Disusun oleh:
Adinda Dwi W. 111611133016
Rr. Wina Ayudya A. 111611133021
Farah Alfiyyatur R. 111611133064
Jessica Devina S. 111611133067
Husnun Nadliroh 111611133076
Arta Dayinta Nisitasari 111611133170
Salma Vania Widyatmiko 111611133184
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
Kata Pengantar
Kami tim penyusun menyampaikan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
selalu memberikan karunia pada hamba-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan ini dengan lancar. Kami menyadari proposal laporan ini tidak akan selesai
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Nurul Hartini, M.Kes., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga.
2. Dr. Nur Ainy Fardana N., M.Si., Psikolog sebagai Wakil Dekan 1 Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga.
3. Tim Penanggung Jawab Mata Kuliah Psikologi Ulayat Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga yang membimbing kami.
4. Listyati Setyo Palupi, S.Psi., M.DevPract., Psikolog. selaku dosen
pembimbing.
5. Kedua orang tua yang selama ini memberi dorongan motivasi dan materi
kepada kami.
6. Seluruh pihak yang membantu selesainya proposal laporan penelitian ini.
Kami menyadari bahwa proposal laporan ini belum sempurna, untuk itu
kami mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikan proposal
laporan ini.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1
yang akan diperoleh apabila wanita keturunan Arab menikah dengan non-Sayyid
adalah terhalang untuk mendapatkan warisan orangtuanya. Hal ini dikarenakan
menurut adat setempat, anak wanita keturunan Arab yang berani menikahi pria di
luar etnisnya dianggap tidak pernah ada atau dianggap telah meninggal dunia
(Ragoan, Untoro, & Ari, 2017).
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIK
2.1. Pernikahan
3
membesarkan anak dan dilegalkannya hubungan seksual untuk mencapai
keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebaikan dan saling menafkahi.
4
2.1.3. Pernikahan Beda Etnis
Pada penelitian ini peneliti menggunakan konsep psikologi ulayat yang
berasal dari konteks budaya etnis Arab di Indonesia yaitu larangan
pernikahan beda etnis (non-Sayyid) bagi wanita yang telah dikaji lebih lanjut
oleh Ragoan dkk (2017). Sayyid adalah sebutan untuk pria keturunan Arab
yang memiliki ayah asli keturunan Arab dan ibu dari keturunan Arab ataupun
dari suku lain, sedangkan Syarifah adalah sebutan bagi wanita keturunan
Arab yang memiliki ayah asli keturunan Arab dan ibu dari keturunan Arab
ataupun dari suku lain (Ragoan et al., 2017). Seperti yang kita ketahui,
perkawinan beda suku/budaya adalah suatu perkawinan yang terjadi antara
pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dimana
terdapat penyatuan pola pikir dan cara hidup yang berbeda. Sedangkan
pernyataan lain menyebutkan bahwa perkawinan antar budaya secara umum
merupakan hubungan atau relasi antara pria dan wanita yang berasal dari dua
suku, ras, dan kebudayaan yang berbeda dalam suatu ikatan komitmen secara
institusional (Pramudito, 2017).
Sementara dalam keturunan Arab, mereka memiliki kepercayaan bahwa
apabila wanita keturunan Arab melanggar tradisi pernikahan, seperti menikah
di luar budayanya dan tanpa restu dari orangtua, mereka umumny akan
dianggap mati atau tidak pernah ada di dunia, serta segala hubungannya
dengan mereka akan diputuskan (Assagaf, 2000). Selain itu, terdapat sanksi
lain yang diperoleh dari wanita keturunan Arab yang menikah dengan non-
Sayyid, yakni menjadi terhalang untuk mendapatkan warisan dari
orangtuanya sebab menurut adat setempat anak perempuan Arab yang berani
menikahi pria di luar etnisnya dianggap tidak pernah ada atau telah meninggal
dunia (Mulia, 2012).
Pada umumnya, pada sebuah hubungan pernikahan, baik dalam satu
budaya maupun dua budaya, keduanya selalu memiliki potensi konflik yang
disebabkan oleh adanya perasaan dan pemikiran berbeda yang dimiliki oleh
masing-masing individu terhadap relasi perkawinan (J.W Santrock, 2008).
Menurut Putranto (dalam Ragoan et al., 2017), menjelaskan bahwa hubungan
5
pernikahan yang tidak direstui orang tua biasanya memiliki potensi untuk
memunculkan masalah dan hidup pun menjadi tidak nyaman. Beberapa studi
terdahulu juga menjelaskan bahwa pernikahan beda etnis atau beda ras lebih
rentan terhadap konflik. Banyak faktor penyebab konflik yang terjadi pada
perkawinan beda etnis, salah satunya adalah terdapat perbedaan aturan dan
nilai-nilai budaya yang dibawa oleh masing-masing individu sejak kecil serta
memungkinkan adanya pertentangan satu sama lain, sehingga hal tersebut
dapat mempersulit proses adaptasi dalam perkawinan. Perbedaan nilai-nilai
dapat menimbulkan bias atau kesalahan dalam menilai pasangan (Pramudito,
2017).
