Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman akan tumbuh dengan baik apabila semua kebutuhan hidupnya terpenuhi.
Pertumbuhan dan perkembaangan yang baik akan memberikan hasil yang maksimal. Pertumbuhan
yang berupa kenampakan tanaman yang subur meupakan hasil kombinasi antara faktor genetika dan
faktor lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Faktor genetika dapat diatasi dengan
menggunakan benih unggul bersertifikat yang tahan terhadap serangan hama penyakit, dan
memiliki potensi hasil yang baik. Namun selain faktor genetik, hal lain yang perlu diperhatikan
adalah faktor lingkungan tempat tanaman tumbuh dan berkembang. Apakah keadaan lingkungan
yang ada sudah sesuai dengan apa yang tanaman butuhkan ataukah belum.
Tanah adalah salah satu komponen dalam budidaya pertanian yang sangat penting. Tanah
merupakan media tumbuh tanaman, dimana tanaman mendapatkan air dan hara di dalamnya. Tanah
yang baik adalah tanah yang mampu menyediakan hara dan air yang cukup bagi tanaman. Oleh
karena itu, tanah akan menentukan jenis dan hasil tanaman yang akan ditanam. Ketidak sesuaian
jenis tanaman dengan kualitas tanah yang dimiliki akan memberikan hasil yang kurang memuaskan
bahkan merugikan bagi petani. Hal tersebut terjadi karena setiap tanaman memiliki tingkat
kebutuhan dan kesesuaiannya masing-masing supaya dapat tumbuh, berkembang dan memberikan
hasil yang baik.
Evaluasi lahan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan petani untuk mengetahui
tingkat kesesuaian lahan yang dimiliki. Cara ini juga akan membantu petani untuk menentukan
pengelolaan-pengelolaan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki potensi hasil yang ada.
Namun sebelum melakukan evaluasi lahan, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah
identifikasi dan karakterisasi lahan. Dengan begitu, akan didapat nilai yang dijadikan sebagai acuan
dalam melakukan evaluasi lahan.
Tanaman padi (Oryza sativa) adalah komoditas paling penting di Indonesia. Sehingga,
banyak berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengupayakan peningkatan kualitas
dan kuantitasnya. Padi merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di daerah Perbukitan
Menoreh. Lahan yang masih tersedia luas membuat mayoritas masyarakatnya bertani. Berdasarkan
keadaan di atas, maka kegiatan identifikasi, karakterisasi, dan evaluasi lahan tanaman padi di daerah
Perbukitan Menoreh menjadi hal penting untuk dilakukan.
B. Tujuan
1. Mengidentifikasi dan mengkarakterisasi kondisi lahan dan agroklimat kawasan Perbukitan
Menoreh.

2. Mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan di kawasan Perbukitan Menoreh bagi pengembangan


komoditas Padi (Oryza sativa).
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kesesuaian lahan merupakan kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu (Ramli dan Baja,
2006). Kesesuaian lahan berpengaruh tehadap jenis komoditas pertanian yang dapat dikembangkan
serta mempengaruhi pertumbuhan komoditas tanam karena setiap lahan memiliki karakteristik yang
sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan serta setiap jenis komoditas memerlukan
prasyarat sifat ;haan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Oleh karena
itu, sebelum mengupayakan tanaman budidaya maka sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap
kesesuaian lahan agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh optimal.
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan golongan Cerealia (Marlina,2012),
Batang pada tanaman padi beruas-ruas yang di dalamnya berongga (kosong), biasanya tinggi 1-1,5
meter. Sebutir padi berisi sebutir biji yang mana bisaanya disebut beras. Buah padi mempunyai
selaput. Klasifikasi pada tanaman padi adalah sebagai berikut: Kingdom Plantae, Divisio
Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Familia Poaceae, Genus Oryza, Spesies
Oryza sativa L. Budidaya padi secara umum dilakukan dengan tujuan mendapatkan produksi dan
kualitas sebaik mungkin dengan mengoptimalkan serta mengefisienkan sumberdaya yang tersedia.
Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan varietas tanaman yang mempunyai
produktifitas tinggi dan beberapa keunggulan komparatif lainnya. Banyak pula upaya
pengembangan teknologi untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lingkungan sebagai
media dan pendukung pertumbuhan tanaman. Beberapa bentuk teknologi padi membalut sekeliling
seluruh bagian batang. Pada untuk berbunga pada tiap-tiap batang keluar waktu bunga. dan 2 padi
yaitu bunga majemuk dan terdapat 2 helai kelopak 6 budidaya padi yang telah dilakukan antara lain
teknologi budidaya padi organik atau lebih sering disebut budidaya padi metode System Rice of
Intensifikasi / SRI (Karyaningsih dkk., 2008), sistem legowo (Utama dkk., 2007), sistem tanam
benih langsung, sistem tanpa olah tanah dan lain-lain.
Sebelum dilakukan budidaya tanaman, maka sebaiknya dilakukan evaluasi lahan terhadap
kesesuaian lahan sebagai tempat tumbuh dengan komoditas yang akan dubidayakan. Berikut adalah
komponen dalam evaluasi lahan yang harus dilakukan :
1. Evaluasi Lahan
Lahan mempunyai pengertian yang berbeda dengan tanah (soil), dimana lahan terdiri dari
semua kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi potensi penggunaannya, sedangkan tanah
hanya merupakan satu aspek dari lahan. Konsep lahan meliputi iklim, tanah, hidrologi, bentuk
lahan, vegetasi dan fauna, termasuk di dalamnya akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas
manusia baik masa lampau maupun masa sekarang (Dent dan Young, 1981). Kualitas lahan
merupakan sifat-sifat yang kompleks dari suatu lahan. Masing- masing kualitas lahan
mempunyai keragaan tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk suatu
penggunaan tertentu. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karateristik lahan
(Anonim, 1976).
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu
dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan
memberikan informasi dan arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan (Ritung et
al.,2007). Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses
perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian
lahan jika diperlukan untuk tujuan tertentu, yang meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei
dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahan lainnya, agar dapat
mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang dikembangkan.
Berdasarkan tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan atau
klasifikasi kesesuaian lahan (Arsyad, 2006).
2. Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Setiap
satuan peta lahan/tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei atau pemetaan sumber daya lahan,
karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan
tanahnya. Data tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi
komoditas tertentu. Karakteristik lahan yang digunakan adalah temperatur udara, curah hujan,
lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah,
ketebalan gambut, kematangan gambut, kapasitas tukar kation liat, kejenuhan basa, pH H2O, C-
organik, salinitas, alkalinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, bahaya
di permukaan, dan singkapan batuan (Djaenudin et al., 2003).
Karateristik lahan merupakan atribut dari lahan yang dapat diukur dan diduga secara
langsung yang berhubungan dengan penggunaan lahan tertentu, misalnya kemiringan lereng,
tekstur tanah, kedalaman efektif, curah hujan dan sebagainya (FAO, 1983). Keberhasilan
penanaman banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karateristik lahan dengan persyaratan
tumbuh tanaman bersangkutan. Karateristik lahan tidak dapat berperan secara sendiri-sendiri,
akan tetapi lebih sering merupakan gabungan antara karateristik secara berkaitan. Kombinasi
berbagai karateristik lahan menentukan atau mempengaruhi perilaku lahan (kualitas lahan),
yakni bagaimana ketersediaan air, perkembangan akar, peredaran udara, kepekaan terhadap
erosi, ketersediaan hara, dan sebagainya (Rahmawati, 2009).
3. Persyaratan Tumbuh Tanaman
Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan diperlukan oleh masing-masing
komoditas (pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan) mempunyai batas kisaran
minimum, optimum, dan maksimum. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan, persyaratan
tersebut dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan, yang dikaitkan dengan
kualitas dan karakteristik lahan (Sys et al., 1993).
Kualitas lahan yang optimum bagi kebutuhan tanaman atau penggunaan lahan merupakan
batasan bagi kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai (S1), sedangkan kualitas lahan di bawah
optimum merupakan batasan kelas kesesuaian lahan antara kelas yang cukup sesuai (S2), dan
atau sesuai marginal (S3). Selain batasan tersebut merupakan lahan-lahan yang secara fisik
tergolong tidak sesuai (N). Semua jenis komoditas, termasuk tanaman pertanian, dan perikanan
berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi memerlukan persyaratan-
persyaratan tertentu, terdiri atas energi radiasi, temperatur (suhu), kelembaban, oksigen, hara,
dan kualitas media perakaran yang ditentukan oleh drainase, tekstur, struktur, dan konsistensi
tanah, serta kedalaman efektif tanah (Rahmawati et al., 2011).
4. Struktur dan Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian lahan
(komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa
kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam
penggunaannya secara lestari. Kemampuan lahan dipandang sebagai kapasitas lahan itu sendiri
untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum. Perbedaan dalam kualitas tanah dan bentuk
lahan (land form) seringkali merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan satuan peta tanah
dalam suatu areal (Fauzi et al., 2009).
Kemampuan penggunaan lahan adalah suatu sistematika dari berbagai penggunaan lahan
berdasarkan sifat-sifat yang menentukan potensi lahan untuk berproduksi secara lestari. Lahan
diklasifikasikan atas dasar penghambat fisik. Sistem klasifikasi ini membagi lahan menurut
faktor-faktor penghambat serta potensi bahaya lain yang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Jadi, hasil klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan
secara umum misalnya untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, hutan produksi, dan
sebagainya (Harjadi, 2007).
Lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama yaitu kelas, subkelas, dan satuan
kemampuan (capability units) atau satuan pengelolaan (management unit). Pengelompokkan di
dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam lima
kelas dengan simbol kelas secara berurutan S1, S2, S3, N1 dan N2. Ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari kelas S1 ke kelas berikutnya (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007). Pengelompokan ke dalam kelas kemampuan lahan didasarkan pada besarnya
faktor pembatas atau kendala (penghambat). Dalam klasifikasi ini, tanah atau lahan
dikelompokkan ke dalam kelas S1 hingga N2. Tanah dalam kelas S1 tidak memiliki pembatas
utama bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan tanah yang termasuk dalam kelas N2 memiliki
pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan untuk pertanian atau produksi
tanaman secara komersial. Dengan demikian, semakin tinggi kelasnya (semakin besar angka
kelas) semakin rendah kualitas lahannya (Parsa et al., 2008).
III. METODOLOGI

