Anda di halaman 1dari 26

3.

Hiperkolesterolemia atau meningkatnya kadar kolesterol dalam

pembuluh darah.

2.1.3 Faktor Resiko

Faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat di

ubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga,

sedangakan faktor resiko yang masih dapat diubah, sehingga

berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain

kadar serum lipid, hipertensi, merokor, gagguan toleransi glukosa,

dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori (Santoso,

2005)

Secara garis besar terdapat dua jenis resiko bagi setiap

orang untuk terkena IMA menurut kasron (2012) yaitu faktor resiko

yang bisa dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi.

1. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

Merupakan faktor resiko yang bisa dikendaikan sehingga

dengan intervensi tertentu dapat dihilangkan yang termasuk

dalam kelompok ini diataranya :

a. Merokok

Peran rokok dalam penyakit jantung menimbulkan

aterosklerosis; peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi;

peningkatan tekanan darah; pemicu aritmia jantung,

meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan

kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok

atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan resiko 2-3 kali

dibanding yang tidak merokok.


b. Konsumsi alkohol

Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alkohol

dosis rendah hingga moderat, dimana bisa meningkatkan

trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet, dan

meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, akan tetapi

semuanya masih kontroversial. Tidak semua literature

mendukung konsep ini, bahkan peningkatan dosis alkohol

dikaitkan dengan peningktan mortalitas kardiovaskuler karena

aritmia, hipertensi sistemik dan kardiomiopati dilatasi.

c. Infeksi

Infeksi chlamydia pneumoniae, organisme gram negative

intraseluler dan penyebab umum penyakitsaluran persarafan,

tampaknya berhubungan dengan penyakit pembuluh jantung

aterosklerotik.

d. Hipertensi sistemik

Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya after

load yang secara tidak langsung akan meningkatkan beban

kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi

ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load

yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen.

e. Obesitas

Terdapat hubungan yang erat antara berat badan,

peningkatan tekanan darah, peningkatan kolesterol darah,

DM tidak tergantung insulin, dan tingkat aktivitas yang rendah.

f. Kurang olahraga
Aktivitas aerobik yang teratur akan menurunkan resiko

terkena penyakit jantung, yaitu sebesar 20%-40%.

g. Penyakit diabetes

Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien

dengan DM sebesar 2-4 lebih tinggi dibandingkan orang

biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya abnormalitas

metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan

trombogenesis (peningkatan adhesi platelet dan peningkatan

trombogenesis).

2. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

Merupakan faktor yang tidak bisa diubah atau

dikendalikan yaitu diataranya :

a. Usia

Resiko meningkat pada pria di atas 45 tahun dan wanita

di atas 55 tahun (umumnya setelah menopause).

b. Jenis kelamin

Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada

laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan,

hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat

protektive pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK

meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki

pada wanita setlah menapouse.

c. Riawayat keluarga

Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK

sebelum usia 70 tahun merupakan faktor resiko independen


untuk terjadinya PJK. Agregasi PJK keluarga menandakan

adanya prediposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat bukti

bahwa riwayat positif pada keluarga mempengaruhi onset

penderita PJK pada keluarga terdekat.

d. Ras

Insidensi kematian akibat PJK pada orang Asia yang

tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk

lokal, sedangkan angka yang rendah terdapat pada RAS

apro-karibia.

e. Geografi

Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara,

Skotlandia, dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan

perbedaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosial

ekonomi, dan kehidupan urban.

f. Tipe kepribadian

Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif kompetetif,

kasar, sinis, gila hormat, ambisius, dan gampang marah

sangat rentan terkena PJK. Terdapat hubungan antara stress

dengan abnormalitas metabolisme lipid.

g. Kelas sosial

Tingkat kematian akibat PJK tiga kali lebih tinggi pada

pekerja laki-laki dibandingkan dengan kelompok pekerja profsi

(misal dokter, pengacara, dll). Selain itu frekuensi wanita

pekerja ternyata dua kali lebih besar untuk mengalami


kematian dini akibat PJK dibandingkan wanita pekerja

profesional/non-manual.