6
BAB III
METODE PENELITIAN
7
fenomena yang dimaksud dalam penelitian ini (Poerwandari, 2001). Kriteria
subjek penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Subjek merupakan seorang wanita keturunan Arab
2. Subjek menikah dengan etnis lain
3. Usia pernikahan antara tiga hingga enam tahun
4. Subjek bertempat tinggal di Surabaya
3.4.1.Wawancara Mendalam
Wawancara dilakukan dengan bentuk semi terstruktur. Percakapan akan
diarahkan untuk menggali topik dan pedoman wawancara yang telah
ditetapkan serta dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang
dilakukan untuk mendalami topik. Wawancara bentuk ini dipilih karena lebih
bebas dan memiliki kemungkinan probing dari setiap pertanyaan. Tujuan
wawancara semi terstruktur adalah untuk menemukan permasalahan secara
lebih terbuka, selain ada item-item pertanyaan pada pedoman wawancara,
pihak yang diwawancarai juga dimintai keterangan lebih lanjut yang dapat
berupa pendapat dan pandangan (Sugiyono, 2010).
8
3.5. Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data
Data wawancara yang diperoleh akan diorganisasikan menjadi bentuk
transkrip dan dianalisis dengan metode analisis tematik lalu ditarik kesimpulan
dari hasil analisis. Analisis tematik adalah pengkodean informasi kualitatif
melalui sebuah kode eksplisit yang dapat menghasilkan daftar tema, model
kompleks yang berisi tema, indikator, dan kualifikasi yang terhubung dalam
kausalitas, atau sesuatu di antara kedua hal tersebut. Analisis tematik dapat
dilakukan melalui salah satu dari tiga pendekatan, yaitu berdasarkan teori (theory-
driven), berdasarkan data (data-driven), dan berdasarkan penelitian yang sudah
ada (prior-research-driven) (Boyatzis, 1998). Dalam penelitian ini, analisis
tematik yang akan dilakukan adalah berdasarkan data. Proses pengkodean data
dilakukan tanpa mengacu pada kerangka kode yang telah ada atau analisis dari
peneliti sebelumnya (Boyatzis, 1998).
Proses analisis dilakukan dengan mengumpulkan semua data hasil
wawancara dan observasi, membuat verbatim hasil wawancara, mengidentifikasi
tema-tema yang muncul, membuat rangkuman kasus tiap partisipan, melakukan
analisis awal, serta menuliskan hasil penelitian (Poerwandari, 2001).
9
DAFTAR PUSTAKA
10
ng-ampel-tidak-ada-orang-arab-di-sini
Mulia, I. (2012). Keududukan anak perempuan keturunan Sayyid yang menikah
dengan laki-laki yang bukan keturunan Sayyid terhadap. Retrieved
December 4, 2018, from repository.unhas.ac.id/handle/123456789/3828
Neuman, W. L. (2003). Social Research: Qualitative and Quantitative
Approaches. https://doi.org/10.1234/12345678
Papalia, Sterns, Feldman, & C. (2007). Adult development and aging (3rd ed.).
New York: Mc.Graw-Hill.
Pinsof W.M. & Lebow, J. L. (2005). Family Psychology. New York: Oxford
University Press.
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pramudito, A. A. (2017). Merenda Cinta Melintas Budaya Hingga Senja Tiba
(Studi Literatur tentang Perkawinan Antar-Budaya). Buletin Psikologi, 76–
88.
Prasetyo, F. E., Wahyuningsih, S., & Karunia, N. E. (2015). Middle Years of
Marriage: Love and Marital Satisfaction Among Wives. Anima Indonesian
Psychological Journal, 31(1), 54–59.
Ragoan, S., Untoro, V., & Ari, D. R. (2017). Gambaran Kepuasan Pernikahan
Pada Wanita Keturunan Arab Yang Melakukan Pernikahan Dengan Etnis
Lain. Jurnal Psikologi Ulayat, 4(2), 107. https://doi.org/10.24854/jpu22017-
99
Rahman, M. (2015). Mengapa Perempuan Arab Dilarang Menikah dengan Laki-
laki Non Arab? Retrieved December 4, 2018, from
https://www.kompasiana.com/mamansbg/5500b031a333119f6f511d49/meng
apa-perempuan-arab-dilarang-menikah-dengan-laki-laki-non-arab
Rini, Q. K., & Retaningsih. (2008). Keterbukaan Diri dan Kepuasan Perkawainan
Pada Pria Dewasa Awal. Jurnal Psikologi, 1(2), 152–157.
Santrock, J. W. (2002). Life-span Development. Jakarta: Erlangga.
Sudarsono. (1991). Pengantar tata hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
11
Kuallitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suroyyah, J. (2014). ernikahan campuran dalam komunitas Arab (studi tentang
penerimaan keluarga perempuan Arab terhadap pernikahan campuran di
Sepanjang. Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Airlangga, 1–20.