1. Alat dan Bahan


Praktikum Acara I dengan judul Identifikasi, Karakterisasi dan Evaluasi Lahan
Komoditas Pertanian dengan topik Identifikasi, Karakterisasi dan Evaluasi Lahan Kawasan
Nanggulan, Kulon Progo untuk Budidaya Padi yang dilakukan melalui kajian dan studi literatur
serta observasi lapangan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi data sekunder yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Daerah dalam Angka, data iklim dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta jurnal/publikasi ilmiah yang memuat
informasi identifikasi, karakterisasi dan evaluasi lahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Peralatan yang digunakan meliputi alat tulis, data acuan evaluasi lahan, dan alat akses sumber
informasi.
2. Pelaksanaan
Praktikum ini dimulai dengan penyusunan tabel acuan evaluasi kesesuaian lahan
budidaya padi yang untuk memperolehnya dapat ditempuh melalui publikasi ilmiah atau mengakses
di website Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). Tabel yang diperoleh
(Tabel 1) merupakan informasi yang dijadikan sebagai dasar acuan penilaian dan evaluasi lahan
pada nantinya. Selanjutnya disusun pertanyaan merujuk pada kriteria karakteristik lahan (mengacu
pada tabel evaluasi) yang dapat diperoleh melalui wawancara. Untuk kebutuhan data informasi
yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara dapat dicari melalui pendekatan studi literatur yakni
mencari rujukan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Daerah dalam Angka,
data iklim dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta jurnal/publikasi ilmiah
yang memuat informasi identifikasi, karakterisasi dan evaluasi lahan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap tiap-tiap kriteria persyaratan
penggunaan/karakteristik lahan (merujuk pada tabel acuan) mengenai identifikasi dan karakterisasi
lahan di desa Siraman yang diperoleh dari wawancara ataupun dari data sekunder. Selanjutnya
dilakukan evaluasi atas nilai dari suatu persyaratan penggunaan/karakteristik lahan yang diperoleh
dengan cara membandingkan dan menggolongkan suatu nilai hasil identifikasi dan karakterisasi
terhadap kriteria yang sudah tercantum pada tabel persyaratan penggunaan/karakteristik lahan
(Tabel 1). Setelah semua persyaratan penggunaan/karakteristik lahan terisi, ditentukan kelas
kesesuaian lahan dengan melihat dan merujuk pada faktor pembatas yang paling berat (kelas paling
buruk). Selanjutnya dirumuskan saran dan modifikasi lingkungan untuk menangani faktor pembatas
yang ada serta dirumuskan alternatif pengembangan tanaman pertanian lain yang sesuai dengan
kualitas dan karakteristik lahan.
Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan terhadap kesesuaian lahan
Persyaratan penggunaan/ Kelas kesesuaian lahan
karakteristik lahan S1 S2 S3 N
Temperatur (tc)
Temperatur rerata (oC) 25-29
Ketersediaan air (wa)
Kelembaban (%) 72.5
Ketersediaan oksigen (oa)
Terhambat,
Drainase
agak baik
Media perakaran (rc)
Sedang
Tekstur (geluh
lempungan)
Kedalaman tanah 120 cm
Ketersediaan hara (nr)
77,38
KTK liat (cmol)
cmol/kg
Kejenuhan basa (%) 35-50
pH H2O 7-8
C-organik (%) 0.15
Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m) 3.16
Sodisitas (xn)
Alkalinitas/ESP (%) 20-30
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) >100cm
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) 1.74
Bahaya erosi/longsor rendah
Bahaya banjir (fh)
Tinggi 25
Lama (hari) Tanpa
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) 0
Singkapan batuan >5

