PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu isu penting yang tidak pernah lepas dari perkembangan
suatu negara. Dewasa ini isu-isu terkait pendidikan telah menjadi wacana publik yang kerap
dibahas di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Hal ini dikarenakan masyarakat
modern telah menyadari bahwa melalui proses pendidikanlah proses industrialisasi dapat
diwujudkan dan dipercepat (Tilaar, 2012). Menurut Friendman, industrialisasi disebabkan karena
perkembangan akal manusia, dan kemajuan akal adalah hasil dari pendidikan. Oleh karenanya,
Pendidikan juga acapkali dijadikan tolak ukur keberhasilan dan kesejahteraan warga negara.
Dapat diambil contoh adalah negara tetangga dari Indonesia, yaitu Malaysia. Malaysia adalah
negara berkembang tidak jauh berbeda dari Indonesia, akan tetapi IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) atau HDI (Human Development Index) Indonesia tertinggal jauh. Indonesia berada di
peringkat 121, sedangkan Malaysia berada diperingkat 64 disusul dengan peringkat 18 yakni
Singapura. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan karena Malaysia baru meraih kemerdekaan pada
tanggal 31 Agustus 1957, dua belas tahun setelah Indonesia merdeka. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kemajuan ini dikarenakan pada tahun 1991 Perdana Menteri Malaysia, Dr.
Mahatir Muhammad, menetapkan visi Malaysia 2020 yang konsentrasinya dalam bidang
pendidikan. Semua program tersebutdibuat untuk mendukung kemajuan Malaysia dalam bidang
pendidikan. Program yang telah diluncurkan Malaysia adalah PIPP (Pelan Induk Pembangunan
Pendidikan), Pembangunan Pendidikan Malaysia dan Rancangan Malaysia ke-9 yang semuanya
berfokus pada pendidikan (Hussein, 2004). Hal tersebutlah yang mempengaruhi kemajuan
pendidikan di Malaysia sehingga jika bersaing dalam hal pembangunan manusia Indonesia masih
tertinggal oleh Malaysia sehingga membuktikan bahwa kebijakan yang dilakukan Malaysia
Di Indonesia, urgensi pendidikan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai salah
perubahan kurikulum pada tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai SMU/SMK atau sederajat.
Kurikulum pendidikan telah berubah beberapa kali. Dimulai dari kurikulum pertama setelah
Indonesia merdeka dan dimasa Kabinet Syahriryaitu kurikulum 1947 yang mana pada masa itu
kurikulum 1952 atau biasa disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Setelah itu dibentuklah
kurikulum 1964 yang menekankan pembekalan siswa semasa SD dan diteruskan dengan
kurikulum 1968 tentang penekanan jiwa pancasila. Kemudian dilanjutkan dengan kurikulum
1975, 1984, 1994, dan 1999. Kurikulum kembali dirombak pasca reformasi. Pada tahun 2004
KBK maka pada tahun 2006 dibentuklah kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan atau biasa disingkat KTSP. Pada tahun 2013 kurikulum kembali dirombak
dan berubah menjadi Kurikulum 2013 yang menekankan kemandirian bagi peserta didik
tentang pendidikan selalu menjadi isu hangat dan dinamis. Kebijakan sistem kurikulum yang
acapkali bergonta-ganti tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu upaya
pendidikan tidak hanya meliputi kurikulum, akan tetapi dalam pengalokasian anggaran negara
Indonesia Tahun 1945yang mana menambahkan 3 ayat tambahan, sehingga dalam Pasal 31
berubah menjadi 5 (lima) ayat. Dalam Pasal 31 ayat (4)disebutkan bahwa “Negara
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
adalah salah satu langkah pemerintah untuk menunjukkan keberpihakannya dalam bidang
pendidikan.
Yogyakarta
3401 Kulon Progo 70,9 71,5 72 72,76 73,26 73,77 74,49 75,04
3402 Bantul 71,5 71,9 72 72,78 73,38 73,75 74,53 75,05
3403 Gunung 68,9 69,3 69,4 69,68 70,00 70,18 70,45 70,84
Kidul
3404 Sleman 75,1 75,6 76,2 76,7 77,24 77,7 78,2 78,79
3471 Kota 77,4 77,7 77,8 78,14 78,98 79,29 79,52 79,89
Yogyakarta
Sumber : Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005-2012 Kerjasama BPS dengan Kementrian
Dan pada tahun 2012 tercatat IPM Kota Yogyakarta menempati peringkat pertama yang
Kidul
4 Sleman 75,29 94,53 10,52 653,11 79,31 2
Yogyakarta
Menurut pendapat dari Badan Pusat Statistik (BPS), Propinsi D.I Yogyakarta memiliki
IPM peringkat 4 dari 33 Propinsi yang tercatat di Badan Pusat Statistik Tingkat Nasional. Hal ini
tidak luput dari visi Kota Yogyakarta yakni “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota
Pendidikan Berkualitas, Berkarakter dan Inklusif, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat
Dari visi tersebut inovasi untuk menanggapi isu pendidikan pun bermunculan seiring
perkembangan zaman.
