Tugas Individu
Oleh :
GAYATRIA OKTALINA
1502702
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Entrepreneur dan karyawan bukan sebuah oposisi biner. Seorang karyawan pun bisa
menjadi entrepreneur, karena di sini persoalannya bukan status kepemilikan tapi mental
memiliki. Mental memiliki ini terlihat sederhana tapi sulit diwujudkan jika seseorang tidak
memahami apa yang digelutinya dengan falsafah yang tepat. Itulah sebabnya terkadang
seseorang sulit memahami bahwa karyawan pun bisa menjadi entrepreneur. Dibutuhkan
sebuah cara melihat kedalaman realita pada bidang yang digeluti agar seseorang mampu
sampai pada ’mental memiliki’. Hal ini tidak terbentuk secara instan, melainkan
membutuhkan proses. Inilah yang barangkali simetri dengan apa yang dikatakan Nietzche:
”Terhadap apa-apa yang dituliskan, aku hanya menyukai yang ditulis dengan darah.
Menulislah dengan darah, dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh”.
Menjadikan bidang yang digeluti sebagai roh memang membutuhkan sebuah
perjalanan yang mungkin berdarah-darah. Dengan demikian, maka akan terjadi
kemenyatuan antara diri kita dan apa yang kita geluti. Keterkaitan yang saling
menghidupkan sehingga muncul mental memiliki. Di sinilah kemudian dapat kita lihat
bahwa entrepreneurships memiliki keterkaitan dengan profesionalisme. Seorang pekerja
dengan level profesionalisme tertentu, adalah juga entrepreneurships.
Seprti apa yang ditulis Hermawan Kartajaya pada seri ke-14 dari rangkaian 100
tulisan Grow with Character di mana Hermawan menulis, bahwa makna entrepreneur tak
selalu diterjemahkan sebagai pengusaha. Hermawan mencontohkan Ciputra yang pernah
menantang para anak buahnya untuk menjadi entrepreneur. Caranya dengan memberi
kebebasan untuk melakukan apa saja, asal niatnya baik dan mencapai target. Ciputra adalah
seorang yang menekankan pentingnya entrepreneurships, bukan hanya pada pengusaha, tapi
juga karyawan. Bahkan menurutnya, entrepreneurships bisa memberi kontribusi positif bagi
perkembangan bangsa ini.
Hal ini tentu saja tidak mudah karena tidak semua karyawan merasa memiliki. Oleh
karenanya perlu difahami makna profesionalisme. Ketika bicara profesionalisme, maka
lebih dari sekadar seseorang dengan keahlian dan bayaran tinggi yang dipekerjakan di suatu
perusahaan. Dalam profesionalisme intinya ada pada perilaku. Sebuah intensitas melakukan
sesuatu yang berasal dari rasa memiliki akan apa yang digelutinya. Jika seorang profesional
bekerja di suatu perusahaan, maka rasa memiliki perusahaan itu muncul dan menyatu
dengan profesinya, yang pada saat itu berjalinan dengan sebuah perusahaan. Salah satu ciri
3
profesionalisme adalah level kemampuan yang dimiliki seorang profesional akan
mengundang kemampuan lain untuk berjalinan dengannya. Di sinilah kita bisa masuk lebih
dalam pada pemahaman bahwa sebuah perusahaan adalah sebuah organisasi. Kata dasarnya
adalah organ. Jadi, ibarat bertemunya berbagai fungsi yang saling berjalinan dan oleh
karenanya merasa memiliki satu sama lain.
Jadi, seorang profesional yang sudah mencapai titik tertinggi pemahaman akan
profesionalisme, maka ia akan sekaligus juga seorang entrepreneur. Ini karena pada titik
pemahaman tersebut, ia mengembangkan dirinya lewat apa yang digelutinya dan bagaimana
yang digeluti itu juga mengembangkan perusahaan yang menaungi. Dirinya sebagai
profesional adalah juga perusahaan tempat ia bekerja, perusahaan tempatnya bekerja adalah
juga dirinya sebagai profesional.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Terdapat beberapa karakteristik dalam pola dasar Entrepreneurship, diantaranya :