2.1.4 Klasifikasi

a. Menurut sudoyo (2010) infark miokard akut diklasifikasian

berdasarkan EKG 12 sandapan dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri

koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas

meliputi seluruh ketebalan miokardium. Keluhan nyeri terjadi

secara mendadak dan terus – menerus tidak mereda.

Biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian

atas. Yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada

EKG. Perubahan enzim CPKMB, LDH, AST.

2. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi

sebagaian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh

ketebalan mioakrdium, sehingga tidak ada evlevasi segmen

ST pada EKG. Perubahan enzim CKMB

3. Infark Miokard akut unstable angina pectoris (UAP) : keadaan

klinis diantara angina pectoris stabil dan infark miokardium.

Nyeri dada angina biasanya berlokasi dibawah sternum

(retrosternal) dan kadang menjalar ke leher, rahang, bahu dan

kadang lengan kiri atau keduanya. Angina pectoris ditandai

dengan nyeri dada yang berakhir 5-15menit. Perubahan EKG

(gelombang T terbalik > 0,2 mV dan atau depresi segmen ST>

0,05). Perubahan enzim terjadi kenaikan khas pada CKMB,

protein troponin T dan I dan myoglobin.


b. Menurut rendy dan margareth (2012), jenis jenis miokard infark

terbagi menjadi 2 (dua) menurut lokasi yaitu :

1. Miokard infark subendokardial

Merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia

dan infark. Miokard infark subendokardial terjadi akibat aliran

darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu lama

sebagai skibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner

atau dicetuskan oleh kondisi – kondisi seperti hipotensi,

perdarahan, hipoksia.

2. Miokard infark transmural

Pada lebih dari 90% pasien miokard transmural berkaitan

dengan trombus koroner. Trombosis sering terjadi di daerah

yang mengalami penyempitan arterosklerotik. Penyebab lain

lebih jarang ditemukan, termasuk disini misalnya perdarahan

dalam plague arterosklerotik dengan hematom intramural,

spasme yang umumnya terjadi ditempat arterosklerosik yang

emboli koroner.

2.1.5 Patofisiologi

IMA terjadi ketika kekurangan oksigen yang terjadi

berlangsung cukup lama yaitu lebih dari 30-45 meint sehingga

menyebabkan kerusakan seluler yang ireversibel. Bagian jantung

yang terkena infark akan berhenti berkontraksi selamanya (kasron,

2012).

Kekurangan oksigen yang terjadi paling banyak disebabkan

oleh Penyakit arteri koroner / coronary artery disease (CAD). Pada


penyakit ini terdapat materi lemak (plaque) yang telah terbentuk

dalam beberapa tahun di dalam lumen arteri koronaria (arteri yang

mensuplay darah dan oksigen pada jantung). Plaque dapat rupture

sehingga menyebabkan terbentuknya bekuan darah baik total

maupun sebagian pada arteri koroner (kasron, 2012).

Terbendungnya aliran darah menghambat darah yang kaya

oksigen mencapai bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri

tersebut. Kurangnya oksigen akan merusak otot jantung . jika

sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, otot jantung yang rusak

itu akan mulai mati. Selain disebabkan oleh terbentuknya sumbatan

oleh plaque ternyata infark juga bisa terjadi pada orang dengan

arteri normal (5%) (kasron, 2012)

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak

aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi

lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi

trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri

koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung

mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti

kaya lipid (lipid rich core) (Alwi, 2010)

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis

(kolagen, ADP, epinefrin, serotin) memicu aktivasi trombosit, yang

selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2

(vasokonstiktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit, yang

selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan trombokson A2

(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit

memicu perubahan konfirmasi reaeptor glikoprotein Iib/IIIa. Setelah


mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi

terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut

(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di

mana keduanya adalah molekuk multivalen yang dapat mengikat 2

platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang

platelet dan agregasi (Alwi, 2010).

