Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PAPER

PENDIDIKAN PANCASILA

KELOMPOK 5

ALIFIA RACHMAWATI (161710101005)


JENI VERLINDA RIYADI (170210103096)
IRVAN ARIZAL (170810201114)
-
-
-
-
KELAS : 15

UNIVERSITAS JEMBER
2018
Kebijakan ekonomi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mengambil keputusan di bidang ekonomi. Pemerintah
menciptakan sistem untuk menentukan nilai-nilai dari pemungutan pajak,
anggaran pemerintah, penawaran uang dan tingkat suku bunga, selain itu juga
dalam hal pasar tenaga kerja, kepemilikan nasional, dan banyak area lainnya
dalam intervensi pemerintah dalam perekonomian.
Salah kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang saat ini sedang
berlaku, yaitu mengenai impor beras. Secara teknis, impor merupakan kegiatan
ekonomi biasa. Dia tak berbeda dengan aktivitas ekspor. Dalam hubungan
perdagangan dunia, impor dan ekspor adalah aktivitas lumrah. Ekspor dilakukan
untuk mendapatkan devisa. Sebaliknya, impor menjadi bagian dari upaya untuk
memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Impor, demikian juga ekspor,
merupakan aktivitas yang netral. Tidak ada muatan negatif dan sejenisnya. Akan
tetapi, di Indonesia aktivitas impor seringkali menjadi pelik dan rumit. Itu terjadi
terutama pada impor komoditas seperti beras. Seperti umumnya di negara-negara
Asia, di Indonesia beras merupakan komoditas pendorong utama inflasi. Inflasi
yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, bakal tergerus.
Inflasi yang tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah.
Pada awal tahun 2018, Menteri Perdagangan Enggartiato Lukita akhirnya
mengambil kebijakan impor beras untuk menurunkan harga beras, yaitu sebanyak
500.000 ton beras akan diimpor dari Vietnam dan Thailand. Kebijakan ini
tertuang dalan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2018. Sebelum
keputusan impor tersebut, berbagai upaya dari politisi Partai Nasdem dikeluarkan
untuk menstabilkan harga beras. Salah satunya menggandeng Perusahaan Umum
Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menggelar operasi pasar. Dengan operasi
pasar tersebut, Kemendag menggelontorkan stok beras jenis medium milik Bulog
yang disebar di pasar-pasar tradisional.
Namun, upaya operasi pasar tidak sesuai harapan Mendag. Pasalnya harga
beras tidak kunjung turun setelah operasi pasar dilakukan. Data Badan Pusat
Statistik (BPS), harga beras jenis medium yang banyak dikonsumsi masyarakat
selama Desember 2017 naik 2,66 persen dari Rp 9.280 per kilogram menjadi Rp
9.526 per kilogram. Bahkan, pada Januari data harga beras dari Pasar Induk Beras
Cipinan, pada 11 Januari 2018 harga beras medium mencapai Rp 11.275 per
kilogram. "Terryata, dampaknya tidak nendang. Tidak memberikan penurunan
harga. Bahkan, memang sesaat terjadi bertahan tidak naik, kemudian terjadi
kenaikan sedikit, dan awal Januari terus meningkat secara tajam," jelas dia.
Awal mula pemerintah kembali memberlakukan impor beras yaitu,
pemerintah mengakui adanya kelangkaan beras jenis premium di pasaran yang
menyebabkan harga beras premiun naik menjadi Rp 13.000 per kilogram dari
Harga Eceran Tertinggi (HET) per kilogramnya. Pemerintah kemudian berencana
untuk melakukan impor beras premium yang disebut langka tersebut. Awalnya,
pemerintah akan mengimpor beras khusus, yang artinya beras yang tidak ditanam
di Indonesia, seperti beras merek Jasmine asal Thailand. Namun, di akhir cerita,
pemerintah mengubah jenis beras yang akan diimpor dari beras khusus menjadi
beras umum. Jumlah impor juga mencapai 500.000 ton. Penunjukkan pelaksana
impor juga berubah dari yang awalnya PT Perusahaan Perdagangan Indonesia
(PPI) oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menjadi
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) oleh Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Rencananya, beras yang akan diimpor
pemerintah akan masuk pada akhir Januari 2018 ini.
Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selalu
mengimpor beras mulai dari tahun 2000 hingga 2015 atau selama 15 tahun.
Sementara, pada tahun 2016 sampai 2017 pemerintah berhenti sementara untuk
mengimpor beras dan pada 2018 Indonesia kembali mengimpor beras. Selama 15
tahun tersebut, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 15,39 juta ton beras
dengan volume impor beras terbanyak pada tahun 2011 dengan volume sebesar
2,75 ton, sedangkan volume terkecil pada tahun 2005 sebesar 189.616 ton.
Sehingga, dengan jumlah total impor beras tersebut dan ditambah 500.000 ton
pada tahun ini, maka hingga saat ini Indonesia telah mengimpor beras sebesar
15,89 juta ton. Sementara, dari sisi dana yang dikeluarkan pada impor beras
sebesar 15,39 juta ton mencapai 5,83 miliar dollar AS atau Rp 78,70 triliun (kurs