1. Sikap mental.
2. Kepemimpinan.
3. Tata laksana.
4. Keterampilan.
C. Pengertian Entrepreneur
Entrepreneur merupakan pelaku dari Entrepreneurship, yaitu orang yang memiliki
kreativitas serta inovatif sehingga mampu menggali serta menemukan peluang serta
mewujudkan menjadi usaha yang menghasilkan nilai/laba. Kegiatan menemukan sampai
mewujudkan peluang menjadi usaha yang menghasilkan disebut proses
Entrepreneurship. Kegiatan Entrepreneur adalah menciptakan barang jasa baru, proses
produksi baru, organisasi (manajemen) baru, bahan baku baru, pasar baru. Hasil-hasil
dari kegiatan-kegiatan Entrepreneur tersebut menciptakan nilai atau kemampu labaan
bagi perusahaan. Kemampulabaan menciptakan nilai tersebut karena seorang
Entrepreneur memiliki sifat-sifat kretaif serta inovatif.
Peranan Entrepreneur :
a. Meningkatkan standar / kualitas hidup manusia.
b. Sebagai motor penggerak dalam pembangunan nasional.
c. Menciptakan lapangan kerja baru yang dapat mengatasi pengangguran.
D. Karakteristik Entrepreneur :
a. Pekerja keras.
b. Disiplin.
c. Mandiri
d. Realitas
e. Prestatif (selalu ingin maju)
f. Komitmen tinggi
g. Tajam naluri bisnisnya.
h. Cepat melihat peluang usaha
6
i. Kretaif
j. Ulet serta siap pada tantangan
k. Ingin mencapai sesuatu.
E. Entrepreneur Habit
Mencapai suatu titik mental memiliki seperti itu, bukan persoalan mudah. Titik
menyatunya entrepreneurships dan profesionalisme dalam rasa memiliki ini bukan saja
membutuhkan waktu panjang, tapi juga bagaimana ada suatu etos atau roh yang terbentuk
menjadi habit. Di sinilah mungkin pentingnya pendidikan entrepreneurships yang mulai
7
banyak diselipkan di perguruan tinggi. Menurut saya, bahkan semestinya sudah agak
terlambat ketika entrepreneurships diajarkan sejak di perguruan tinggi. Pembentukan habit
tidak akan mudah dilakukan pada individu yang telah dewasa. Pendidikan entrepreneur
mestinya diajarkan lebih dini lagi. Pendidikan profesionalismelah yang semestinya mulai
diajarkan ketika orang sudah mulai memilih bidang (baca: arah studi di perguruan tinggi).
Di sini pun terjadi salah-kaprah dengan adanya program-program magister profesi
yang berada pada jenjang S-2. Seolah-olah orang baru bisa profesional ketika sudah
menempuh pendidikan S-2, padahal profesionalisme adalah masalah perilaku yang menyatu
dengan bidang yang digeluti. Profesionalisme, semestinya merupakan pengembangan lebih
jauh di perguruan tinggi karena di situ orang mulai memilih bidang. Sedangkan
entrepreneurships, adalah dasar yang semestinya sudah tertanam di jenjang sebelumnya.
Dengan bekal pendidikan entrepreneurships yang memadai di jenjang sebelumnya, maka
ketika memahami profesionalisme, seseorang akan lebih mudah memahami bahwa pada
titik tertentu, seorang profesional adalah juga entrepreneur.
8
kemampuan tertentu berupa tenaga, waktu dan pikiran yang “dijual” kepada pihak lain atau
orang lain untuk mendapatkan imbalan yang terukur-biasanya dalam bentuk uang-untuk
memenuhi nafkah hidupnya dengan segala resiko yang diperhitungkan.
B. Dimensi Profesionalisme
Terdapat tiga dimensi yang akan menentukan tingkatan profesionalisme seseorang
dalam menjalankan perannya sebagai entrepreneur yang kita sebut dengan kemampuan
memiliki Wawasan (D.1), Penyelarasan (D.2) dan Pemberdayaan (D.3). Seorang pemimpin
yang ingin maju dalam kepemimpinan sesuai dengan tuntutan perubahan, maka ia akan
berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan yang akan terkait dengan :
1. Wawasan (D.1) artinya kemampuan memanfaatkan ilmu (informasi) dan
pengetahuan (pengalaman) dalam berpikir secara vertical dan lateral dengan lebih
memfo-kuskan diri secara konseptual dalam melihat masa depan dalam
menyeimbangkan perencanaan strategik dengan pelaksanaan yang sejalan dengan
budaya organisasi, bila diperlukan diadakan penyesuaian dengan tuntutan perubahan
lingkungan yang kesemuanya untuk kepentingan stakeholders.