Infark miokard paling sering terjadi pada ventrikel kiri dan

dapat dinyatakan sesuai area miokardium yang terkena. Apabila

mengenail tiga sekat dinding miokardium maka disebut infark

sebendokardial. Infark miokard juga dapat dinyatakan sesuai

dengan lokasinya pada septal anterior, anterolateral, posteroinferior

dan apical. Lokasi dan luasan lesi menentukan sejauh mana

kemunduran fungsi terjadi, komplikasi dan penyembuhan (Rendy

dan Margareth, 2012).

2.1.6 Tanda Dan Gejala

Menurut kasron (2012) gambaran klinis infark miokard akut

umumnya berupa nyeri dada retrosternalyang terasa berat, ditekan,

seperti diremas-remas, dan terkadang menjalar ke leher, rahang,

epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di

dada. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pectoris dan tak

responsif terhadap nitrogliserin. Terutama pada pasien diabetes dan

orang tua, tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai

perasaan mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar-

debar atau sinkope. Infark miokard akut dapat merupakan

manifestasi pertama penyakit jantung koroner namun bila


anamnesis dilakukan teliti hal ini sering sebenarnya sudah didahului

keluhan angina, perasaan tidak enak di dada atau epigastrium.

Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik dan

dapat normal. Dapat ditemui BJ yakni S2 yang pecah, paradoksal

dan irama gallop. Adanya krepitasi basal menunjukkan adanya

bendungan paru-paru. Takikardia, kulit yang pucat, dingin dan

hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih berat, kadang-

kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau berada di

dinding dada pada IMA inferior.

Tanda dan gejala infark miokard akut (TRIAGE IMA) adalah :

a. Klinis

1) Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus

tidak mereda, biasanya di atas region sternal bawah dan

abdomen bagian atas, ini merupakan gejala utama.

2) Keparah neri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri

tidak tertahankan lagi.

3) Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat

menjalar ke bahu dan terus ke bawah menuju lengan

?(biasanya lengan kiri).

4) Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi) setelah kegiatan

atau gangguan emosional), menetap selama beberapa jam

atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau

nitrogliserin (NTG).

5) Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.


6) Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin

diaforesis berat, pening atau kepala terasa melayang dan

mual muntah.

7) Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri

yang hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat

mengganggu neuroreseptor.

b. Laboratorium

Pemeriksaan Enzim Jantung

1) CPK-MB/CPK, Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung

meningkat antara 4-6 jam memuncak dalam 12-24 jam,

kembali normal dalam 36-48 jam.

2) LDH/HBDH, meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu

lama untuk kembali normal.

3) AST/SGOT, meningkat (kurang nyata/khusus) terjadi dalam 6-

12 jam, memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3

atau 4 hari.

c. EKG

Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang

T tinggi dan simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST.

Perubahan yang terjadi kemudian ialah adanya gelombang Q/QS

yang menandakan adanya kematian jaringan.


2.2 Indeks massa tubuh

2.2.1 Definisi Indeks massa tubuh

Indeks massa tubuh adalah metode yang murah, mudah dan

sederhana untuk menilaii status gizi pada seorang individu, namun

tidak dapat menugukur lemak tubuh secara langsung. Pengukuran

dan penelitian menggunakan IMT berhubungan dengan kekurangan

dan kelebihan satatus gizi. Gizi kurang dapat meningkatkan resiko

terhadap penyakit infeksi dan gizi lebih dengan akumulasi lemak

tubuh berlebihan meningkatkan resiko menderita penyakit

degeneratif (Guallar-Castillón et al., 2007).

Indeks massa tubuh merupakan rumus matematis yang

dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan

kuadrat tinggi badan (dalam meter). Penggunaan rumus ini hanya

dapat diterapkan pada seseorang berusia antara 19 hingga 70

tahun, berstruktur tulang belakang normal, bukan atlet atau

binaragawan, dan bukan ibu hamil atau menyusui. Pengukuran IMT

ini dapat digunakan terutama jika pengukuran tebal lipatan kulit

tidak dapat dilakukan atau nilai bakunya tidak tersedia (Arisman,

2011).

Menurut Anies (2015) rumus untuk mengetahui nilai IMT

dapat dihitung dengan rumus berikut :

berat badan (kg)


IMT = 2
[tinggi badan(m)]

2.2.2 Komponen Indeks massa tubuh

a. Tingi Badan
Tinggi badan diukur dengan keadaan berdiri tegak lurus,

tanpa menggunakan alas kaki, kedua tangan merapat ke badan,

punggung dan bokong menempel pada dinding serta pandangan

di arahkan ke depan. Kedua lengan tergantung relaks di samping

badan. Bagian pengukur yang dapat bergerak disejajarkan

dengan bagian teratas kepala (vertex) dan harus diperkuat pada

rambut kepala yang tebal (Arisman, 2011)

Orang yang tidak dapat berdiri, tinggi badannya dapat

diperkirakan dengan cara mengukur tinggi luut (TL)

Menggunakan kaliper. Posisi subjek dilentangkan dan lutut

ditekuk sampai membentuk sudut 900 . Batang keliper diposisikan

sejajar dengan tibia. Satu lengan kaliper diletakkan dibawah

tumit, sedangkan lengan yang satu lagi ditempelkan di bagian

atas kondilus tulang tibia tepat dibagian proksimal tulang patella.

Ekanan kaliper harus dipertahankan pada 10g/𝑚𝑚2 . Pengukuran

dilakuakn dua kali paling sedikit. Keteletian bacaan skala ±

0,5cm. Tinggi badan menurut chumlea yang ditemukan pada

tahun 1984 diperoleh dengan rumus : (Arisman, 2011)

TB Laki-laki = 64,19 – (0,40 x usia) + (2,02 x TL)

TB Perempuan = 84,88 – (0,40 x usia) + (1,83 x TL)

Fibula dapat dijadikann acuan selain menggunkan tulang

tibia. Tinggi tulang fibula (dalam cm), selanjutnya ditulis TF

diukur dari kaput fibula hingga malleolus lateralis.

Tinggi badan diperoleh dengan menerapkan tinggi tulang

fibula dengan rumus : (Arisman, 2011)


TB Laki-laki = 153,1 – (0,26 x usia) – (1x1) +

(1,05 x TF)

TB Perempuan = 153,1 – (0,26 x usia) – (1x2) +

(1,05 x TF)

Pengukuran tinggi badan dapat pula mengggunakan

dengan panjang rentang tangan (PRT). PRT adalah jarak dua

ujung jari tangan kiri dan kanan terpanjang (biasanya ujung jari

tengah) melalui tulag dada. Pengukuran PRT dilakukan dengan

posisi pasien sama seperti ketika ditimbang beratnya dan diukur

tingginya, kecuali kedua lengan direntangkan kesamping badan

(lengan membentuk sudut 90𝑜 terhadap ketiak), sedangkan

setengah PRT adalah jarak dari ujung jari tengah (lengan yang

tidak dominan) hingga incisura jugularis. Rumus PRT tidak boleh

diterapkan pada anak di bawah lima tahun krena tungkai dan

batang badan belum berkembang dalam kecepatan yag sama

(Guallar-Castillón et al., 2007). Penentuan TB menggunakan

PRT dihitung dengan rumus : (Arisman, 2011)

TB Laki-laki = 53,4 – (0,67 x PRT)

TB Perempuan = 81,0 – (0,48 x PRT)

Penentuan TB menggunakan ½ PRT, menggunakan rumus :

