TINJAUAN PUSTAKA
Karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk metabolisme tubuh manusia dan
hewan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan karbohidrat dibentuk melalui proses
fotositesis pada tanaman (Nurjanah et al, 2012). Karbohidrat merupakan senyawa
kompleks yang tersusun atas unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan
terkadang terdapat unsur nitrogen (N). Karbohidrat memiliki rumus empiris CnH2nOn
(Winarno et al.,1981). Karbohidrat tersusun dari monomer-monomer yang diikat
dengan ikatan glikosidik yang merupakan nama lain dari ikatan kovalen pada molekul
karbohidrat. Analisa dapat dilakukan pada senyawa ini dengan dua metode, yaitu
kuantitatif dan kualitatif. Untuk metode kualitatif terdapat beberapa metode, yaitu
Fehling, Benedict, Luff, Moore, Molisch, Barfoed, dan Selliwanoff (Armstrong, 1995).
1
2
Pati merupakan salah satu contoh dari polisakarida yang merupakan polimer D-glukosa
yang disimpan di dalam jaringan tumbuhan sebagai cadangan makanan bagi tanaman di
dalam ubi, akar, daun dan lain sebagainya. Ketika pati dipanaskan dalam air panas,
granula dari pati akan membengkak karena menyerap air. Penyerapan dan
pembengkakan dari pati bersifat terbatas dan irreversible. Proses ini disebut sebagai
gelatinasi dan ketika granula pati mulai pecah pada suhu tertentu disebut sebagai suhu
gelatinasi. Granula pati yang mulai membengkak akan menyebabkan larutan berangsur-
angsur menjadi kental dan amilosa akan larut dalam air terlebih dahulu. Suhu yang
tinggi dibutuhkan untuk mengekstrak amilosa dengan berat molekul yang tinggi dari
dalam bahan sampel. Pemanasan yang berkelanjutan akan menghasilkan gel dimana
konsentrasi dari bahan sampel juga mempengaruhi bentuk dan tekstur akhir dari gel.
Pati yang direaksikan dengan iodine akan membentuk warna biru karena terbentuk ion
poli-iodida pada pusat amilosa helix ( Hoseney, 1982 ).
Pati tersusun dari dua komponen, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki
karateristik rantai yang lurus sementara amilopektin memiliki rantai yang berpanjang
sehingga memiliki berat molekul yang lebih tinggi dibanding amilosa. Amilosa juga
memiliki sifat larut dalam air terutama ketika dipanaskan. Pati memiliki sifat
membentuk dispersi koloid ketika dipanaskan dalam air panas. Pada suhu 85oC granula
pati mulai pecah dan isinya menyebar ke dalam pelarut. Dalam penentuan kadar amilosa
perlu ditambahkan alkohol yang dimaksudkan untuk ekstraksi dan pendispersian sampel
menjadi koloidal dimana amilosa dapat larut dalam alkohol sementara amilopektin tidak
sehingga dapat dilakukan pemisahan antara amilosa dan amilopektin, karena
amilopektin dapat larut dalam alkohol sedangkan amilosa tidak larut dalam alkohol. (
Gaman & Sherrington, 1994).
Menurut Martoharsono (1994), terdapat beberapa sifat umum yang dimiliki karbohidrat.
Pertama, polisakarida akan mengabsorbsi iodine sehingga menghasilkan perubahan
warna yang dapat diamati. Warna biru timbul ketika direaksikan dengan amilum, merah
coklat ketika direaksikan dengan dekstrin dan warna coklat ketika direaksikan dengan
glikogen. Kedua, ikatan glikosidik karbohidrat dapat dihidrolisa menjadi monosakarida
3
dengan asam sulfat pekat. Hidrolisa ini akan berlanjut dengan pembentukan furfural dan
derivatnya, proses ini disebut dehidrasi. Dehidrasi pada ketosa akan menghasilkan
furfural, dimana ketosa akan mengalami dehidrasi yang lebih cepat dibandingkan
dengan aldosa karena aldosa akan diuraikan terlebih dahulu menjadi ketosa sebelum
diuraikan kembali. Menurut Wirahadikusumah (1985), dehirasi ketosa akan
menghasilkan furfural yang jika direaksikan dengan resorcinol akan membentuk warna
merah. Ketiga, sakarida yang memiliki gugus aldosa dan ketosa, memiliki sifat sebagai
pereduksi. Sifat ini dapat diuji dengan penambahan larutan yang mengandung ion Cu++ (
Cupri ), seperti yang dilakukan pada uji fehling, benedict, barfoed, dan luff (
Martoharsono, 1994 ).