2. Penyelarasan (D.2) artinya kemampuan untuk mewujudkan kebersamaan dalam
tindakan melalui adanya keterkaitan dalam sistem artinya seperangkat unsur yang
secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas ; keterkaitan
dalam struktur artinya cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun ; keterkaitan
dalam proses artinya rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan.
3. Pemberdayaan (D.3) artinya kemampuan untuk mempersatukan wujud kepentingan
yang seimbang antara kepentingan individu, kelompok dan organisasi sehingga ia
dapat menjadi daya dorong untuk memotivasi perubah-an sikap melalui
pemberdayaan bakat yang tersembunyi, peningkatan kecerdikan emosional dan
membangkitkan pikitan kreativitas, yang kesemuanya merupakan pemberdayaan
otak.
9
1. Kolaborasi (D.1) artinya dengan kemampuan profesi-nalisme membangun
kepemimpinan kolaborasi pada semua tingkatan pimpinan dan menuntut perubahan
dalam sikap dan perilaku yang berkesinambungan pada setiap hubungan di tempat
kerja sehingga tidak lagi menentukan peran dalam jabatan melainkan peran dalam
fungsi.
2. Komitmen (D.2) artinya dengan profesionalimenya, ia membangun komitmen
sebagai wujud dari kesadaran dari proses berpikir intuisi dan akan menjadi suatu
kenyataan bila yang bersangkutan mampu mengintegra-sikan otak sebagai alat pikir
serta hati untuk menghayati. Jadi komitmen merupakan pengorbanan diri dalam arti
abstrak dan akan menjadi suatu kenyataan bilamana ucapan dan perbuatan jalan
seimbang.
3. Komunikasi (D.3) artinya dengan profesionalisme-nya ia membangun kemampuan
berkomunikasi yang efektif agar terwujud sikap positip, hal itu berarti pemimpin
menjadi daya dorong terhadap orang lain, sehingga setiap pesan atau gagasan yang
disampaikan kepada orang lain dapat diterima.
Dengan demikian, kolaborasi, komitmen dan komunikasi merupakan dimensi yang akan
mengangkat pemimpin yang sukses dalam menjalan peran kepemimpinannya baik dalam
sebuah organisasi maupun bisnis yang dijalaninya.
10
orang lain untuk mendapatkan imbalan yang terukur-biasanya dalam bentuk uang-untuk
memenuhi nafkah hidupnya dengan segala resiko yang diperhitungkan.
Dalam mengembangkan profesionalismenya, seorang profesional tidak begitu saja
dapat berkiprah di masyarakat untuk mencari nafkah. Seseorang profesional perlu
membekali dirinya terus menerus berusaha selalu memperbaiki diri agar kompetensinya
dapat diakui serta mampu berkompetisi dengan pihak-pihak lain, terutama dalam bidang
profesi sejenis.
Adapun bekal yang diperlukan oleh seorang profesional adalah ilmu pengetahuan dalam
bidang profesinya, keterampilan, mental, sikap serta integritas diri. Selain itu, tentu
diperlukan juga pengetahuan lain, sikap diri yang positif, kesehatan dan kebugaran fisik
yang prima, agar dapat menjalankan tugas-tugas profesinya dengan baik.
11
Kode etik biasanya dibuat oleh organisasi profesi sejenis. Kode etik ini akan terkait
dengan etika-etika yang harus diperhatikan seorang profesional dalam menjalankan
profesinya, supaya jangan terjerumus dalam citra pribadi yang merugikan pihak lain.
Etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nilai-nilai moral
dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan dan dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi. Etika aslinya adalah suatu komitmen untuk
melakukan apa yang benar dan baik untuk menentang apa yang salah dan apa yang
buruk.
12
4. Mempertahankan pelanggan
Ada anggapan mempertahankan pelanggan jauh lebih sulit daripada mencari
pelanggan. Anggapan ini tidak seluruhnya benar, justru mempertahankan
pelanggan lebih mudah karena mereka sudah merasakan produk atau layanan
yang kita berikan. Artinya, mereka sudah mengenal kita lebih dahulu. Melalui
pelayanan etika seluruh karyawan, pelanggan lama dapat dipertahankan karena
mereka sudah merasa puas atas layanan yang diberikan.
