Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN RESUME KASUS 2

HALUSINASI

NUR RIZA MAULIDINA


220112130052

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
PROFESI KEPERAWATAN JIWA ANGKATAN XXVI
BANDUNG
2013
Kasus II
Pasien A, laki-laki, berumur 30 tahun, status belum menikah, dirawat di ruang akut Rumah
Sakit Jiwa. Saat dikaji perawat, pasien diisolasi di ruang khusus. Pasien tampak tidak rapi,
rambut acak-acakan, kuku hitam. Pasien juga tampak jalan mondar- mandir, gelisah, bicara
ngawur, tertawa sendiri, kontak mata kurang. Klien mengatakan “ Suster saya mendengar
suara – suara yang menyuruh bunuh diri”, “Pasien sering mengatakan “Saya tidak berguna ,
tidak berarti lagi, pacar saya meninggalkan saya karena saya miskin”. Lebih lanjut lagi pasien
mengatakan bahwa sahabatnya mengguna-guna pacarnya dan merebut semua kekayaan
dirinya. Menurut perawat ruangan, dua hari yang lalu pasien dibawa keluarga ke RSJ karena
sudah 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak mau keluar dari kamar dan tidak
mau melakukan aktifitas seperti biasanya, dan sering bicara sendiri. Menurut keluarga, tahun
2002 pasien di PHK, setahun kemudian tunangannya menikah dengan sahabatnya, dan
ibunya meninggal karena sakit jantung. Sejak saat itu pasien sering menyendiri, mudah
tersinggung. Kalau marah, pasien sering melampiaskannya dengan melukai dirinya sendiri,
seperti membenturkan kepala. Tahun 2005, pasien juga pernah dirawat di RSJ.

A. Masalah Utama
Perubahan Persepsi Sensori: halusinasi
B. Proses terjadinya
a. Pengertian
Menurut Cook and Fontain (1987) perubahan persepsi sensori: halusinasi adalah salah
satu gejala gangguan jiwa dimana klien mangalami perubahan persepsi sensori, seperti
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar. Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia. Dari seluruh
klien Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Berbeda dengan ilusi
dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada
halusinasi terjadi tanpa adanya timulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal
dipersepsikan sebagai sesutu yang nyata ada oleh klien.
Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar.
Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu
tersebut penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien
berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan
tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).
b. Tanda dan gejala
- Mempunyai ide untuk bunuh diri
- Mengungkapkan keinginan untuk mati
- Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
- Impulsif
- Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
- Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
- Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat
mematikan)
- Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)
- Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis, dan menyalahgunakan alkohol)
- Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal)
- Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karir)
- Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun
- Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)
- Pekerjaan
- Konflik interpersonal
- Latar belakang keluarga
- Orientasi seksual
- Sumber-sumber personal
- Sumber-sumber sosial
- Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil
c. Rentan respon
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiology. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika
klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran,
penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak
ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal
mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya
yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya
terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.
d. Respon Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah dan
bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan
Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur bio-psiko-sosio-
spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
 Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal yang
diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
 Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
 Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
 Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau
orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien yang mengalami
halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan
agar klien tidak menyendiri.
 Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami
halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya
serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
e. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiologi
seperti halusinasi antara lain:
1) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan,
sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stress berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytranferase (DMP).
4) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
5) Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh dalam penyakit ini.
(Fitria, 2011)
f. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Adanya
rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam kelompok terlalu lama
tidak diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan, dan juga suasana sepia tau
terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan
halusinogenik. (Fitria, 2011)
Faktor – faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
 Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
 Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme gatering
abnormal)
 Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku.
g. Sumber koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber
koping yang ada di lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang efektif. (Fitria, 2011)
h. Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain
yang digunakan untuk melindungi diri.
i. Tahapan halusinasi klien
 Stage 1: Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi). Klien
merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang
lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai
stressor terakumulasi. Misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih,
masalah di kampus, PHK di tempat kerja, penyakit, utang, nilai di kampus, drop
out dsb. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support system
kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-
menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal
tersebut sebagai pemecahan masalah.
 Stage II: Comforting Moderator Level of Anxiety (Halusinasi secara umum ia
terima sebagai suatu yang alami). Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti
adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur,
dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya.
 Stage III: Condemming severe Level of Anxiety (Secara umum halusinasi sering
mendatangi klien). Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan
mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai
berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsika klien mulai
menarik diri dari orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
 Stage IV: Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori menjadi tidak relevan
dengan kenyataan). Klien mencoba melawan suara-suara atau sensory abnormal
yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari
sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
 Stage V: Conquering Panic level of anxiety (Klien mengalami gangguan dalam
menilai lingkunganya). Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa
terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti
ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat
berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan
komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat (Stuart and Laraia, 2005
dalam Yosep, 2010).
j. Jenis Halusinasi
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar  Bicara atau tertawa  Mendengar suara-
(Klien mendengar sendiri. suara atau
suara/bunyi yang tidak  Marah-marah tanpa kegaduhan.
ada hubungannya dengan sebab.  Mendengar suara
stimulus yang  Mendekatkan telinga yang mengajak
nyata/lingkungan). ke arah tertentu. bercakap-cakap.
 Menutup telinga.  Mendengar suara
menyuruh melakukan
sesuatu yang
berbahaya.
Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk ke Melihat bayangan,
(Klien melihat gambaran arah tertentu. sinar, bentuk geometris,
yang jelas/samar  Ketakutan pada situasi kartun, melihat hantu,
terhadap adanya stimulus yang tidak jelas. atau monster.
yang nyata dari
lingkungan dan orang
lain tidak melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus Membauai bau-bauan
(Klien mencium bau seperti sedang seperti bau darah, urin,
yang muncul dari sumber membaui bau-bauan feses, dan terkadang
tertentu tanpa stimulus tertentu. bau-bau tersebut
yang nyata).  Menutup hidung. menyenangkan bagi
klien.
Halusinasi Pengecapan  Sering meludah. Merasakan rasa seperti
(Klien merasakan sesuatu  Muntah. darah, urin, atau feses.
yang tidak nyata,
biasanya merasakan rasa
yang tidak enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada
(Klien merasakan sesuatu permukaan kulit. serangga di
pada kulitnya tanpa ada permukaan kulit.
stimulus yang nyata)  Merasa seperti
tersengat listrik.
Halusinasi Kinestetik  Memegang kakinya Mengatakan badannya
(Klien merasa badannya yang dianggapnya melayang di udara.
bergerak dalam suatu
ruangan/anggota bergerak sendiri.
badannya bergerak)
Halusinasi Viseral  Memegang badannya Mengatakan perutnya
(Perasaan tertentu timbul yang dianggap menjadi mengecil
dalam tubuhnya) berubah bentuk dan setelah minum
tidak normal seperti softdrink.
biasanya.