Terdapat beberapa uji kualitatif yang dapat dilakukan untuk menguji karbohidat secara
terkhusus dari sisi biokimia, yaitu :
1. Uji Barfoed
Adalah suatu uji yang bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya gula monosakarida (
pereduksi ) di dalam larutan secara khusus dari sisi biokimia. Uji barfoed dilakukan
dengan menggunakan reagen asam etanoat / asetat yang dicampur dengan tembaga (II)
asetat yang kemudian direaksikan dengan larutan yang akan diuji pada suhu tinggi.
Reagen barfoed akan bereaksi dengan monosakarida ( gula pereduksi ) dan
menghasilkan endapan merah kuprooksida / tembaga (II) oksida. Kekurangan dari uji
ini, yaitu reaksi yang berjalan sangat lambat terutama untuk pembentukan endapan
sehingga pengujian harus dilakukan dalam waktu yang lama untuk mendapatkan hasil
yang signifikan. Uji ini bila dilakukan pada disakarida tidak akan membentuk endapan
karena disakarida merupakan pereduksi lemah ( Sudarmadji et al., 1996 ).
2. Uji Selliwanoff
Adalah suatu uji yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan dari gula ketosa dalam
larutan. Selain itu, uji Selliwanoff juga dapat digunakan untuk membedakan gula
aldosa dan ketosa. Uji ini dilakukan dengan menambahkan HCl pekat untuk
menghidrolisa polisakarida dan oligoskarida menjadi gula sederhana ke dalam larutan
yang akan diuji dan kemudian dipanaskan. Setelah dipanaskan, ditambahkan resorcinol
4
1,5% dalam alkohol ( Winarno, 1997 ). Reaksi yang terjadi dalam uji ini merupakan
dehidrasi monoketosa menjadi furfural. Furfural kemudian akan bereaksi dengan
resorcinol dan membentuk warna kemerahan dan memungkinkan jika terebntuk
endapan ( Daintith, 1999 ).
3. Uji Luff
Adalah suatu uji yang digunakan untuk mendeteksi adanya glukosa dan fruktosa dalam
larutan. Reagen yang digunakan merupakan campuran dari asam nitrat, Na2CO3, dan
CuSO4. Glukosa atau fruktosa akan bereaksi dengan reagen ini membentuk endapan
berwarna merah bata atau kuning keoranyean yang merupakan warna dari Cu2O (
Gaman & Sherrington, 1994 ).
Menurut teori Ebbing (1976), Salah satu metode pengukuran yang banyak digunakan
dalam menganalisa yaitu pengukuran absorbansi suatu larutan dengan menggunakan
spektrofotometer. Analisa spektrofotometri pada dasarnya merupakan pengukuran
jumlah emisi radiasi yang diserap oleh suatu komponen ( dalam hal ini larutan ) dalam
suatu fungsi panjang gelombang dari radiasi atau absorbsi dari panjang gelombang
tertentu. Penggunaan analisa ini memiliki berbagai kelemahan, salah satunya yaitu
kemungkinan untuk kesalahan yang cukup besar. Debu saja dapat menyebabkan
terjadinya kesalahan pada pengukuran. Selain itu kesalahan dalam penimbangan,
kesalahan dalam penakaran volume, ketidakstabilan warna pada uji kualitatif, dan
faktor-faktor lain yang mempertinggi resiko kesalahan dari analisa ini. Menurut Day &
Underwood (1992), untuk mengukur larutan dengan warna hijau-biru dapat didapatkan
hasil yang maksimal dengan menggunakan panjang gelombang 625 nm. Nilai
absorbansi yang dihasilkan berbanding terbalik dengan nilai transmitansi ( yang tidak
diserap ) ( Khopkar, 2002).
