiplinan dan dilaksanakan secara konsisten untuk meningkatkan
perilaku yang signifikan. Terapi ini akan mendapatkan hasil yang optimal apabila
dilakukan sejak usia dini, intensif, konsisten dengan melibatkan peran aktif orang
tua dan terapis. Intensif dapat dilakukan empat puluh jam/minggu, maksimal saat
anak masih dalam keadaan aktif. Optimal berkaitan dengan siapa yang melakukan
kerana berhubungan dengan perancangan kurikulum dan assesment (Mulyadi,
Sutadyi, Anwar, & Liza, 2014).
Pelaksanaan terapi ABA memiliki prinsip diantaranya adalah memecahkan
keterampilan menjadi berbagai aktivitas sampai menjadi bagian-bagian terkecil
sehingga mudah untuk dikuasai anak, orang tua atau terapis mengajarkan secara
sistematis, terstruktur, dilatih secara one on one, anak dilatih secara berulang hingga
anak bisa melakukan tanpa bantuan dari asisten maupun terapis, dilakukan secara
bertahap, meminimalis instruksi tambahan, dilakukan dalam keadaan menyenangkan
(Mulyadi et al., 2014).
3.5. Treatment Education of Autistic and Related Communication and Handicapped
Children
Treatment Education of Autistic and Related Communication and
Handicapped Children adalah sebulah layanan klinik dan program training
profesional yang bermulai di Universitas Noth California. Program ini dimulai tahun
1972 oleh Eric Schopler, Ph.D. Program TEACCH saat ini menyediakan layanan
klinik bagi penyandang autis dari berbagai usia dan pendekatan ini disebut dengan
pengajaran berstruktur (Mesibov G. B. & Shea V, 2010). Yamada, Kobayasi, &
Sasaki (2008:23) menyatakan bahwa pengajaran berstruktur berfokus pada
perbedaan utama dalam aspek neurologis anak autis sehingga anak autis mempunyai
berbagai karakteristik sehingga akan membentuk pemahaman menyeluruh akan
fungsi anak. Tujuan program TEACCH untuk mengakomodasi kelebihan dan
kelemahan anak termasuk mengakomodasi kekurangan dan mengurangi stressor,
melatih kemandirian dalam kemampuan sosial, kemampuan motorik, kemampuan
vokasional, dan kemampuan komunikasi (Yonezawa T., Kobayashi N., Terao T.,
2011). Hal ini karena ketertarikan anak autis terhadap objek (gambar) lebih tinggi
dan proses timbal balik dalam sistem komunikasi dengan gambar lebih mudah untuk
divisualisasi. Selain itu, TEACCH tidak menggunakan pendekatan terapi khusus,
namun menggunakan berbagai pendekatan dan metode yang terbukti efektif untuk
membantu anak mencapai kemandirian yang maksimal sesuai kapasitas mereka.
Prinsip Metode TEACCH
Prinsip metode ini meliputi lima bagian yaitu struktur fisik, jadwal, sistem kerja,
struktur visual dan komunikasi yang bermakna (Yamada S., Kobayashi N., 2008).
1) Struktur fisik
Struktur fisik merupakan pengaturan lingkungan yang utama dimana terjadap
pemisahan yang jelas antara tempat yang digunakan untuk beristirahat dan
belajar. Tujuan pemisahan ini adalah agar anak autis bisa mengetahui dimana
dia seharusnya berada dalam melakukan aktivitas tertentu. Selain itu,
pemisahan tempat ini untuk mengurangi adanya kemungkinan distraksi yang
disebabkan oleh rangsang sensori yang berlebihan.
2) Jadwal
Jadwal memberikan informasi terkait apa yang akan terjadi, kapan, dan dimana
sehingga memahamkan kegiatan yang dilakukan secara rinci. Jadwal ini sangat
bergantung pada tingkat perkembangan dan kognitif dari individu autis.
Adanya penggunaan jadwal akan membuat anak autis tidak akan mengalami
kebingungan mengenai kegiatan apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara
melakukannya. Misalnya, jadwal dapat dibuat secara tertulis berupa simbol,
gambar ataupun objek riil yang mewakili suatu kegiatan. Selain itu, jadwal
dapat disusun dari kiri ke kanan ataupun dari atas ke bawah.
3) Sistem kerja
Sistem kerja yang terstruktur digunakan agar anak autis tidak mengalami
kebingungan dalam melakukan tugas serta mengembangkan kemampuan
mengorganisasi. Hal ini dikarenakan bahwa anak autis sering mengalami
masalah yang berhubungan dengan organisasi, termasuk kemandirian dalam
mengorganisasi sumber dan materi tugas. Sistem kerja mencakup materi dari
tugas yang diberikan, urutan bagaimana tugas dilaksanakan sehingga secara
jelas kapan untuk memulai, apa selanjutnya dan kapan tugas selesai dilakukan.
4) Penataan visual
Pemberian informasi maupun perintah secara visual akan lebih bermakna bagi
anak autis (Yamada S., Kobayashi N., 2008). Anak autis mempunyai
kemampuan visual yang lebih jika dibandingkan dengan kemampuan auditori.
Oleh karena itu, penggunaan prinsip penataan visual disesuaikan untuk
memanfaatkan kelebihan anak autis, meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas
yang produktif dan mengurangi kebingungan serta stress yang disebabkan
ketika terlalu banyak bahasa yang digunakan. Penggunaan visual juga
memberikan anak rasa untuk mengontrol lingkungan, namun juga dapat
mengurangi perilaku maladaptif.
5) Komunikasi yang bermakna
Komunikasi dalam metode TEACCH dilakukan dengan menggabungkan suatu
objek ataupun simbol visual yang dipasangkan dengan kata yang diucapkan
untuk mengartikan aktivitas yang dilakukan. Dengan ini, komunikasi lebih
bermakna bagi anak autis karena mendapat informasi secara auditori serta
mendapatkan informasi secara visual. Misalnya, ketika anak ditunjukkan
gambar pensil, diwaktu yang sama guru mengucapkan kata “ambil pensil”
sehingga anak langsung mengambil pensil.