TB = [0,73 x (2 x ½ PRT)] + 0,43

b. Berat Badan

Penimbangan berat badan terbak dilakukan pada pagu

hari setalah bagun tidur sebelum makan pagi, sesudah 10-12


jam pengosongan lambung. Timbangan badan perlu dikalibrasi

pada angka nol sebagai permulaan dan memiloki ketelitian

0,1kg. Berat badan dapat dijadikan sebagai ukuran yang reliable

dengan mengkombinasikan dan mempertimbangkan ya terhadap

parameter lain seperti tinggi badan, dimensi kerangka tubuh,

proporsi lemak, otot, tulang dan komponen berat patologis

(seperti edema dan splenomegali).

Berat badan ideal orang dewasa dapat diperoleh

menggunakn formula lorentz : (Arisman, 2011).

TBcm - 150
BBI laki-laki=(TBcm - 100)-
4

(TBcm - 150)
BBI Perempuan=(TBcm - 100)-
2,5

2.2.3 Faktor- faktor yang berhubugan dengan indeks massa tubuh

1. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri,

Sirivichayakul, Kaew Kungwal, Tungtrochitr dan Lotrakul

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara usia yang lebih tua dengan IMT kategori obesitas.

Subjek penelitian pada kelompok usia 40-49 dan 50-59 tahun

memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas dibandingkan

kelompok usia kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dicurigai

oleh karena lambatnya proses metabolisme, berkurangnya

aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih

sering(Kantachuvessiri et al., 2004)


2. Jenis kelamin

IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih banyak

ditemukan pada laki-laki. Namun, angka kejadian obesitas lebih

tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Data dari

National and Nutrition Examination Survey(NHANES) periode

1999-2000 menunjukkan tingkat obesitas pada laki-laki sebesar

27,3% dan pada perempuan sebesar 30,1% (Catenacci, Hill, &

Wyatt, 2009)

3. Genetik

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lebih dari 40%

vsrisdi IMT dijelaskan oleh faktor genetik. IMT sangat

berhubungan erat dengan generasi pertama (Catenacci et al.,

2009). Studi lain yang berfokus pada pola keturunan dan gen

spesifik telah menemukan bahwa 80% keturunan dari dua orang

tua yang obesitas juga mengalami obesitas dan kurang dari 10%

memiliki berat badan normal (Catenacci et al., 2009).

4. Pola makan

Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang

terjadi saat makan. Pola makan berkenan dngan jenis, proporsi

dan kombinasi makanan yang dimakan oleh seorang individu,

masyarakat atau sekelompok populasi. Makanan cepat saji

berkontribusi terhadap peningkatan indeks massa tubuh

sehingga seseorang dapat menajdi obesitas. Hal ini terjadi

karena kandungan lemak dan gula yang tinggi pada makanan

cepat saji. Selain itu peningkatan porsi dan frekuensi makan juga

berpengaruh terhadap peningkatan obesitas. Orang yang


mengkonsmsi makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami

peningkatan berat badan dibanding mereka yang mengkonsumsi

makanan tinggi karbohidrat dengan jumlah kalori yang sama

(Abramowitz, 2004).

5. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang

disebabkan oleh kontraksi otot menghasilkan energi ekspenditur,

menjaga kesehatn tubuh membutuhkan aktifitas fisik sedang

atau bertenaga serta dilakukan hingga kurang lebih 30 menit

setiap harinya dalam seminggu. Penurunan berat badan atau

pencegahan peningkatan berat badan dapat dilakukan dengan

beraktifitas fisik sekitar 60 menit dam sehari (WHO, n.d.)

2.2.4 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas,indeks

massa tubuh (IMT) diinterpretasi menggunakan kategori status

berat badan standar yang sama untuk semua umur bagi laki-laki

dan perempuan. Interpretasi IMT pada anak-anak dan remaja

adalah spesifik mengikut usia dan jenis kelamin (Mackett & Brown,

2011).