Tabel 2. Kriteria kesesuaian lahan yang telah diusahakan untuk komoditas tanaman pangan padi
sawah irigasi (Oryza sativa) (PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR
79/Permentan/OT.140/8/2013 )

Persyaratan penggunaan/ Kelas kesesuaian lahan


karakteristik lahan S1 S2 S3 N
Temperatur (tc)
Temperatur rerata (oC) 24-29 22-24 18-22 <18
Ketersediaan air (wa) Irigasi Irigasi irigasi irigasi
Kelembaban (%) 33-90 30-33 <30 -
Ketersediaan oksigen (oa)
Agak Terhambat, Sangat
cepat
Drainase terhambat baik terhambat
sedang Agak
cepat
Media perakaran (rc)
Halus,
Agak
agak Sedang kasar
kasar
Tekstur halus
Kedalaman tanah >50 40-50 25-40 <25
Bahan kasar % <3 3-15 15-35 >35
Gambut
Ketebalan gambut <40 40-100 100-140 >140
Saprik,
Saprik hemik fibrik
Kematangan hemik
Ketersediaan hara (nr)
KTK liat (cmol) >16 5-16 <5 -
Kejenuhan basa (%) >50 35-50 <35 -
4.5-5.5 <4.5
5.5-7.0 -
pH H2O 7.0-8.0 >8.0
C-organik (%) >12 0.8-1.2 <0.8 -
Sangat
sedang rendah -
N total rendah
Rendah-
P2O5 (mg/100g) tinggi sedang Sangat -
rendah
Sangat
K2O (mg/100g) sedag Rendah -
rendah
Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m) <2 2-4 4-6 >6
Sodisitas (xn)
Alkalinitas/ESP (%) <20 20-30 30-40 <40
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) >100 75-100 40-75 <40
Bahaya erosi (eh)
3-8 8-30
<3 >30
Lereng (%) (diteras) (diteras)
Sangat
Ringan sedang berat
Bahaya erosi/longsor ringan
Bahaya banjir (fh)
Tinggi 25 25-50 50-75 >75
Lama (hari) Tanpa <7 7-14 >14
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) <5 5-15 15-40 >40
Singkapan batuan <5 5-15 15-25 >25
*) S1: sangat sesuai; S2: cukup sesuai; S3: sesuai marginal; N: tidak sesuai. (-) tidak diperhitungkan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengamatan
Desa Jatisarono terletak di Kecamatan Nanggulan dengan batas sebelah timur Sungai Progo,
sebelah selatan Desa Wijimulyo, sebelah barat Desa Tanjungharjo dan Desa Pendoworejo
Kecamatan Girimulyo sedangkan batas utaranya adalah Desa Kembang. Desa Jatisarono yang
merupakan salah satu desa dari 88 desa di Kabupaten Kulon Progo ini memiliki topografi bervariasi
dengan ketinggian 0-85 mdpl dengan suhu ±23oC. Luas wilyah Desa Jatisarono ±412,03 ha dengan
penggunaan sawah 223,58 ha, pekarangan 178,89 ha, tegalan 0,5 ha dan lainnya 9,11 ha.
Pembangunan pertanian di desa ini meliputi pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
perkebunan, peternakan serta perikanan. Jumlah kelompok tani yang ada adalah 18 kelompok tani
dengan kelas pemula 3 kelompok, kelompok tani madya 6, dan kelompok tani utama 1. Prasarana
irigasi yang ada untuk menunjang pertanian dan berbagai kegiatan lainnya antara lain saluran
sekunder, tersier, gorong-gorong, dan bak pembagi. Semua prasarana tersebut tersedia dengan
kondisi baik. Peta kawasan Nanggulan disajikan dalam gambar 1 berikut:

Gambar 1. Peta Nanggulan


Setelah dilakukan pengamatan langsung di Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan,
Kabupaten Kulon Progo didapatkan hasil kesesuaian lahan sesuai dengan tabel berikut:
Tabel 1. Tabel Evaluasi Kesesuaian Lahan Desa Jatisarono
Persyaratan Kesesuaian lahan
Data kecamatan Syarat tumbuh
penggunaan/
Nanggulan Padi S1 S2 S3 N
karakteristik lahan
Temperatur (tc)
Temperatur rerata
25-29 24-29 V
(oC)
Ketersediaan air
Irigasi
(wa)
Kelembaban (%) 72.5 33-90 V
Ketersediaan
oksigen (oa)
Agak terhambat
Drainase Terhambat, baik V
sedang
Media perakaran
(rc)
Tekstur Sedang Halus, agak halus V
Kedalaman tanah 120 cm >50 V
Bahan kasar % - <3
Gambut -
Ketebalan gambut - <40
Kematangan - Saprik
Ketersediaan hara
(nr)
KTK liat (cmol) 77.38 >16 V
Kejenuhan basa (%) 35-50 >50 V
pH H2O 7-8 5.5-7.0 V
C-organik (%) 0.15 >12 V
N total - sedang
P2O5 (mg/100g) - tinggi
K2O (mg/100g) - sedang
Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m) 3.16 <2 V
Sodisitas (xn)
Alkalinitas/ESP (%) 20-30 <20 V
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik
>100 >100 V
(cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) 1.74 <3 V
Bahaya
Rendah Sangat ringan V
erosi/longsor
Bahaya banjir (fh)
Tinggi 25 25 V
Lama (hari) Tanpa Tanpa V
Penyiapan lahan
(lp)
Batuan di
0 <5 V
permukaan (%)
Singkapan batuan <5 <5 V

