Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu isu penting yang tidak pernah lepas dari perkembangan

suatu negara. Dewasa ini isu-isu terkait pendidikan telah menjadi wacana publik yang kerap

dibahas di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Hal ini dikarenakan masyarakat

modern telah menyadari bahwa melalui proses pendidikanlah proses industrialisasi dapat

diwujudkan dan dipercepat (Tilaar, 2012). Menurut Friendman, industrialisasi disebabkan karena

perkembangan akal manusia, dan kemajuan akal adalah hasil dari pendidikan. Oleh karenanya,

pendidikan merupakan aspek yang mempengaruhi perkembangan sebuah negara.

Pendidikan juga acapkali dijadikan tolak ukur keberhasilan dan kesejahteraan warga negara.

Dapat diambil contoh adalah negara tetangga dari Indonesia, yaitu Malaysia. Malaysia adalah

negara berkembang tidak jauh berbeda dari Indonesia, akan tetapi IPM (Indeks Pembangunan

Manusia) atau HDI (Human Development Index) Indonesia tertinggal jauh. Indonesia berada di

peringkat 121, sedangkan Malaysia berada diperingkat 64 disusul dengan peringkat 18 yakni

Singapura. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan karena Malaysia baru meraih kemerdekaan pada

tanggal 31 Agustus 1957, dua belas tahun setelah Indonesia merdeka. Salah satu faktor yang

mempengaruhi kemajuan ini dikarenakan pada tahun 1991 Perdana Menteri Malaysia, Dr.

Mahatir Muhammad, menetapkan visi Malaysia 2020 yang konsentrasinya dalam bidang

pendidikan. Semua program tersebutdibuat untuk mendukung kemajuan Malaysia dalam bidang

pendidikan. Program yang telah diluncurkan Malaysia adalah PIPP (Pelan Induk Pembangunan

Pendidikan), Pembangunan Pendidikan Malaysia dan Rancangan Malaysia ke-9 yang semuanya

berfokus pada pendidikan (Hussein, 2004). Hal tersebutlah yang mempengaruhi kemajuan
pendidikan di Malaysia sehingga jika bersaing dalam hal pembangunan manusia Indonesia masih

tertinggal oleh Malaysia sehingga membuktikan bahwa kebijakan yang dilakukan Malaysia

memiliki output dan outcome yang positif.

Di Indonesia, urgensi pendidikan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai salah

satu cita-cita Bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

perkembangannya, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem pendidikan meliputi

perubahan kurikulum pada tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai SMU/SMK atau sederajat.

Kurikulum pendidikan telah berubah beberapa kali. Dimulai dari kurikulum pertama setelah

Indonesia merdeka dan dimasa Kabinet Syahriryaitu kurikulum 1947 yang mana pada masa itu

disebut dengan leerplan atau rencana pelajaran.Selanjutnya kurikulum berganti menjadi

kurikulum 1952 atau biasa disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Setelah itu dibentuklah

kurikulum 1964 yang menekankan pembekalan siswa semasa SD dan diteruskan dengan

kurikulum 1968 tentang penekanan jiwa pancasila. Kemudian dilanjutkan dengan kurikulum

1975, 1984, 1994, dan 1999. Kurikulum kembali dirombak pasca reformasi. Pada tahun 2004

dibentuklah kurikulum berbasis kompetensi atau biasa disingkat KBK.Guna menyempurnakan

KBK maka pada tahun 2006 dibentuklah kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan atau biasa disingkat KTSP. Pada tahun 2013 kurikulum kembali dirombak

dan berubah menjadi Kurikulum 2013 yang menekankan kemandirian bagi peserta didik

sehingga dapat terasah dari segi kognitif, psikomotorik dan afektifitasnya.

Dari sistem pendidikan yang berubah-ubah beberapakali tersebut menandakan isu-isu

tentang pendidikan selalu menjadi isu hangat dan dinamis. Kebijakan sistem kurikulum yang

acapkali bergonta-ganti tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu upaya

pemerintah untuk membuktikan keberpihakannya terhadap pendidikan di Indonesia untuk


mencapai tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan negara tentang

pendidikan tidak hanya meliputi kurikulum, akan tetapi dalam pengalokasian anggaran negara

dibidang pendidikan. Dalam sistem pengalokasian anggaran pendidikan, Indonesia menunjukkan

komitmennya terhadap pendidikan dengan mengamandemen Pasal 31 UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945yang mana menambahkan 3 ayat tambahan, sehingga dalam Pasal 31

berubah menjadi 5 (lima) ayat. Dalam Pasal 31 ayat (4)disebutkan bahwa “Negara

memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran

pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk

memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Hasil Amandemen tersebut

adalah salah satu langkah pemerintah untuk menunjukkan keberpihakannya dalam bidang

pendidikan.

Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan di Indonesia yang mana memiliki

konsistensitinggi dalam memperjuangkan pendidikan. Kota Yogyakarta juga memiliki IPM

(Indek Pembangunan Manusia) tertinggi diantara kota/kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta seperti dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 1.0 Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 2004-2011

Kod Propinsi/ IPM


2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
e Kabupaten
3400 DI 72,9 73,5 74,15 74,15 74,88 75,23 75,77 76,32

Yogyakarta
3401 Kulon Progo 70,9 71,5 72 72,76 73,26 73,77 74,49 75,04
3402 Bantul 71,5 71,9 72 72,78 73,38 73,75 74,53 75,05
3403 Gunung 68,9 69,3 69,4 69,68 70,00 70,18 70,45 70,84
Kidul
3404 Sleman 75,1 75,6 76,2 76,7 77,24 77,7 78,2 78,79
3471 Kota 77,4 77,7 77,8 78,14 78,98 79,29 79,52 79,89

Yogyakarta
Sumber : Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005-2012 Kerjasama BPS dengan Kementrian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dan pada tahun 2012 tercatat IPM Kota Yogyakarta menempati peringkat pertama yang

dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 2.0 Indeks Pembangunan Manusia Kota/Kabupaten DIY 2012

No Kabupaten/ Harapan Angka Rata- Pengeluaran Indeks Peringkat

Kota Hidup Melek rata RiilPer Pembang IPM

Huruf Lama Kapita yang unan

Sekolah Disesuaikan Manusia


1 Kulon Progo 74,58 92,04 8,37 634,34 75,33 4

2 Bantul 71,34 92,19 8,95 654,96 75,58 3

3 Gunung 71,04 84,97 7,70 631,91 71,11 5

Kidul
4 Sleman 75,29 94,53 10,52 653,11 79,31 2

5 Kota 73,51 98,10 11,56 657,65 80,24 1

Yogyakarta

DIY 73,27 92,02 9,21 653,78 76,75 4

Sumber : Susenas, Badan Pusat Statistik Propinsi DIY

Menurut pendapat dari Badan Pusat Statistik (BPS), Propinsi D.I Yogyakarta memiliki

IPM peringkat 4 dari 33 Propinsi yang tercatat di Badan Pusat Statistik Tingkat Nasional. Hal ini

tidak luput dari visi Kota Yogyakarta yakni “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota
Pendidikan Berkualitas, Berkarakter dan Inklusif, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat

Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan dan Ekonomi Kerakyatan” (Jogjakarta,2014).

Dari visi tersebut inovasi untuk menanggapi isu pendidikan pun bermunculan seiring

perkembangan zaman.

Di masa kepemimpinan Herry Zudianto, Kota Yogyakarta melakukan gebrakan dalam

bidang pendidikan, gebrakan tersebut dilakukan sebagai pendukung dari program pemerintah

tentang kewajiban belajar 12 tahun. Program ini kemudian dinamakan JPD (Jaminan Pendidikan

Daerah) yang diimplementasikan melalui Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 23 Tahun

2009 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta.

Melihat tahun 2007/2008 angka putus sekolah masih 0,07% dan masih rendahnya

kesempatan keluarga miskin untuk menempati sekolah bermutu (Initiative for Government

Innovation, 2014) JPD bertujuan untuk memberikan bantuan pendidikan bagi keluarga pemegang

KMS (Kartu Menuju Sejahtera), sehingga akses pendidikan dapat terjangkau disemua lapisan

masyarakat tanpa terkecuali. Bantuan tersebut diberikan disemua jenjang sekolah

(TK/RA,SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK). Harapan dari pemerintah agar mengurangi

atau bahkan memberantas anak putus sekolah yang disebabkan karena alasan biaya.

Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2009 tentang

Penanggulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta terdapat tiga hal penting yang dijelaskan dalam

Pasal 16 yaitu sebagai berikut:

a. Pemberian Jaminan Pendidikan pada TK/SD/SMP/SMA/SMK;

b. Pemberian Akses Pendidikan di Sekolah Luar Negeri; dan

c. Pengarahan peserta didik yang telah dinyatakan lulus SMP untuk memasuki

kelompok pendidikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)


Program JPD tersebut merupakan bukti komitmen Kota Yogyakarta pada bidang

pendidikan dengan memberikan jaminan pendidikan gratis dengan mengacu ke amanat UUD

1945 Pasal 31 ayat (2) yakni “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya”. Tujuan dari diberlakukannya JPD adalah mengentaskan anak

usia sekolah yang putus sekolah karena alasan biaya. Anak usia sekolah yang dimaksudkan

dalam kebijakan tersebut adalah anak usia sekolah pemegang KMS yang telah diatur dalam

Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 417/SEP/2009 tentang Penetapan Parameter Pendataan

Keluarga Miskin.

Kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) memakan dana yang tidak sedikit pada

tahun 2013 sebesar 32 milliar rupiah dan pada tahun 2014 dinaikkan menjadi 34

milliar(Rusqiyati,2014). Dana tersebut diambil dari APBS (Anggaran Pendapatan Belanja

Sekolah) melalui RAPBS (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) yang diserahkan

ke Dinas Pendidikan Daerah. Oleh karenanya, kebijakan JPD dirasa sangatlah menguntungkan

bagi masyarakat yang kurang mampu di Kota Yogyakarta. Tujuan dari kebijakan tersebut

sangatlah mulia dan membuktikan betapafokusnya Kota Yogyakarta terhadap pendidikan agar

terus mempertahankan gelar sebagai kota pelajar. Jika dilihat dari HDI (Human Development

Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kota Yogyakarta menempati peringkat pertama

dengan angka melek huruf sebesar 98,10% pada tahun 2012 seperti yang tercantum dalam tabel

tersebut

Tidak cukup soal hanya pembebasan biaya, kebijakan JPD juga mempermudah akses

pendidikan yang lebih terbuka bagi pemegang KMS untuk melanjutkan sekolah ke sekolah

favorit, khususnya bagi Sekolah Menengah Kejuruan. Kemudahan akses pendidikan tersebut

dilakukan dengan cara pemberian kuota bagi siswa pemegang KMS untuk melakukan seleksi
dengan jalur yang berbeda dengan calon peserta didik yang tidak memiliki KMS. Kuota yang

ditetapkan untuk siswa pemegang KMS adalah 25% bagi SMK Kota Yogyakarta dan 5 % bagi

SMA Negeri Kota Yogyakarta. Dengan adanya pengkuotaan yang besar pada kelompok

pendidikan SMK diharapkan peserta didik lulusan SMP akan lebih cenderung memilih

melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Hal tersebut dimaksudkan supaya

siswa pemegang KMS siap untuk langsung diterjunkan di dunia kerja.

Namun, dalam pelaksanaannya sistem pengkuotaan tersebut ternyata tidak begitu efektif

dan cenderung sia-sia. Pada pengumuman penerimaan peserta didik baru khusus KMS yang

dilangsungkan pada tahun 2012 untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) kuota KMS

yang ditentukan sebanyak 935 terpenuhi 850 pemegang KMS, untuk tingkat Sekolah Menengah

Atas (SMA) dari 106 terpenuhi 100 pemegang KMS dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) dari kuota yang ditentukan sebanyak 820 terpenuhi 797 pemegang KMS (RRI, 2012)

Pemenuhan kuota yang ada pun cenderung hanya sekedar memenuhi sisa yang disediakan tanpa

melihat prestasi akademik peserta didik. Pemenuhan kuota yang sekedarnya dan bukan mengacu

pada minat peserta didik tersebut tentunya akan berdampak bagi pihak sekolah. Dampak dari

kebijakan tersebut dapat dilihat dari Angka Putus Sekolah di Kota Yogyakarta yang tidak

menunjukan penurunan. Hal tersebut dapat di lihat di tabel berikut:

Tabel. 2 Angka Putus Sekolah (APS) Kota Yogyakarta

Jenjang Tahun
2008-2009 2009-2010 2010-2011
SMP/MTs 23 Anak 17 Anak 17 Anak
SMA/SMK 12 Anak 24 Anak 83 Anak
Sumber : Dokumen Disdikpora DIY dalam Sidiq 2013

Dari tabel tersebut justru terlihat bahwa angka putus sekolah mengalami kenaikan. Hal

tersebut tidak begitu mengejutkan dikarenakan siswa pemegang KMS di Kota Yogyakarta yang

memiliki NUN (Nilai Ujian Nasional) rendah dan melalui jalur seleksi JPD di sekolah favorit

khususnya SMK memang tidak sedikit. Tidak sedikitnya peserta didik yang mengalami putus

studi dikarenakan tidak kuatnya peserta didik dalam mengikuti pola belajar teman sekelasnya

yang memiliki NUN yang tinggi.

