Anda di halaman 1dari 7

http://dokumen.tips/documents/tugas-pp.

html

9 Suhu
Semua enzim membutuhkan suhu yang cocok agar dapat bekerja dengan biak. Laju
reaksi biokimia meningkat seiring kenaikan suhu. Hal ini karena panas
meningkatkan energi kinetik dari molekul sehingga menyebabkan jumlah tabrakan
diantara molekul-molekul meningkat.

Sedangkan dalam kondisi suhu rendah, reaksi menjadi lambat karena hanya
terdapat sedikit kontak antara substrat dan enzim.

Namun, suhu yang ekstrim juga tidak baik untuk enzim. Di bawah pengaruh suhu
yang sangat tinggi, molekul enzim cenderung terdistorsi, sehingga laju reaksi pun
jadi menurun. Enzim yang terdenaturasi gagal melaksanakan fungsi normalnya.
Dalam tubuh manusia, suhu optimum di mana kebanyakan enzim menjadi sangat
aktif berada pada kisaran 35°C sampai 40°C. Ada juga beberapa enzim yang dapat
bekerja lebih baik pada suhu yang lebih rendah daripada ini.

 Nilai pH
Efisiensi suatu enzim sangat dipengaruhi oleh nilai pH atau derajat keasaman
sekitarnya. Ini karena muatan komponen asam amino enzim berubah bersama
dengan perubahan nilai pH. Secara umum, kebanyakan enzim tetap stabil dan
bekerja baik pada kisaran pH 6 dan 8. Tapi, ada beberapa enzim tertentu yang
bekerja dengan baik hanya di lingkungan asam atau basa.

Nilai pH yang menguntungkan bagi enzim tertentu sebenarnya tergantung pada


sistem biologis tempat enzim tersebut bekerja. Ketika nilai pH menjadi terlalu
tinggi atau terlalu rendah, maka struktur dasar enzim dapat mengalami perubahan.
Sehingga sisi aktif enzim tidak dapat mengikat substrat dengan benar, sehingga
aktivitas enzim menjadi sangat terpengaruhi. Bahkan enzim dapat sampai benar-
benar berhenti berfungsi.

8Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim.


Enzim mampu mempercepat reaksi kimia paling sedikit 1 juta kali
lebih cepat dari reaksi yang tidak dikatalisis. Dalam sintesis enzim,
parameter lingkungan sangat mempengaruhi. Aktivitas enzim
dipengaruhi oleh pH dari lingkungan tempat enzim bekerja,
konsentrasi enzim dan substrat, suhu, dan adanya aktivator atau
inhibitor enzim.

pH
Menurut Lehninger (1982), aktivitas katalitik enzim di dalam sel
mungkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium
lingkungan. pH lingkungan juga berpengaruh terhadap kecepatan
aktivitas enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi. Hal ini disebabkan
konsentrasi ion hidrogen mempengaruhi struktur 3 dimensi enzim dan
aktivitasnya. Setiap enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH
yang menyebabkan aktivitas maksimal. pH optimum enzim tidak perlu
sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin
sedikit di atas atau di bawah pH optimum. Pada pH optimum struktur
tiga dimensi enzim paling kondusif untuk mengikat substrat. Bila
konsentrasi ion hidrogen berubah dari konsentrasi optimal, aktivitas
enzim secara progresif hilang sampai akhirnya enzim menjadi tidak
fungsional.

Konsentrasi Enzim dan Substrat

Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung


pada konsentrasi enzim tersebut sebagai katalisator. Kecepatan
reaksi bertambah seiring dengan bertambahnya konsentrasi enzim
hingga batas tertentu. Aktivitas enzim dipengaruhi pula oleh
konsentrasi substrat. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan
konsentrasi enzim yang tetap, maka penambahan konsentrasi
substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan tetapi pada batas
konsentrasi tertentu, tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi
walaupun konsentrasi substrat diperbesar (Anna Poedjiadi, 2009).

