Anda di halaman 1dari 4

A.

LATAR BELAKANG
Sejak tahun 1970 pertanian Indonesia menerapkan teknologi revolusi hijau dengan
komponen utamanya yaitu varietas unggul tipe baru, pupuk dan pestisida sintesis serta didukung
oleh ketersediaan air irigasi yang cukup yang pada awal mulanya dapat meningkatkan produksi
beras. Akan tetapi penerapan teknologi revolusi hijau secara terus menerus ternyata memberikan
dampak negatif yaitu tanaman padi yang ditanam secara seragam akan riskan terhadap meletusnya
epidemic hama atau penyakit dan gen-gen resisten monogenik yang bekerja secara resistan vertical
mengakibatkan terjadinya seleksi direksional terhadap rasa tau biotipe pathogen dan serangga
hama, sehingga timbul ras dan biotipe baru yang lebih ganas.
Sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida sintetis secara terus menerus menyebabkan
pada tahun 1985 terjadi ledakan wereng coklat di pusat tanaman padi di jawa tengah dan jalur
pantai utara jawa, yang meliputi ribuan hektar lahan sawah. Dimana pestisida-pestisida yang
digunakan dalam pengendalian hama telah terbukti mendorong resurjensi hama wereng coklat.
Oleh karena itu, untuk mengamankan swasembada beras, presiden atas nama pemerintah
mengeluarkan Instruksi Preside Nomor 3 Tahun 1986 tentang Pengendalian Hama Wereng Coklat
Padi. Melalui inpres 3/1986 tersebut presiden menginstruksikan untuk melakukan paling sedikit 4
butir kebijakan yaitu :
1. Menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang coklat dan hama-hama padi
lainnya.
2. Melarang penggunaan 57 formulasi insektisida untuk tanaman padi
3. Melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng coklat
4. Melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT salah satunya melalui SLPHT
(Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama Terpadu).

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
INPRES No 3 Tahun 1986
a. Pengaturan pola tanam yang diarahkan ke pertanaman serentak, pergiliran tanaman
dan pergiliran varietas
b. Penanaman varietas unggul tahan hama
c. Eradikasi dan sanitasi
d. Penggunaan insektisida secara bijaksana
UU No 12 tahun 1992 pasal 20
1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan system pengendalian hama terpadu
2. Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menjadi
tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah.

PP No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman


Pelaksanaan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah,
oleh karena itu masyarakat baik secara perorangan, oleh karena itu masyarakat baik secara
perorangan ataupun berkelompok perlu memahami usaha perlindungan tanaman sehingga mampu
mengambil keputusan dan tindakan yang tepat dan sedini mungkin untuk menanggulangi serangan
organisme pengganggu tumbuhan pada tanaman, sehingga tidak berkembang menjadi eksplosi.
Masyarakat sebagai kunci keberhasilan dalam perlindungan tanaman.

C. KELEMBAGAAN

Sebelum terjadinya otonomi daerah organisasi perlindungan tanaman nasional merupakan


bentuk organisasi vertical dari tingkat pusat sampai ke lapangan. Namun setelah ditetapkannya
UU No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan/Otonomi Daerah dan PP No 25/2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan kelembagaan perlindungan tanaman di pemerintah pusat, propinsi
dan kabupaten menjadi berubah. Hubungan vertikal langsung antara penerintah pusat sampai ke
lapangan sudah tidak ada. Sebagai contoh Sub-Dinas Perlindungan Tanaman di Dinas Pertanian
suatu propinsi atau kabupaten tidak bertanggung jawab kepada Departemen Pertanian, tetapi
bertanggung jawab langsung pada Gubernur atau Bupati. Pemerintah pusat tidak lagi berwenang
dalam melaksanakan tindakan dan kegiatan pengendalian OPT dilapangan, tetapi hanya
menerapkan norma dan standar teknis pengendalian OPT. Pelaksanaan pengendalian OPT
dilaksanakan sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten.

a. Lembaga ditingkat propinsi


- UPTD (Unit Pelaksana Teknik Daerah) Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura dengan beberapa perangkat yaitu Laboratorium Pengamatan Hama dan
Penyakit (LPHP) dan atau Laboratorium Agens Hayati (LAH).
LAH/LPH memiliki wilayah kerja satu atau beberapa kabupaten yang berfungsi untuk
melaksanakan tugas fungsi UPTD BPTPH dan penerapan teknologi PHT spesifik
lokasi di wilayah kerjanya.
- Disetiap propinsi terdapat Brigade Proteksi Tanaman (BPT) yang berfungsi
melaksanakan dan atau membantu pengendalian eksplosi dan sumber serangan OPT
yang terjadi di wilayah kerja.
Laboratorium pengamatan hama membuat kajian mengenai teknologi pengamatan
dan peramalan terhadap OPT yang kemudian melakukan rujukan dan dengan bantuan
Brigade Proteksi melakukan gerakan langsung ke sawah-sawah yang mengalami
serangan OPT dan ikut mengerahkan RPT (Regu proteksi tanaman) dan BAPINSA
untuk membantu pengendalian serangan OPT.
b. Lembaga ditingkat Kabupaten/Kota
1. Lembaga perlindungan tanaman di pemerintah kabupaten biasanya berada di Dinas
Pertanian atau Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagai bidang atau seksi.
Dibentuk :
- Unit Pelaksana Perlindungan Tanaman
- Koordinator PHP/POPT yang bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas dan
laporan PHP/POPT.
2. Disetiap Kecamatan terdapat satu petugas Pengamat Hama dan Penyakit
(PHP)/Pengendali OPT (POPT) yang memiliki tugas melakukan pengamatan OPT
dan factor-faktor yang berpengaruh diwilayah kerjanya dan memberikan informasi
tentang hasil pengamatan dan rekomendasi pengendalian kepada petani dan unit-unit
kerja yang memerlukannya. Tugas pokok PHP/OPT :
- Menyiapkan, merencanakan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi,
membimbing dan melaporkan pengawasan, analisis peramalan serta melakukan
pencegahan.
c. Lembaga di tingkat Desa
- Petani Pemandu
- Regu Proteksi Tanaman
- Petani Pengembang APH
Catatan :

1. Eksplosi merupakan serangan organisme pengganggu tumbuhan yang sifatnya mendadak,


populasinya berkembang sangat cepat dan menyebar luas dengan cepat.
2. UPTD (unit pelaksana teknis daerah)

Anda mungkin juga menyukai