C. Pohon Diagnosis

Resiko Perilaku Kekerasan, Resiko


Akibat Bunuh Diri, Defisit Perawatan Diri

Perubahan Persepsi Sensori:


Masalah Utama Halusinasi

Penyebab Isolasi Sosial

HDRK
D. Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
E. Data yang perlu dikaji
Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji
Defisit Perawatan Diri Data Objektif:
 Pasien tampak tidak rapi, rambut acak-
acakan, kuku hitam
Resiko Bunuh Diri Data Subjektif:
 Pasien mengatakan “suster saya
mendengar suara-suara yang menyuruh
bunuh diri”
Resiko Perilaku Kekerasan Data Objektif:
 Kalau marah pasien suka
melampiaskannya dengan melukai
dirinya sendiri, seperti membenturkan
kepala.
 Pasien mudah tersinggung.
Perubahan persepsi sensori: Objektif:
halusinasi  Pasien mengatakan “suster saya
mendengar suara-suara yang menyuruh
bunuh diri”
 Sejak 2 minggu SMRS pasien sering
bicara sendiri
Isolasi Sosial Objektif:
 Sejak 2 minggu SMRS pasien tidak
mau keluar dari kamar dan tidak mau
aktivitas seperti biasanya.
Subjektif:
 Menurut keluarga, sejak pasien di PHK
pasien sering menyendiri.
Harga Diri Rendah Kronis Objektif:
 Sejak 2 minggu SMRS pasien tidak
mau keluar dari kamar dan tidak mau
aktivitas seperti biasanya.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Klien : Pasien A Ruangan :…………….
No. CM :……………. Dx Medis : Halusinasi
Tgl No.Dx Dx Perencanaan
Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Perubahan Tujuan: klien dapat 1. Setelah …x interaksi 1. Bina hubungan saling percaya 1. Kepercayaan dari
persepsi mengontrol klien menunjukkan dengan menggunakan prinsip klien merupakan
sensori: halusinasinya yang tanda-tanda percaya komunikasi terapeutik: hal yang mutlak
Halusinasi dialaminya kepada perawat:  Sapa klien dengan ramah baik serta akan
(lihat,  Ekspresi wajah verbal maupun non verbal memudahkan
dengar, raba, SP 1: klien dapat bersahabat  Perkenalkan nama, nama dalam pendekatan
penghidu, membina  Menunjukan rasa senang panggilan dan tujuan dan tindakan
kecap) hubungan saling  Ada kontak mata perawatan berkenalan keperawatan yang
percaya  Mau berjabat tangan  Tanyakan nama lengkap dan akan dilakukan
 Mau menyebutkan nama nama panggilan yang disukai kepada klien.
 Mau menjawab salam klien
 Mau duduk  Buat kontrak yang jelas
berdampingan dengan  Tunjukan sikap jujur dan
perawat menepati janji setiap kali
 Bersedia berinteraksi
mengungkapkan  Tujukan sikap empati dan
masalah yang dihadapi menerima apa adanya.
 Beri perhatian pada klien dan
masalah yangn dihadapi klien
 Dengarkan dengan penuh
perhatian ekspresi perasaan
klien

2.1 Adakan kontak sering dan


singkat secara bertahap
2. Setelah …x interaksi
klien menyebutkan:
2.1 kepercayaan klien
 Isi pada perawat dapat
 Waktu 2.2 Observasi tingkah laku klien diperoleh dari kontak
 Frekuensi terkait dengan halusinasinya, jika yang sering
SP 2: klien dapat  Situasi dan kondisi yang menemukan klien sedang
mengenal menimbulkan halusinasi halusinasi 2.2 tingkah laku klien
halusinasinya Setelah interaksi klien  Tanyakan apakah klien terkait halusinasinya
menyatakan perasaan dan mengalami sesuatu dan yang menunjukan isi,
respon saat mengalami sedang dialami waktu, frekuensi serta
halusinasi:  Katakan bahwa perawat situasi yang kondisi
 Marah percaya klien mengalami hal yang menimbulkan
 Takut tersebut, namun perawat halusinasi
 Sedih sendiri tidak mengalaminya
 Senang (dengan nada bersahabat tanpa
menuduh atau menghakimi)
 Cemas
 Katakan bahwa perawat akan
 Jengkel
membantu klien jika klien
tidak sedang berhalusinasi
klarifikasi tentang adanya
pengalaman halusinasi,
diskusi dengan klien
 Isi, waktu dan frekuensi
terjadinya halusinasi. Situasi
dan kondisi yang
menimbulkan atau tidak

Daftar Putaka
Fitria, Nita. 2011. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).
Jakarta : Salemba Medika.
Stuart dan Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta : EGC.
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai