Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata berbentuk mirip kacang, sebagai bagian
dari system urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran(terutama urea) dari darah dan
membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Progresivitas penurunan fungsi ginjal
berbeda-beda, yaitu dapat berkembang cepat atau lambat. Penyakit ginjal kronik adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa
kelainan structural atau fungsional dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi
yang bermacam-macam, disertai kelainan komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes
pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan penyakit ginjal kronik apabila hasil pemeriksaan
klirens kreatinin <15 mg/dl. (Prima Astiawati, 2008).
Penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya
sekitar 10% setiap tahun. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan
insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta
penduduk dan 200-225/ 1 juta penduduk. (Prima Astiawati, 2008). Penderita acute kidney
injury di Indonesia, menurut Suhardjono (2005), jumlahnya tidak terlalu besar jika
dibandingkan dengan masyarakat Amerika Serikat, sekitar 1200 per 1 juta penduduk.
Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens AKI yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada
komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh
dunia berkisar 25% hingga 80% (Robert Sinto, 2010)
Keadaan yang menimbulkan terjadinya kerusakan ginjal biasanya menghasilkan
gejala-gejala serius yang tidak berhubungan dengan ginjal. Sebagai contoh, demam tinggi,
syok, kegagalan jantung dan kegagalan hati, bisa terjadi sebelum kegagalan ginjal dan bisa
lebih serius dibandingkan gejala gagal ginjal.
Setelah penyebabnya ditemukan, tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan
fungsi ginjal biasanya. Masukan Jumlah cairan sangat dibatasi tergantung dari seberapa
banyak urine yang dapat dihasilkan oleh ginjal.Makanan juga harus dipilih jangan sampai
meracuni ginjal , protein harus dikurangi sampai batas tertentu ,rendah garam dan potasium ,
untuk karbohidrat dapat lebih leluasa diberikan. Dialisis mungkin diperlukan sebagai
tatalaksana gagal ginjal.

1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatn klien dengan Acute Kidney Injury dan CKD?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien
acute kidney injury dan gagal ginjal kronik.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi dari acute kidney injury
2. Mengetahui dan memahami etiologi dari acute kidney injury
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari acute kidney injury
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari acute kidney injury
5. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik dari acute kidney injury
6. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari acute kidney injury
7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari acute kidney injury
8. Mengetahui dan memahami prognosis dari acute kidney injury
9. Mengetahui dan memahami WOC dari acute kidney injury
10. Mengetahui dan memahami definisi dari gagal ginjal kronis
11. Mengetahui dan memahami etiologi dari acute kidney injury
12. Mengetahui dan memahami klasifikasi dari acute kidney injury
13. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari acute kidney injury
14. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari acute kidney injury
15. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik dari acute kidney injury
16. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari acute kidney injury
17. Mengetahui dan memahami komplikasi dari acute kidney injury
18. Mengetahui dan memahami prognosis dari acute kidney injury
19. Mengetahui dan memahami WOC dari acute kidney injury
20. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan dari acute kidney injury dan
gagal ginjal kronis
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit acute kidney injury serta mampu
menerapkan asuhan keperawatan pada klien acute kidney injury.

BAB 2

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Acute Kidney Injury(AKI)


2.1.1 Definisi
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut
sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter
dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap
lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI
menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif
yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;
(4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum

3
adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).

2.1.2 Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1)
penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat
terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi
- usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran
- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
- (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
- amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
- kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
- penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
- tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
- sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB

4
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
- kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI pascarenal I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

2.1.3 Klasifikasi AKI


ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri
dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli R,
2007).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
5
Failure >12 jam
>3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 jam

minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3

Bulan

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular
seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)


Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan
tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen
pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan
penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan
peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan
adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi
pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti
oleh apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk
meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai
hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga

6
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi
endothelial-leukosit. Bonventre (2008)

2.1.5 Pendekatan Diagnosis


1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat
badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat
ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan
takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering,
stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis.
Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik
tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis
penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri
pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada
pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom (Robert Sinto, 2010).
2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan
pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).