Tidak hanya Angka Putus Sekolah (APS), Angka Melanjutkan Sekolah (AMS)justru

mengalami penurunan setelah diimplementasikan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Tingkat

Angka Melanjutkan Sekolah (AMS) dihitung dari angka peserta didik yang telah dinyatakan

lulus SD (Sekolah Dasar) dan akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau SMP/MTs.

Penurunan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:


Tabel 1.3 Angka Melanjutkan Sekolah (AMS) Kota Yogyakarta

Ke Jenjang Tahun
2008-2009 2009-2010 2010-2011
SMP/MTs 118,59 110,91 110,54
SMA/SMK 147,91 158,21 158,98
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta

Berdasarkan penjabaran singkat mengenai Jaminan Pendidikan Daerah tersebut dan sedikit

pembahasan mengenai tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan Jaminan

Pendidikan Daerah maka terlihat bahwa belum optimalnya kebijakan tersebut dalam mengatasi

masalah pendidikan di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, Peneliti akan menulis tentang studi

evaluasi terkait kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah dalam penelitian yang berjudul Evaluasi

Kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah Kota Yogyakarta terhadap Peningkatan Mutu

Pendidikan di Kota Yogyakarta .

Sebelumnya sudah pernah ada yang telah meneliti Jaminan Pendidikan Daerah Kota

Yogyakarta dalam tesisnya yang berjudul Implementasi Jaminan Pendidikan Daerah bagi

Keluarga Miskin di Kota Yogyakarta, akan tetapi masih banyak masalah yang harus dikaji dari

penelitian sebelumnya. Penelitian dalam bentuk tesis tersebut memaparkan masalah dari

ketepatan Pemerintah dalam memberikan KMS ke masyarakat sehingga ketepatan pemerintah

tersebut dapat mempengaruhi kebijakan JPD. Dalam penelitian ini, peneliti melihat dari angka

putus sekolah yang terus naik yang mana pada tahun 2011 mencapai hingga 83 anak putus

sekolah. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik bagi peneliti untuk dikaji lebih lanjut. Mengingat

di tahun sebelumnya belum pernah tercapai angka putus sekolah setinggi di tahun 2011.

Oleh karena itu, penelitian ini mencari tahu permasalahan pada pelaksanaan kebijakan JPD,

dan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan tersebut tidak efektif.Objek penelitian

yang akan diteliti meliputi pihak-pihak yang berada di dalam street level bureaucracyyang mana

dalam hal ini meliputi tenaga pengajar atau guru dan pihak sekolah yang terkait.
Penelitian ini menjelaskan problema yang terjadi di dalam pengimplementasian kebijakan

Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Problema tersebut dibatasi dalam ruang lingkup yang

meliputisekolah-sekolah tingkat menengah atas yang paling terkena dampak dari masalah

kebijakan ini. Oleh karena itu, penelitian akan dilakukan dengan mengambil sampel SMK favorit

di Kota Yogyakarta dikarenakan kuota siswa KMS untuk SMK yang besar dan cenderung tidak

dibarengi dengan kapasitas yang sepadan karena perbedaan jalur seleksi. Selain itu juga SMA

favorit yang menerima siswa KMS dengan jumlah cenderung besar dan SMK Swasta yang juga

menjadi target dari kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) tersebut dalam pengarahan

siswa ke kelompok SMK.Untuk kelompok SMA peneliti mengambil SMA N 3 Yogyakarta dan

SMA N 8 Yogyakarta.Pengambilan sampel di SMA tersebut dikarenakan SMA tersebut termasuk

SMA favorit di Kota Yogyakarta dan menerima peserta didik baru dengan kesenjangan yang

berbeda. Berikut adalah tabel statistik seleksi masuk berdasarkan Nilai Ujian Nasional:

Tabel 1.4 Statistik Seleksi Masuk berdasarkan NUN Tahun 2014

Nama Jalur Reguler Jalur KMS


Nilai Nilai Rata Nilai Nilai Rata-
Sekolah
Terendah Tertinggi -rata Terendah Tertinggi rata
SMA N 3 37.20 38.90 37.72 31.20 36.70 33.85
SMA N 8 36.40 38.30 36.87 34.90 37.45 35.97
Sumber : yogya.siap-ppdb.com

Selain kelompok pendidikan SMA Negeri peneliti juga meneliti untuk kelompok SMK

(Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri meliputi SMK Negeri 2 Yogyakarta dan SMK Negeri 3

Yogyakarta.Peneliti meneliti SMK tersebut karena peneliti melihat terdapat kesenjangan antara

jalur reguler dan KMS dalam seleksi masuk. Berikut adalah tabel jalur seleksi masuk

berdasarkan NUN untuk kelompok Sekolah Menengah Kejuruan:


Tabel 1.5 Statistik Seleksi Masuk Kelompok SMK

Nama Jurusan Jalur Reguler Jalur KMS


Sekolah Nilai Nilai Rata- Nilai Nilai Rata-
Terendah Tertinggi rata Terendah Tertinggi rata
SMK N Teknik 58.60 83.55 65.24 31.85 44.50
2 Konstruksi
Bagunan
Teknik 68.10 87.85 74.21 35.15 75.95
Gambar
Bangunan
Teknik 75.65 87.70 81.02 60.85 90.85
Survei dan
Pemetaan
Teknik 66.55 84.45 71.62 32.45 74.20
Instalasi
Tenaga
Listrik
Teknik 72.25 88.55 46.70 85.80
Pemesinan
Teknik 71.25 90.15 46.40 90.70
Kendaraan
Ringan
Teknik 75.55 88.75 30.00 79.05
Audio
Video
Teknik 83.90 93.70 69.80 92.10
Komputer
Jaringan
Multimedia 81.70 93.70 51.30 89.65

SMK N Konstruksi 53.15 63.20 39.45 47.85


3 Kayu
Gambar 61.55 77.65 34.00 70.85
Bangunan
Instalasi 60.25 83.05 41.05 64.55
Tenaga
Listrik
Teknik 64.20 87.25 46.80 78.15
Pemesinan
Teknik 62.30 85.80 49.25 82.70
Kendaraan
Ringan
Teknik 68.65 89.75 45.95 79.35
Audio
Video
Teknik 78.15 92.15 55.00 65.65
Komputer
Jaringan
Multimedia 80.40 93.85 48.05 79.40

Sumber : yogya.siap-ppdb.com

Tabel di atas memperlihatkan terjadinya kesenjangan nilai yang begitu jauh antara jalur

reguler dan jalur KMS.Terjadinya ketimpangan yang begitu jauh tersebut membuat peneliti

tertarik untuk meneliti sekolah tersebut mengingat sekolah tersebut termasuk sekolah favorit di

Kota Yogyakarta.

Penelitian ini akan melihat masalah dari perspektif yang berbeda, yakni dengan studi

evaluasi demokratik yang mengevaluasi kebijakan dengan melihatnya dari kacamata masyarakat

selaku obyek dari kebijakan. Sehingga peneliti akan lebih mengetahui problematika yang terjadi

di dalam implementasi kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD).Dengan mengetahui


problematika tersebut diharapkan peneliti dapat memberikan solusi atas problematika yang

terjadi.

1.2 Rumusan Masalah

Jaminan pendidikan daerah merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengentaskan

angka putus sekolah dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi, akan tetapi kebijakan yang sudah

diimplementasikan selama 5 (lima) tahun ini ternyata masih menemui banyak masalah, terutama

dalam hal angka putus sekolah di Kota Yogyakarta yang menjadi fokus dari kebijakan ini.

Berdasarkan argumentasi di atas, penelitian ini memfokuskan ke dalam dua rumusan masalah

yang meliputi:

1. Apa saja permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Pendidikan

Daerah (JPD) di SMA Kota Yogyakarta ?

2. Apa saja faktor yang menyebabkan munculnya permasalahan di dalam pelaksanaan

kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD)di Kota Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Melihat penjabaran tentang JPD dan rumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan

untuk :

a. Menjelaskan problematika kebijakan JPD dalam peningkatan mutu pendidikan di

Kota Yogyakarta; dan

b. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya problematika kebijakan

JPD.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang nantinya diharapkan dari penelitian ini terdapat dua hal yakni:

1.4.1 Secara Teoritis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan yaitu

memperkaya konsep maupun teori yang memberikan kontribusi perkembangan

ilmu pengetahuan mengenai program Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) sebagai

salah satu produk kebijakan publik di bidang pendidikan.

1.4.2 Secara praktis

Secara praktis, hasil penelitian yang dilakukan dapat memberikan masukan bagi:

a. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memperbaiki kebijakan

JPD agar kebijakan dapat memiliki output atau outcame yang positif;

b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi

Dinas Pendidikan kota Yogyakarta agar dapat meningkatkan kinerja

pelayanan pendidikan bagi keluarga miskin (KMS) melalui program Jaminan

Pendidikan Daerah (JPD) yang diselenggarakan;

c. Masyarakat serta pemerintah dapat melihat dampak yang dihadapi oleh

masyarakat dilingkungan pendidikan dari kebijakan JPD tersebut; dan

d. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman serta

dapat meningkatkan daya analisis sehingga dapat menjadi perumus kebijakan

yang professional.

Anda mungkin juga menyukai