bidang pendidikan, gebrakan tersebut dilakukan sebagai pendukung dari program pemerintah
tentang kewajiban belajar 12 tahun. Program ini kemudian dinamakan JPD (Jaminan Pendidikan
Daerah) yang diimplementasikan melalui Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 23 Tahun
Melihat tahun 2007/2008 angka putus sekolah masih 0,07% dan masih rendahnya
kesempatan keluarga miskin untuk menempati sekolah bermutu (Initiative for Government
Innovation, 2014) JPD bertujuan untuk memberikan bantuan pendidikan bagi keluarga pemegang
KMS (Kartu Menuju Sejahtera), sehingga akses pendidikan dapat terjangkau disemua lapisan
(TK/RA,SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK). Harapan dari pemerintah agar mengurangi
atau bahkan memberantas anak putus sekolah yang disebabkan karena alasan biaya.
Penanggulangan Kemiskinan di Kota Yogyakarta terdapat tiga hal penting yang dijelaskan dalam
c. Pengarahan peserta didik yang telah dinyatakan lulus SMP untuk memasuki
pendidikan dengan memberikan jaminan pendidikan gratis dengan mengacu ke amanat UUD
1945 Pasal 31 ayat (2) yakni “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Tujuan dari diberlakukannya JPD adalah mengentaskan anak
usia sekolah yang putus sekolah karena alasan biaya. Anak usia sekolah yang dimaksudkan
dalam kebijakan tersebut adalah anak usia sekolah pemegang KMS yang telah diatur dalam
Keluarga Miskin.
Kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) memakan dana yang tidak sedikit pada
tahun 2013 sebesar 32 milliar rupiah dan pada tahun 2014 dinaikkan menjadi 34
Sekolah) melalui RAPBS (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) yang diserahkan
ke Dinas Pendidikan Daerah. Oleh karenanya, kebijakan JPD dirasa sangatlah menguntungkan
bagi masyarakat yang kurang mampu di Kota Yogyakarta. Tujuan dari kebijakan tersebut
sangatlah mulia dan membuktikan betapafokusnya Kota Yogyakarta terhadap pendidikan agar
terus mempertahankan gelar sebagai kota pelajar. Jika dilihat dari HDI (Human Development
Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kota Yogyakarta menempati peringkat pertama
dengan angka melek huruf sebesar 98,10% pada tahun 2012 seperti yang tercantum dalam tabel
tersebut
Tidak cukup soal hanya pembebasan biaya, kebijakan JPD juga mempermudah akses
pendidikan yang lebih terbuka bagi pemegang KMS untuk melanjutkan sekolah ke sekolah
favorit, khususnya bagi Sekolah Menengah Kejuruan. Kemudahan akses pendidikan tersebut
dilakukan dengan cara pemberian kuota bagi siswa pemegang KMS untuk melakukan seleksi
dengan jalur yang berbeda dengan calon peserta didik yang tidak memiliki KMS. Kuota yang
ditetapkan untuk siswa pemegang KMS adalah 25% bagi SMK Kota Yogyakarta dan 5 % bagi
SMA Negeri Kota Yogyakarta. Dengan adanya pengkuotaan yang besar pada kelompok
pendidikan SMK diharapkan peserta didik lulusan SMP akan lebih cenderung memilih
Namun, dalam pelaksanaannya sistem pengkuotaan tersebut ternyata tidak begitu efektif
dan cenderung sia-sia. Pada pengumuman penerimaan peserta didik baru khusus KMS yang
dilangsungkan pada tahun 2012 untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) kuota KMS
yang ditentukan sebanyak 935 terpenuhi 850 pemegang KMS, untuk tingkat Sekolah Menengah
Atas (SMA) dari 106 terpenuhi 100 pemegang KMS dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dari kuota yang ditentukan sebanyak 820 terpenuhi 797 pemegang KMS (RRI, 2012)
Pemenuhan kuota yang ada pun cenderung hanya sekedar memenuhi sisa yang disediakan tanpa
melihat prestasi akademik peserta didik. Pemenuhan kuota yang sekedarnya dan bukan mengacu
pada minat peserta didik tersebut tentunya akan berdampak bagi pihak sekolah. Dampak dari
kebijakan tersebut dapat dilihat dari Angka Putus Sekolah di Kota Yogyakarta yang tidak
Jenjang Tahun
2008-2009 2009-2010 2010-2011
SMP/MTs 23 Anak 17 Anak 17 Anak
SMA/SMK 12 Anak 24 Anak 83 Anak
Sumber : Dokumen Disdikpora DIY dalam Sidiq 2013
Dari tabel tersebut justru terlihat bahwa angka putus sekolah mengalami kenaikan. Hal
tersebut tidak begitu mengejutkan dikarenakan siswa pemegang KMS di Kota Yogyakarta yang
memiliki NUN (Nilai Ujian Nasional) rendah dan melalui jalur seleksi JPD di sekolah favorit
khususnya SMK memang tidak sedikit. Tidak sedikitnya peserta didik yang mengalami putus
studi dikarenakan tidak kuatnya peserta didik dalam mengikuti pola belajar teman sekelasnya
Tidak hanya Angka Putus Sekolah (APS), Angka Melanjutkan Sekolah (AMS)justru
Angka Melanjutkan Sekolah (AMS) dihitung dari angka peserta didik yang telah dinyatakan
lulus SD (Sekolah Dasar) dan akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau SMP/MTs.
