Anda di halaman 1dari 33

PERNIKAHAN USIA DINI DAN PROBLEMATIKA YANG

MENYERTAINYA

(Wawancara dengan MUI dan Ormas Islam di Jawa Barat: Muhammadiyah,


NU dan Persis)

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah Seminar Pendidikan
Agama Islam
Dosen Pengampu:
Saepul Anwar, S.Pd.I., M.Ag.

Disusun oleh :

Hilda Hindasyah (1500989)

Khaerunisa (1501756)

Novi Syamsiah (1507199)

Tesar Ahmad Isnan Z (1503626)

Yogi Syamsudin (1505313)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PERNIKAHAN USIA DINI DAN PROBLEMATIKA YANG


MENYERTAINYA

(Wawancara dengan MUI dan Ormas Islam di Jawa Barat: Muhammadiyah,


NU dan Persis)

Tanggung Jawab Yuridis Ada pada Penulis

Ketua Kelompok 6,

Tesar Ahmad Isnan Zulfikar

NIM. 1503626

PROPOSAL PENELITIAN INI TELAH DISETUJUI DAN DISAHKAN


OLEH:

Mengetahui dan Menyetujui:

DOSEN SPAI

Saepul Anwar, S.Pd.I., M.Ag.

NIP. 19811109.200501.1.001
PERNIKAHAN USIA DINI DAN PROBLEMATIKA YANG
MENYERTAINYA

(Wawancara dengan MUI dan Ormas Islam di Jawa Barat: Muhammadiyah,


NU dan Persis)

A. Latar Belakang Penelitian


Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhtumbuhan. Ia adalah suatu
cara yang dipilih oleh Allah swt. Sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang
biak, dan melestarikan hidupnya. Menurut para mujtahid nikah adalah suatu ikatan
yang dianjurkan syariat.
Pasal I menyebutkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam bab II disebutkan syarat-
syarat tentang perkawinan yaitu pasal 6 ayat 2 menyatakan untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapatkan izin kedua orang tua. Sedangkan dalam pasal 7 ayat 1 perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur ini disebabkan ada beberapa
faktor. Diantaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan di masyakat tersebut.
Mereka banyak terpengaruh pola pikir yang sempit dalam memahami dan mengerti
hakekat dan tujuan pernikahan. Orang tua yang memiliki rasa ingin bebas merawat
anak perawannya. Bahwasanya pendidikan saat ini menurut mereka sangatlah mahal,
apabila anak mereka tersebut ingin sekolah setinggi-tingginya, para orangtua merasa
terbebani dengan biaya hidup anak perawannya. Untuk itu mereka mengambil
keputusan untuk menikahkan anak perawannya sesegera mungkin supaya anaknya
sudah menikah bisa membantu orang tuanya yang sedang kesusahan.
Penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini pun amatlah
banyak dan beragam. Maka dari itu perlu dilakukannya kajian terkait hal ini
bersumber dari lembaga-lembaga Islam serta peran pemerintah dalam mengatasi
masalah ini dari segi hukum perundang-undangan.

B. Perumusan Masalah Penelitian


Dari latar belakang diatas bahwa penulis merumuskan masalah-masalah
sebagai berikut:

1. Apa faktor pendorong pernikahan di bawah umur?


2. Apa Problematika setelah terjadi pernikahan di bawah umur?
3. Bagaimana analisis pernikahan di bawah umur dalam tinjauan hokum islam dan
undang-undang perkawinan?
4. Bagaimana analisis Nikah Mutah dalam tinjauan hukum Islam dan Undang-
Undang dalam pernikahan?
5. Bagaimana analisis pernikahan berbeda agama dalam tinjauan hukum Islam dan
Undang-Undang pernikahan?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui faktor pendorong pernikahan di bawah umur.


2. Untuk mengetahui Problematika setelah terjadi pernikahan di bawah umur.
3. Untuk mengetahui bagaimana analisis pernikahan di bawah umur dalam tinjauan
hukum islam dan undang-undang perkawinan.
4. Untuk menganalisis Nikah Mutah dalam tinjauan hukum Islam dan Undang-
Undang perkawinan.
5. Untuk menganalisis pernikahan berbeda agama dalam tinjauan hukum Islam dan
Undang-Undang perkawinan.

D. Manfaat Penelitian
Dengan diperolehnya data dan informasi yang memadai perihal Pernikahan
dini dan Problematika yang Menyertainya, secara umum penelitian ini diharapkan
dapat memperoleh manfaat, yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk tidak
melakukan pernikahan dini dan seharusnya usia remaja dapat melakukan
pendidikan yang lebih tinggi lagi.
2. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi bagaimana dampak dari
pernikahan dini itu, agar bisa berfikir secara lebih komprehensif dalam
mempertimbangkan pernikahan di usia dini.
3. Penelitian ini juga bisa bermanfaat bagi penulis untuk lebih mengetahui
bagaimana dari sudut pandang islam dan undang-undang tentang pernikahan dini.

