Anda di halaman 1dari 6

DAMPAK PENCEMARAN AIR

PENDAHULUAN

Air sebagai sumberdaya alam dapat berupa persediaan dan sekaligus sebagai aliran. Air
tanah misalnya merupakan persediaan, yang biasanya memerlukan aliran dan pengisian kembali
oleh air hujan. Sumberdaya air bervariasi secara luas dari daerah ke daerah. Pemasokan air
tergantung pada topografi dan kondisi meteorologi, karena mereka mempengaruhi peresapan dan
penguapan air.
Pemanfaatan sumberdaya air terutama ditujukan untuk memasok keperluan kota, irigasi,
pembangkit tenaga listrik pengawasan banjir, rekreasi, pengawasan pencemaran, pelayaran,
perikanan, dan untuk konservasi binatang di hutan. Mengingat pentingnya pemanfaatan sumberdaya
air ini secara optimal, maka pertimbangan untuk penggunaan ganda harus dilakukan, meskipun
dengan proyek yang sekecil munglkin.
Indonesia dengan luas daratan sekitar 1.918.410 km' memiliki curah hujan rata-rata sebesar
2.620 mm setahun. Setelah memperhatikan kehilangan dan penguapan, maka limpahan efektif yang
tersedia sekitar 55 persen dari itu yakni sekitar 1.450 mm. Atas dasar data ini dan dikaitkan dengan
jumlah penduduk Indonesia dalam tahun 1990 sebanyak 179.194.223 maka potensi air per jiwa per
tahun ada sekitar 15.523 m3 (angka ini didapat dari perhitungan sebagai berikut: 1.918.410 km' x
1.450 mm/179.194.223). Karena aliran sungai berfluktuasi sepanjang tahun, maka aliran mantap
(stable run-off) adalah sekitar 25 - 35 persen dari rerata aliran setahun. Dengan demikian untuk
Indonesia aliran mantapnya tersedia sebesar 3.880 m3 per jiwa per tahun.
Untuk pulau Jawa dengan memperhatikan luas dataran sekitar 132.200 km2, curah hujan
efektif 1.200 mm setahun, sedangkan dalam tahun 1990 jumlah penduduk sekitar 107.517.963,
maka potensi air per jiwa per tahun tersedia adalah 1.475 m3. Aliran mantap air tersedia sekitar
368,75 m3 per jiwa per tahun.
Tahun 1970 potensi air per jiwa per tahun di Jawa sekitar 200 m (Doelhamid, 1972). Dengan
memperhitungkan aliran mantapnya, maka dalam tahun 1970 tersedia sekitar 500 m3 air per jiwa
per tahun. Dengan demikian setelah 20 tahun terdapat penurunan aliran mantap sekitar 26,4 persen.
Perubahan tersebut merupakan suatu penurunan yang cukup drastis.
Kebutuhan akan air bersih terutama di kota-kota terus meningkat. Sebagai contoh dalam
tahun 1970 apabila diasumsikan kebutuhan orang akan air bersih di kota sebanyak 150
liter/hari/orang (Ditjen Cipta Karya, L Dep. P.U. 1980), maka dibutuhkan air bersih dari 17.884500
m3 per hari pada tahun 1970, naik menjadi 26.879.180 m3per hari dalam tahun 1990 Ini berarti
selama 20 tahun ini kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Peningkatan kebutuhan ini
akan tampak lebih gawat lagi apabila dilihat kemampuan produksi PAM (Perusahaan Air Minum)
dalam melayani kebutuhan air bersih amat terbatas.
Untuk DKI Jakarta kapasitas produksi air bersih di tahun 1987 hanya sekitar 17.285 1/detik.
Dengan produksi itu DKI Jakarta paling banyak hanya mampu melayani sekitar 30-40 persen
penduduk Jakarta yang ada sekarang yakni sekitar delapan juta jiwa lebih. Apabila dimasukkan juga
kebutuhan air bersih bagi hotel, perkantoran, industri, rumah sakit, pertamanan, rumah-rumah
ibadat dan sebagainya, maka ancaman akan defisit air di dalam kota betul-betul meresahkan.
Hasil analisis statistik air minum yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik 1987
menunjukkan bahwa kuantitas penyediaan air bersih terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun
demikian masib belum cukup untuk memasok kebutuhan penduduk kota, terutama di kota-kota
besar sebagai akibat laju urbanisasi dan aktivitas ekonomi yang meningkat.
Erat kaitannya dengan itu masalah yang sering muncul ialah distribusi kuantitas, kualitas
dan modus pemakaian yang sangat bervariasi dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Dengan demikian
sering terjadi di suatu lokasi terdapat kelebihan air, sedang di tempat lain menderita kekurangan air.