7
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah


pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos
abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady HR, 2005).
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

8
2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien
AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan
dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

9
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6
jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan
translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya
pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun
kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih
jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan
kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari
250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan
produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak
digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons

10
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).

2.1.7 Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara

konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Robert, 2010)

11
2.1.8 WOC (terlampir)

2.2 Gagal Ginjal Kronik


2.2.1 Definisi
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the
National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis
sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2
selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa
ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu
kemunduran nilai dari GFR.
2.2.2 Klasifikasi
Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan
oleh table 6 dibawah ini :
(The Renal Association, 2010)

Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases

Suffixes:

12
p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya
proteinuria
T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa
pasien telah menjalani transplantasi ginjal.
D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan bahwa
pasien sedang menjalani Dialisis.
2.2.3 Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.
Tabel 5. Penyebab gagal ginjal di Indonesia

2.2.3 Manifestasi Klinik


Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagl ginjal kronik : ( Schrier RW, 2003)
1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, huiperkalemia
2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%)
3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak
4. Anemia normokrom mormositer
5. Hipertensi
6. Gangguan neurologi
7. Osteodistrofi ginjal
8. Gangguan pertumbuhan
9. Gangguan perdarahan
2.2.4 Patofisiologi
Perjalanan penyakit dari CKD akan digambarkan dalam bagan berikut ini: (J.M
Lopez Novoa et al, 2010)

13
Gambar 3. Hipertensif nefropathy

14
Gambar 4. Diabetic Nefropathy

15
Gambar 5. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction(RMR)

16
Gambar 6. Nefropaty akibat ureteral obstruction

Gambar 7. Mekanisme CKD


2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium

17
1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin
D3 pada GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
b. Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih,
dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.

18
5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

2.2.6 Penatalaksanaan
1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda
adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian
fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2
Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan
ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah
a. Hematuria
b. Proteinuria
Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka
penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari
berikutnya.
Managemen CKD stage 1+2 :
Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :
a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai short-
term eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru
berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau
kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.
b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok,
olahraga teratur dan gaya hidup.
2. Stage 3
Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).
Pengkajian awal CKD stage 3
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih

19
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 3
Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :
a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25%
sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika
GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb – bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara
progresif mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan
untuk mencegah nephrotoxic drugs
3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR
15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal
yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis
obat ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya
kelainan ginjal yang progresif
d. Tes darah : Ca, PO4, Hb

20
e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika
transplantasi ginjal akan dilakukan
h. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa
mengarah ke renal osteodystrophy.

Gambar 2. CKD stages


Penatalaksanaan Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses
berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel. Terapi hemodialisa
merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001).
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita.
Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia
penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien
21
tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan
bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara
kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet
rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari
resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan
pasien dapat diperbaiki meskipunbiasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan
antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam
darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner &
Suddarth, 2001).
Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah : a. Keadaan umum buruk dan
gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/Dl
d. pH darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan
fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari
dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang belakang(2-5%
dialysis), 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari

22
dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium,
arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.
2.2.7 WOC (terlampir)

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Ny. A usia 65 tahun mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah kanan, disertai lemah,
mual, sakit kepala, nafsu makan akhir-akhir ini berkurang, dan penurunan berat badan yang cukup
drastis. Ny. A menceritakan bahwa ia pernah menderita urolithiasis atau batu ginjal sekitar 1 tahun
yang lalu. Ny. A mengeluhkan edema di sekitar mata, ekstremitas pucat dan edema, Ny. A
mengatakan tangan dan kakinya terasa dingin, sehingga terasa sangat lemah untuk digerakkan.
Nafasnya pun pendek dan cepat, sekitar 28 x/menit. Ny. A mengeluhkan kencingnya sedikit sekali,
diperkirakan produksi urin tidak sampai 300ml dan terjadi lebih dari 1 bulan, urin berwarna coklat
seperti teh. TD 130/ 90 mmHg. Nadi 110 x/ menit, suhu Badan 36,2 C. Ny.A telah memeriksakan
diri ke RSP Unair, dengan hasil ureum urin meningkat, BUN dan kreatinin meningkat, serta dokter
mendiagnosa Ny. A mengalami kegagalan ginjal akut.