Ke Jenjang Tahun
2008-2009 2009-2010 2010-2011
SMP/MTs 118,59 110,91 110,54
SMA/SMK 147,91 158,21 158,98
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta
Berdasarkan penjabaran singkat mengenai Jaminan Pendidikan Daerah tersebut dan sedikit
Pendidikan Daerah maka terlihat bahwa belum optimalnya kebijakan tersebut dalam mengatasi
masalah pendidikan di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, Peneliti akan menulis tentang studi
evaluasi terkait kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah dalam penelitian yang berjudul Evaluasi
Sebelumnya sudah pernah ada yang telah meneliti Jaminan Pendidikan Daerah Kota
Yogyakarta dalam tesisnya yang berjudul Implementasi Jaminan Pendidikan Daerah bagi
Keluarga Miskin di Kota Yogyakarta, akan tetapi masih banyak masalah yang harus dikaji dari
penelitian sebelumnya. Penelitian dalam bentuk tesis tersebut memaparkan masalah dari
tersebut dapat mempengaruhi kebijakan JPD. Dalam penelitian ini, peneliti melihat dari angka
putus sekolah yang terus naik yang mana pada tahun 2011 mencapai hingga 83 anak putus
sekolah. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik bagi peneliti untuk dikaji lebih lanjut. Mengingat
di tahun sebelumnya belum pernah tercapai angka putus sekolah setinggi di tahun 2011.
Oleh karena itu, penelitian ini mencari tahu permasalahan pada pelaksanaan kebijakan JPD,
dan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan tersebut tidak efektif.Objek penelitian
yang akan diteliti meliputi pihak-pihak yang berada di dalam street level bureaucracyyang mana
dalam hal ini meliputi tenaga pengajar atau guru dan pihak sekolah yang terkait.
Penelitian ini menjelaskan problema yang terjadi di dalam pengimplementasian kebijakan
Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Problema tersebut dibatasi dalam ruang lingkup yang
meliputisekolah-sekolah tingkat menengah atas yang paling terkena dampak dari masalah
kebijakan ini. Oleh karena itu, penelitian akan dilakukan dengan mengambil sampel SMK favorit
di Kota Yogyakarta dikarenakan kuota siswa KMS untuk SMK yang besar dan cenderung tidak
dibarengi dengan kapasitas yang sepadan karena perbedaan jalur seleksi. Selain itu juga SMA
favorit yang menerima siswa KMS dengan jumlah cenderung besar dan SMK Swasta yang juga
menjadi target dari kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) tersebut dalam pengarahan
siswa ke kelompok SMK.Untuk kelompok SMA peneliti mengambil SMA N 3 Yogyakarta dan
SMA favorit di Kota Yogyakarta dan menerima peserta didik baru dengan kesenjangan yang
berbeda. Berikut adalah tabel statistik seleksi masuk berdasarkan Nilai Ujian Nasional:
Selain kelompok pendidikan SMA Negeri peneliti juga meneliti untuk kelompok SMK
(Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri meliputi SMK Negeri 2 Yogyakarta dan SMK Negeri 3
Yogyakarta.Peneliti meneliti SMK tersebut karena peneliti melihat terdapat kesenjangan antara
jalur reguler dan KMS dalam seleksi masuk. Berikut adalah tabel jalur seleksi masuk
Sumber : yogya.siap-ppdb.com
Tabel di atas memperlihatkan terjadinya kesenjangan nilai yang begitu jauh antara jalur
reguler dan jalur KMS.Terjadinya ketimpangan yang begitu jauh tersebut membuat peneliti
tertarik untuk meneliti sekolah tersebut mengingat sekolah tersebut termasuk sekolah favorit di
Kota Yogyakarta.
Penelitian ini akan melihat masalah dari perspektif yang berbeda, yakni dengan studi
evaluasi demokratik yang mengevaluasi kebijakan dengan melihatnya dari kacamata masyarakat
selaku obyek dari kebijakan. Sehingga peneliti akan lebih mengetahui problematika yang terjadi
terjadi.
angka putus sekolah dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi, akan tetapi kebijakan yang sudah
diimplementasikan selama 5 (lima) tahun ini ternyata masih menemui banyak masalah, terutama
dalam hal angka putus sekolah di Kota Yogyakarta yang menjadi fokus dari kebijakan ini.
Berdasarkan argumentasi di atas, penelitian ini memfokuskan ke dalam dua rumusan masalah
yang meliputi:
1. Apa saja permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan kebijakan Jaminan Pendidikan
Melihat penjabaran tentang JPD dan rumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan
untuk :
JPD.
Manfaat yang nantinya diharapkan dari penelitian ini terdapat dua hal yakni:
Secara praktis, hasil penelitian yang dilakukan dapat memberikan masukan bagi:
JPD agar kebijakan dapat memiliki output atau outcame yang positif;
yang professional.