Penanganan air minum/air bersih di kota-kota di Indonesia dilakukan oleh pemerintah
(PAM). Bahan baku produksi air minum/air bersih berasal dari air tanah termasuk air sumber dan
air permukaan (sungai, dan danau).
Antara tahun 1978-1984 penggunaan air tanah sekitar 52 persen sebagai bahan baku air
PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23 persen digunakan sebagai sumber
bahan baku. Sementara itu penduduk yang menggunakan sumur didapat dari air tanah menghadapi
beberapa aspek negatif. Air sumur mudah tercemar dan pemilikan tanah yang sempit di kota
menyebabkan jarak ideal antara sumur dan sumur peresap minimal 15 m sulit dipenuhi. Selain itu
pengggunaan sumur yang berlebihan akan mengganggu stabilitas tanah. Sejak tahun 1984
pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28
unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984, dan terus meningkat sampai tahun 1990.
Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam
dari pada kecenderungan pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan baku PAM.
Sungai sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi/cuci juga mempunyai
masalah yang berkaitan dengan sungai sebagai tempat pembuangan limbah industri. Konflik
kepentingan antara para pemakai sungai akan muncul dimana-mana, dan mudah menjadi isu politik
(ingat kasus fungsi hidrologis kawasan Puncak; Kasus Ciliwung dan Cisadane di DKI Jakarta,
sungai Garang di Semarang dan sungai Brantas di Surabaya ).
Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik
dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap
sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa
dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih, dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan
penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air yang tercemar.
Cukup banyak bukti menunjukkan adanya pencemaran sungai di kota-kota besar di
Indonesia sehingga perlu ditanggulangi segera seperti kasus sungai Ciliwung di Jakarta, sungai
Garang di Semarang, sungai Brantas di Surabaya dan beberapa sungai tertentu di luar Jawa.
Pengendalian sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Kualitas air merupakan salah
satu aspek yang makin banyak mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya air. Ini
disebabkan karena para konsumen air tidak hanya menginginkan jumlah yang cukup, tetapi juga
kualitas yang sesuai dengan keperluan mereka.
Timbulnya masalah kualitas air di cekungan (basin) sungai antara lain disebabkan oleh: (a)
Meningkatnya kandungan sedimen dalam air sungai, karena terjadinya erosi di daerah hulu sungai.
(b)Sistem pembuangan air limbah industri di sepanjang sungai sehingga terjadi pencemaran. (c)
Limbah rumah tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air. (d) Akibat negatif intensifikasi
pertanian (pestisida).
Langkah-langkah untuk mempertahankan kualitas air bukan saja untuk mencapai standar
kualitas air yang dikehendaki dari sudut ekologi, tetapi juga harus memperhatikan pertimbangan
ekonomi, misalnya sampai seberapa besar biaya untuk mencapai standar tersebut. Langkah-langkah
untuk mempertahankan kualitas air, tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi, biasanya memakan
biaya yang besar. Akan tetapi apabila pertimbangan untuk mendapatkan strategi biaya yang efsien
dilakukan, tentu akan menjadi lebih baik. Untuk itu adalah logis penelitian/pemantauan mengenai
strategi tersebut perlu dilakukan. Pertumbuhan industri yang semakin meningkat dan peningkatan
intensifikasi pertanian dengan pemakaian lebih banyak pestisida, ditambah lagi dengan
berkembangnya penduduk kota, akan memberi pengaruh buruk kepada tingkat pencemaran air.
Usaha mencegah pencemaran air sebagai bagian dari penyediaan air bersih secara efisien
perlu dilakukan. Dari sekarang perlu diambil langkah-langkah untuk menyelamatkan air baik untuk
generasi sekarang maupun bagi generasi di masa depan.