Torang, S. (2012). Metode Riset struktur dan Perilaku Organisasi. Bandung:
Alfabeta.
12
LAMPIRAN
13
Lampiran 2. Data Persebaran dan Pernikahan pada Etnis Arab
Data 1:
Saat ini konon jumlah keturunan Arab Hadramaut di Indonesia lebih besar
bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang ada di tempat leluhurnya sendiri.
Penduduk Hadramaut sendiri hanya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahkan sejumlah marga
yang di Hadramaut sendiri sudah punah seperti Basyeiban dan Haneman.
Sementara di Indonesia jumlahnya masih cukup banyak. Sejauh ini,
perkampungan Arab di Indonesia, banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia,
misalnya di Jakarta (Pekojan), Bogor (Empang), Surakarta (Pasar Kliwon),
Surabaya (Ampel), Gresik (Gapura), Malang (Jagalan), Cirebon (Kauman),
Mojokerto (Kauman), Yogyakarta (Kauman), Probolinggo (Diponegoro),
Bondowoso, dan Banjarmasin (Kampung Arab). Selain di Palembang, Banda
Aceh, Sigli, Medan, Lampung, Makasar, Gorontalo, Ambon, Mataram, Ampenan,
Sumbawa, Dompu, Bima, Kupang, dan Papua (Istiwan, 2014).
Data 2:
Ampel identik dengan perkampungan Arab di Surabaya. Di perkampungan
itulah komunitas keturunan Arab bermukim. Komunitas keturunan Arab di Ampel
mencapai jumlah 70%, sisanya merupakan suku Madura yang telah lama
bermukim dan menetap di Ampel. Orang-orang Arab di Ampel merupakan
keturunan Arab dari Hadromi/Hadralmaut (Yaman). Mereka turun temurun
bermukim di Ampel dan menyatu dengan masyarakat setempat. Di semua wilayah
Nusantara keberdaan sub-etnik Arab selalu menempel dengan etnik setempat.
Walaupun disana-sini terlihat seakan-akan terjadi segregasi (adanya koloni
"Kampung Arab") akan tetapi secara sosio-kultural sub-etnik Arab tetap
mewujudkan diri dalam tampilan budaya setempat (“Kampung Ampel, “Tidak
Ada Orang Arab di Sini!",” 2012).
Data 3:
Sebagai salah satu etnis keturunan Asing di Indonesia, masyarakat
keturunan Arab yang ada di kelurahan Ampel dalam beberapa hal ternyata belum
bisa melepaskan sepenuhnya pola budaya dari negara asalnya. Meskipun mereka
merupakan keturunan dari sekian generasi sebelumnya. Misalnya dalam
14
perkawinan, sebagian masyarakat Arab di kampung Ampel masih sulit
beramalgamasi dengan etnis lain. Pada dasarnya etnis Arab mempunyai rasa
toleransi yang tinggi dan berusaha untuk melakukan sesuatu yang tidak
menyinggung perasaan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul dengan orang
dari berbagai etnis. Namun dalam situasi yang kurang mendukung, pergaulan itu
bisa juga menjadi terbatas. Misalnya, saat mereka merasa tersinggung atau
direndahkan harga dirinya (Haryono, 2013).
Data 4:
Pada sebagian besar keturunan Arab di Indonesia, mereka mengaku
mempunyai silsilah sampai rasulullah. Jika wanita Arab menikah dengan pria non
Arab maka terputuslah silsilah itu dan itu menjadi "bencana" bagi keluarga
tersebut. Dengan terputusnya silsilah maka akan terputus pula ikatan kekeluargaan
mereka dan akan menjadi terpinggirkan dalam lingkaran kehidupan komunitas
Arab. Budaya inilah yang masih sangat dipegang oleh sebagian besar keluarga
Arab di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran orang tua Arab akan
memperjuangkan tradisi tersebut dan menentang dengan keras putrinya yang akan
memilih pria non Arab (Rahman, 2015).
Upaya pendobrakan tradisi Arab ini juga pernah dilakukan oleh seorang
wanita Arab. Ia bersikukuh menikahi pria jawa, sebut saja namanya Farha Ciciek.
Dalam sebuah tulisannya ia menyebutkan bahwa baginya "gelar syarifah adalah
sebuah penjara". Lebih lanjut ia menuliskan bahwa "Aku merasakan pahit
getirnya dinamika menjadi wanita yang memanggul gelar syarifah. Sebagai
wanita yang dianugerahi "kemuliaan" aku harus serba hati-hati dalam bertingkah
laku dan bergaul. Kelak jika dewasa aku harus kawin dengan pria yang bernasab
sama. Jika tidak, maka nasab muliaku takkan bisa dinikmati oleh anak-anakku.
Nasab akan hilang karena garis keluarga dirunut dari pihak ayah dan suami
(Ciciek, Farha., Iswanti., Judith Liem., Neng Dara., 2000).
15