PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatn klien dengan Acute Kidney Injury dan CKD?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien
acute kidney injury dan gagal ginjal kronik.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi dari acute kidney injury
2. Mengetahui dan memahami etiologi dari acute kidney injury
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari acute kidney injury
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari acute kidney injury
5. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik dari acute kidney injury
6. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari acute kidney injury
7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari acute kidney injury
8. Mengetahui dan memahami prognosis dari acute kidney injury
9. Mengetahui dan memahami WOC dari acute kidney injury
10. Mengetahui dan memahami definisi dari gagal ginjal kronis
11. Mengetahui dan memahami etiologi dari acute kidney injury
12. Mengetahui dan memahami klasifikasi dari acute kidney injury
13. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari acute kidney injury
14. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari acute kidney injury
15. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik dari acute kidney injury
16. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari acute kidney injury
17. Mengetahui dan memahami komplikasi dari acute kidney injury
18. Mengetahui dan memahami prognosis dari acute kidney injury
19. Mengetahui dan memahami WOC dari acute kidney injury
20. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan dari acute kidney injury dan
gagal ginjal kronis
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit acute kidney injury serta mampu
menerapkan asuhan keperawatan pada klien acute kidney injury.
BAB 2
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).
4
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
- kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI pascarenal I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular
seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:
6
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi
endothelial-leukosit. Bonventre (2008)
7
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)
8
2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien
AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan
dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
9
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6
jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan
translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya
pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun
kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih
jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan
kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari
250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan
produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak
digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
10
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
11
2.1.8 WOC (terlampir)
Suffixes:
12
p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya
proteinuria
T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa
pasien telah menjalani transplantasi ginjal.
D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan bahwa
pasien sedang menjalani Dialisis.
2.2.3 Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.
Tabel 5. Penyebab gagal ginjal di Indonesia
13
Gambar 3. Hipertensif nefropathy
14
Gambar 4. Diabetic Nefropathy
15
Gambar 5. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction(RMR)
16
Gambar 6. Nefropaty akibat ureteral obstruction
17
1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin
D3 pada GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
b. Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih,
dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
18
5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.2.6 Penatalaksanaan
1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda
adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian
fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2
Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan
ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah
a. Hematuria
b. Proteinuria
Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka
penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari
berikutnya.
Managemen CKD stage 1+2 :
Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :
a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai short-
term eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru
berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau
kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.
b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok,
olahraga teratur dan gaya hidup.
2. Stage 3
Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).
Pengkajian awal CKD stage 3
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
19
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 3
Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :
a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25%
sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika
GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb – bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara
progresif mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan
untuk mencegah nephrotoxic drugs
3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR
15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal
yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis
obat ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya
kelainan ginjal yang progresif
d. Tes darah : Ca, PO4, Hb
20
e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika
transplantasi ginjal akan dilakukan
h. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa
mengarah ke renal osteodystrophy.
22
dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium,
arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.
2.2.7 WOC (terlampir)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus
Ny. A usia 65 tahun mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah kanan, disertai lemah,
mual, sakit kepala, nafsu makan akhir-akhir ini berkurang, dan penurunan berat badan yang cukup
drastis. Ny. A menceritakan bahwa ia pernah menderita urolithiasis atau batu ginjal sekitar 1 tahun
yang lalu. Ny. A mengeluhkan edema di sekitar mata, ekstremitas pucat dan edema, Ny. A
mengatakan tangan dan kakinya terasa dingin, sehingga terasa sangat lemah untuk digerakkan.
Nafasnya pun pendek dan cepat, sekitar 28 x/menit. Ny. A mengeluhkan kencingnya sedikit sekali,
diperkirakan produksi urin tidak sampai 300ml dan terjadi lebih dari 1 bulan, urin berwarna coklat
seperti teh. TD 130/ 90 mmHg. Nadi 110 x/ menit, suhu Badan 36,2 C. Ny.A telah memeriksakan
diri ke RSP Unair, dengan hasil ureum urin meningkat, BUN dan kreatinin meningkat, serta dokter
mendiagnosa Ny. A mengalami kegagalan ginjal akut.
3.2 Pengkajian
Anamnesa, meliputi :
1. Identitas pasien
Nama : Ny. A
Umur : 65 tahun
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 160 cm
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
2. Riwayat sakit dan kesehatan
2.1 Keluhan utama
Klien mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah
kanan.
2.2 Riwayat penyakit sekarang
23
Ny. A mengatakan sulit berkemih, sakit pinggang sebelah kanan,
lemah, mual, sakit kepala, nafsu .makan akhir-akhir ini berkurang, dan
penurunan berat badan yang cukup drastis
2.3 Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi dan nyeri
dada. Serta pernah memiliki riwayat urolithiasis.
