Anda di halaman 1dari 3

https://tirto.

id/

Ki Bagus Hadikusumo, Pendukung Keras Piagam


Jakarta
https://tirto.id/ki-bagus-hadikusumo-pendukung-keras-piagam-jakarta-cq7q

Ki Bagus Hadikusumo. tirto.id/Sabit

20 Juni 2017

Dibaca Normal 1 menit

Tokoh sepuh Muhammadiyah ini bersikeras agar Piagam Jakarta tetap menjadi batang tubuh dalam Undang-Undang
Dasar 1945.

tirto.id - Bulan ketiga pendudukan di Indonesia, balatentara Jepang makin menunjukkan watak fasismenya. Selain
mengharuskan rakyat Indonesia melakukan senam pagi (taiso) dan menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo, warga
muslim sangat risih membungkukkan badan ke arah matahari terbit (seikirei).

Dalam buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2012), pihak Muhammadiyah mencatat:
“... rakyat Indonesia melakukan protes atas aturan tersebut. Bagi Muhammadiyah, umat Islam tidak dibenarkan
mengadakan penghormatan yang demikian itu walau kepada raja sekalipun.”

Dan salah satu penentangnya adalah Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1944-1953).

“Dalam menjalankan tugasnya memimpin Muhammadiyah, ia didampingi oleh Haji Ahmad Badawi,” tulis Nasruddin
Anshory dalam Matahari Pembaruan: rekam jejak K.H. Ahmad Dahlan (2010). Ki Bagus menggantikan Haji Mas
Mansur yang menjadi salah satu pimpinan Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) di Jakarta.

Sebagai salah satu orang terkemuka di Jawa, pada Februari 1945, Ki Bagus pernah diundang ke Jepang bertemu
Kaisar Hirohito alias Tenno Heika. Belakangan, Ki Bagus menjadi anggota dari Badan Penyelidikan Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang bertugas merumuskan Undang-undang Dasar. Ia mewakili golongan Islam bersama dr.
Sukiman Wirjosanjoyo. Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Ahmad Soebardjo,
dan Haji Agus Salim.
https://tirto.id/
https://tirto.id/

Di antara kalangan muslim dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo ialah orang paling bersemangat yang menginginkan
kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tercantum dalam
pembukaan Undang-undang Dasar.

Sesudah kesepakatan Piagam Jakarta, Ki Bagus (tidak termasuk sebagai anggota Panitia Sembilan) mengusulkan frasa
“bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dan hanya menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Usul ini ditolak Sukarno.

Pendirian Ki Bagus, tokoh sepuh kelahiran 1890 di Yogyakarta, ditanggapi oleh Sukarno dengan rasa canggung.
Karena itu, Sukarno menunjuk Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk bicara dengan Ki Bagus sehari setelah Proklamasi
dan sebelum berlangsung sidang PPKI.

Dalam pembicaraan itu, “Hasan memberikan tekanan pada pentingnya kesatuan nasional. Adalah sangat mutlak
untuk tidak memaksa minoritas-minoritas Kristen penting (Batak, Manado, Ambon) masuk ke dalam lingkaran
Belanda yang sedang berusaha kembali datang (menjajah Indonesia),” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi
Pemoeda (1989).

Tak lama setelah Kasman Singodimedjo tiba ke Pejambon, yang dipanggil juga oleh Sukarno, Hatta dan beberapa
tokoh Islam melakukan pembicaraan terbatas. Tujuannya agar Ki Bagus mengubah pendirian dan menyepakati
usulan bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta diganti demi mengakomodasi penduduk Indonesia nonmuslim.

Menurut politikus Muhammadiyah A.M. Fatwa, penerimaan Ki Bagus atas usulan para koleganya telah
“memperlihatkan kebesaran hati demi kesatuan dan persatuan bangsa,” demikian Nur Hidayat Sardini dalam 60
Tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016).

Ketika Agresi Militer I tahun 1947, Ki Bagus turut mendirikan Angkatan Perang Sabil, menghimpun kalangan santri di
Yogyakarta, untuk melawan tentara Belanda yang ingin kembali menduduki Jawa dan Sumatara. Ki Bagus meninggal
pada 4 November 1954.

Baca juga artikel terkait PIAGAM JAKARTA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi

(tirto.id - Humaniora)

Reporter: Petrik Matanasi


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam

Anda mungkin juga menyukai