PEMBAHASAN

Kemungkinan dan kegunaan mengkonstruksi suatu model pengendalian kualitas air di


daerah cekungan (basin) suatu sungai di Indonesia salah satu sebabnya ialah kondisi khusus yang
ada di Indonesia yakni: terbatasnya data hidrologi dan data aktivitas ekonomi di suatu basin sungai,
kurangnya pengalaman dalam pembentukan model yang sifatnya antar disiplin, serta terbatasnya
fasilitas komputer yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian pekerjaan ini harus dilakukan,
karena kerusakan-kerusakan oleh pencemaran air sering terjadi. Di teluk Jakarta pencemaran
mercuri bagi kehidupan kerang, sedangkan di sungai Garang di Jawa Tengah, terdapat konsentrasi
oksigen terlarut (DO) yang amat rendah sehingga mengancam dan menurunkan hasil perikanan di
daerah muara. Sungai Garang merupakan suatu kasus yang menarik untuk diteliti pada waktu itu,
karena di basin sungai ini terdapat berbagai macam aktivitas ekonomi yang memanfaatkan sungai
itu. Sungai ini mengalir mulai dari gunung Ungaran ke arah Utara, melalui daerah pertanian, daerah
pemukiman penduduk dan dibagian tengah dipadati oleh aktivitas industri (pabrik), akhirnya
melewati kota Semarang hingga ke muara di laut Jawa.
Hasil penelitian kualitas air di aliran sungai menunjukkan bahwa kerendahan oksigen
terlarut didalam air dissolved oxygen (DO) disebabkan karena beban kebutuhan oksigen biologi
biochemical oxygen demand (BOD) dari aktivitas pabrik dan penduduk, serta chemical oxygen
demand (COD) dari pabrik. Konsentrasi DO, BOD, COD biasa digunakan sebagai kriteria untuk
menentukan kualitas air di aliran sungai. Adapaun yang dimaksud dengan BOD, DO, COD dan SS
adalah:
1. BOD = (Biochemical Oxygen Demand): kebutuhan oksigen. Beban pencemaran
organik diukur dengan banyaknya kebutuhan oksigen (BOD) yang ada dalam suatu
aliran untuk oksidasi. Umumnya makin tinggi BOD makin tinggi tingkat
pencemarannya.
2. DO = (Dissolved Oxygen): Oksigen terlarut.Organisme yang ada didalam Air
memerlukan oksigen. Kelarutan di dalam air dipengaruhi oleh temperatur, tekanan
parsial gas yang ada di udara atau di dalam air, kadar garam atau unsur yang mudah
teroksidasi terkandung di dalam air.
3. SS = (Suspensed Solid): Padatan tersuspensi dan kekeruhan.Padatan tersuspensi
mempengaruhi kekeruhan dan kejernihan air, oleh karena itu mempengaruhi proses
fotosintesa. Padahal tersuspensi yang tinggi juga menyebabkan naiknya ongkos
pengolahan produksi air minum.
4. COD = (Chemical Oxygen Demand): Kebutuhan Oksigen Kimia. Makin tinggi kadar
COD makin tinggi tingkat pencemarannya.

Pengolahan air limbah pabrik (treatment) menunjukkan bahwa alternatif teknologi yang
dipakai adalah pengolahan tingkat satu (primary treatment), dapat menghilangkan 30 persen BOD,
60 persen COD, dan 60 persen SS (Suspended Solid) yakni zat tersuspensi. Pengolahan tingkat dua
(Secondary treatment) dapat menghilangkan 70 persen BOD, COD dan SS dari permulaan, dan
lagoon atau kolam stabilisasi dapat menghilangkan BOD 80 - 90 persen. Kolam stabilisasi
memungkinkan bagi daerah yang mempunyai cukup luas tanah dan di luar kota (misalnya di daerah
muara). Pengolahan tingkat dua harus didahului oleh pengolahan tingkat satu, sedangkan
pemakaian lagoon diasumsikan tanpa melalui pengolahan tingkat satu maupun tingkat dua. Adapun
limbah penduduk, alternatif teknologi yang dipakai adalah septic tank atau langsung ke sungai.
Septic tank yang baik umumnya dapat menghilangkan BOD sekitar 40 persen.

PENUTUP

Selama duapuluh tahun terakhir ini, Indonesia telah mengalami penurunan aliran mantap air
sebanyak 26,4 persen, suatu penurunan yang cukup drastis. Dilain pihak, dalam kurun waktu yang
sama kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Oleh karena itu pengendalian air permukaan
menjadi semakin penting.
Pengendalian sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Timbulnya masalah kualitas
air di basin sungai bagi beberapa sungai Indonesia antara lain disebabkan karena: terjadinya erosi di
daerah hulu sungai; sistem pembuangan limbah industri di sepanjang sungai sehingga terjadi
pencemaran; limbah rumah tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air; akibat negatif intensifikasi
pertanian yakni pemakaian obat anti hama (pestisida).
Bayangkan jika air sudah tercemar oleh limbah, sedangkan kapasitas air yang dibutuhkan
oleh masyarakat kita semakin meningkat, yang saat ini banyak menggunakan air yang berasal adri
sungai. Dan tidak menutup kemungkinan kita akan mengkonsumsi air tercemar tersebut
dikarenakan makin terbatasnya persediaan air.
Masalah penanganan limbah perlu dilakukan secepatnya, agar tidak terlambat dan menjadi
sangat sulit untuk dilakukan recovery kembali.

Anda mungkin juga menyukai