5. Membina dan menjaga hubungan
Hubungan yang sudah berjalan baik harus tetap dan terus dibina. Hindari adanya
perbedaan paham atau konflik. Ciptakan hubungan dalam suasana akrab. Dengan
etika hubunan yang lebih baik dan akrab pun dapat terwujud.
13
Pengusaha dituntut untuk selalu disiplin dalam berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan usahanya, misalnya dalam hal waktu pembayaran atau pelaporan
kegiatan usahanya.
5. Taat hukum
Pengusaha harus selalu patuh dan menaati hukum yang berlaku, baik yang
berkaitan dengan masyarakat maupun pemerintah. Pelanggaran terhadap hukum
dan peraturan yang telah dibuat berakibat fatal dikemudian hari. Bahkan, hal itu
akan menjadi beban moral bagi pengusaha apabila tidak diselesaikan segera.
6. Suka membantu
Pengusaha secara moral harus sanggup membantu berbagai pihak yang
memerlukan bantuan. Sikap ringan tangan ini dapat ditunjukkan kepada
masyarakat dalam berbagai cara. Pengusaha yang terkesan pelit akan dimusuhi
oleh banyak orang.
7. Komitmen dan menghormati
Pengusaha harus komitmen dengan apa yang mereka jalankan dan menghargai
komitmen dengan pihak-pihak lain. Pengusaha yang menjunjung tinggi
komitmen terhadap apa yang telah diucapkan atau disepakati akan dihargai oleh
berbagai pihak.
8. Mengejar prestasi
Pengusaha yang sukses harus selalu berusaha mengejar prestasi setinggi mungkin.
Tujuannya agar perusahaan dapat terus bertahan dari waktu ke waktu. Prestasi yang berhasil
dicapai perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, pengusaha juga harus tahan mental dan
tidak mudah putus asa terhadap berbagai kondisi dan situasi yang dihadapinya.
D. Etika Enterpreneurship
Menurut pendapat Michael Josephson (1998) yang dikutip oleh Zimmerer (1996: 27-
28), secara universal, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu:
1. Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, terus terang,
tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, tidak berbohong.
14
2. Integritas, yaitu memegang prinsip melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati,
berani dan penuh pendirian atau keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat,
dan dapat dipercaya.
3. Memelihara janji, yaitu selalu menaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen,
patuh, tidak meninterpretasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalistik
dengan dalih ketidakrelaan.
4. Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara,
tidak menggunakan atau memperlihatkan informasi rahasia, begitu juga dalam suatu
konteks profesional, menjaga atau melindungi kemampuan untuk membuat
keputusan profesional yang bebas dan teliti, dan menghindari hal yang tidak pantas
serta konflik kepentingan.
5. Kewajaran atau keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia mengakui
kesalahan, memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan individual dan
toleran terhadap perbedaan, serta tidak bertindak melampaui batas atau mengambil
keuntungan profesional yang bebas dan teliti, dan menghindari hal yang tidak
pantas serta konflik kepentingan.
6. Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan,
tolong-menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang
membahayakan orang lain.
7. Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati martabat orang lain, kebebasan dan
hak menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan santun, tidak
merendahkan dan memperlakukan martabat orang lain.
8. Warga negara yang bertanggung jawab, yaitu\selalu menaati hukum atau aturan,
penuh kesadaran sosial, dan menghormati proses demokrasi dalam mengambil
keputusan.
9. Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam
pertemuan personal ataupun dalam pertanggungjawaban profesional, tekun, dapat
dipercaya/diandalkan, rajin, penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan
kemampuan terbaik, dan mengembangkan serta memperthankan tingkat kompetensi
yang tinggi.
15
10. Dapat dipertanggungjawabkan, yaitu memiliki dan menerima tanggung jawab atas
keputusan dan konsekuensinya serta selalu memberi contoh.
16
BAB III
KESIMPULAN
Setiap bisnis perlu SDM profesional untuk mengelola dan mengembangkan bisnis
organisasi. Dengan entrepreneur yang professional, maka tantangan dari situasi yang
menggambarkan ketidak pastian dalam mengelola masa kini dan sekaligus menciptakan
masa depan bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan, melainkan sebagai daya dorong untuk
menumbuh kembangkan jiwa entrepreneurship di abad 21 sebagai suatu kebutuhan yang
tidak terelakkan.
