Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP MULTIPLE SKLEROSIS


Dosen Pengampu:

Disusun oleh :

Kelompok 1

1. DEWI YUNI (S16012) 9. NIKEN AYUK (S16043)


2. DIAN FAMAWATI (S16013) 10. RARA SUCI (S16050)
3. FENIKA APRILIA (S16021) 11. SARI MALAK (S16055)
4. HANA PERMATA (S16025) 12. SATRIA BAGAS (S16056)
5. ILHAM WIRATAMA (S16028) 13. SITI ZUMROTUN (S16058)
6. INA FEBRIYANTI (S16029) 14. MARDITYA AHMAD (S16038)
7. KIKI NOVITASARI (S16034) 15. WAHYU HERMAWAN (S16063)
8. META MULYANDARI (S16040)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Lebih dari 100 tahun yang lalu sejak Charcot, Carswell, dan Cruveilhier,
berhasil menjelaskan tentang gambaran klinis, patologis, dan karakteristik
multiple sklerosis. Penyakit sistem saraf pusat yang bersifat progresif dan sering
menyebabkan relaps ini terus menimbulkan tantangan bagi para peneliti untuk
mencoba memahami patogenesis dan tatalaksananya sehingga mencegah
penyakit tersebut terus berkembang.
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf pusat
yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya. Sekitar
400.000 orang di Amerika Serikat dan 2,5 juta orang di seluruh dunia, dengan
prevalensi sekitar 1 kasus per 1000 orang dalam populasi dan rasio perempuan
dengan laki-laki 2:1 menderita penyakit ini. Sekitar 85% pasien dengan multiple
sklerosis sering bersifat relaps atau hilang-timbul saja. Lebih dari setengah dari
pasien tersebut berkembang menjadi kecacatan dan berlanjut dari serangan akut
dan beralih ke progresif sekunder dalam waktu 10 hingga 20 tahun setelah
terdiagnosis.
Harapan hidup pasien dengan MS menjadi berkurang. Dalam satu studi di
Kanada, harapan hidup penderita berkurang sebesar 4 sampai 7 tahun, dan di
Denmark berkurang hingga 10 sampai 12 tahun. Kualitas hidup seorang pasien
ini sangat dipengaruhi oleh gejala fisik yang timbul termasuk kelelahan,
kesakitan, dan kesulitan dengan mobilitas, dan masalah sosial dan gangguan
perasaan dan mood.Saat ini belum ada obat yang dapat mencegah timbul dan
menyembuhkan MS.
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan,
mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Salah satu alasan
mengapa MS sulit disembuhkan adalah sekali sistem saraf pusat (SSP) rusak
maka perbaikan neuron yang telah rusak akan sulit.
Berdasarkan hal tersebut, sampai saat ini eksperimental tentang
penatalaksanaan dan penggunaan obat yang mungkin dapat merangsang
'remyelinisasi' saraf yang rusak dan memperlambat atau menghentikan proses
kerusakan lebih lanjut masih terus dilakukan. Pada makalah ini, akan dibahas
tentang tatalaksana dari penyakit multiple sklerosis sehingga dapat menambah
pengetahuan dalam mengurangi morbiditas bagi penderita.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu multiple sklerosis?
2. Bagaimana manifestasi klinis multiple sklerosis?
3. Bagaimana patosiologi multiple sklerosis?
4. Bagaimana pathway multiple sklerosis?
5. Apa saja komplikasi dari multiple sklerosis?
6. Bagaimana penatalaksanaan multiple sklerosis?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi multiple sklerosis
2. Mengetahui manifestasi klinis dari multiple sklerosis
3. Mengetahui penyebab terjadinya multiple sklerosis
4. Mengetahui pathway dari multiple sklerosis
5. Mengetahui komplikasi yang terjadi akibat multiple sklerosis
6. Mengetahui cara pengobatan multiple sklerosis
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Multiple sklerosis merupakan kelainan demielinasi paling sering


mengenai saraf saraf pusat. Pada umumnya kelainan ini ditemukan pada
penduduk yang tinggal disekitar garis lintang yang jauh, garis ekuator yang
revalensinya terutama tinggi di Eropa Utara, tetapi rendah didaerah tropis.
Individu yang pindah dari daerah dengan prevalensi tinggi ke revalensi rendah
setelah umur 15 tahun resikonya masih tetap tinggi tetapi, resiko menjadi lebih
rendah apabila perpindahan dilakukan pda umur yang lebih awal(J.C.E.
Underwood 2007, hal 879)