b. Pembahasan
Tabel hasil di atas merupakan tabel yang berisi data hasil evaluasi kesesuaian lahan
budidaya tanaman padi di desa Karang, Jatisarano, Nanggulan, Kulon Progo.Seluruh data diperoleh
melalui pendekatan kajian studi literatur merujuk pada jurnal ilmiah maupun sumber hasil
penelitian lain yang telah melakukan pengukuran (riset) terhadap kondisi lahan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam pengumpulan data sekunder didapati kendala yakni sulit dalam
menemukan (mengumpulkan) data hasil penelitian yang dilakukan spesifik (tepat) pada desa
Siraman, dimana hasil penelitian tersebut memuat keterangan yang dibutuhkan sebagai data
perbandingan terhadap tabel evaluasi. Oleh karena itu, dalam mensiasatinya, dilakukan pencarian
data sekunder hasil penelitian yang memuat keterangan tabel evaluasi lahan di desa lain dengan
ketentuan desa tersebut berada dalam satu wilayah kecamatan Nanggulan. Asumsi yang diajukan
terhadap hal tersebut ialah kemungkinan besar kondisi lahan antar desa dalam satu kecamatan
bersifat homogen. Namun pada kenyataanya dengan menggunakan pendekatan tersebut, masih ada
beberapa keterangan karakteristik lahan yang belum terisi dengan mengandalakan hasil penelitian di
satu kecamatan Nanggulan, khususnya untuk aspek sifat kimia tanah.
Untuk melengkapi kekurangan keterangan karakteristik lahan tersebut dilakukan pelebaran
pendekatan yakni dengan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan lain dengan
ketentuan kecamatan tersebut berada dalam satu kabupaten Kulon Progo dan memiliki kemiripan
sifat tanah dengan kecamatan Nanggulan Kemiripan sifat ini didekati dengan prasyarat batuan
induk dan jenis tanah. Asumsi yang digunakan ialah paling tidak suatu lahan yang terbentuk dari
batuan induk yang sama dan jenis tanahnya sama akan memiliki peluang kemiripan karakter tanah.
Nanggulangan merupakan salah satu nama kecamatan dalam Kabupaten Kulon Progo.
Secara astronomis Kabupaten Kulon Progo terletak diantara 7 0 38 ‘’ - 7 0 58 ’ 3’’ LS dan7 0 38 ‘’ - 11
0
16 ’ 26’’ BT. Berdasarkan posisi geostrategic Kabupaten Kulon Progo yang terletak dibagian barat
DI Yogyakarta serta berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah menjadikan Kabupaten
Kulon Progo sebagai “pintu gerbang” yang menghubugkan DI Yogyakarta dengan pusat-pusat
ekonomi dan pemerintahan yang terletak dibagian barat Pulau Jawa. Kabupaten Kulon Progo yang
berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia juga dapat menjadi penghubung DI Yogyakarta
dengan negara tetangga yag terletak dibagian selatan Indonesia yaitu Australia. Posisi geostrategic
ini mampu memberikan keuntungan bagi Kabupaten Kulon Progo maupun DIY.
Tabel hasil evaluasi kesesuaian lahan berdasarkan kriteria dari persyaratan penggunaan
lahan untuk tanaman padi menunjukkan bahwa terdapat beberapa hasil pengamatan yang berada
dikelas S1, S2 dan S3. Kriteria yang berada pada kelas S1 (faktor pendorong) meliputi temperatur
rata-rata, kelembaban, kedalaman tanah, KTK liat, kedalaman sulfidik, lereng, genangan, batuan di
permukaan, dan singkapan batuan. Kriteria yang berada di kelas S2 mencakup tekstur, drainase,
kejenuhan basa, pH, Salinitas, Alkalinitas, dan erosi. Sedangkan kriteria yang berada di kelas S3
(sekaligus sebagai pembatas) meliputi C-organik. Artinya, dengan keterangan-keterangan tersebut
dapat disimpulkan bahwa kelas kesesuaian lahan padi tanah di Kecamatan Nanggulangan berada
pada kelas S3nr, yang artinya lahan tersebut kurang sesuai untuk budidaya padi dengan faktor
pembatas C-Organik.
Pertumbuhan tanaman sangat bergantung terhadap faktor lingkungan tumbuh. Artinya
tanaman akan memberikan jaminan tumbuh maksimal apabila faktor lingkungan tumbuh mampu
memberikan jaminan kondisi lingkungan tumbuh yang optimal. Dalam kasus budidaya tanaman
padi hubungannya dengan evaluasi lahan yang dilakukan, pertumbuhan dan hasil padi akan
mendekati nilai maksimal apabila seluruh kriteria kesesuaian lahan sebagai syarat pra tumbuh dari
faktor lingkungan terkategori sebagai kelas S1 (sangat sesuai). Hasil evaluasi lahan menunjukkan
kelas kesesuaian S2 dengan beberapa kriteria lahan berada pada kelas S2 dan tidak ada kriteria
lahan yang tergolong pada kelas N. Fakta tersebut menunjukkan, apabila diinginkan pertumbuhan
dan hasil budidaya padi yang mendekati maksimal, hal utama yang perlu dilakukan ialah
merekayasa faktor penghambat S3nr (C-Organik) agar kondisinya dapat terkategori menjadi kelas
S1.
Opsi utama yang dipilih untuk menganggapi data hasil tersebut ialah memodifikasi
lingkungan agar nilai faktor pembatas yaitu C-Organik menjadi sesuai (S1). Bahan organik
merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik atau kimia. Bahan
organik tanah memiliki banyak kegunaan, diantaranya dalam mempertahankan struktur tanah,
meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan dan mendistribusikan air dan udara di dalam
tanah, serta nutrisi-nutrisi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme di dalam tanah.
Kandungan bahan organik tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, iklim, dan pengairan
lingkungan. Rata-rata bahan organik menyusun 5-10% tanah pertanian. Bahan organik ini
mempunyai kandungan senyawa rantai karbon, dari yang sederhana hingga senyawa kompleks
dengan komposisi lebih dari 50%, 40% oksigen, 5% hidrogen, 4% nitrogen, dan 1% sulfur (Smith
et al. 2000). Bahan organik dalam tanah dapat berasal dari hasil penambahan terus menerus
pelapukan sisa tanaman secara alami maupun penambahan yang diatur oleh manusia. Soepardi
