Anda di halaman 1dari 8

1.

LATAR BELAKANG
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan
pengendalian impor produk perikanan. Kebijakan ini diambil karena banyak sekali
produk perikanan yang diimpor padahal ketersediaan di dalam negeri berlimpah.
Impor produk perikanan boleh dilakukan saat ketersediaan produksi
ikan/hasil perikanan yang sejenis tidak mencukupi, baik untuk keperluan industri
pengalengan, industri pengolahan untuk ekspor, maupun industri tradisional
seperti pemindangan.
Kinerja ekspor perdagangan hasil perikanan Januari-Agustus 2015
sebesar 679,14 ribu ton atau sudah mencapai 53% dari ekspor tahun 2014
sebesar 1.274 ribu ton. Sementara kinerja impor Januari-Agustus 2015 204,8%
atau sudah mencapai 66,4% dari impor tahun 2014 sebesar 307,12%.
Gonjang-ganjing persoalan impor ikan kembali mencuat. Hal ini
menunjukkan tidak ada peta jalan yang jelas dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan untuk membangun sektor perikanan dan kelautan, terutama perikanan
tangkap. Kebijakan ini semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah tak
mengutamakan pengentasan nelayan miskin.
Menurut Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB, jumlah nelayan miskin mencapai 60 persen dari total 4 juta rumah
tangga perikanan. Jumlah ini dapat meningkat seiring dengan kenaikan harga
solar dan tarif dasar listrik yang berdampak signifikan pada biaya operasional
nelayan.
Walau dijelaskan bahwa impor untuk menopang industri hilir perikanan,
terutama pengolahan perikanan pindang, asin, dan asap yang memegang kendali
dan menikmati proses impor adalah pengusaha besar, bukan pengusaha usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pada kenyataannya ikan impor sering
membanjiri pasar lokal.
Hal ini berdampak hilangnya pekerjaan nelayan kecil yang terdiri dari
nelayan penangkap,pengumpul,dan pengecer.Inilah yang dapat menambah
angka kemiskinan nelayan. Kalau ditelaah lebih jauh, kebutuhan impor ikan
muncul karena ada persoalan keterbatasan bahan baku industri pengolahan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2011, jumlah total
unit pengolahan mencapai 60.117 unit. Pada 1.824 unit pengolahan ikan, proses
produksinya sangat bergantung pada musim penangkapan.
ATURAN TERKAIT

Peraturan Menteri Perdagangan No 87/2015 tentang Ketentuan Impor


Produk Tertentu yang di dalamnya juga mencakup ketentuan impor sejumlah
produk perikanan. Dengan Permendag tersebut, sejumlah komoditas perikanan
yang bisa diimpor antara lain ikan tuna, cakalang dalam keadaan kedap udara,
dan teri dalam keadaan kedap udara.

Impor dapat dilakukan bila terjadi kekurangan. Masalahnya, Menteri Susi


mengaku belum dikonsultasikan mengenai hal tersebut. Menteri Kelautan dan
Perikanan menginginkan agar berbagai pihak jangan lagi mengutamakan
paradigma impor.

Sebelumnya, sejumlah asosiasi dari industri dalam negeri meminta


pemerintah untuk segera membatalkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
87/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu karena dinilai
mengancam industri nasional dan menurunkan daya saing produk dalam negeri.

Permendag 87/2015 yang dikeluarkan 15 Oktober 2015 sama sekali tidak


pro industri dalam negeri," kata Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan
Asosiasi Kosmetika Indonesia. Pada Permendag 87/2015 tersebut, produk
tertentu meliputi produk makanan dan minuman, obat tradisional dan suplemen
kesehatan, kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga, pakaian jadi dan
barang tekstil sudah jadi lainnya, alas kaki, elektronik dan mainan anak.