Tabel 2.2.4 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kategori Kg/m2
BB kurang <18.5
BB normal 18.5-22.9
Overweight 23.0-24.9
Obes I 25.0-29.9
Obes II >30
2.2.5 Keterbatasan dan kelebihan indeks massa tubuh

1. Kelebihan indeks massa tubuh adalah

a. Biaya yang diperlukan murah.

b. Pengukuran yang diperlukan meliputi berat badan dan

tinggi badan seseorang.

c. Mudah dikerjakan dan hasil bacaan adalah sesuai nilai

stndart yang telah dinyatakan pada tabel IMT.

2. Keterbatasan indeks massa tubuh adalah

a. Olahragawan

Olahragawan yang sangat terlatih, mungkin memiliki IMT

yang tinggi karena peningkatan massa otot. Massa otot

yang meningkat dan berlebihan pada olahragawan

(terutama binaragawan) cenderung menghasilkan kategori

obesitas dalam IMT walaupun kadar lemak tubuh mereka

dalam kadar yang rendah.

b. Bangsa yang berbeda

Tidak akurat pada bangsa tertentu karena perbedaan

komposisi tubuh yang berbeda sehingga memerlukan

beberapa modifikasi tubuh yang berbeda sehingga

memerlukan beberapa modifikasi untuk IMT. Bangsa barat

seperti negara di benua Eropa dengan IMT 24.9 kgm2

termasuk dalam kategori normal, namun bagi bangsa Asia

dengan IMT 24.9 kg/m2 sudah masuk dalam kategori BB

lebih.
2.3 Obesitas

2.3.1 Definisi Obesitas

Obesitas adalah suatu pengertian yang seringkali dipakai

untuk menggambarkan adanya akumulasi lemak yang

berlebih. Sedangkan overweight dikenal dalam istilah awam

sebagai kegemukan yang menyatkan status gizi yang berlebih

(Putri, Kesehatan, & Surakarta, 2014).

Obesitas adalah peningkatan berat badan diatas 20% dari

batas normal. Pada penderita obesitas status nutrisi

melampaui status nutrisi yang dibutuhkan dalam metabolisme

akibat peningkatan masukan kalori dan atau penurunan

masukan kalori yang berarti kebutuhan dan pengeluaran kalori

tidak seimbang, sehingga akan menyebabkan akumulasi

lemak yang menyebabkan meningkatnya berat badan. Pada

remaja kejadian obesitas mengalami peningkatan yang

disebabkan oleh faktor yang bersifat multifaktorial baik itu

genetik, psikologi dan faktor lingkungan (Mahmudah, Cahyati,

& Wahyuningsih, 2013).

2.3.2 Epidemiologi Obesitas

Obesitas dapat menimbulkan peningkatan kejadian

hipertensi, intoleransi glukosa, dan penyakit jantung koroner

aterosklerosis pada pasien-pasien yang obesitas.

Berdasarkan data WHO, terdapat 1,6 miliar orang dewasa

yang memiliki berat badan berlebih (overweight)dan 400 juta

diantaranya mengalami obesitas atau kegemukan. Satu


pertiga (32,9%) atau 72 juta orang dewasa warga negara

Amerika serikat mengalami obesitas (Ercho,2014).

Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun

2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi tahun 2007 (13,9%) dan

tahun 2010 (7,8%). Tahun 2013, pravelensi obesitas

perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun

2007 (13,9) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5). Provinsi

dengan pravelensi obesitas sentral tertinggi adalah DKI

jakarta (40,1) dan terendah adalah Nusa Tenggara Timur

(16,6%) provinsi Lampung menempati urutan ke-32 dari 33

provinsi yang ada di Indonesia (Kemenkes, 2013).

2.3.3 Etiologi Obesitas

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan obesitas diantaranya

faktor genetik, gaya hidup, psikis, obat-obatan, perkembangan dan

aktivitas fisik (Sherwood, 2012).