Larutan buffer digunakan untuk menjaga keseimbangan dari pH larutan dan merusak
dinding sel yang mengandung enzim yang kemudian akan mempercepat proses
ekstraksi. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan sentrifuge yang dalam
penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati terutama untuk menjaga
keseimbangan dari mesin tersebut agar tabung yang digunakan tidak pecah dalam
5
proses sentrifuge. Menurut Kimball (1992), proses ini akan memisahkan substansi
dengan gaya sentrifugal yang diberikan terhadap perbedaan berat jenis molekul. Proses
ini dilakukan untuk memisahkan pati dari gula-gula lain dalam larutan sehingga
menghasilkan larutan ekstrak pati yang hanya mengandug pati. Sementara larutan
sampel yang digunakan dalam pengujian ini menurut Cui (2005) merupakan larutan
yang masih mengandung berbagai jenis gula, termasuk pati dan gula pereduksi.
Pemberian gaya akan menyebabkan substansi yang lebih berat akan mengendap di
bawah tabung sehingga dapat dipisahkan. Pemanasan yang dilakukan bertujuan untuk
melarutkan karbohidrat ( Solomon, 1987 ).
2. TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui dan memahami teori-teori
tentang karbohidrat, khususnya uji kuantitatif (penentuan kadar amilosa) dan uji
kualitatif (uji barfoed, uji selliwanoff, dan uji luff schroll).
6
3. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat – alat yang diperlukan untuk melakukan praktikum ini adalah timbangan analitik,
penjepit kayu, erlenmeyer, kain saring, sentrifuge, tabung reaksi, rak tabung reaksi,
gelas ukur, beaker glass, labu takar, corong, mortar, pompa pilleus, pipet volume, pipet
tetes, gelas arloji, water bath, spektrofotometer, baskom, dan lap
3.1.2. Bahan
Bahan- bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah nasi putih, ubi jalar rebus,
etanol 95%, NaOH 1 N, asam asetat 1N, larutan iod, buffer fosfat pH 7,5, larutan
barfoed, HCl pekat, larutan resorcinol 1,5% dalam alkohol, reagen Luff schroll, dan
aquades, dan es batu.
3.2. Metode
3.2.1. Uji Kuantitatif (Penentuan Kadar Amilosa)
Bahan ( nasi putih untuk F1 - F4 dan ubi jalar rebus untuk F5 - F8) ditimbang sebanyak
100 mg lalu dihaluskan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu, 1 ml etanol
95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan ke dalam tabung reaksi dan dipanaskan dalam
air mendidih selama kurang lebih 10 menit hingga terbentuk gel. Gel yang telah
terbentuk dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml lalu dikocok dan diencerkan dengan
aquadest sampai tanda tera. Dari larutan tersebut, diambil sebanyak 5 ml dan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml lalu dikocok dan ditambahkan aquades sampai
tanda tera. Larutan tersebut kemudian diambi sebanyak 5 ml dan dimasukan ke dalam
labu takar 100 ml. Kemudian 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ditambahkan.
Setelah itu larutan diencerkan dengan aquadest sampai tanda tera lalu dikocok dan
didiamkan selama 20 menit. Larutan kemudian diukur intensitas warnanya dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm.
7
8
selama 30 menit. Setelah itu 0,5 ml larutan resorcinol 1,5% dalam alkohol ditambahkan
dan perubahan warna yang terjadi kemudian diamati.
Kurva Standar:
0.01
0
0 1000 2000 3000 4000
10
11
2 Nasi putih
3 Nasi putih
4 Nasi putih
Dari Tabel 2. dapat dilihat dari uji barfoed yang dilakukan pada larutan sampel. Hasil
dari uji barfoed terhadap nasi putih adalah adanya perubahan warna dari putih menjadi
biru dengan adanya endapan. Sementara pada ubi jalar rebus hasil pengujian
menunjukan adanya perubahan warna dari bening kekuningan menjadi biru dengan
adanya endapan.
2 Nasi putih
4 Nasi putih
Dari Tabel 3 dapat dilihat dari uji barfoed yang dilakukan pada larutan ekstrak pati.