Suhu

Suhu bepengaruh besar terhadap aktivitas enzim. Semua enzim


bekerja dalam rentang suhu tertentu pada tiap jenis organisme.
Secara umum, setiap peningkatan sebesar 10oC di atas suhu
minimum, aktivitas enzim akan meningkat sebanyak dua kali lipat
hingga mencapai kondisi optimum. Peningkatan suhu eksternal
secara umum akan meningkatkan kecepatan reaksi kimia enzim,
tetapi kenaikan suhu yang terlalu tinggi atau setelah melebihi suhu
optimumnya akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim yaitu
kerusakan struktur enzim, terutama kerusakan pada ikatan ion dan
ikatan hidrogennya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim tersebut.

Denaturasi enzim di atas suhu optimum akan menyebabkan


terjadinya kematian pada sel organisme, tetapi beberapa organisme
mampu bertahan hidup dan tetap aktif pada suhu yang sangat tinggi,
dimana organisme lain sudah tidak mampu hidup seperti bakteri dan
alga yang ditemukan pada sumber-sumber air panas di taman
Nasional Yellow Stone Amerika, suhu optimum untuk hidupnya
sebesar 70oC (Brock & Brock, 1978 dalam Dessy, 2008).

Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat


menaikkan kecepatan reaksi. Koefisien suhu suatu reaksi diartikan
sebagai kenaikan kecepatan reaksi sebagai akibat kenaikan suhu
10oC. Koefisien suhu ini diberi simbol Q10. Untuk reaksi yang
menggunakan enzim, Q10 ini berkisar antara 1,1 hingga 3,0 artinya
setiap kenaikan suhu 10oC, kecepatan reaksi mengalami kenaikan 1,1
hingga 3,0 kali. Kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses
denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Karena ada dua
pengaruh yang berlawanan, maka terjadi suatu titik optimum, yaitu
suhu yang paling tepat bagi suatu reaksi yang menggunakan enzim
tertentu (Anna Poedjiadi, 2009).

Aktivator dan Inhibitor

Aktivitas enzim diperbesar dengan adanya aktivator yang


mengaktifkan enzim. Aktivator dapat berupa logam atau non logam
yang merupakan zat-zat non spesifik yang menguatkan proses
enzimatis. Umumnya aktivator merupakan bahan tahan panas dan
berberat molekul relatif rendah. Inhibitor merupakan faktor
penghambat kerja enzim. Inhibitor kompetitif bersaing dengan
substrat dalam berikatan dengan enzim, sehingga menghalangi
substrat terikat pada sisi aktif enzim. Inhibitor nonkompetitif berikatan
pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah
konformasi molekul enzim, sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat
balik sisi katalitik (Lehninger, 1982).

9 Katalis adalah zat yang mempengaruhi laju reaksi yang pada umumnya
jumlahnya tidak diubah oleh reaksi keseluruhan. Komposisi kimia katalis tidak
berubah pada akhir reaksi. Katalis diperlukan dalam jumlah sedikit untuk
suatu reaksi, tidak mempengaruhi harga tetapan kesetimbangan, tidak
memulai suatu reaksi tetapi hanya mempengaruhi laju reaksi, dan bekerjanya
spesifik.

Katalis yang meningkatkan laju reaksi disebut katalis positif sedang katalis
yang menurunkan laju reaksi disebut katalis negatif. Katalis bekerja dengan
optimum pada temperatur tertentu dan dapat diracuni oleh zat tertentu dalam
jumlah yang sedikit yang disebut racun katalis.

Kehadiran katalis dalam suatu reaksi dapat memberkan ekanisme alternatif


untuk menghasilkan hasil reaksi dengan energi yang lebih rendah
dibandingkan dengan reaksi yang tanpa katalis. Energi pengaktifan yang lebih
rendah menunjukkan bahwa jumlah bagian dari molekul-molekul yang
memiliki energi kinetik cukup untuk bereaksi jumlahnya lebih banyak. Jadi
kehadiran katalis adalah meningkatkan adanya tumbukan yang efektif, yang
berarti juga memperbesar laju reaksi. (Supardi, 2008)
10.