2. ATURAN PENTING DALAM PENYIAPAN BAHAN BAKU


Seperti kita pahami bahwa setiap negara didunia tak akan lepas dari
kegiatan ekspor impor. Dalam hal ini kegiatan ekspor impor tersebut didasari oleh
karakteristik sumber daya negara masing-masing. Di setiap negara tentunya
memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan inilah yang nantinya sebagai
penentu terjadinya kegiatan ekspor impor dengan tujuan saling melengkapi atau
memenuhi kebutuhan negara masing-masing.
Jadi secara tidak langsung kegiatan ekspor impor memiliki andil yang
sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi setiap negara. Ekspor
impor juga termasuk dalam indikator ekonomi Indonesia yang mana Indonesia
merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Tidak heran jika Indonesia
selalu aktive terlibat dalam kancah perdagangan internasional baik itu ekspor
maupun impor.

Terobosan Pemerintah Indonesia Terkait Perizinan Kegiatan Ekspor


Impor Untuk melancarkan dan meningkatkan perdagangan internasional
pemerintah Indonesia banyak melakukan terobosan baru terkait perizinan serta
aturan-aturan yang selama ini dianggap memiliki birokrasi yang panjang sehingga
menghambat lajunya kegiatan ekspor impor.

Derasnya arus masuk barang dan keluar barang ke suatu negara sangat
erat kaitannya dengan aturan-aturan yang diberlakukan di negara tersebut.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Perdagangan memangkas
peraturan dan menyederhanakan perizinan dengan tujuan agar kegiatan ekspor
impor bisa berjalan lancar dan mampu berkompetisi dengan negara lain termasuk
negara yang sudah maju.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 123 Tahun 2015,


Kemendag memanfaatkan kemajuan teknologi digital yaitu dengan meresmikan
peluncuran perizinan secara online dengan menggunakan tanda tangan digital
melalui situs Inatrade dalam kerangka Indonesia National Single Window (INSW).
Dengan tagline Cepat, Praktis, Tinggal Klik, layanan baru ini
mempermudah para pelaku usaha dalam pengurusan izin di Kemendag. Inovasi
perizinan ini dikembangkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan perizinan
dibidang perdagangan kepada para pelaku usaha sehingga prosesnya menjadi
lebih baik, tertib, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan (good
governance). Dengan demikian dunia usaha akan lebih berdaya saing dan dapat
tumbuh dan berkembang dalam iklim yang semakin adil, sehat dengan tetap
menjaga etika bisnis dan tentu saja tetap taat pada aturan. Kendatipun telah
diberlakukan sistem online, kepada pemohon yang ingin bertanya prosedur
permohonan perizinan ekspor impor, Kemendag tetap menyediakan fasilitas
konsultasi dibeberapa lokasi, diantaranya di Kantor Pusat Kemendag Jakarta dan
Gedung Direktorat Metrologi Bandung.
Prosedur Ekspor Impor Kegiatan ekspor impor, yang tertulis dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan diatur dalam dua
peraturan teknis, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 13/2012
tentang Ketentuan Umum Ekspor dan Permendag No 48/2015 tentang Ketentuan
Umum Impor. Selajutnya prosedur dan persyaratan ekspor impor diatur dalam
Permendag untuk masing-masing komoditas.

Pelaku usaha diwajibkan untuk memiliki pengetahuan yang cukup


mengenai prosedur ekspor impor, termasuk mengenai peraturan yang selalu
diperbaharui. Aturan yang wajib diperhatikan, terutama peraturan yang
berhubungan dengan perdagangan internasional, kepabeanan, shipping maupun
perbankan, yang semuanya ini saling berkaitan dan sering terjadi permasalahan
dilapangan. Kurangnya pemahaman atau pengetahuan yang cukup mengenai
prosedur ekspor impor bisa menghambat kegiatan ekspor impor Anda.

Dalam kegiatan ekspor impor, ada tiga poin penting yang perlu
diperhatikan secara garis besar yaitu: Dokumen yang menyangkut legalitas
perusahaan, Tingkat pemahaman terhadap regulasi di setiap
Kementerian/Lembaga pemerintah terkait dengan komoditas dagang serta yang
terakhir adalah Perizinan.

IMPOR PERIKANAN INDONESIA

Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean


Indonesia. Importir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan, yang melakukan impor.
Kegiatan usaha perdagangan impor hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
berbadan hukum dan telah memiliki API sebagai syarat utama.

a) API (Angka Pengenal Impor) adalah tanda pengenal sebagai Importir.