Rp 13.500).
Pada Jumat (12/1/2017), Divisi Regional (Kadivre) Badan Urusan Logistik
( Bulog) Sulawesi Selatan (Sulsel) menolak beras impor yang akan didatangkan
ke Indonesia. Pasalnya, Bulog Sulsel menyatakan persediaan beras di gudangnya
mencukupi hingga 20 bulan ke depan sehingga mereka siap menyuplai pasokan
berasnya ke daerah-daerah lain yang membutuhkan. Kepala Divre Bulog Sulsel
Dindin Syamsuddin mengatakan, stok beras di Sulsel mencapai 82.000 ton yang
mampu memenuhi kebutuhan hingga 20 bulan ke depan. Bahkan, pihaknya pun
siap menyuplai beras ke Aceh hingga Papua. "Stok beras di Sulsel aman hingga
20 bulan ke depan. Kami sudah suplai ke provinsi lain di Indonesia. Besok kami
kirimkan lagi beras ke Aceh dengan harga dibawah HET," kata Dindin saat
melepas mobil truk pengangkut beras untuk operasi pasar di gudang Bulog
Panaikang, Jumat (12/1/2018).
Dindin juga mengungkapkan, HET beras saat ini sebesar Rp 9.450 per
kilogram. Namun, Bulog Sulsel menjualnya dengan harga Rp 9.000 perkilogram
untuk menormalkan harga beras premium di pasaran.
Selain itu, akademisi dari Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya
menilai impor beras yang dilakukan pemerintah terlambat. Sebab, pemerintah
baru mengeluarkan kebijakan impor beras pada awal tahun 2018. Padahal masa
panen padi dari petani akan berlangsung pada Maret 2018. Dengan adanya panen
tersebut, ditakuti beras impor yang masuk akan membuat harga gabah di tingkat
petani turun. "Yang penting impor tidak dilakukan menjelang musim panen dan
untuk memperkuat stok beras sehingga tidak terjadi gejolak harga, bukan untuk
membanjiri pasar yang membuat harga beras produksi petani turun tajam," ujar
dia dalam keterangannya, Jumat (19/1/2018). Menurut Berly, impor beras bukan
hal yang tabu, karena Pemerintah bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
rakyat dan pemenuhan kebutuhan pangannya.
Jika kebutuhan beras dalam negeri tidak dibantu impor di saat musim
paceklik, dipastikan harga beras akan semakin mencekik dan menyengsarakan
rakyat. "Klaim bahwa kita sudah surplus beras atau swasembada beras sangat
sulit dipercaya dengan tingginya harga beras di berbagai pelosok Indonesia.
Kenaikan harga beras sudah mulai terlihat sejak Oktober 2017 lalu," jelas dia.
Sependapat dengan Berly, pengurus Himpunan Alumni (HA) IPB Fathoni
Ali menyesalkan sikap pemerintah yang terlambat melakukan impor. Seharusnya
pada saat harga beras mulai naik disebabkan stok beras menipis, pada bulan
September dan Oktober, segera mengeluarkan keputusan untuk melakukan impor.
Sebab pada bulan tersebut, masa panen masih cukup lama. Sementara bulan
Januari ini sudah mendekati masa panen. “Karena itu harusnya pemerintah sudah
melakukan impor beras sejak Oktober. Impor bermasalah kalau dilakukan pada
bulan Januari karena akan masuk musim panen," kata dia.
Impor beras yang dilakukan pemerintah membuat para petani tak bisa
menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. BULOG (Badan
Urusan Logistik) juga belum terlalu berperan sebagaimana yang diharapkan
sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Tampaknya nasib
petani Indonesia juga belum sesuai dengan apa yang diharapkan, hal ini tentunya
bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu “Keadilan bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”.
Sila ke-5 Pancasila, menyatakan keadilan bagi seluruh rakyat dalam
bidang kehidupan baik material maupun spiritual. Jika ditelaah, sila ke-5 sangat
berkaitan dengan hal kesejahteraan ekonomi rakyat. Sila ke-5 mengharapkan
perkembangan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya untuk kemakmuran yang berkeadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia (Winarno, 2006).
Dengan demikian, kebijakan pemerintah berdampak sangat besar bagi
pendapatan para petani, selain mereka harus menutup biaya produksi yang cukup
besar para petani juga dihadapkan kepada harga gabah yang mungkin akan anjlok
dikarenakan pasar sudah dipenuhi beras-beras impor. Hal ini akan sangat
berdampak besar bagi pertumbuhan para petani kecil dan secara tidak langsung
kebijakan tersebut mungkin akan membunuh semangat kerja mereka.
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris yaitu negara yang
bermatapencaharian sebagai petani. Salah satu komoditas terbesar yang dihasilkan
oleh Indonesia yaitu beras. Namun, meskipun Indonesia menjadi negara penghasil
pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu saja menghadapi masalah
yang sama yaitu mengimpor bahan pangan dari negara lain. Hal ini dilakukan
bukan tanpa alasan. Ada banyak faktor yang mengharuskan Indonesia mengimpor
bahan pangan dari negara luar, faktor tersebut antara lain :