3.2 Pengkajian
Anamnesa, meliputi :
1. Identitas pasien
Nama : Ny. A
Umur : 65 tahun
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 160 cm
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
2. Riwayat sakit dan kesehatan
2.1 Keluhan utama
Klien mengeluh sulit berkemih dan sakit pinggang sebelah
kanan.
2.2 Riwayat penyakit sekarang
23
Ny. A mengatakan sulit berkemih, sakit pinggang sebelah kanan,
lemah, mual, sakit kepala, nafsu .makan akhir-akhir ini berkurang, dan
penurunan berat badan yang cukup drastis
2.3 Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi dan nyeri
dada. Serta pernah memiliki riwayat urolithiasis.
2.4 Riwayat keluarga
Adanya riwayat hipertensi.
2.4 Riwayat psikososial
Klien merasa stress, tak ada kekuatan, ansietas dan takut.
3. Pemeriksaan fisik
Review Of System (ROS)
a.B1(BREATH)
Napas pendek, dispnea, RR : 28x/menit. Pada pemeriksaan perkusi : redup
b. B2(BLOOD)
Nadi lemah dan cepat, hipotensi ortostatik yang menunjukkan hipovolemia,
pucat, TD : 130/90, nadi : 110x/menit, Hb : 5 g/dl, CRT: 4 detik.
c. B3(BRAIN)
Stress, ansietas, takut, penurunan kesadaran, bicara agak melantur.
d. B4(BLADDER)
Oliguria (produksi urine 300cc/24 jam), adanya rasa nyeri saat buang air
kecil dan kandung kemih yang menegang.
e. B5(BOWEL)
Antropomeri : BB = 45kg, TB = 160 cm
Biochemical : Hb= 5 g/dl, creatin = 65 µmol/l, albumin = 60 g/dl
Clinis : Pucat, nafsu makan menurun, mual dan muntah, pucat, turgor jelek
dan edema
Diet : Makan 2x sehari, porsi makan tidak pernah habis.
f. B6(BONE)
Klien mengalami kelemahan serta edema ekstremitas

4. Pemeriksaan diagnostik

a. Urin

24
Warna : secara abnormal warna urin kotor, kecoklatan seperti teh
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin. Volume urin: kurang
dari 300 ml/ 24 jam
Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
Osmolatas : kurang dari 350 m0sm/ kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan resiko urin / serum sering 1:1
Protein: derajat tinggi proteinuria (3-41) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada Klirens kreatinin:
agak menurun
Natrium : lebih besar dari 40 mEg / l karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
b. Darah
HT: menurun karena adanya anemia. Hb 5 gr/ dl
BUN/ kreatinin : 65 µmol/l
GDA: asidosis metabolic, pH 6
Albumin = 60 g/dl
Natrium serum: 125 mEq/L
Kalium : 6,0 mEq/L
c. Osmolalitas Serum
350 mOsm/ kg
d. Pelogram Letrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasonografi ginjal
Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm dan tidak
ada masa kista obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal, nefroskopi
Tidak terdapat pulvis ginjal, keluar batu dan pengangkutan tumor selektif
g. EKG
Tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi

3.3 Analisa Data


Data Etiologi Masalah
DS: - Sindrom uremik Penurunan curah jantung
DO:- TD 130/90 mmHg ↓
- Nadi perifer tidak Asidosis metabolic