E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka mendeskripsikan kerangka teoritis yang dijadikan landasan
oleh peneliti dalam mengkaji permasalahan penelitian. Bagian ini seyogyanya
didasarkan pada sumber-sumber yang dipublikasikan melalui jurnal profesional atau
semacamnya. Adapun beberapa tinjauan pustaka yang penulis dapat sampaikan;

1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan yang sering diartikan sebagai fitrah manusia menjadi suatu hal yang
sangat krusial bagi manusia itu sendiri. Sebagai salah satu mahluk yang mulia di
muka bumi, tentu manusia harus menjalani fitrahnya tersebut. Selain menjadi
fitrah pernikahan juga menjadi salah satu tujuan hidup manusia. Menurut Wiryono
(2009:214) (dalam Darnita) menjelaskan bahwa perkawinan adalah hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu, dimana akan ada persetujuan antara calon suami dan calon istri
karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima. Artinya
pernikahan memiliki ikatan secara lahiriyah dan tanpa paksaan. Mengandung arti
pula apabila akad nikah tersebut telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji
dan bersedia menciptakan rumah tangga yang harmonis, akan sehidup semati
dalam menjalani rumah tangga bersama-sama. Sejalan dengan pengertian di atas,
menurut Ramulyo (2010:67) menjelaskan bahwa, pernikahan adalah suatu akad
yang dangannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dan wanita. Bahwa
hakikat dari pernikahan merupakan suatu perjanjian saling mengikat antara laki-
laki dan perempuan dengan suka rela untuk mewujudkan kebahagiaan dalam
rumah tangga.
Berdasarkan beberapa definisi pernikahan di atas, maka dapat penulis simpulkan
bahwa pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan
oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan di hadapan
penghulu dan pegawai pencatat nikah dengan maksud untuk mendapatkan akta
autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan.
a. Perkawinan Dalam Hukum Perdata
Ketentuan tentang perkawinan diatur dalam KUH Perdata Pasal 26 sampai
Pasal 102 BW. Ketentuan umum tentang perkawinan hanya terdiri atas
satu pasal yang disebutkan dalam 26 BW, bahwa undang undang
memandang perkawinan hana dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini
berimplikasi bahwa suatu perkawinan hanya sah apabila memenuhi
persyaratan yng ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang (BW) sementara
itu persyaratan menurut agama di kesampingkan. Menurut Vollmar
(2008:101) (dalam Mardi), maksud dari ketentuan tersebut bahwa
undang-undang hanya mengenal perkawinan dalam arti perdata, ang itu
perkawinan dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Sedangkan menurut Soetojo Prawirohamidjodjo (2008:101), berttik tolak
dari Pasal 26 BW, bahwa undang-undang tidak memandang penting
unsur-unsur kegamaan, selama tidak diatur dalam hukum perdata.
b. Pernikahan Dalam Perspektif Hukum Islam
Ketentuan perkawinan dalam KUP Perdata berbeda dengan Hukum Islam.
Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab pada istilah-istilah fiqih tentang
perkawinan adalah munakahat atau nikah, yang berarti melakukan akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.
c. Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dalam Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan pada Pasal 1 Ayat (1)
bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam sebuah
perkawinan memiliki dua aspek yaitu:
(1) Aspek Formil (Hukum), hal yang dinyatakan dalam kalimat ikatan
lahir batin, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai
ikatan secara lahir, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan
terutama oleh yang bersangkutan dan iktan batin ini inti dari perkawinan
itu;
(2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya membentuk
keluarga dan bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian,
sehingga bukan saja unsur jasmanitapi unsur batin juga berperan penting.
2. Dasar Hukum Pernikahan
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
b. PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pekasanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
d. RUU HM-PA-BPerkwn Tahun 2007
3. Pengertian Usia Muda
Usia muda didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak kanak ke masa
dewasa. Batasan usia muda berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.
Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12-24 tahun.
Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi yang digunakan oleh
Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum
kawin. Sementara itu menurut BKKBN batasan usia muda adalah 10-21 tahun
(BKKBN, 2010). WHO Expert Comitte memberikan batasan-batasan pertama
tentang definisi usia muda bersifat konseptional. Dalam hal ini ada 3 kategori
yaitu; biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap defenisi
tersebut tersembunyi sebagai berikut, usi muda adalah suatu masa dimana :
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-
tanda seksual sekunder sampai ia mencapai kematangan sendiri.
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dari masa kanak-
kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif mandiri.
Berdasarkan batasan usia muda di atas ditetapkan batasan usia muda antara 11-19
tahun, dimana di antara usia tersebut sudah menunjukan tanda-tanda seksualnya.
Bila hal ini ditinjau dari sudut kesehatan maka masalah utama yang dirasakan
mendesak adalah mengenai kesehatan pada usia muda khususnya wanita yang
kehamilannya terlalu awal. Di samping itu menurut Sarwono, terdapat beberapa
definisi usia muda, salah satunya adalah definisi usia muda untuk masyarakat
Indonesia yang mengemukakan batasan antara usia 11-24 tahun dan belum
menikah dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai tampak (kriteria sosial).
b. Banyak masyarakat Indonesia mengganggap usia 11 tahun sudah
dianggap akil baligh menurut adat maupun agama sehingga masyarakat
tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak
(kriteria sosial).
c. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyimpangan
perkembangan
jiwa seperti tercapainya identitas diri.
d. Bila batas usia 24 tahun merupakan batasan usia maksimal yaitu
untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut
masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak
penuh sebagai orang dewasa (adat atau tradisi) belum bisa memberikan
pendapat sendiri.
e. Status perkawinan sangat menentukan karena arti perkawinan masih
sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang telah
menikah di usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang
dewasa penuh baik secara hukum di keluarga maupun masyarakat.
4. Pengertian Pernikahan Usia Muda
Perkawinan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri pada usia yang masih