Hasil dari uji barfoed terhadap nasi putih adalah adanya perubahan warna dari putih
keruh menjadi biru dengan adanya endapan. Sementara pada ubi jalar rebus hasil
pengujian menunjukan adanya perubahan warna dari kuning bening menjadi biru
kehijauan dengan adanya endapan.
Dari Tabel 4 dapat dilihat dari uji selliwanoff yang dilakukan pada larutan sampel. Hasil
dari uji selliwanoff terhadap nasi putih adalah adanya perubahan warna dari putih
menjadi putih keruh dengan adanya endapan. Sementara pada ubi jalar rebus hasil
pengujian menunjukan adanya perubahan warna dari bening kekuningan menjadi coklat
muda dengan adanya endapan.
16
Dari Tabel 5 dapat dilihat dari uji selliwanoff yang dilakukan pada larutan ekstrak pati.
Hasil dari uji selliwanoff terhadap nasi putih adalah adanya perubahan warna dari putih
menjadi coklat bening dengan adanya endapan. Sementara pada ubi jalar rebus hasil
pengujian menunjukan adanya perubahan warna dari kuning bening menjadi coklat tua
dengan adanya endapan.
Gambar Keterangan
Kel. Sampel Gambar Akhir
awal
Bening kekuningan →
5 Ubi jalar rebus
bening kebiruan
Bening kekuningan →
6 Ubi jalar rebus
bening kebiruan
Bening kekuningan →
7 Ubi jalar rebus
bening kebiruan
19
Bening kekuningan →
8 Ubi jalar rebus
bening kebiruan
Dari Tabel 6 dapat dilihat dari uji luff schroll yang dilakukan pada larutan sampel. Hasil
dari uji luff schroll terhadap nasi putih adalah adanya perubahan warna dari putih
menjadi bening kebiruan. Sementara pada ubi jalar rebus hasil pengujian menunjukan
adanya perubahan warna dari bening kekuningan menjadi bening kebiruan.
Gambar Keterangan
Kel. Sampel Gambar Akhir
awal
Dari Tabel 7 dapat dilihat dari uji luff schroll yang dilakukan pada larutan ekstrak pati.
Hasil dari uji luff schroll terhadap nasi putih adalah adanya perubahan warna dari putih
keruh menjadi biru kehijauan dengan adanya endapan. Sementara pada ubi jalar rebus
hasil pengujian menunjukan adanya perubahan warna dari kuning bening menjadi
bening keunguan dengan adanya endapan.
5. PEMBAHASAN
Sesuai jurnal berjudul “Aktivitas Antioksidan Dan Komponen Bioaktif Semanggi Air (
Marsilea Crenata)” serta teori Nurjanah et al, (2012), karbohidrat adalah sumber energi
utama untuk metabolisme tubuh hewan dan manusia yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan dan karbohidrat yang dibentuk melalui proses fotositesis pada tanaman.
Sesuai dengan teori Winarno et al.,(1981), karbohidrat merupakan senyawa organik
yang terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) dengan rumus umum
(CH2O)n. Berdasarkan penyusunnya, karbohidrat dibedakan menjadi tiga kelompok
besar, yaitu monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida merupakan
bentuk karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis lagi menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Contohnya seperti glukosa dan fruktosa yang bersifat larut dalam air.
Oligosakarida merupakan senyawa yang terdiri dari dua hingga sepuluh atau lebih
monosakarida dan polisakarida dengan rumus umum (C6H10O5)n. Gula polisakarida
cenderung stabil dalam asam / basa dan tidak memiliki kemampuan untuk mereduksi (
Gaman & Sherrington, 1994 ).
Dalam praktikum ini bahan yang digunakan adalah nasi putih dan ubi jalar rebus yang
diberi perlakuan berbeda-beda bergantung pada metode yang dilakukan dimana ada dua
uji yang berbeda seperti teori dari Armstrong (1995) yang menyatakan bahwa analisa
karbohidrat terbagi menjadi dua metode utama, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif yang dilakukan yaitu penentuan kadar amilosa pada nasi putih dan ubi jalar
rebus sementara metode kualitatif yang dilakukan yaitu uji barfoed, selliwanoff dan luff
schroll.