Untuk menuntun dan mengarahkan peran entrepreneur yang professional dalam
menjalani sebuah bisnis dan dalam mempengaruhi orang lain secara effektif dalam masa
kini dan masa depan sangat ditentukan adanya keinginan entrepreneur tersebut untuk
berubah. Dalam perubahan itu, maka pola pikir baru menjadi suatu kebutuhan. Jadi
pemahaman atas wawasan, penyelarasan dan pemberdayaan merupakan dimensi yang
menentukan dalam pola pikir baru untuk membentuk perilaku dan keterampilan baru yang
akan menuntun terbentuknya kolaborasi, komitmen dan komunikasi sebagai langkah awal
menjadi seorang profesional entrepreneur.
Mengembangkan keterampilan tersebut, merupakan jawaban sebagai suatu langkah
mengantisipasi kejutan-kejutan perubahan yang bakal terjadi yang ditanda dengan di satu
sisi persaingan yang makin ketat dalam dunia bisnis serta masa depan yang tidak menentu
dan disini lain memperlihatkan adanya peluang-peluang yang harus dapat ditangkap oleh
otak.
Setiap pemimpin dapat memperoleh dan mengembangkan keterampilan, bakat,
kekuatan dan kemampuan melebihi apa yang anda harapkan saat ini, namun yang paling
penting juga kemampuan tersebut dibarengi dengan etika yang baik. Karena etika
merupakan tuntunan bagi para entrepreneur untuk dapat menjalankan usahanya dengan baik.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
19
Wapres, kenapa kurang entrepreneur? Itu karena Indonesia pernah dijajah 350 tahun,
pribumi dijadikan buruh, kurir,” ujar Ciputra.
“Kita ini sudah 350 tahun dijajah Belanda. Kini, bangsa Indonesia telah merdeka dan
sudah saatnya mengubah mindset masyarakat untuk memiliki mental mandiri dan berjiwa
wirausaha. Kami telah mendirikan CiputraCenter, namun tidak puas. Untuk itu, kami
mengajak Bank Indonesia dan bank BUMN mendirikan incubator center dari Sabang hingga
Merauke sampai tingkat kecamatan,” paparnya.
Lebih lanjut Ciputra menambahkan, penyebab yang kewirausahaan di Indonesia masih
rendah adalah sistem pendidikan yang masih menggunakan cara yang cenderung
konvensional. Menurutnya, masyarakat Indonesia mayoritas masih menggunakan otak kiri
dibanding otak kanan. “Sistem pendidikan kita masih mengiktui cara yang lama. Yaitu
memory system. Maka otak kiri yang besar, otak kanan tidak. Maka oleh karena itu kita
galakan konektivitas, entrepreneurship,” cetusnya.
Selain itu Ciputra menilai bahwa pemerintah perlu mengalokasikan anggaran secara
khusus untuk pengembangan wirausaha. Selama ini tingkat kewirausahaan masih cukup
rendah, sementara mereka menjadi tulang punggung penting bagi perekonomian nasional.
“Dari anggaran APBN sekitar Rp 1.600 triliun, kami minta satu persen saja untuk
entrepreneurship. “Pemerintah tak perlu khawatir, dengan satu persen itu nanti akan kembali
lebih dari 100 persen,” paparnya.
Menurut dia, anggaran tersebut nantinya akan difokuskan untuk pengembangan
kewirausahaan, khususnya pendidikan dan pelatihan bagi para wirausahawan di Indonesia.
Misalnya, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan khusus dunia usaha. SATU hal
yang saya lihat konsisten padu diri Pak Ciputra sejak dulu sampai sekarang ialah
entrepreneurship. Beliau percaya bahwa inilah yang akan membawa Indonesia maju. Tanpa
entrepreneurship,sebuah negara tidak akan maju.