muda/remaja. Sehubungan dengan perkawinan usia muda, maka ada baiknya kita
terlebih dahulu melihat pengertian dari pada remaja (dalam hal ini yang dimaksud
rentangan usianya). Golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13-17 tahun,
ini pun sangat tergantung pada kematangan secara seksual, sehingga
penyimpangan-penyimpangan secara kasuistik pasti ada. Dan bagi laki-laki yang
disebut remaja muda berusia 14-17 tahun. Dan apabila remaja muda sudah
menginjak 17-18 tahun mereka lazim disebut golongan muda/ anak muda. Sebab
sikap mereka sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari
sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya (Soerjono, 2008).
Menurut Aimatun (2009:216) (dalam Nurhayati), perkawinan usia muda adalah
pernikahan yang dilakukan oleh usia muda antara laki-laki dengan perempuan
yang mana usia mereka belum ada 20 tahun, berkisar antara 17-18 tahun.
Sedangkan menurut BKKBN (2010), perkawinan usia muda adalah perkawinan
yang dilakukan di bawah usia 20 tahun. Hal yang sama disampaikan sebelumnya,
perkawinan usia muda adalah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan
yang kuat, sebagai sebuah solusi alternatif, sedangkan batas usia dewasa bagi laki-
laki 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun, karena kedewasaan seseorang tersebut
ditentukan secara pasti baik oleh hukum positif maupun hukum Islam. Namun dari
segi kesehatan, Soerjono (2004:17) menjelaskan bahwa perkawinan usia muda
itu sendiri yang ideal adalah untuk perempuan di atas 20 tahun sudah boleh
menikah, sebab orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum
matang sepenuhnya.
Perkawinan usia muda yang identik dengan usia muda dari pasangan yang
menikah tersebut menimbulkan berbagai macam pendapat dan persepsi mengenai
definisi pernikahan usia muda atau yang mungkin sering disebut dengan
pernikahan dini. Menurut Riyadi (2009:98) (dalam Yusnidar Rahma)
menjelaskan perkawinan usia muda adalah perkawinan yang para pihaknya
masih sangat muda dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan dalam melakukan perkawinan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Nukman (2009:87) (dalam Nurhayati), perkawinan usia muda adalah
perkawinan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan
pernikahan.
Pernikahan dini atau kawin muda sendiri adalah pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang
berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2009). Perkawinan usia muda merupakan
perkawinan remaja dilihat dari segi umur masih belum cukup atau belum matang
dimana di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 Ayat (1) yang
menetapkan sebagai berikut; Batas maksimun pernikahan di usia muda adalah
perempuan umur 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun itu baru sudah boleh
menikah. Jika mengacu pada UU Perkawinan tersebut, usia ideal itu 21 tahun,
namun toleransi bagi yang terpaksa menikah di bawah usia 21 tahun ada batas
16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk laki laki dengan persetujuan
wali.
5. Dsipensasi Nikah Di Bawah Umur
Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang terjadi pada pasangan atau salah satu
calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang sudah
ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan. Perkawinan di bawah umur tidak dapat
diizinkan kecuali pernikahan tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah
oleh pihak Pengadilan Agama untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor
Urusan Agama (KUA), dan sebelum mengajukan permohonan izin menikah
Pengadilan Agama terlebih dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah
harus mendapat izin dari kedua orang tua. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada Bab II pasal 7 disebutkan bahwasannya perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 19
tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 16 tahun.
Dalam batas usia pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun
harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan
(5) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Keterangan di atas,
memberikan petunjuk bahwa pasal di atas menjelaskan arti dispensasi atau batasan
umur dapat dilihat dari:
a. Bahwa umur 19 tahun bagi usia pria adalah batas usia pada masa SLTA,
sedangkan untuk wanita usia 16 tahun adalah batas usia pada masa SLTP, dari
masa di atas adalah masa dimana kedua pasangan masih sangat muda. Oleh
sebab itu peran orang tua sangat penting disini dalam membimbing, menolong
dan memberi arahan untuk masa depan bagi si anak.
b. Izin orang tua sangat diperlukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tidak
dapat dilaksanakan, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai
syarat yang sudah ditentukan oleh aturan hukum perihal syarat pernikahan.
6. Teori Kesadaran Hukum
Sudikno Mertokusumo (Artikel , 2008: 2) mengatakan bahwa kesadaran hukum
menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk
pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa
hukum itu, tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat dalam
menegakkan hukum atau apa yang seyogyanya tidak kita lakukan untuk terhindar
dari perbuatan melawan hukum. Problema dari kesadaran hukum sebagai landasan
memperbaiki sistem hukum adalah, kesadaran hukum bukan merupakan
pertimbangan rasional, atau produk pertimbangan menurut akal, namun
berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor agama, ekonomi,
politik dan sebagainya, dan pandangan ini selalu berubah.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980) (dalam Husin) mengajukan 4
(empat) indikator, yaitu; kesadaran tentang ketentuan ketentuan hukum;
kesadaran tentang pengakuan terhadap ketentuan ketentuan hukum; kesadaran
akan penghargaan terhadap ketentuan ketentuan hukum; dan kesadaran pada
penaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Mengenai (empat)
indikator itu masing masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya,
dalam menuju adanya pengetahuan hukum, pemahaman hukum; sikap dan pola
prilaku/penerapan hukum. yang bukan saja menjadi milik bagi sarjana hukum,
atau penegak hukum, tetapi milik semua masyarakat, karena dimasyarakat hukum
dilaksanakan.
Dalam literatur lain dikatakan bahwa masalah kesadaran hukum sebetulnya
merupakan masalah nilai-nilai, maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi
abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan
ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Indikator- indikator dari masalah
kesadaran hukum tersebut adalah:
a) Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum.
b) Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum.
c) Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum.
d) Pola prikelakuan hukum.

7. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam

Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suam-istri yang tentram akan


dapat terwujud, bila suami dan istri memiliki keyakinan agama yang sama,s ebab
keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam.
Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama, maka akan timbul bebrbagai
kesulitan di ignkkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah,
pendidikan anak, pengaturan tata karma makan/minum, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain sebagainya. Dalam rangka memilih seorang calon suami-istri
agama Islam menganjurkan hendaknya didasari oleh norma agama atau moral.
Dalam hal ini, sesorang calon tersebut haruslah berakhlaq mulia dengan tidak
mendasarkan pada materi atau derajatnya semata-mata hukum Islam melarang
mutlak perkawinan beda agama bagi wanita Islam. Para ulama sepakat
mengatakan bahwa haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan seorang
lelaki non-muslim, hukum ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:

- Surah Al-Mumtahanah ayat (10): dan artinya

- Surah Al-Baqarah ayat (221): dan artinya

Firman Allah diatas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan
wanita Islam dengan laki-laki bukan islam. Keharamannya bersifat mutlak,
artinya wanita islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain islam, baik laki-
laki musyrik atau Ahl al-kitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat
syahnya perkawinan seorang wanita islam adalah pasangannya harus pria islam,
namun bagi pria islam masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli
hukum islam. Perbedaan pendapat tersebut dapat digolongkan:

- Membolehkan secara mutlak

- Melarang secara mutlak

- Membolehkan dengan syarat-syarat tertentu

Terdapatnya pebdaan pandangan tentang perkawinan beda agama, antara pria


islam dengan perempuan non islam dikarenakan ada perbedaan dalam hal
pendasarannya. Pendasaran dari Al-Quran yang membolehkan secara mutlakn
dapat dilihat didalam surah Al-Maidah ayat (5) dikatakan bahwa seorang pria
yang beragama islam boleh atau hahlal menikah dengan seorang wanita yang
masih memgang teguh dengan kitab-kitab Allah sebelum kerasulan Muhammad
SAW atau kawin dengan wanita Ahl al-Kitab sebelum kitab Al-Quran
diturunkan. Jaid tegasnya, wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria muslim
adalah wanita yang berpegang teguh kepada kitab-kitab Zabur, Taurat, Inji dan
Al-Quran atau wanita-wanita yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan Islam.

Sedangkan yang melarang secara mutlak baginya seorang pria melakukan


perkawinan beda agama dengan mendasarkan kepada sejarah Sayyidina Umar Bin
Khattab. Beliau tidak membolehkan terjadinya perkawinan antara muslim dengan
Ahl al-kitab, bahkan beliau pernah menyuruh sahabat-sahabat Nabi yang pernha
menikah dengan wanita Ahl al-kitab untuk menceraikannya, selanjutnya beliau
mengganggap Nashrol Arab (orang-orang Arab yang ebragama Nasrani) tidak
termasuk Ahl al-kitab seperti yang dimaksudkan oleh Allah dalam surat Al-
Maidah ayat (5), karena pada hakikatnya mereka telahmnyimpang dari ajaran
kitab asli dan telah musyrik.

Sedangkan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu bagi pria


muslim mendasarkan pada pendapat Yusuf Al-Qardlawi yakni kebolehan
menikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang
wajib untuk diperhatikan, yaitu:

- Kitabiyah itu benar-benar berpegang teguh pada ajaran samawi. Tidak ateis,
tidak murtad, dan tidak beragama yang bukan agama samawi.

- Wanita Kitabiyah yang muhsharah (memelihara kehormatan diri dari


perbuatan zina)

- Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau


peperangan dengan kaum muslim

8. Perkawinan Beda Agama Menurut Empat Mazhad

Sebagaimana diuraikan pada pembahasan diatas, bahwa hukum perkawinan


seorang perempuan yang beragama islam dengan seorang laki-laki non muslim
maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram dan
tidak sah.

a. Mazhab Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya adalah haram, tetapi membolehkan
menikahi wanita Ahl-Kitab (Yahudi dan Nasrani).
b. Mahzab Maliki
Menurut mazhab Maliki tentang hukum perkawinan beda agama ini
mempuyai dua penapat yaitu; pertma, nikah dengan kitabiyah
hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (wanita non musim yang
berada di negara yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah,
namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Kedua, tidak
makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak.
Metoologi berfikir mazhab ini menggunakan pendekatan Sad-al-
Zariah (menutup jalan yang akan mengarah kemafsadatan)
c. Mazhab Syafii
Demikian halnya dengan mazhab Syafii juga berpendapat bahwa
boleh menikahi wanita Ahl-kitab, dan yang termasuk golongan wanita
Ahl al-Kitab menurut mazhab SyafiI adalah wanita-wanita yahudi
dan nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel.
d. Mazhab Hambali
Pada mazhab hambali mengenai perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan
boleh menikahi wanita yahudi dan nasrani.

9. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undan No 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu dan mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlkau, diarang kawin

Berdasarkan Undang-Undang diatas pihak yang akan melakukan perkawinan


harus menganut agama yang sama, jika keduanya itu belainan agama, menurut
Undang-Undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, maka perkawinan
tidak dapat dilangsungkan kecuali apabila salah satunya mengikuti agama pihak
lainnya itu.

10. Perkawinan Beda Agama dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI)

Pada hakikatnya sebagian hukum materiil dalam lingkungan Peradiah Agama


di Indonesia sudah dikodifikasi dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dan
dilaksanakan melalui peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang
mengandung hukum matriil di bidang perkawinan. Akna tetapi, hal-hal yang ada
didalamnya beupa pokok-pokoknya saja, dan belum menyeluruh terjabarkan
seperti yang diatur dalam Islam.

Komplikasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut KHI, terdiri dari tiga
buku, yaitu buku I tentang perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan dan
buku III tentang perwakafan. Adapun mengenai perkawinan beda agama diatur
dalam buku I pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI, kedua pasal itu menyatakan
bahwa :

- Pasal 40 huruf (c): dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang yang tidak
beragama islam.
- Pasal 44; seorang wanita islam dilarang melangsungkan pekawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama islam

Dari kedu pasal ini, KHI melarang segala bentuk perkawinan beda agama, bai
itu perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim maupun sebaliknya.

11. Aspek yang mempengaruhi Perkawinan Beda Agama di Indonesia

- Aspek Psikologis

Problem yang muncul pada suami istri dari perkawinan beda agama,
yang dapat berimbas kepada anak-anak mereka antaralain:

1) Memudarnya kehidupan Rumah Tangga


Kehidupan rumah tangga beda agama semakin hari serasa semakin
kering. Pada awal kehidupan mereka, terutama pada waktu masih
pacaran, perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tapi
lama kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga. Ada suatu
kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan
menghilang. Pada saat semakin menepaki usia lanjut, kebahagiaan
yang dicari bukanlah materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual
yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman
dan tradisi keagamaan. Ketika itu taka da, maka rasa sepi akan kian
terasa. Semasa pacaran mungkin lalu menikah dan belum punya
anak, cinta mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan.
Tetapi setelah punya anak berbagai masalah baru akan bermunculan.
Bagi seorang muslin, ketika usia semakin lanjut, taka da yang
diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Mereka yakin doa
yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman.
2) Tujuan Berumah Tangga Tidak Tercapai
Agama ibarat Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup.
Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap
individu yang beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga.
Merupakan suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut
bersama, pada saat seorang suami (yang beragama Islam) pergi
umrah atau haji. Akan tetapi sebaliknya, merupakan suatu kesedihan
ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja pada saat
suami pergi umroh atau haiji.. Salah satu kebahagiaan seorang ayah
muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam
lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar menukar pengalaman
untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu
sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama.
Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Jadi, secara psikologis
perkawinan beda agama menyimpan masalah yang bisa
menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti perkawinan satu agama
akan terbebas dari masalah
3) Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar
Karakter suami dan istri yang masing-masing berbeda, merupakan
suatu keniscayaan. Misalnya perbedaan usia, perbedaan kelas sosial,
perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama
keduanya saling menerima dan saling melengkapi. Namun, untuk
kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial
karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri,
melainkan juga keluarga besarnya. Problem itu semakin terasa
terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
4) Berebut Pengaruh
Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat
dirasakan oleh anakanaknya. Perbedaan agama bagi kehidupan
rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu
kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak,
sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi
lebih dewasa dan kritis. Orang tua biasanya berebut pengaruh agar
anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam,
dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin
anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat
orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber
perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh
masing-masing. Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan
berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama.
Tetapi harapan belum tentu terwujud dan bahkan perselisihan demi
perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing
merasa kesepian di tengah keluarga. Mereka bingung siapa yang
harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah
memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di
mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi
sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.
- Aspek religious
1) Pandangan Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada
prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan
tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang
musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka
beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah
kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. (Al-Baqarah [2]:221). Larangan perkawinan dalam surat
al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang
beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak
beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117)
2) Keputusan MUI tentang Perkawinan Antar Agama
Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis
Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal
1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2
perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa:
a) Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah
adalah haram hukumya.
b) Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita
bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah
dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat.
Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar
daripada maslahatnya, maka MUI memfatwakan perkawinan
tersebut haram kukumnya. Dengan adanya farwa ini maka Majelis
Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak
boleh kawin dengan wanita non Iskam kareka haram hukumnya.
Selanjutnya Prof. Dr. Quraiysh Shihab, MA dengan
lantangmengatakan,perkawinan ini tidak sah, baik menirut agama
maupun menurut negara. Pendapat ini di kuatkan oleh Prof. Dr.
Muardi Khatib, salah seorang tokoh majelis tarjih Muhammadiyah
yang berpendapat bahwa persoalan ini jelas di dalam Alquran
surat al-Baqarah ayat 221, disana dijelaskan sercara tegas bahwa
seorang wanita. Muslim Haram hukumnya menikah dengan laki-
laki non Muslim dan sebaliknya laki-laki Muslim haram menikahi
wanita non Muslim, ini sudah menjadi konsensus ulama,
tambahnya. Perkembangan Fatwa MUI selanjutnya adalah
sebagai
berikut:

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA


Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang
PERKAWINAN BEDA AGAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional
VII MUI, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H. / 26-29 Juli 2005M.,
setelah MENIMBANG : 1. Bahwa belakangan ini disinyalir
banyak terjadi perkawinan beda agama; 2. Bahwa perkawinan
beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara
sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang
keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3. Bahwa di tengah-
tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan
perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan
kemaslahatan; 4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara
ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk
dijadikan pedoman. MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT : Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya. (QS. al-Nisa [4] : 3); Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21); Hai orang-
orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS.
alTahrim [66]:6 ); Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-
orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5); Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221) Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan
berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar;
dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu.
Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS.
alMumtahianah [60] : 10). Dan barang siapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budakbudak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan
berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun
wanitawanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula)
wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-
orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina)
diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengamun dan Maha Penyayang (QS. al-Nisa [4] : 25). 2. Hadis-
hadis Rasulullah s.a.w : Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat
hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii)
karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu
berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam;
(jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat
muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a); 3. Qaidah Fiqh :
Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari
pada menarik kemaslahatan. MEMPERHATIKAN : 1. Keputusan
Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan
Campuran. 2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada
Munas VII MUI 2005 : Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN MENETAPKAN : FATWA TENTANG
PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan beda agama
adalah haram dan tidak sah. 2. Perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mutamad, adalah haram
dan tidak sah.
Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H.
29 Juli 2005 M. MUSYAWARAH NASIOANAL VII MAJELIS
ULAMA INDONESIA, Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Ketua, Sekretaris, K. H. MARUF AMIN HASANUDIN.

12. Nikah Mutah

Masalah nikah mutah atau yang juga dikenal di Indonesia dengan kawin
kontrak tampaknya selalu menarik perhatian bagi semua kalangan, khususnya
bagi para pemerhati Hukum Islam. Bukan hanya secara normatif, di mana antara
ulama Sunni dengan ulama Syiah1 sudah sekian lama memiliki pandangan yang
berbeda mengenai hal ini, tetapi juga secara sosiologis, masalah nikah mutah ini
timbul dan tenggelam atau timbul dan tidak tenggelam bagi sebagian kecil
masyarakat seiring problematika kehidupan sosial.

Masjfuk Zuhdi, seorang ahli Hukum Islam dari Malang sempat mencatat
dalam bukunya, yang menyatakan bahwa beberapa media massa memberitakan
kasus kawin kontrak di Bitung yang melibatkan antara penduduk setempat dengan
tenaga asing yang pada akhirnya berita tersebut dibantah oleh instansi Pemda
Bitung bahwa hal itu tidak benar. Kalaupun ada, maka yang terjadi adalah
kumpul kebo (samen leven), bukan kawin kontrak. Di Jember, sekitar tahun
1995, Masjfuk Zuhdi juga mencatat informasi bahwa dijumpai seorang oknum
salahsatu instansi pemerintah yang sudah ditindak oleh atasannya karena
melakukan nikah mutah.