25
teraba dan cepat ↓
Hipertensi sitemik

Beban kerja jantung ↑

Curah jantung ↓
DS:- Aliran darah ginjal ↓ Gangguan keseimbangan
DO: Natrium 125 mEq/ L ↓ cairan dan elektrolit
(normal= 135-145 mEq/ L Destruksi struktur ginjal
(mmol/L)) ↓
- Kalium 6,0 mEq/ L GFR ↓
(normal 3,5 – 5 ↓
mEq/L) Penyerapan elektrolit di
- Ureum: 202,32 mg/dl tubulus terganggu
(normal: 20-40 mg/dl) ↓
Penumpukan toksik uremia,
hiponatremia, dan
hiperkalemia
DS: - klien mengatakan mual, Sindrom uremik Perubahan nutrisi kurang dari
tidak nafsu makan ↓ kebutuhan tubuh
DO: - porsi makan sedikit dan Ureum pada saluran cerna
tidak pernah habis, hanya 3 ↓
sendok makan. Peradangan mukosa saluran
- Mata cowong cerna

Stomatitis, ulkus lambung
Mual, muntah

anoreksia
DS: - klien mengeluh nafas Sindrom uremik Gangguan pola nafas tidak
terasa seperti sesak ↓ efektif
DO:- RR 28 x/menit Asidosis metabolic

Hb↓

Distribusi O2 ↓

Sesak
DS: RAAS ↑ Gangguan perfusi jaringan
DO:- nadi tidak teraba ↓
- CRT >2 detik= 4 detik Pelepasan Angiotensin II
- Ekstremitas pucat, ↓
basah, dan dingin Vasokonstriksi pembuluh
darah

nadi cepat-lemah , pucat,
akral dingin, basah
DS:- klien mengatakan lemah Sindroma uremik Intoleransi aktivitas
DO:- klien berbaring ditempat ↓
tidur Ureum pada jaringan otot
- Kebutuhan klien ↓
26
sebagian besar dibantu Oksigenasi otot ↓
oleh keluarga. ↓
Restless leg sindrom

Letargi (kelemahan)

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem
sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder,
kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan.

3.5Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak
terjadi Kriteria hasil :
Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung
dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
Rasional: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur.
b. Kaji adanya hipertensi
Rasional: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala
0-10)
Rasional: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
Rasional: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
27
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder
: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Batasi masukan cairan
Rasional: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
b. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
Rasional: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
c. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang
adekuat. Kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
Rasional: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
Rasional: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Berikan makanan sedikit tapi sering
Rasional: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan Rasional:
Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek social
e. Berikan perawatan mulut sering
Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai
dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

28
4. Perubahan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan : Pola nafas kembali normal / stabil
Kriteria hasil : RR dalam rentang normal: 16-20 x/menit
Intervensi
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
Rasional: Menyatakan adanya pengumpulan secret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
Rasional: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
Rasional: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga setelah dilakukan perawatan 2X24
jam Criteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan
kulit Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya
kemerahan
Rasional: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
Rasional: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap edema
Rasional: Jaringan edema lebih cenderung rusak
d. Ubah posisi sesering mungkin
Rasional: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk
untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
Rasional: Mengurangi pengeringan , robekan kulit

29
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritis
Rasional: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
Rasional: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan
Tujuan : Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi setelah
perawatan 2x 24 jam
Kriteria hasil :
a. Klien kooperatif
b. Klien dapat miring ke kanan dan ke kiri
c. Klien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti makan dan
minum Intervensi :
a) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan
c) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d) Pertahankan status nutrisi yang adekuat

30
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan
elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan
ginjal yang terjadi lebih daeri 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dengna
penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi yang bermacam-macam, disertai kelainan
komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan
penyakit ginjal kronik apabila pemeriksaan klirens kreatinin <15mg/dl (NKF-DOQI, 1997)