5.1. Penentuan Kadar Amilosa dalam nasi putih dan ubi jalar rebus
Pengujian ini dilakukan dengan menimbang bahan sebanyak 100 mg yang kemudian
dihaluskan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tujuan penghalusan bahan yaitu
untuk merusak dinding sel agar seluruh komponen yang ada di dalam buah dan di dalam
sel, seperti gula, protein, enzim dan lain sebagainya dapat terlepas dan kemudian akan
memudahkan terjadinya reaksi dengan senyawa / reagen yang digunakan. Setelah itu
ditambahkan etanol dan NaOH ke dalam larutan lalu dididihkan sampai terbentuk gel.
21
22
Menurut Gaman & Sherrington (1994) penambahan alkohol bertujuan untuk ekstraksi
dan pendispersian menjadi suatu larutan koloidal sehingga dapat memisahkan amilosa
dan amilopektin, karena amilopektin dapat larut dalam alkohol sedangkan amilosa tidak
larut dalam alkohol. Selain itu alkohol juga dapat digunakan untuk memisahkan lemak
dan zat terlarut lainnya. Pemanasan larutan dilakukan berdasar pada teori dimana pati
akan membentuk dispersi koloid ketika dipanaskan dalam air panas. Selain itu
pemanasan dilakukan karena pengujian ini ditujukan untuk mengetahui kadar amilosa
yang ada dalam sampel dan seperti teori dari Gaman & Sherrington (1994) jika amilosa
akan larut terutama ketika dipanaskan. Hal ini juga didukung oleh Hoseney (1982) yang
menyatakan bahwa jika diperlukan suhu yang tinggi untuk mengekstrak amilosa dengan
berat molekul yang tinggi dan pemanasan yang berkelanjutan akan menghasilkan gel.
Gel yang telah terbentuk dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml lalu dikocok agar
larut secara merata dan diencerkan hingga tanda tera. Dari larutan tersebut diambil dan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dengan asam asetat 1 N dan larutan iod.
Menurut teori de Man (1997), penambahan asam asetat dapat mengakibatkan hidrolisis
pati, karena hidrolisis pati dapat dilakukan oleh penambahan asam atau enzim. Jika pati
dipanaskan dengan asam, akan terurai menjadi molekul–molekul yang lebih kecil secara
berurutan dan hasil akhirnya adalah glukosa. Larutan kemudian diencerkan hingga
tanda tera agar warna larutan tidak terlalu pekat dengan tujuan untuk mengurangi
kemungkinan kesalahan dalam spektrofotometer. Larutan kemudian dikocok dan
didiamkan selama 20 menit. Setelah itu larutan diukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang sebesar 625 nm ( Day &
Underwood, 1992 ). Nilai absorbansi yang didapat selanjutnya digunakan untuk
mengetahui kadar amilosa dengan menggunakan perhitungan kurva standar (Ebbing,
1976).
Seperti teori dari Martoharsono (1994), jika polisakarida yang dalam praktikum ini yang
adalah pati yang memiliki sifat mengabsorbsi iodine dan kemudian menyebabkan
perubahan warna larutan menjadi biru gelap seperti teori dari Hoseney (1982) yang
disebabkan oleh terbentuknya ion poli-polida di bagian pusat amilosa helix.
Penambahan iodine ke dalam larutan dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
amilum dalam nasi putih dan ubi jalar rebus. Analisa kuantitatif kemudian dapat
23
Dalam pengukuran absorbansi ini tidak didapatkan pengukuran yang nilainya berbeda
jauh. Hal ini berarti tingkat ketelitian pengukuran konsentrasi amilosa dengan
spektrofotometer cukup baik Namun, adanya perbedaan nilai absorbansi pada tiap
kelompok tersebut, hal ini mungkin dikarenakan kurang telitinya praktikan dalam
melakukan prosedur praktikum uji kuantitatif seperti penimbangan awal yang kurang
24
tepat ataupun penambahan larutan pengencer yang tidak tepat (Pomeranz & Meloan,
1987). Dapat juga dikarenakan salah saat menganalisa menggunakan spektrofotometri.