2.4 Riwayat keluarga
Adanya riwayat hipertensi.
2.4 Riwayat psikososial
Klien merasa stress, tak ada kekuatan, ansietas dan takut.
3. Pemeriksaan fisik
Review Of System (ROS)
a.B1(BREATH)
Napas pendek, dispnea, RR : 28x/menit. Pada pemeriksaan perkusi : redup
b. B2(BLOOD)
Nadi lemah dan cepat, hipotensi ortostatik yang menunjukkan hipovolemia,
pucat, TD : 130/90, nadi : 110x/menit, Hb : 5 g/dl, CRT: 4 detik.
c. B3(BRAIN)
Stress, ansietas, takut, penurunan kesadaran, bicara agak melantur.
d. B4(BLADDER)
Oliguria (produksi urine 300cc/24 jam), adanya rasa nyeri saat buang air
kecil dan kandung kemih yang menegang.
e. B5(BOWEL)
Antropomeri : BB = 45kg, TB = 160 cm
Biochemical : Hb= 5 g/dl, creatin = 65 µmol/l, albumin = 60 g/dl
Clinis : Pucat, nafsu makan menurun, mual dan muntah, pucat, turgor jelek
dan edema
Diet : Makan 2x sehari, porsi makan tidak pernah habis.
f. B6(BONE)
Klien mengalami kelemahan serta edema ekstremitas
4. Pemeriksaan diagnostik
a. Urin
24
Warna : secara abnormal warna urin kotor, kecoklatan seperti teh
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin. Volume urin: kurang
dari 300 ml/ 24 jam
Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
Osmolatas : kurang dari 350 m0sm/ kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan resiko urin / serum sering 1:1
Protein: derajat tinggi proteinuria (3-41) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada Klirens kreatinin:
agak menurun
Natrium : lebih besar dari 40 mEg / l karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
b. Darah
HT: menurun karena adanya anemia. Hb 5 gr/ dl
BUN/ kreatinin : 65 µmol/l
GDA: asidosis metabolic, pH 6
Albumin = 60 g/dl
Natrium serum: 125 mEq/L
Kalium : 6,0 mEq/L
c. Osmolalitas Serum
350 mOsm/ kg
d. Pelogram Letrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasonografi ginjal
Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm dan tidak
ada masa kista obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal, nefroskopi
Tidak terdapat pulvis ginjal, keluar batu dan pengangkutan tumor selektif
g. EKG
Tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi
25
teraba dan cepat ↓
Hipertensi sitemik
↓
Beban kerja jantung ↑
↓
Curah jantung ↓
DS:- Aliran darah ginjal ↓ Gangguan keseimbangan
DO: Natrium 125 mEq/ L ↓ cairan dan elektrolit
(normal= 135-145 mEq/ L Destruksi struktur ginjal
(mmol/L)) ↓
- Kalium 6,0 mEq/ L GFR ↓
(normal 3,5 – 5 ↓
mEq/L) Penyerapan elektrolit di
- Ureum: 202,32 mg/dl tubulus terganggu
(normal: 20-40 mg/dl) ↓
Penumpukan toksik uremia,
hiponatremia, dan
hiperkalemia
DS: - klien mengatakan mual, Sindrom uremik Perubahan nutrisi kurang dari
tidak nafsu makan ↓ kebutuhan tubuh
DO: - porsi makan sedikit dan Ureum pada saluran cerna
tidak pernah habis, hanya 3 ↓
sendok makan. Peradangan mukosa saluran
- Mata cowong cerna
↓
Stomatitis, ulkus lambung
Mual, muntah
↓
anoreksia
DS: - klien mengeluh nafas Sindrom uremik Gangguan pola nafas tidak
terasa seperti sesak ↓ efektif
DO:- RR 28 x/menit Asidosis metabolic
↓
Hb↓
↓
Distribusi O2 ↓
↓
Sesak
DS: RAAS ↑ Gangguan perfusi jaringan
DO:- nadi tidak teraba ↓
- CRT >2 detik= 4 detik Pelepasan Angiotensin II
- Ekstremitas pucat, ↓
basah, dan dingin Vasokonstriksi pembuluh
darah
↓
nadi cepat-lemah , pucat,
akral dingin, basah
DS:- klien mengatakan lemah Sindroma uremik Intoleransi aktivitas
DO:- klien berbaring ditempat ↓
tidur Ureum pada jaringan otot
- Kebutuhan klien ↓
26
sebagian besar dibantu Oksigenasi otot ↓
oleh keluarga. ↓
Restless leg sindrom
↓
Letargi (kelemahan)
3.5Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak
terjadi Kriteria hasil :
Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung
dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
Rasional: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur.