Pengajuan permohonan API dapat dilakukan secara online di situs
: http://inatrade.kemendag.go.id, bisa melalui jasa pengiriman, atau bisa
disampaikan secara langsung kepada BKPM, atau Kepala instasi Penyelenggara
Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang Penanaman Modal dilokasi perusahaan
berdomisili. Jenis API:
 API-U (Angka Pengenal Importir Umum). Perusahaan pemilik API/U dapat
mengimpor semua jenis barang kecuali barang yang diatur tata niaga
impornya dan dilarang impornya.
 API-P (Angka Pengenal Importir Produsen). Sedangkan API/P hanya dapat
mengimpor barang modal dan bahan baku/penolong untuk keperluan
proses produksinya sendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Salah
satu persyaratannya memiliki pabrik.
b) Pajak Impor
Perdagangan international yang semakin berkembang membuat arus
keluar masuknya barang semakin pesat. Tak hanya perusahaan yang melakukan
ekspor impor, orang pribadipun kini banyak melakukan kegiatan ekspor maupun
impor. Oleh karena itu, pastilah banyak yang ingin mengetahui dasar
penghitungan pajak dan berapakah nilai pajak yang akan dikenakan terhadap
barang yang akan diimpor. Pajak impor biasa dikenal dengan BM (Bea Masuk) &
PDRI (Pajak dalam rangka Impor), dihitung berdasarkan Nilai Pabean (Nilai
Transaksi).

Secara garis besar perhitungan pajak impor kira-kira sebagai berikut: Bea
Masuk ditentukan oleh HS code yang dicantumkan dalam dokumen, secara umum
antara 5% – 15%. Sedangkan PDRI (PPN, PPnBm,Pph) sebagai berikut: PPN =
10% , PPnBm (Pajak barang mewah) = % berdasarkan ketentuan yang tercantum
dalam customs tarif book, Pph = 2.5% bagi yang memiliki API, 7.5% tidak memiliki
API tapi melampirkan NPWP, dan 15% jika importir tidak memiliki API dan NPWP.

c) Jenis barang bebas impor, barang larangan dan pembatasan di


Indonesia
Hal penting yang perlu diketahui importir adalah barang yang diimpor harus
dalam keadaan baru (tidak bekas). Namun dalam hal tertentu, Menteri dapat
menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru berdasarkan
perundang-undangan, kewenangan Menteri dan atau usulan atau pertimbangan
teknis dari instansi pemerintah lainnya. Barang impor dikelompokkan menjadi 3
yaitu: Barang Bebas Impor, Barang dibatasi impor dan Barang dilarang impor.
Untuk barang dibatasi impor, harus melalui mekanisme perizinan impor yang
sudah diatur oleh undang-undang.

d) Pelanggaran impor
Sama halnya dengan eksportir, importir yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan di atas maka akan dikenakan sanksi antara lain pencabutan
izin API, pengembalian barang impor ke negara asal, atau memasukkan barang
impor sebagai katagori barang tak bertuan yang nantinya menunggu jadwal
penghancuran dengan batas waktu ditentukan sesuai dengan aturan dari bea
cukai.

e) Shipping Dokumen untuk proses customs clearance

Pada umumnya proses pengeluaran barang di bea cukai (customs


clearance) untuk ekspor atau impor hampir sama. Namun ini tidak lepas dari
aturan masing-masing negara untuk jenis komoditas tertentu. Pada umumnya
dokumen yang diperlukan adalah sebagai berikut: Bill of Lading (untuk pengiriman
laut), Airway bill (untuk pengiriman melalui udara), invoice/packing list, COO
(Certificate of Origin), Insurance certificate (optional), Fumigation Certificate
(sertifikat fumigasi khusus tujuan Australia), PIB (untuk impor), PEB (untuk
Ekspor), dan dokumen lain tergantung komoditas dan aturan negara masing-
masing. Misalnya untuk Indonesia, mengimpor makanan/obat-obatan dibutuhkan
surat Registrasi dan referensi dari BPOM, dan lain-lain.