31
DAFTAR PUSTAKA

American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses dari


http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-50-0210_JAG_DCP_Guidelines
HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf pada tanggal 12 Mei 2012
Astiawanti, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit
Ginjal Kronik Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Diakses
dari http://www.pernefri.org/1-kamus-ginjal.php pada tanggal 12 Mei 2012.
Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Acute Kidney Injury. Nephrology
rounds (2007), Volume 6 Issue 7.
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16.
New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Effendi, Ferri. 2008. Asuhan Keperawatan Acute kidney injury.
http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/. Diakses
tanggal 1 Mei 2012
Hadi, Sjahfiri. 1996. Penatalaksaan Acute kidney injury. Dexa Media, No. 4, Vol.9,
Oktober-Desember 1996. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/94962734.pdf. Diakses
tanggal 1 Mei 2012
Hudak dan Gallo.1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: EGC
J. M Lopez Novoa et al. Common Pathophysioogical Mechanism Of Chronic Kidney
Disease : Therapeutic Perspectives. Pharmacology & therapeutic 128 (2010) 61-81
Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for
change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.
Molitoris BA, Levin A, Warnock DG, et al; Acute Kidney Injury Network. Improving
outcomes from acute kidney injury. J Am Soc Nephrol. 2007;18(7): 1992-1994.

32
National Kidney Foundation. 2010. About CKD Guide. Diakses dari
http://www.kidney.org/atoz/atozcopy.cfm?pdflink=AboutCKDGuidePatFam.pdf pada tanggal
12 Mei 2012.
National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dyalisis
adequaly. Am J Kidney Dis. 1997:567-5136.
Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2012. Acute kidney injury .
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-jlqk257.htm diakses
1 Mei 2012 jam 8.00
Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24.
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.2004;114:5-14.
Schrier RW. Renal and Electrolyte Disorders. 6 th edition. Lippincolt Williams and
Willkins;2003
Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. AGE Health
MR Publication : Scotland
Sinto, Robert, Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor : 2 Pebruari 2010
Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.
Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.

33
34
Chronic Kidney Disease

PATHOPHYSIOLOGY Non-Modifiable Factors Modifiable Factors


-Hereditary -Diabetic Mellitus
Schematic Diagram -Hypertension
-Age greater than 60 years
old -Increase Protein and

Decreased renal blood flow


Primary kidney disease

Serum

Decreased
BUN Creatinin
glomerular filtration e

Hypertrophy of
Dilute remaining nephrons Loss of Sodium Hyponatremia
Polyuria in Urine
Inability to
concentrate urine
Dehydration
Further loss of
nephron function

Loss of nonexcretory 2
a
renal function

Failure to Failure to Impaired Production of Immune Disturbances in


convert produce insulin action lipids disturbances reproduction
inactive forms
Anem Erratic
Advanced
ia blood 35
atheroscleros
glucose
Pallor levels
Calcium Delayed Infecti Libid Infertilit
absorption wound on o y
healing

1
2
1 Osteodystroph a
Hypocalcemia Loss of excretory
y
renal function
Excretion of Decreased Decreased
Decreased Decreased
nitrogenous sodium potassium phosphate hydrogen
waste reabsorption in excretion excretion
tubule Hyperphosphatemi Metabolic
Uremia Water Retention Hyperkalemia
BUN, a acidosis
Hypertension Decreased
Creatinine
Heart Failure calcium
Uric Acid absorption
Edema

Proteniuria
Hypocalcemia

Hyperparathyroidism
Peripheral
nerve
changes Decreased
potassium excretion

Pericarditis
Increased
potassium

CNS
changes

Pruritus 36

BleedingAltredTaste

Tendencies
AKI Renal AKI Pasca
AKI

Perubahan rasio
retensi vascular
ginjal sistemik

hipovolemi
a
Penurunan
transport

Pe↓nan
curah
jantung MK:
hipoperfusi Gangguan
ginjal perfusi
jaringan

WOC GGA

Iskemia atau nefrotoksin

Pra Renal: Intra Renal: Kerusakan sel tubulus Pasca Renal:


Hipoperfusi atau glomerulus Obstruksi/reflux

Penurunan aliran Penurunan Kebocoran cairan Obstruksi tubulus hidronefrosis


darah permeabilitas tubulus
glomerulus 37

Penurunan GFR Peningkatan


Retensi cairan Ekskresi kalium metabolit pada Peningkatan metabolit
interstisial ↑ dan pH ↓ Fase diuresis ginjal Oliguri MK:MK:AnsietasGangguan pola eliminasi urin
menurun jaringan otot pada gastrointestinal