Michaelis dan Menten berkesimpulan bahwa kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi
kompleks enzim-substrat (ES), sebab apabila tergantung pada konsentrasi substrat (s), maka
penambahan kecepatan reaksi apabila digambarkan akan merupakan garis lurus. Sehingga
reaksi dengan enzim ditulis sebagai berikut:

K1 = tetapan kecepatan reaksi pembentukan kompleks ES


K2 = tetapan (konstanta) kecepatan reaksi pembentukan kembali E dan S
K3 = tetapan (konstanta) kecepatan reaksi penguraian kompleks ES menjadi enzim dan hasil
reaksi
11. Inhibitor kompetitif menghambat kerja enzim dengan menempati
sisi aktif enzim sehingga substrat tidak dapat masuk. Inhibitor ini
bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim.
Penghambatan ini bersifat reversibel (dapat kembali seperti semula)
dan dapat dihilangkan dengan menambah konsentrasi substrat.

Contoh inhibitor kompetitif ialah malonat dan oksalosuksinat, yang


bersaing dengan substrat suksinat untuk berikatan dengan enzim
suksinat dehidroginase.

Inhibitor nonkompetitif

Inhibitor nonkompetitif biasanya berupa senyawa kimia yang tidak


mirip dengan substrat dan berikatan pada sisi selain sisi aktif enzim.
Ikatan ini menyebabkan perubahan bentuk enzim sehingga sisi aktif
enzim tidak sesuai lagi dengan substratnya. Contohnya, antibiotic
penisilin menghambat kerja enzim penyusun dinding sel bakteri.
Inhibitor ini bersifat reversibel, tetapi tidak dapat dihilangkan dengan
menambahkan konsentrasi substrat. 12. Sifat-sifat enzim alosterik berbeda
nyata dari enzim-enzim bukan pengatur (biasa). Perbedaannya antara lain:

- Pertama, seperti semua enzim, enzim alosterik memiliki sisi katalitik yang
berikatan dengan substrat dan mengubahnya, tetapi enzim ini juga memiliki
satu atau lebih sisi pengatur atau alosterik untuk mengikat metabolit pengatur,
yang disebut modulator (pengatur) atau efektor. Sama seperti sisi katalitik
enzim yang bersifat spesifik bagi substiarnya, sisi alosterik bersifat spesifik
bagi modulator (pengatur)-nya.
- Kedua, molekul enzim alosterik umumnya lebih besar dan lebih kompleks
dibandingkan dengan molekul enzim biasa. Kebanyakan enzim-enzim alosterik
memiliki dua atau lebih rantai atau subunit polipeptida.
- Ketiga, enzim alosterik biasanya memperlihatkan penyimpangan yang nyata
dari tingkah laku klasik Michaelis-Menten. Hal ini salah satu ciri yang pertama-
tama membedakannya dari enzim-enzim biasa.

13. pengendalian aktivitas enzim

Dalam sel tubuh, supaya kerja enzim tidak tumpang tindih maka diperlukan pengaturan kerja enzim.
Pengaturan ini dilakukan dengan tujuan menjamin supaya enzim hanya berkerja ketika dibutuhkan.
Ada empat mekanisme pengendalian aktivitas enzim, yaitu pengaturan alosterik, modifikasi kovalen,
proteolisis terbatas, pengaturan pembentukan dan turnover enzim.

Pengaturan alosterik
Suatu enzim alosterik ialah enzim yang aktivitasnya diatur oleh senyawa yang berikatan secara
reversible pada bagian yang bukan sisi aktif enzim. Karena berikatan pada permukaan yang bukan
sisi aktif, struktur senyawa tidak harus mirip dengan substrat.

Anda mungkin juga menyukai