Seperti yang telah disampaikan diatas, pelaku usaha wajib paham terhadap aturan
yang berlaku sebelum melakukan kegiatan ekspor impor untuk menghindari
masalah dan kerugian dipihak pengusaha nantinya.
3. SOLUSI TERKAIT DENGAN KEAMANAN PANGAN DAN BENEFIT BAGI
UNIT PENGOLAHAN.
Terkait kebutuhan bahan baku ini ada dua pendekatan dari tiga
kemungkinan yang bisa dikaji pemerintah. Pendekatan pertama adalah
pendekatan berbasis unit pengolahan ikan. Menurut pengertian ini, kebutuhan
bahan baku adalah bagian jumlah produksi yang aktif selama sehari (production
line), jumlah ulangan produksi dalam satu operasi pengolahan (batch), kapasitas
bahan baku, dan frekuensi tahunan dari unit pengolahan. Selanjutnya adalah
evaluasi terhadap UMKM.
Untuk kelompok pindang, tingkat kebutuhan bahan baku per tahun hanya
mencapai 0,7 juta ton, ikan asin 2,4 juta ton per tahun, ikan asap 0,7 juta ton, dan
kelompok UMKM lainnya mencapai 0,5 juta ton per tahun. Secara keseluruhan,
kebutuhan bahan baku hanya 4,3 juta ton per tahun. Kelompok UMKM yang
dimaksud di sini adalah usaha pengolahan dengan kapasitas produksi mencapai
3 ton per hari.
Pendekatan kedua adalah dari kepemilikan aset dan omzet. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha yang memiliki aset
Rp 50 juta-Rp 10 miliar dan omzet dari Rp 300 juta sampai Rp 50 miliar per tahun.
Dari pendekatan ini sebenarnya tingkat kebutuhan bahan baku dapat dievaluasi
dari jumlah penjualan dalam satu tahun, harga produk olahan ikan, dan tingkat
rendemen dari setiap jenis ikan olahan dalam suatu unit pengolahan. Dengan
pendekatan tingkat rendemen rata-rata pindang 75 persen, asin 62,5 persen (KKP,
2011), dan asap 33 persen (Hidayati, 2006), total kebutuhan bahan baku mencapai
5,8 juta ton per tahun.
Akan tetapi, jika kelompok usaha pengolahan dengan omzet di atas Rp 5
miliar masuk industri besar, kebutuhan bahan baku untuk
usahamikrokecilhanya3,1jutaton.Jika dibandingkan dengan data potensi
perikanan pelagis yang kita miliki, yaitu ikan pelagis besar 1,14 juta ton per tahun
dan pelagis kecil 3,64 juta ton per tahun, kebutuhan industri pengolahan saat ini
masih tercukupi dari stok yang ada. Dengan skenario terbesar bahwa setiap unit
pengolahan berproduksi selama setahun, kebutuhan 4,3 juta ton dapat tercukupi
oleh ikan pelagis besar dan kecil serta masih ada surplus sekitar 0,48 juta ton per
tahun.
Namun, jumlah kebutuhan bahan baku ini akan membengkak jika industri
besar (dengan omzet Rp 5 miliar) diperhitungkan. Kita akan mengalami defisit stok
1,1 juta ton dari stok ikan pelagis karena kebutuhan bahan baku industry olahan
dengan omzet diatas Rp 5 miliar akan mencapai1,1 juta ton per tahun.

Strategi ke depan
Agar tak mengimpor ikan, setidaknya ada dua langkah strategis yang
dapat dilakukan. Pertama, mengendalikan praktik penangkapan liar (illegal fishing)
di Laut Natuna dan Laut Arafura. Jika diperkirakan kebocoran stok kita akibat
penangkapan liar mencapai 1,6 juta ton per tahun, jumlah ini setara dengan
potensi ikan pelagis di tiga wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Natuna, Arafura,
dan Selat Makassar, yang mencapai 1,695 juta ton.
Dengan demikian, kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi dari stok di
wilayah ini. Kedua, melalui modernisasi dan rasionalisasi usaha penangkapan dan
pengolahan. Kegiatan penangkapan dan pengolahan harus dikembangkan sesuai
daya dukung perikanan dan daya dukung produksi. Melalui kedua langkah di atas,
pengelolaan produksi perikanan dapat berlangsung tanpa impor ikan dan
menyejahterakannelayan.

Anda mungkin juga menyukai