Menurut Pak Ciputra, paling tidak lima persen penduduk sebuah negara haruslah
berjiwa pengusaha. Jadi pengusaha sungguhan atau tetap bekerja pada orang lain, tapi punya
jiwa pengusaha. Buat saya, kalau Anda karyawan tapi menganggap perusahaan tempat Anda
bekerja sebagai perusahaan sendiri, dampaknya akan lain. Bukan cuma pada perusahaannya,
tapi terutama pada diri sendiri. Itu yang kurang disadari orang. Banyak yang berpikir bahwa
dia merasa “rugi” kalau menganggap perusahaan tempat dia bekerja kayak perusahaan
20
sendiri. “Kok enak..rugi dong aku…nanti aja kalau aku sudah punya perusahaan sendiri,
baru begitu…” Itu alasan orang yang gak mau jadi inlrupreneur.Pak Ci “mengajarkan”
kepada saya bahwa orang seperti itu rugi sendiri. Tidak memanfaatkan kesempatan yang
ada. Memang, harus diakui, tidak semua perusahaan memberikan kesempatan kepada Anda
seperti itu. Harus diakui, susah juga kalau Anda bekerja di divisi produksi, operasi, atau
administrasi yang rutin.Tugasnya hanya melakukan sesuatu menurut SOP (standar operasi
prosedur), bah-kun tidak boleh berinovasi sedikit pun. Tapi, bila ada bos seperti Pak Ciputra
yang selalu “menantang” karyawannya untuk mempunyai jiwa en-irepreneurship di
perusahaannya, rugi besar kalau tidak diambil.
John Kao adalah bekas profesor di Harvard Business School yang juga produsen film
Sex, Lies, and Videotape. Dia melakukan survei entre-preneurship dan menemukan bedanya
dengan profesional murni.Katanya, ada tiga yang paling utama. Pertama, seorang
entrepreneur pintar melihat peluang atau opportunity. Sedangkan, seorang profesional lebih
suka melihat sisi threat atau ancaman dari suatu situasi.Situasinya bisa sama, tapi yang satu
dilihat sisi positifnya, sedangkan yang satu dari sisi negatifnya.Tahu cerita orang yang
dikirim bosnya untuk survei sepatu di suatu pulau? Ketika balik ke bos yang minta dia
survei, si karyawan mengatakan bahwa di sana tidak ada peluang. Kenapa? Di pulau itu
tidak ada orang pakai sepatu. Semuanya masih pakai sandal.
Buat si bos. kata “masih” itu jadi peluang untuk ngajarin mereka pakai sepatu. Jadi,
peluangnya sangat besar! Sedangkan, si karyawan yang tidak punya jiwa entrepreneurship
bilang begitu karena melihat ancaman. Ancaman untuk sebuah tugas jualan sepatu di situ.
Maunya cuma jual sepatu di tempat yang orangnya sudah pakai sepatu, tapi banyak
saingan!Tempat seperti itu buat si bos justru ancaman. Jadi, beda kan cara melihat suatu
situasi yang sama? Kedua, seorang profesional yang “berhasil” melihat peluang minta
semuanya safe. Tidak mau ambil risiko.
Balik ke cerita tadi, walaupun dia mengerti bahwa pulau tersebut adalah peluang, si
karyawan minta jaminan bahwa dia akan berhasil jualan sepatu di situ. Mana ada jaminan
seperti itu. Si bos. sebaliknya, sudah melihat cara “ngajari” orang-orang di situ untuk pakai
sepatu. Dia juga sudah membayangkan berapa besar effort dan cosi yang harus dikeluarkan
pada tahap awal. Selanjutnya, dia juga sudah membayangkan cost-benefit andi) sis yang
harus dihitung.Si bos mau ambil risiko dengan perhitungan. Diajuga siap menjadi risk taker
21
dengan persiapan exit strategy kalau gagal supaya tidak rugi secara besar-besaran.
Sedangkan, si Karyawan sama sekali gak mau ambil risiko, bahkan menghindarinya. Risk
averted.
Dia juga tidak mencoba mencari cara-cara kreatif untuk membuat peluang tadi jadi
kenyataan. Menunggu ada SOP-nya…”Kan saya anak buah, kan saya karyawan, kan saya
orang gajian…” Dan seterusnya!Para profesional sering hanya pintar bikin alasan dan
defensif kalau ditanyain. Tidak berani menerima challenge. Sedangkan, seorang
entrepreneur berani melakukan sesuatu tindakan nyata dengan perhitungan.Ketiga, sesudah
bisa melihat peluang dan menghitung risiko serta mengambil keputusan, masih ada satu lagi
yang penting. Yakinkan orang lain, libatkan orang lain, ajak orang lain untuk dapat modal,
dapal dukungan, maupun dapat talenta yang bagus.