Menurut teori Ebbing (1976), Analisa kuantitatif yang digunakan sebagai metode
pengukuran untuk menganalisa yaitu pengukuran absorbansi suatu larutan dengan
menggunakan spektrofotometer. Analisa spektrofotometri pada dasarnya merupakan
pengukuran jumlah emisi radiasi yang diserap oleh suatu komponen ( dalam hal ini
larutan ) dalam suatu fungsi panjang gelombang dari radiasi atau absorbsi dari panjang
gelombang tertentu. Sesuai dengan teori Wilford (1987), absorbansi merupakan nilai
konstan dari intensitas penyerapan yang dipengaruhi oleh konsentrasi (yang nilainya
sebanding), suhu, zat yang terlarut dan panjang gelombang, serta tebal intensitas
penyinaran.
5.2. Uji Barfoed pada Larutan Sampel dan Larutan Ekstrak Pati
Pengujian selanjutnya yaitu uji barfoed yang ditujukan untuk mendeteksi ada tidaknya
gula pereduksi dalam larutan. Adapun gula pereduksi merupakan gula yang dapat
mereduksi oksidator kuat dan dapat dimiliki oleh molekul gula yang memiliki gugus
hidroksil (OH), seperti glukosa dan fruktosa. Gugus hidroksil merupakan gugus yang
reaktif menurut teori dari Winarno (1997). Uji ini dilakukan dengan mengambil 2 ml
baik dari larutan sampel ataupun larutan ekstrak pati dan ditambahkan 2 ml larutan
Barfoed pada dua tabung reaksi yang berbeda. Larutan / reagen Barfoed ini
mengandung reagen asam etanoat / asetat yang dicampur dengan tembaga (II) asetat.
Larutan tersebut kemudian dipanaskan selama 10 menit untuk melarutkan pati / gula
ataupun untuk menghidrolisis pati menjadi bentuk yang lebih sederhana sesuai teori dari
Sudamardji et al. (1996). Hasil pengujian dari larutan sampel memberikan hasil yang
negatif karena tidak terbentuk endapan berwarna merah. Jika pada larutan yang diuji
mengandung gula pereduksi maka akan menghasilkan endapan berwarna merah yang
berasal dari kuprooksida. Hal ini sesuai dengan teori dari Martoharsono (1994) jika
sakarida yang memiliki gugus aldosa dan ketosa jika direaksikan dengan larutan yang
mengandung ion Cu++ akan dapat diamati sifat mereduksinya. Uji barfoed ini memiliki
kekurangan yaitu diperlukannya waktu yang cukup lama agar terbentuk endapan dan
dengan gula pereduksi yang sangat lemah dalam larutan tidak akan membentuk
endapan. Hal inilah yang menyebabkan hampir keseluruhan uji pada larutan sampel
25
yang seharusnya mengandung gula pereduksi memberikan hasil negatif. Begitu pula
pada larutan ekstrak pati menunujkan hasil negatif karena larutan ekstrak pati hanya
mengandung pati tanpa adanya komponen gula lain. Pati seperti teori dari Gaman &
Sherrington (1994) merupakan jenis gula polisakarida yang tidak memiliki kemampuan
mereduksi sehingga tidak akan membentuk endapan dalam uji Barfoed. ( Sudarmadji et
al., 1996 ). Sesuai dengan jurnal berjudul “Aktivitas Antioksidan Dan Komponen
Bioaktif Semanggi Air ( Marsilea Crenata)” gula pereduksi merupakan kelompok gula
yang dapat mereduksi senyawa pengoksidasi oleh kandungan Cu2+, namun pada hasil
percobaan dihasilkan hasi negatif pada uji Barfoed karena bahan nasi putih dan ubi jalar
rebus merupakan jenis gula polisakarida yang tidak memiliki kemampuan mereduksi.
5.3. Uji Selliwanoff pada Larutan Sampel dan Larutan Ekstrak Pati
Uji selliwanoff merupakan uji yang dilakukan dengan mengambil larutan sampel dan
larutan ekstrak pati masing-masing sebanyak 2 ml dan dicampurkan dengan 2 ml HCl
pekat dalam dua tabung reaksi yang berbeda. Tujuan penambahan HCl pekat ini yaitu
untuk menghidrolisa polisakarida dan oligosakarida menjadi gula sederhana sehingga
dapat bereaksi dengan reagen di tahap berikutnya. Hal ini sesuai dengan teori dari
Martoharsono (1994) jika ikatan glikosidik karbohidrat dapat dihidrolisa menjadi
monosakarida dengan asam sulfat pekat. Setelah itu larutan dipanaskan selama 30 menit
untuk memaksimalkan hidrolisa gula-gula kompleks. Di akhir, sebanyak 0,5 ml larutan
resorcinol 1,5% dalam alkohol ditambahkan dan diamati perubahan warnanya. Larutan
resorcinol memiliki fungsi sebagai indikator untuk keberadaan furfural dari dehidrasi
monosakarida. Untuk uji selliwanoff, pada larutan sampel dan larutan ekstrak pati,
seluruh tabung reaksi memiliki hasil akhir warna coklat (coklat muda dan tua ) pada
bahan ubi jalar rebus namun pada bahan nasi putih larutan ektrak meunjukan hasil yang
lebih positif karena adanya endapan yang dihasilkan sedangkan pada larutan sampel
hasilnya adalah bening. Warna coklat ini timbul akibat reaksi dehidrasi monoketosa
menjadi fufural yang akan bereaksi dengan resorcinol membentuk warna kemerahan.
Uji selliwanoff ini ditujukan untuk mendeteksi adanya kandungan gula ketosa dan
dengan proses hidrolisa yang dilakukan di awal, pati terurai menjadi bentuk-bentuk
yang lebih sederhana terutama ketosa sehingga pada akhirnya seluruh larutan
memberikan hasil yang positif pada uji ini. Dapat dilihat jika larutan ekstrak pati
26
memiliki warna merah yang lebih pekat daripada larutan sampel yang dapat disebabkan
oleh perbedaan kandungan terutama untuk aldosa dan ketosa dalam larutan. Menurut
Martoharsono (1994), dehidrasi pada ketosa berjalan lebih cepat dibandingkan dengan
aldosa yang akan diuraikan menjadi ketosa terlebih dahulu sehingga hal ini dijadikan
dasar dalam uji selliwanoff untuk membedakan antara gula aldosa dan ketosa. Warna
merah yang lebih pekat pada ubi jalar rebus dan pada larutan ekstrak pati
mengindikasikan tingginya kandungan gula ketosa pada larutan ekstrak pati yang telah
dihidrolisa, sementara pada larutan sampel dan bahan nasi putih yang mengandung
berbagai macam gula memiliki kandungan aldosa yang lebih tinggi sehingga tidak dapat
bereaksi secara langsung dan menghasilkan furfural melainkan harus diuraikan menjadi
ketosa terlebih dahulu. Contoh dari aldosa adalah glukosa dan ketosa adalah fruktosa (
Winarno, 1997 ). Sesuai dengan jurnal berjudul “Elucidation of Sugar in Edible Fruit-
Pineapple “ uji Selliwanoff akan menghasilkan endapan berwarna merah kecoklatan.
5.4. Uji Luff Schroll pada Larutan Sampel dan Larutan Ekstrak Pati
Menurut teori Gaman & Sherington (1994), penentuan gula dengan cara Luff Schroll,
yang ditentukan adalah kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula
reduksi dan sesudah direaksikan dengan sampel gula reduksi. Langkah percobaan yang
dilakukan dalam uji ini adalah mula-mula tabung reaksi diisi dengan 5 ml larutan
sampel lalu ditambahkan 5 ml larutan luff schoorl. Perubahan warna yang terjadi
kemudian diamati dan dicatat. Hal yang sama diulangi, namun larutan sampel diganti
dengan larutan ekstrak pati.Larutan yang digunakan dalam uji ini berupa campuran dari
CuSO4, Na2CO3, dan asam nitrat (Gaman & Sherington, 1994).
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 6., dapat diamati bahwa kelompok F1-F4
menggunakan sampel nasi putih dan pada kelompok F5-F8 menggunakan sampel ubi
jalar rebus. Hasil yang didapatkan pada semua kelompok didapatkan perubahan warna
yang sama yaitu menjadi bening kebiruan. Berdasarkan hasil pengamatan Tabel 7.,
dapat dilihat bahwa kelompok kelompok F1-F4 menggunakan sampel nasi putih dan
pada kelompok F5-F8 menggunakan sampel ubi jalar. Hasil yang didapatkan pada
semua kelompok didapatkan perubahan warna yang sama yaitu dari kuning bening
menjadi biru.
27
Hasil percobaan yang didapatkan tidak sesuai dengan teori Gaman & Sherington (1994),
dimana gula pereduksi dengan reagen ini akan membentuk endapan warna kuning-
oranye atau merah bata dari Cu2O. Banyaknya CuO tersebut ekuivalen dengan
banyaknya iod yang dibebaskan. Asam sulfat yang ditambahkan akan bereaksi dengan
CuO membentuk CuSO4, kemudian akan bereaksi dengan KI membentuk CuI2 yang
nantinya akan terurai menghasilkan I2 bebas. Penentuannya dengan menggunakan titrasi
Na-tiosulfat. Selisih antara titrasi blanko dengan titrasi sampel ekivalen dengan
kuprioksida yang terbentuk dan juga ekivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada
dalam larutan atau bahan.Awalnya kuprioksida membebaskan iod dari garam K-Iodida.
Apabila larutan berubah warnanya dari biru menjadi putih berarti titrasi sudah selesai.
Banyaknya CuO tersebut ekuivalen dengan banyaknya iod yang dibebaskan. Asam
sulfat yang ditambahkan akan bereaksi dengan CuO membentuk CuSO4, kemudian akan
bereaksi dengan KI membentuk CuI2 yang nantinya akan terurai menghasilkan I2 bebas.
Berdasarkan hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa sampel-sampel yang diuji
tidak memberikan reaksi positif terhadap uji Luff sebagaimana dinyatakan oleh
Gaman&Sherington (1994) bahwa gula pereduksi dengan reagen ini akan membentuk
endapan warna kuning-oranye atau merah bata dari Cu2O. Untuk seluruh hasil akhir
reaksi yang dilakukan memberikan reaksi negatif yakni munculnya warna kebiruan
sehingga dapat disimpulkan bahwa nasi putih dan ubi jalar rebus tidak mengandung
gula pereduksi.
6. KESIMPULAN
28
29
Praktikan, Mengetahui,
Armstrong, F.B. (1995). Buku Ajar Biokimia. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Day, B.A. & A.L. Underwood. (1992). Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.
Hoseney, R.C. (1982). Principles of Cereal Science and Technology. 2nd edition.
American Association of Cereal Chemistry. Inc. St. Paul Minnesota. USA.
Okonkwo S.I., Ogbunke R.U., dan Uyo B.K., (2012).Elucidation of Sugar in Edible
Fruit-Pineapple (Ananas Comosus). Vol 2(1):20-24. ISSN 2231-606x
Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan Dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
30
8. LAMPIRAN
8.1. Perhitungan
y = 0,0036x + 0,006
x*2000= a ppm
100
a*1000= b μgr
𝑏 μgr
kons. Amilosa: =... ppm
0,1
F1
X = 1,15278
100
2305,55 𝑥 = 230,556 μgr
1000
230,556
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 2305,56 𝑝𝑝𝑚
0,1
F2
X = 1,64167
100
3283,33 𝑥 = 328,333 μgr
1000
328,333
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 3283,33 𝑝𝑝𝑚
0,1
F3
X = 0,98889
31
32
100
1977,78 𝑥 = 197,778μgr
1000
197,778
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 1977,78 𝑝𝑝𝑚
0,1
F4
X = 1,31111
100
2622,22𝑥 = 262,222μgr
1000
262,222
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 2622,22 𝑝𝑝𝑚
0,1
F5
X = 0,59444
100
1189,89 𝑥 = 118,889μgr
1000
118,889
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 1188,89𝑝𝑝𝑚
0,1
F6
X = 1,08899
100
2177,78 𝑥 = 217,778μgr
1000
217,778
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 2177,78 𝑝𝑝𝑚
0,1
33
F7
X = 1,24444
100
2488,89 𝑥 = 248,889μgr
1000
248,889
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 2488,89 𝑝𝑝𝑚
0,1
E8
X = 0.93333
100
1866,66 𝑥 = 186,666μgr
1000
186,666
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 = = 1866,66 𝑝𝑝𝑚
0,1