Term mutah menurut terminologi fikih munakahat (perkawinan)


ditemukan setidak-tidaknya tiga pengertian, yakni: (1) nikah mutah itu sendiri;
(2) pemberian suami kepada istrinya yang dicerai berupa uang atau harta benda
lainnya di luar pemberian nafkah selama iddah untuk menyenangkan mantan
istrinya itu karena adanya perpisahan/perceraian; dan (c) pemberian istri kepada
suami sejumlah uang atau harta benda lainnya menurut adat setempat yang sudah
membudaya. Adapun yang dimaksud dengan nikah mutah sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata mutah
(Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya
benda yang diberikan sebagai ganti rugi kepada isteri yang telah diceraikan.

Demikian juga kata kerja tamattaa dan istamtaa barasal dari akar kata yang
sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji tamattu
disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang
mengerjakannya.3 Adapun nikah mutah di kalangan para ahli fikih (fuqaha)
disebut juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu) atau nikah inqit/(kawin
terputus). Oleh karena lakilaki yang mengawini wanita itu untuk jangka tertentu:
sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan perjanjian. Disebut nikah mutah,
karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan wanita untuk
sementara waktu sampai batas yang ditentukan.

Sementara menurut Syiah Imamiyah, nikah mutah adalah apabila seorang


wanita menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam keadaan tidak ada hambatan
apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan
hukum Islam. Hambatan tersebut baik berupa nasab, periparan, persusuan, ikatan
perkawinan dengan orang lain, iddah atau sebab lain yang merupakan hambatan
yang ditetapkan dalam agama. Wanita yang bebas dari hambatan-hambatan
tersebut dapat menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan mahar tertentu
sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan dengan cara
akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syariat.
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita itu
mengucapkan, Engkau kukawinkan, atau Engkau kunikahkan,atau Engkau
kumutahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian, selama sekian hari (bulan atau
tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),. Kemudian
orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, Aku
terima.
13. Sorotan Hukum Positif Indonesia terhadap Nikah Mutah

Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-


undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:

1. Pancasila, terutama sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila II,
Kemanusiaan yang adil dan beradab;

2. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat


(1) dan (2);

3. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang


menyatakan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

4. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, Perkawinan menurut


Hukum Islam adalah pernikahan,

F. Metodologi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
a. Nama : MUI Provinsi Jawa Barat
Alamat : Jl. RE. Martadinata no.105 Bandung
No Telepon : (022)727286413
b. Nama : NU Provinsi Jawa Barat
Alamat : Jl. Galunggung No. 9 Bandung
No Telepon : 081220052845
c. Nama : NU Provinsi Jawa Barat
Alamat : Jl. Galunggung No. 9 Bandung
No Telepon : 081220052845
d. Nama : Muhammadiyah Provinsi Jawa Barat
Alamat : Jl. Sancang No. 6 Bandung
No Telepon : 082120024482
e. Nama : Persis Pusat
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan No. 2 Bandung
No Telepon : 022-4220702/ 022-422070

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif.pendekatan
kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang beroriantasi
pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka
sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa
dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan.

3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif . metode kualitatif adalah Metode
penelitian kualitatif merupakan sebuah metode yang menekankan pada aspek
pemahaman lebih mendalam terhadap suatu masalah dari pada melihat sebuah
permasalahan. Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian riset yang sifatnya
deskripsi, cenderung menggunakan analisis dan lebih menampakkan proses
maknanya.

4. Sumber Data
a. Nama : MUI Provinsi Jawa Barat
Alamat : Jl. RE. Martadinata no.105 Bandung
No Telepon : (022)727286413
b. Nama : NU Provinsi Jawa Barat
Alamat : Jl. Galunggung No. 9 Bandung
No Telepon : 081220052845
c. Nama : Muhammadiyah Provinsi Jawa Barat
Jabatan : Kepala Pengurus Muhammadiyah Jabar
Alamat : Jl. Sancang No. 6 Bandung
No Telepon : 082120024482
d. Nama : Persis Pusat
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan No. 2 Bandung
No Telepon : 022-4220702/ 022-422070
5. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi ini merupakan teknik pengumpulan data dan pencatatan
data yang dilakukan secara sistematik dimana para peneliti melakukan
pengamatan secara langsung kepada objek penelitian untuk d apat melihat
dari dekat tentang bagaimana dan apa yang sebenarnya kegiatan yang mereka
lakukan.
b. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
melalui tatap muka dan Tanya jawab langsung antara pengumpul data
maupun peneliti terhadap narasumbe ratau sumber data. Wawancara
dilakukan pada pelaku pernikahan usia muda dan dilakukan pula wawancara
pada pengurus Organisasi Islam yang ada di sekitar Bandung.
c. Angket
Angket/ kuisioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan kepada
orang lain yang dijadikan responden untuk dijawabnya. Angket bersifat
optional, digunakan angket untuk mengetahui respon masyarakat mengenai
fenomena pernikahan dini.
d. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk menambah informasi mengenai
pernikahan dini dan membandingkannya dengan hasil wawancara dan
observasi.
6. Teknik Analisis Data
Dalam melakukan teknik analisis data kualitatif penelitian yang
didapatkan dari berbagai sumber dan menggunakan teknik pengumpulan data
yang bermacam-macam dan juga dilakukan secara terus menerus. Maka, akan
mengakibatkan variasi data yang sangat tinggi. Data yang didapatkan pada
dasarnya adalah data kualitatif sehingga teknik analisis data yang dipakai
belum mempunyai pola yang jelas.
7. Langkah-Langkah Penelitian
a. Perencanaan : Mengidentifikasi dan merumuskan masalah
Melakukan studi pendahuluan
Merumuskan hipotesis
Mengidentifikasi variable dan definisi operasional variable
Menentukan dan mengembangkan instrument penelitian
Menentukan subjek penelitian
b. Pelaksanaan : Melaksanakan penelitian
Melakukan analisis data
Merumuskan hasil penelitian dan pembahasan
Menyusun laporan penelitian
c. Seminar dan Pelaporan Hasil Penelitian