Seorang profesional yang tidak punya jiwa entrepreneurship tidak berani mengajak
orang lain. Takut salah, takut ditolak, dan takut dimarah hi orang. Inilah “penyakit” orang
yang begitu. Karena itu, banyak pengusaha kecil yang cuma bisa marah-marah pada
pemerintah. Minta pelatihan, minta modal, minta bimbingan, bahkan minta bisnis! “Masak
saya pengusaha lokal dan kecil tidak (dibantu) memenangkan tender!” Begitu
keluhannya.Seorang entrepeneur sejati -apakah dia sudah jadi pengusaha atau malah tetap
jadi karyawan-jarangmengeluh!-Tapi. mereka selalu berusaha “menjual idenya” kepada
orang lain karena dia yakin bahwa idenya bagus. Nah, sekarang Anda tahu kan”! Ada
karyawan yang bermental “pengusaha”. Sebaliknya, ada yang sudah mendirikan perusahaan,
tapi “berjiwa” karyawan. Anda milih jadi yang mana? Hahaha!Setelah 20 tahun lebih, saya
pikir-pikir apa yang saya “pelajari” dari Ciputra itu pas dengan hasil riset Prof John Kao.
Memang Ciputra is the real entrepreneur. Dia adalah inspirator besar saya saat memulai
Markplus Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya.
Salah satu tugas kita sebagai pengusaha, selain memiliki keterampilan interpersonal,
leadership dan managerial, juga harus mampu melakukan tugas kreatif. Saya yakin, selama
pengusaha itu kreatif, maka usahanya akan tetap eksis dan berkembang maju. Jadi intinya,
menjadi pengusaha itu memang harus kreatif. Seolah tiada hari tanpa kreativitas. Karena
itulah, kini saatnya kita untuk terus kreatif. Ini mengingat macamnya usaha di Indonesia
belum sebanyak di Amerika serikat atapun di Negara lain. Di Amerika Serikat misalnya, ada
bisnis yang masih langka dan belum memasyarakat di Indonesia, yakni bisnis menyewakan
22
pakaian dan perlengkapan bayi. Jadi sebenarnya banyak macam usaha yang bisa kita
kerjakan, asal kita mau kreatif.
Di dalam kita memilih usaha juga harus kreatif. Begitu juga sewaktu kita menjalankan
usaha itu pun harus kreatif. Maka, tak ada salahnya kalau suasana di perusahaan itu harus di
ciptakan iklim yang kondusif untuk kita kreatif. Ide-ide kreatif yang semula tak pernah kita
pikirkan, akan cenderung muncul. Hanya saja memang kreatif itu memerlukan proses, yakni
proses kreatif. Jadi pada awalnya, untuk kreatif itu perlu persiapan, meski secara tidak
formal. Tinggal, bagaimana kita sendiri membuat suasana kerja itu kreatif. Dalam
prosesnya, ternyata itu juga membutuhkan konsentrasi kita. Padahal, yang mungkin terjadi
pada saat kita melakukan konsentrasi adalah menemui hambatan atau jalan buntu. Sehingga
akibatnya, kita tak bisa berbuat apa-apa, atau mengalami frustasi. Dan, sebenarnya frustasi
itu merupakan bagian dari proses kreatif itu sendiri.
Dalam kondisi inilah, menurut saya sebaiknya kita tidak menyerah atau putus asa.
Jangan berhenti sampai disitu. Tapi, kita harus yakin, bahwa pada saatnya nanti wawasan
atau iluminasi akan muncul. Kemnudian, kita melewati proses kreatif berikutnya, yaitu
inkubasi atau pengendapan masuk ke dalam alam bawah sadar. Pada saatnya, yaitu pada
kondisi yang tidak disengaja, bisa saja muncul iluminasi. Itu artinya ide kreatif telah kita
temukan. Lantas yang perlu kita jalankan adalah mengolah atau menjalankan ide kreatif itu
menjadi nyata, demi kemajuan bisnis kita. Bahkan menurut saya, untuk memberikan
kepuasan pada pelanggan, kitapun harus menggunakan pendekatan yang kreatif. Termasuk
juga bagaimana kita mencari modal atau dana pengembangan usaha, peningkatan kegiatan
produksi, perbaikan desain, pemasaran, dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah, orang kreatif itu sebenarnya adalah sama dengan orang yang berani
mengambil resiko. Hanya tinggal seberapa besar sebenarnya kreativitas itu akan
mempengaruhi resiko usaha yang dijalankan. Bahkan, saya berpendapat, bahwa seseorang
yang berani berpikir kreatif, berarti dia sudah berani mengambil resiko itulah yang usahanya
dapat berkembang maju, baik untuk saat ini maupun untuk masa depan.
23