4. Studi Kasus
Ada salah satu penelitian yang dilakukan untuk mengobservasi anak autisme dengan hasil
data sebagai berikut.

Identitas Pasien
Nama : NAP
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl.Lahir : Pasuruan/02 Maret 2011
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status Marital : Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : Belum sekolah

ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Anak belum dapat berbicara dengan jelas pada usia saat ini (3 tahun)
b. Hetero Anamnesis
Pasien dibawa ke poli ARLAN (Anak Remaja dan Lansia) RSJ Dr Radjiman
Wediodiningrat Lawang dengan keluhan anak belum dapat berbicara dengan jelas
pada saat usia saat ini. Ibu pasien mengatakan jika anak belum dapat berbicara dengan
jelas hingga usia 3 tahun. Hal ini dirasakan oleh ibu sejak kurang lebih 2 bulan yang
lalu, ketika ibu membawa anaknya untuk berkunjung kerumah saudara. Ibu menyadari
jika anaknya tidak sama dengan anak lainnya yang seusia pasien saat ini. Jika anak
lainnya sudah bisa mengeluarkan banyak kata-kata dengan jelas, anak pasien hanya
bisa mengucapkan kata ayah, dan ibu. Ibu juga mengatakan kalau anaknya tidak bisa
fokus.
c. Keluhan dan keterangan penderita (autoanamnesis)
Alasan datang ke rumah sakit (maksud dan tujuan anak datang kerumah sakit): ketika
pemeriksa memanggil nama pasien tidak ada kontak mata dan tidak ada respon secara
verbal. Pasien hanya berbicara sendiri yang tak jelas kalimatnya.
1) Hobi dan perhatian anak pada sesuatu (bakat, hobi, dan perhatian pada sesuatu
hal): pada saat pemeriksa meminta pasien untuk menggambar sesuatu dengan
pulpen, pasien tidak merespon dan tetap asik dengan memencet-mencet tombol
handphone.
2) Hubungan sosial anak (dengan tetangga, disekolah dan tempat lain, yang
disenangi/tidak): informasi didapatkan dari ibu (pasien kurang disenangi oleh
teman bermainnya karena sering memukul teman bermainnya tanpa sebab)
3) Hubungan dengan teman dekat dan sebaya/peer relation: informasi didapatkan
dari ibu (di lingkungan rumah pasien tidak ada yang ingin bermain dengan pasien
karena pasien dianggap nakal)
4) Rencana anak untuk masa depan:
Anak-anak: -
5) Hubungan anak dengan keluarga rumah: (info dari ibu) pasien sangat di
perhatikan dan di manja oleh keluarga
6) Pembicaraan tambahan/khusus pada persoalan atau kesulitan: belum bisa
berbicara jelas
7) Status kesehatan anak: -
8) Fantasi (dibawah 9 tahun):-
9) Kesadaran sosial anak: (info ibu pasien) jarang bermain di sekitar lingkungan
rumah
d. Riwayat perkembangan anak
Lahir cukup bulan dan mengaku normal. Lahir di rumah sakit dan persalinan dibantu
oleh dokter spesialis kandungan, namun sang ibu bercerita ketika persalinan ibu tidak
kuat mengejan hingga pingsan yang akhirnya melakukan tindakan vakum, setelah
bayi lahir (tidak menangis). Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak pernah
mengkonsumsi obat-obatan atau jamu. Pasien mendapatkan ASI hingga umur 2 tahun.
Pasien mulai diajarkan toilet training pada umur 3 tahun. Pasien dapat duduk,
berjalan, bicara terlambat dari teman sebayanya.
e. Riwayat sakit sebelumnya
Tidak ditemukan.
f. Riwayat sekolah
Pasien belum bersekolah.
g. Riwayat Keluarga
Pasien diasuh oleh ibu kandung.
Pasien merupakan anak tunggal.