Multiple sklerosis merupakan penyakit progresif yang disebabkan oleh


demielenasi (hilangnya materi selubung myelin, yang penting sifatnya dalam
tranmisi impuls saraf) dalam sel sel putih dari otak dan sumsum tulang belakang.
Dalam penyakit ini, jalur jalur demielenasi yang sporadic diseluruh sistem saraf
pusat dengan luas mendorong tidak berfungsinya neurologis yang tersebar dan
bervariasi. Dengan ditandai oleh ledakan kemarahan dna remisi. Multiple
sklerosis merupakan penyebab utama ketidakmampuannya kronis pada anak
muda. (Anggota IKAPI 2008)

Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan


sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan
penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan
oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic infiltration
atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar
darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan
melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti
yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury,
astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang
efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron
yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut,
terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik
tertentu di berbagai bagian tubuh.
Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif
yang multipel di substansia alba yang membuatnya dinamai multipel sklerosis.
Lesi tersebut umumnya berlokasi di periventrikel, korpus kalosum, nervus
optikus, dan medula spinalis. Selain itu dapat ditemukan di batang otak dan
serebelum. Secara mikroskopis, lesi tersebut menunjukkan destruksi myelin
parsial/total. Juga ditemukan infiltrasi perivaskuler dari monosit, limfosit serta
makrofag, sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut. Pada lesi yang
relatif aseluler umumnya aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi,
sedangkan pada lesi yang infiltratif terjadi degenerasi aksonal.

B. Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat
beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
1. Disfungsi usus dan saluran kencing
2. Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi
3. Kelelahan dan gangguan mobilitas
4. Depresi dan gangguan kognitif atau memori
5. Masalah penglihatan dan pendengaran
6. Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif
7. Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis
adalah neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah
mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit
putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada
kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun,
penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi
pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada
neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat
atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada
orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata.
Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff
dimana gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas
atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang
dibandingkan neuritis optika.
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering
dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal
(hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi.
Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh
atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga
dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau
mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila
terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya
mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut
umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi
pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila
kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan
lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi
sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi
kepala.
Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi
gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai
gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait,
maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula
nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal.
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS
meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat
menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang
mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan
miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau
tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan
merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun
kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas
dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue
merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS.
Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan
ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental.
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian
Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka
(13)
panjang umumnya terganggu pada pasien MS . Selain itu juga didapatkan
gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar
berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS
disebabkan lesi hemisfer bilateral.
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral),
gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral),
gangguan pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran
(stupor dan koma).

C. Patofisiologi
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit
T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry
antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T
yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi
autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP.
Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan
struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat
mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS.
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia
diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh
papilloma virus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada
MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat
elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini
juga tidak spesifik.

D. Pathway
E. Komplikasi

1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih

F. Penatalaksanaan
Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical
Guideline 8 Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun
2003. Pola klasifikasi menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS,
HSC).
Grade Keterangan
A Kategori I
B Kategori II atau dengan penambahan kategori I
C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II
D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III
DS Berdasarkan bukti diagnostic
HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004

Kondisi Grade
Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik)
menyebabkan distres atau keterbatasan fisik harus diberikan
kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin setelah muncul relaps :
 intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, A
selama 3 - 5 hari
atau
 dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari,
selama 3 - 5 hari.
Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan
D
penggunaan kortikosteroid.
Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan
D
lebih dari 3 kali setahun harus dihindari
Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya
D
tidak digunakan kecuali ada protokol lain
Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat
17-23 g/hari agar mengurangi perkembangan kecacatan.
A
Sumber makanan kaya akan asam linoleat termasuk bunga
matahari, jagung, kedelai dan minyak safflower.
Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam
keadaan khusus:
 setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan D
semua risiko
 dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif
lain
 dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-
obat dibawah ini dengan pemantauan ketat untuk efek
samping.
pengobatan:
 azathioprine
 mitoxantrone
 intravena imunoglobulin
 plasma exchange A
 intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program
metilprednisolon dosis tinggi.

Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti


penelitian tidak menunjukkan efek menguntungkan pada:
 siklofosfamid
 anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)
 cladribine A
 pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
 hiperbarik oksigen
 linomide
 iradiasi seluruh tubuh
 basic protein myelin (tipe apapun).

Terapi simptomatik

Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya


adalah :

1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program


exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan
ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur.
Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen
antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat
diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan
pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan
ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau
menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif
untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan
harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia
fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras
tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten dalam menahan
pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada
inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido,
gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa
sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi
ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien
dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi
suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil
disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang
memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat
narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek
yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali
sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien
MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan pada
Oktober hingga Maret.

Terapi relaps
1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam
mengurangi gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek
imunomodulator dan antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan
pengurangi edema. kortikosteroid juga dapat meningkatkan konduksi
aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi relaps akut dan
mempercepat pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa meningkatkan
pemulihan secara keseluruhan MS.Jika seorang pasien menjadi cacat
setalah mendapat serangan akut, dokter harus mempertimbangkan
pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga lima
hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara
intravena dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di
pagi hari.
2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu
dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari
ketergantungan obat therapy. Perawatan pendukung berupa konseling,
terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi
dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan
dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.Pasien dengan MS sering
tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus, vitamin,
sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas
perawatan ini kurang.

Disease-Modifying Therapies
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan,
mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-
modifying therapies untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia di
Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a (Avonex), subkutan
interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer
asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing–
remitting MS dan sekunder progresif MS yang memburuk.
1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi
sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon
beta disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi
kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan glatiramer pada
relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo
control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80
persen lesi inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti
bahwa obat ini meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.
Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan
kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan
interferon beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang
dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-
steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan
dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta. Efek samping lain
dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi, depresi,
anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase.
Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan
penghentian pengobatan.
2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya
dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin.
Glatiramer dalam dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti
mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga
direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien dengan
Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir
interferon beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga
proses inflamasi yang terlihat pada MRI. Glatiramer umumnya dapat
ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-like symptoms.
Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak
umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau
dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin
laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang diobati dengan glatiramer,
dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen juga tidak terganggu.
3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone,
sebuah agen antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah
relaps MS sebesar 67 persen dan memperlambat perkembangan.
Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan bentuk
Progressive MS. Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan
alopecia. Karena juga adanya cardiotoxicity kumulatif, obat dapat
digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif
120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus
diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang
berpengalaman.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sklerosis multipel merupakan penyakit pada sistem Persyarafan yang
ditandai dengan lemah, mati rasa, hilnganya fungsi pendengaran dan penglihatan
yang biasanya terjdi pada umur 18-40 tahun dan kapan saja. Sklerosis multipel
timbul karena pola makan yang tidak teratur, pola diet, penggunaan obat,
konsumsi alcohol, merokok dan kurang beraktifitas. Klien perluh diberikan
pendidikan kesehatan tentang pencegahan,dan pengobatan agar dapat menjaga
kesehatannya.

B. Saran
Sebagai perawat disarankan untuk memberi dukungan kepada pasien, dan
menganjurkan pasien maupun keluarga untuk tidak putus asa terhadap
kemungkinan buruk yang akan terjadi, serta menganjurkan pasien untuk
mengikuti terapi yang dianjurkan. Selain itu juga perawat harus memperhatikan
personal hygiene untuk mengurangi dampak yang terjadi pada saat memberikan
pelayanan kesehatan pada penderita multiple skleriosis
DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Naomi D. L., Williams, Gordon H.2005. Hypertensive Vascular Disease.


Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw Hill.
USA.

Kira. J, Tobimatsu S, Gotto I. Vitamin B 12 Metabolisme and Massive Dose


Methyl Vitamin B12 Therapy in Japanese Patients ith Multiple Sclerosis.
Report :Internal Medicine 1994:33:82-86

Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A.2006. Serum 25-


Hidroksivitamin D Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA

th
Malan LK, Stump SE.2008. Krause’s. Food, Nutrition, and Diet Theraphy. 11
Edition. Saunders. USA:1109-1111

Simon R.2009. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA.

Anda mungkin juga menyukai