(1983) mengemukakan bahwa sumber bahan organik mencakup (1) sisa-sia tanaman yang tertinggal
dalam tanah, (2) sisa tanaman dan binatang yang terdekomposisi di permukaan tanah, (3) pupuk
kandang, (4) pupuk buatan, dan (5) mikro organisme tanah yang jaringan tubuhnya telah mati.
Dekomposisi bahan organik tanah menghasilkan dua fraksi, yaitu fraksi bahan organik
sederhana yang mantap dan fraksi senyawa aktif yang mudah terurai kembali atau hilang. Fraksi
bahan organik yang mantap sering disebut sebagai humus, yang dihasilkan oleh mikroorganisme
sedangkan fraksi yang mudah terurai disebut zat–zat bukan humus, seperti karbohidrat, protein,
asam asam amino, lipid, dan lignin, dihasilkan dari residu tanaman atau mikroorganisme. Bahan-
bahan bukan humus ini bermanfaat dalam pembentukan struktur tanah, meningkatkan kapasitas
tukar kation, penyangga pH tanah, dan meningkatkan kapasitas menahan air (Bohn et al. 1979).
Dekomposisi bahan organik dapat terjadi pada kondisi aerob dan anaerob. Kedua proses
tersebut dibedakan dalam dua hal, yaitu kecepatan dekomposisi dan hasil akhir dekomposisi.
Bentuk NO3- dan NH4+ tanah diperlukan oleh jasad-jasad renik dalam proses dekomposisi bahan
organik. Apabila bahan yang dihancurkan kaya akan N dibandingkan dengan kadar C, maka tidak
akan terjadi imobilisasi N, sebaliknya jika kadar N lebih rendah dari kadar C, maka akan terjadi
proses imobilisasi N-tanah oleh mikroorganisme. Laju dekomposisi bahan organik dipengaruhi
oleh: (a) bahan asal tumbuhan, meliputi jenis, umur, dan komposisi kimia tumbuhan (b) faktor
tanah (aerasi, temperatur, kelembaban, kemasaman, dan, tingkat kesuburan), (c) faktor iklim.
Kandungan hara dalam pupuk organik yang mencukupi, akan menunjang peningkatan produksi
pertanian (Soepardi 1983).
Salag satu cara memperbaiki nilai C-Organik yang rendah adalah dengan penambahan
pupuk organik. Pupuk organik secara umum didefinisikan sebagai pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan dan manusia,
berbentuk padat atau cair dan telah mengalami dekomposisi. Pupuk organik digunakan untuk
meningkatkan suplai hara pada tanah dan tanaman.
Pupuk organik bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga
dalam aplikasinya diperlukan dalam jumlah banyak. Manfaat utama penggunaan pupuk organik
adalah adanya perbaikan kesuburan kimia, fisik, dan biologis tanah dalam jangka panjang, serta
sumber hara bagi tanaman (Soepardi 1983). Pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan,
antara lain sisa tanaman seperti jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa,
serbuk gergaji, limbah media jamur, limbah pasar, rumah tangga, dan pabrik, serta pupuk hijau dan
pupuk dari kotoran hewan yang dikenal dengan pupuk kandang.
Pupuk kandang adalah bahan yang berasal dari kotoran ternak, baik berupa kotoran padat
ataupun yang tercampur sisa makanan dan air kencing ternak (Soepardi 1983). Pupuk kandang
terdiri atas dua jenis, yaitu padat dan cair. Komposisi kandungan unsur hara pupuk kandang sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, jenis ternak, umur, kondisi ternak, macam papuk kandang,
bahan hamparan yang digunakan, perlakuan dan, penyimpanan yang dilakukan sebelum
diaplikasikan ke lahan (Buckman & Brady 1972). Kebutuhan pupuk kandang suatu lahan pertanian,
sangat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti macam tanah, jenis tanaman yang diusahakan, bentuk
usaha tani, dan jumlah pupuk kandang yang tersedia (Leiwakabessy & Sutandi 1988). Menurut
Sanchez (1976), pupuk kandang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pupuk kimia antara
lain, aman digunakan dalam jumlah besar, membantu menetralkan racun logam berat dalam tanah,
memperbaiki struktur tanah agar lebih gembur, membantu peyerapan hara, dan mempertahankan
suhu tanah.
Pupuk organik lainnya ialah pupuk hijau. Pupuk hijau adalah pupuk yang berasal dari
tanaman atau bagian tanaman tertentu yang masih segar kemudian dibenamkan kedalam tanah.
Pupuk hijau diberikan guna meningkatkan bahan organik tanah dan unsur hara khususnya nitrogen.
Tanaman yang dikategorikan pupuk hijau ini biasanya tanaman dengan jenis legum yang
mempunyai bakteri Rhizobium yang menempel pada akar tanaman. Bentuknya berupa bintil
sehingga sering disebut bintil akar. Salah satu contoh tanaman yang digunakan sebagai pupuk hijau
adalah mucuna sp. Tanaman ini temasuk jenis polong-polongan yang sangat toleran tumbuh pada
beberapa jenis tanah, baik pada tanah yang bereaksi masam maupun yang mengandung Al tinggi
seperti podsolik, oxisol dan tanah yang ber-pH tinggi, seperti alfisol dan grumusol. Tanaman ini
mempunyai pertumbuhan yang cepat, mampu menggemburkan tanah, serta mampu melindungi
tanah dari pukulan air hujan sehingga terhindar dari proses pencucian. Tanaman lain yang dapat
berperan sebagai pupuk hijau, yaitu Tithonia diversivolia (Thitonia).
Thitonia dikenal sebagai bunga matahari asal Meksiko yang termasuk tanaman perdu dari
famili Asteraceae. Tanaman ini merupakan tanaman perdu yang tumbuh dengan tinggi 1-3 meter,
bunga berwarna kuning, berbunga pada akhir musim hujan, dan produksi biomassa daun cukup
banyak serta tahan terhadap kekeringan. Kandungan unsur hara rata-rata pada Thitonia adalah
nitrogen sebesar 3.25-5.50%; fosfor sebesar 0.2-0.5%; dan kalium sebesar 2.3-5.5% (Jama et al.
1999 dalam Sudaryanto dan Supriyadi 2004). Kompos yang dibuat dari tanaman Thitonia
mengandung hara N dan K, serta sebagai pengkelat Ca, Fe, dan Al sehingga penggunaan kompos
tanaman tersebut mampu mengurangi keracunan Al dan Fe serta meningkatkan pelepasan P lebih
besar.