Pemeriksaan Psikiatri:
Kesan Umum : Pasien berpakaian rapi, roman wajah sesuai dengan usianya, pasien
tidak berbau, pasien hiperaktif dan Tidak kooperatif, tidak ada kontak
mata
Kontak : Verbal (-) Non verbal (-)
Kesadaran : Sulit dievaluasi
Orientasi : W/T/O +/+/+
Daya ingat : Tidak ditemukan kelainan
Persepsi : Halusinasi visual (-) auditorik (-)
Proses berpikir: Bentuk: sulit dievaluasi, Arus : sulit dievaluasi,
Isi : Sulit dievaluasi
Afek/emosi : Tidak ada gangguan
Kemauan : ADL (+) Social (-) pekerjaan (-)
Psikomotor : Meningkat

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Axis I : (F. Autism)
Axis II : Ciri kepribadian: pasien seorang anak yang hiperaktif
Axis III :-
Axis IV :-
Axis V : GAF saat ini 20 – 11

Intervensi yang diberikan pada kasus tersebut berdasarkan penelitian sebelumnya:


1. Psikoterapi
- Memotivasi pasien agar dapat menjalani pengobatan sesuai yang dianjurkan
- Memotivasi pasien untuk kembali tenang dan memperhatikan sekitarnya
2. Sosial Terapi
- Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai keadaan pasien, mengenai
faktor pencetus, perjalan penyakit dan pengobatan
- Menjelaskan dan memberi pengarahan tentang sikap yang harus dilakukan
kepada pasien
3. Monitoring
- Keluhan pasien
- Observasi vital sign dan keadaan umum
- Efek samping obat

Intervensi yang disarankan pada kasus ini adalah pemberian psikoedukasi dan
pendekatan terhadap keluarga, sedangkan pada anak dapat menggunakan metode terapi ABA
ataupun TEACCH untuk mengoptimalkan anak sesuai tahap perkembangannya. Hal ini
ditunjukkan untuk mengubah behavior atau perilaku anak agar bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan pada terapi ABA dengan metode pemberian reward maupun token
ekonomi. Sedangkan pada metode teacch, lingkungan menyesuaikan kebutuhan anak untuk
menghindari preditor perilaku negatif yang akan ditimbulkan anak serta mengajarkan apa
yang dilakukan melalui gambar atau secara visual.
Daftar Pustaka

APA. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Forth Edition, Text
Revision. Washington, DC: American Psychiatric Association.
APA. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition. Arlington,
VA: American Psychiatric Association.
Ardina, R. (2018). Terapi aba (applied behavior analysis) tingkat dasar efektif. The Indonesian
Journal of Health Science, 10(1), 89–94.
Carr, A. (2005). The Handbook of Child and Adolescent Clinical Psychology. New York: Tylor
& Francis e-Library.
C.Davison, G., John M.Neale, M. N., & Ann , M. K. (2014). Psikologi Abnormal. 719.
Mesibov G. B. & Shea V. (2010). The TEACCH Program in the Era of Evidence- Based
Practice. Journal Autism Development Disorder, 570–579.
Mulyadi, K., Sutadyi, Anwar, R. dan, & Liza. (2014). Autism Parent Support Group Meeting
(makalah disampaikan diseminar autis Tanggerang).
Myhr, G. (1998). Autism and Other Pervasive Developmental Disorders: Exploring the
Dimensional View. The Canadian Journal of Psychiatry.
Nugraheni, S. A. (2012). Menguak Belantara Autisme. Buletin Psikologi Vol. 20, No. 1-2, 9-17.
Rahayu, S. M. (2014). Deteksi dan Intervensi Dini pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan Anak
Vol. 3, No. 1.
Rohmah, H., & M Farid. (2016). Pengaruh Applied Behaviour Analisys Terhadap Kemampuan
Berbahasa Anak Autis Hamdiyatur Rohmah. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 5(01).
Sugiarmin, M. (2011). Individu dengan Gangguan Autisme.
Yamada S., Kobayashi N., dan S. M. (2008). Effectiveness of the Physical Structure for an
Individual with Autism. Kawasaki Journal of Medical Welfare, 14, 23–37.
Yonezawa T., Kobayashi N., Terao T., et al. (2011). Comprehensively Structured Teaching
Method for an Adult Individual with Autism. Kawasaki Journal of Medical Welfare, 17,
70–78.

Anda mungkin juga menyukai