GGA
Urin hipotonis MK: Ketidak Peningkatan ureum
Edema paru,
asidosis metabolik seimbangan cairan Kelelahan, kram dalam saluran cerna
dan elektrolit otot ↑

Peradangan mukosa
MK: Gangguan Pengeluaran cairan Hiperkalemi MK: Intoleransi
saluran cerna
pola nafas tidak tubuh berlebih aktivitas
efektif
MK: Resiko Perubahan Ulkus lambung
Tinggi Kejang konduksi
dehidrasi elektrikal
jantung Mual, muntah
38
MK: Defisit
volume cairan
MK: Resiko MK: Penurunan
Anoreksia
tinggi: Aritmia Curah Jantung

MK:
Nutrisi
kurang
dari
kebutuha
n tubuh
39
WOC GGK Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi nefron

Mekanisme kompensasi dan adaptasi dari nefron menyebabkan kematian nefron↑


membentuk jaringan parut dan aliran darah ginjal ↓

Detruksi struktur ginjal secara progresif

GFR↓ menyebabkan kegagalan mempertahankan metabolisme


dan keseimbangan cairan dan elektrolit

Penumpukan toksik uremia MK: Gangguan


dalam darah keseimbangan
40
Volume cairan ↑ Syndrome uremik
Hipernatremia Aktifasi SRAA
Hiperkalemia Respon asidosis metabolik &
Asidosis metabolik sindrom uremia pada sistem
pH↓ saraf& pernafasan.

Hiperpospatemia - Pernafasan kusmaul


Hipertensi sistemik
dan hipokalsemia - Letargi, kesadaran ↓

- Edema sel otak ↑


Beban kerja
Respon jantung ↑ - Disfungsi serebral
hiperkalemia, - Neuropati perifer
Kelebihan
kerusakan impuls
vol.cairan
saraf, gangguan
konduksi
elektrikal otot Curah jantung ↓
ventrikel
MK: Penurunan curah
MK: Gangguan pola
jantung, penurunan
Aritmia, Resiko nafas
perfusi jaringan
tinggi kejang
MK: Perubahan proses pikir.
MK: defisit neurologik

Penurunan
perfusi serebral
41
Respons
hipokalsemia, Osteodistrofi
PTH↑, Deposit ginjal kalsium
tulang↓

Sindroma uremik

Respon hematologi: Respon Respon gastrointestinal:


produksi eritropetin muskuloskeletal: ureum ureum pada saluran
turun, trombositopenia pada jaringan otot cerna (fetor uremik),
peradangan mukosa
Masa hidup sel darah Restless Leg sindrom, saluran cerna
merah pendek, Burning Feet sindrome,
Kehilangan sel darah Miopati, Kram otot, Nafas bau amonia,
merah ↑, pembekuan Kelemahan Fisik Stomatitis, Ulkus
darah ↓ lambung
MK: Nyeri
MK: Resiko Anemia otot Mual, muntah,
cedera normositik anoreksi
normokromik MK:
Intoleransi
aktivitas MK: Pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan

4
2
Respon sistem Respon endokrin, Respon integumen: ureum
perkemihan: kerusakan Gangguan pada jaringan kulit
nefron↑ , kehilangan metabolisme glukosa
libido

MK: Gangguan Hiperglikemia, Pucat, Hiperpigmentasi,


pemenuhan seksual Hipertrigliseridemia Perubahan rambut dan
Respon psikologis, kuku, Pruritis, Kristal
Prognosis penyakit, uremik, Kulit kering dan
Tindakan dialisa, Koping pecah, berlilin, memar.
maladaptif MK: Gangguan
integritas kulit
MK: Gangguan
konsep diri
MK: Cemas

MK: Kurang

pengetahuan

4
3
4
4

Anda mungkin juga menyukai