G. Jadwal Pelaksanaan
September Oktober November
No. Kegiatan
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A. Perencanaan

1. Melakukan studi literatur


tentang Pernikahan Usia
Dini.
2. Pembuatan proposal dan surat
ijin observasi.
B. Pelaksanaan
3. Melakukan observasi
kegiatan wawancara pada
pelaku pernikahan dini.
4. Melakukan wawancara pada
pengurus Ormas Islam yang
ada di kota Bandung.
C. Analisis data dan pelaporan

5. Pengolahan dan Analisis Data


6. Pembuatan Laporan Obsrvasi
7. Pelaksanaan Seminar

H. Personalia
1. Ketua
Nama : Tesar Ahmad
NIM : 1503626
Tempat, tanggal lahir : Bandung, 13 Mei 1996

Alamat : Jln Sersan Bajuri Gang Cilimus No 34. RT/RW 01/04


Kel. Isola Kec. Sukasari Kota Bandung

Nomor Kontak : 089651224723


Email : ahmadtesar99@gmail.com
2. Anggota
a. Nama : Novi Syamsiah
NIM : 1507199
Tempat, tanggal lahir : Garut, 01 November 1997
Alamat : Jln Sersan Bajuri Gang Cilimus No 24B. RT/RW
01/04 Kel. Isola Kec. Sukasari Kota Bandung
Nomor Kontak : 085315818597
Email : syam.novi@yahoo.com
b. Nama : Hilda Hindasyah Agutsin
NIM : 1500989
Tempat, tanggal lahir : Tasikmalaya, 13 November 1997
Alamat : Jl. Cilimus No. 11, RT.07/RW.06, Kel. Isola, Kec.
Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat 40154 (022)
93773677
Nomor Kontak : 081316869398
Email : hildahindasyah96@gmail.com
c. Nama : Yogi Syamsudin
NIM : 1505313
Tempat, tanggal lahir : Majalengka, 16 Juni 1997
Alamat : Jl. Gegeraum No 112 RT.03/RW.01 Kel. Isola, Kec.
Sukasari, Kota Bandung
Nomor Kontak : 082117045123
Email : syamsudinyogi@gmail.com
d. Nama : Khaerunnisa
NIM : 15071756
Tempat, tanggal lahir : Bogor,
Alamat : Jl. Cilimus No. 11, RT.07/RW.06, Kel. Isola, Kec.
Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat 40154 (022)
93773677
Nomor Kontak : icha_khaerunnisa97@gmail.com
Email : 081321022513
I. Daftar Pustaka
Intruksi Presiden RI. No. 1 tahun 1991. Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam
(KHI).

Keputusan Menteri Agama. No. 154 tahun 1991. Tentang Pelaksanaan Intruksi
Presiden RI No. 1 tahun 1991.

Lili. Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia. Cet. 1.
Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 1991

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet. 15, Jakarta: Hidakarya
Agung, 1996.

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, cet.6, Bandung: Sumur


Bandung, 1974.

Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 tahun 1974 dari segi hukum
perkawinan Islam, PT. ICH.

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.
1 tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU No. 1, LN No. 1 tahun 1974,


TLN No. 3019.

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden RI, No. 1 tahun 1991

Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun


1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, LN NO. 12 tahun 1975, TLN No.
3050.

Indonesia. Penjelasan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan UndangUndang


No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 tahun 1975.

Bimo Wagito, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, ed. 1, cet.1, Yogyakarta: Andi
Offset, 2002.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan Dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah Dan Negara-Negara Islam. Cet.1. Jakarta: Bulan Bintang,
1988.

Departemen Agama RI. Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Jakarta: Departemen


Agama, 2001.

Anda mungkin juga menyukai