1. Meskipun Indonesia memproduksi begitu banyak beras namun belum


dapat mencukupi kebutuhan penduduknya dikarenakan jumlah penduduk
Indonesia yang begitu banyak. Data statistik menunjukkan sekitar 230-237 juta
jiwa penduduk di Indonesia membutuhkan nasi sebagai makanan pokok. Jadi bisa
dilihat, mengapa Indonesia mengimpor beras dari negara lain hanya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Dan salah satu negara yang sering
mengekspor beras untuk Indonesia adalah Thailand (Badan Pusat Statistik, 2015).

2. Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim,
khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan,
seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan kemarau menyebabkan
petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa
tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang
digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal,
permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena
keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada
waktu itu menurun.

3. Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian


yang semakin sempit. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan
sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun
dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha
di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya
percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu
membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.

4. Biaya transportasi di Indonesia yang mahal hingga mencapai 34 sen


dolar AS per kilometer, jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand,
China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer.
Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi,
maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan
baku.

5. Berkurangnya jumlah lahan pertanian akibat adanya peralihan fungsi


lahan dari yang semula untuk pertanian menjadi untuk sektor bisnis lain dan
hunian.

6. Tingginya ancaman dari alam terhadap tanaman-tanaman pertanian


yang ditanam para petani di Indonesia.

7. Kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah


pengembangan sektor pertanian terutama dalam hal penerapan teknologi baru di
sektor pertanian seperti rekayasa genetik bibit pangan, membuat Indonesia kian
sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya

Dan untuk jangka panjangnya, ada banyak langkah yang (mungkin) bisa
diterapkan pemerintah, yaitu :
1. Memajukan teknologi sektor pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi
dalam negeri, karena saat ini teknologi pertanian di Indonesia masih sangat
tertinggal dari negara2 lain.
2. Memberi subsidi pupuk kepada para petani agar menghasilkan produk yang
maksimal, karena harga pupuk yang semakin mahal membuat petani semakin
tertekan.
3. Menggenjot petani agar meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya agar
tidak kalah dari produk komoditas impor.
4. Pemerintah memaksimalkan penyerapan beras dari petani lokal untuk
ketahanan pangan nasional, karena saat ini Bulog selalu impor saat stok
produknya semakin menipis.

Kesimpulan : Pastinya masih ada banyak cara, tindakan, kebijakan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi banjir produk impor didalam negeri. Semoga
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2015. Data Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai Provinsi
Lampung tahun 2014. Lampung: Berita Resmi Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Statistik Perdagangan Luar Negeri ekspor
2015 Jilid II .Jakarta: Badan Pusat Statistik

Winarno. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi


Aksara

Anda mungkin juga menyukai