V. KESIMPULAN
Sesuai dengan kelas kesesuain lahan, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo
tersebut termasuk dalam kelas S3nr dengan faktor pembatas yaitu kandungan C-Organik.
DAFTAR PUSTAKA
Bohn H, Neal Mc, Connor O. 1979. Soil Chemistry. London: J Wiley.
Buckman NC, Brady HO. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Bharata Karya Aksara.

Dent, D. and Young, A. 1981. Soil Survey and Evaluation. Georgr Allen and Unwin, London.

Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan
untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama tahun 2003, ISBN 979-9474-25-6. Balai
Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

FAO. 1983. Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil Bulletin No. 52.
FAO-UNO, Rome.
Fauzi, Y. Boko, S. Zulfia, M. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu
Melalui Perancangan Model Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal Forum
Geografi 23 (2) : 101–111.

Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna
Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Harjadi, B. 2007. Aplikasi Penginderan Jauh dan SIG untuk Penetapan Tingkat Kemampuan
Penggunaan Lahan (KPL) (Studi Kasus di DAS Nawagaon Maskara, Saharanpur-India).
Surakarta. Jurnal Forum Geografi 21 (1) : 69-77.

Hidayat, A, E. S. Adiningsih dan P. Setiawan. 2004. Analisis pengembangan lahan untuk tanaman
padi di Jawa Barat dari data landsat dengan sistem informasi geografis. Jurnal Penginderaan
Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital 1 (1) : 46-55.
Leiwakabessy FM, Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Bogor: Departemen Tanah Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ramli, M. dan S. Baja. 2006. Evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan jarak pagar (Jatropha
curcas L.) di kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Sulawesi Selatan. Jurnal Sanis &
Teknologi 6 (2) : 59-66.

Rahmawaty, T. R. Villanueva, and M. G. Carandang. 2011. Participatory Land Use Allocation,


Case Study in Besitang Watershed, Langkat, North Sumatera, Indonesia. Lambert Academic
Publishing. Jerman.

Rahmawaty, 2009. Penggunaan Geographic Information System (GIS) untuk Pemetaan Kesesuaian
Lahan di DAS Besitang. Prosiding. Optimalisasi Pengelolaan Lahan dalam Upaya Menekan
Pemanasan Global Mendukung Pendidikan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan, Medan.
12-13 Februari 2010.

Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan
Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan
World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
<http://sppklninasevani.comoj.com/index.php?go=about>. Diakses tanggal 30 Maret 2018.
Sanchez PA. 1976. Properties and Management of Soil in Tropics. New York: John Willey & Sons.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Sudaryanto R, Supriadi. 2004. Peluang sumber bahan organik Tithonia diversifolia dan Tephrosia
candida untuk pengelolaan tanah andisol. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Lingkungan Pertanian. Pusat Panalitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Departemen Pertanian.

Sys, C., E. Van Ranst, J. Debaveye, and F. Beernaert. 1993. Land Evaluation. Crop Requirements
Part III. Agricultural Publication No. 7 General Administration for Development Corp.
1050. Brussels-Belgium.

Anda mungkin juga menyukai