b. Kaji adanya hipertensi
Rasional: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala
0-10)
Rasional: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
Rasional: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
27
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder
: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Batasi masukan cairan
Rasional: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
b. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
Rasional: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
c. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
28
4. Perubahan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan : Pola nafas kembali normal / stabil
Kriteria hasil : RR dalam rentang normal: 16-20 x/menit
Intervensi
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
Rasional: Menyatakan adanya pengumpulan secret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
Rasional: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
Rasional: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
29
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritis
Rasional: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
Rasional: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan
Tujuan : Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi setelah
perawatan 2x 24 jam
Kriteria hasil :
a. Klien kooperatif
b. Klien dapat miring ke kanan dan ke kiri
c. Klien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti makan dan
minum Intervensi :
a) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan
c) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d) Pertahankan status nutrisi yang adekuat
30
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan
elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan
ginjal yang terjadi lebih daeri 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dengna
penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi yang bermacam-macam, disertai kelainan
komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan
penyakit ginjal kronik apabila pemeriksaan klirens kreatinin <15mg/dl (NKF-DOQI, 1997)
31
DAFTAR PUSTAKA
32
National Kidney Foundation. 2010. About CKD Guide. Diakses dari
http://www.kidney.org/atoz/atozcopy.cfm?pdflink=AboutCKDGuidePatFam.pdf pada tanggal
12 Mei 2012.
National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dyalisis
adequaly. Am J Kidney Dis. 1997:567-5136.
Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2012. Acute kidney injury .
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-jlqk257.htm diakses
1 Mei 2012 jam 8.00
Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24.
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.2004;114:5-14.
Schrier RW. Renal and Electrolyte Disorders. 6 th edition. Lippincolt Williams and
Willkins;2003
Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. AGE Health
MR Publication : Scotland
Sinto, Robert, Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor : 2 Pebruari 2010
Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.
Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
33
34
Chronic Kidney Disease
Serum
Decreased
BUN Creatinin
glomerular filtration e
Hypertrophy of
Dilute remaining nephrons Loss of Sodium Hyponatremia
Polyuria in Urine
Inability to
concentrate urine
Dehydration
Further loss of
nephron function
Loss of nonexcretory 2
a
renal function
1
2
1 Osteodystroph a
Hypocalcemia Loss of excretory
y
renal function
Excretion of Decreased Decreased
Decreased Decreased
nitrogenous sodium potassium phosphate hydrogen
waste reabsorption in excretion excretion
tubule Hyperphosphatemi Metabolic
Uremia Water Retention Hyperkalemia
BUN, a acidosis
Hypertension Decreased
Creatinine
Heart Failure calcium
Uric Acid absorption
Edema
Proteniuria
Hypocalcemia
Hyperparathyroidism
Peripheral
nerve
changes Decreased
potassium excretion
Pericarditis
Increased
potassium
CNS
changes
Pruritus 36
BleedingAltredTaste
Tendencies
AKI Renal AKI Pasca
AKI
Perubahan rasio
retensi vascular
ginjal sistemik
hipovolemi
a
Penurunan
transport
Pe↓nan
curah
jantung MK:
hipoperfusi Gangguan
ginjal perfusi
jaringan
WOC GGA
GGA
Urin hipotonis MK: Ketidak Peningkatan ureum
Edema paru,
asidosis metabolik seimbangan cairan Kelelahan, kram dalam saluran cerna
dan elektrolit otot ↑
Peradangan mukosa
MK: Gangguan Pengeluaran cairan Hiperkalemi MK: Intoleransi
saluran cerna
pola nafas tidak tubuh berlebih aktivitas
efektif
MK: Resiko Perubahan Ulkus lambung
Tinggi Kejang konduksi
dehidrasi elektrikal
jantung Mual, muntah
38
MK: Defisit
volume cairan
MK: Resiko MK: Penurunan
Anoreksia
tinggi: Aritmia Curah Jantung
MK:
Nutrisi
kurang
dari
kebutuha
n tubuh
39
WOC GGK Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi nefron
Penurunan
perfusi serebral
41
Respons
hipokalsemia, Osteodistrofi
PTH↑, Deposit ginjal kalsium
tulang↓
Sindroma uremik
4
2
Respon sistem Respon endokrin, Respon integumen: ureum
perkemihan: kerusakan Gangguan pada jaringan kulit
nefron↑ , kehilangan metabolisme glukosa
libido
MK: Kurang
pengetahuan
4
3
4
4