1) Faktor agenetik

Teori mengemukakan bahwa faktor herediter

disimpan dalam fokus gen dan kromosom, dimana gen

tersebut mengandung satuan informasi genetik yang

mengatur sifat-sifat turunan. Gen yang berasosiasi dengan

obesitas yaitu gen ob (obesity) dan gen db (diabetic).

Gen ob memproduksi leptin yang dihasilkan ole sel-

sel lemak yang dikeluarkan ke peredaran darah. Leptin

yang beriktan dengan reseptor di otak mempengaruhi


aktivitas saraf simpatis yang mempengaruhi nafsu

makan(Ekmen et al.2015).

2) Faktor gaya hidup

Gaya hidup seperti pola konsumsi dan life sedentari

menyebabkan gangguan metabolik. Pola makan yang

berlebih, tidak teratur dan kebiasaan makan makanan

cepat saji yang kurang serat tinggi karbohidrat dan lemak

menyebabkan resiko obesitas. Serat dapat mengikat lemak

menyebabkan resiko obesitas. Serat dapat mengikat lemak

dipencernaan melalui pngikatan asam empedu yang

dikeluarkan melalui tinja. Konsumsi lemak yang berlebihan

meningkatkan resiko penyakit-penyakit degeneratif (Akuba,

2015)

3) Psikis

Faktor-faktor psikis dapat mengganggu

keseimbangan hormon kortisol dalam darah. Hormon

kortisol dibuat dari derivat asam lemak. Peningkatan

pembentukkan hormon kortisol mengganggu metabolisme.

Faktor psikis berupa stres dapat menyebabkan seseorang

memiliki kebiasaan buruk dalam mengurangi stres. Perilaku

makan berlebihan pada orang stres atau gangguan emosi

biasanya sebagai pelampiasan emosi dalam mengurangi

keadaan emosinya (Sherwood, 2012).

4) Obat-obatan

Obat-obatan merupakan sumber penyebab

signifikan dari terjadinya overweight dan obesitas. Obat-


obatantersebut diantaranya adalah golongan steroid.

Antidiabetik, antihistamin, antihipertensi, protease inhibitor

(Shils, 2006). Penggunaan obat anti diabetes (insulin,

sulfonylurea, thiazolidinepines), glukokortikoid agen

psikotropik, mood stabilizers (lithium), antidepresan

(tricylics, monoamine oxidase inibitors, patoxetine,

mirtazapine) dapat menimbulkan penambahan berat

badan. Insulin-secreting tumors juga dapat menimbulkan

keinginan makan berlebihan sehingga menimbulkan

obesitas (Fauci et al., 2009).

5) Perkembangan dan aktivitas

Aktivitas sangat berpengaruh terhadap obesitas.

Aktivitas fisik mempengaruhi jumlah kalori yang dikeluarkan

tubuh. Kalori yang masuk ke dalam tubuh tidak diimbangi

dengan pengeluaran kalori yang seimbang melalui aktivitas

fisik akan meningkatkan simpanan energi tubuh dalam

bentuk lipid yang akan disimpan dalam jaringan-jaringan

adiposa tubuh (Farida, 2009).

2.3.4 Klasifikasi Obesitas

1) Obesitas Sentral

Pada obesitas yang moderat, distribusi lemak

regional tampaknya dapat merupakan indikator yang cukup

penting terhadap terjadinya perubahan metabolik dan

kelainan kardiovaskular, walaupun hubungan antara IMT

dan komplikasinya belum terlalu meyakinkan. Lemak

daerah abdomen terdiri dari lemak subkutan dan lemak


intra-abdominal yang dapat dinilai dengan cara CT dan

MRI. Jaringan lemak intra-abdominal terdiri dari lemak

omental dan mesentrial serta massa lemak retroperitoneal

(sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagia permukaan

ventral ginjal) (sugondo,2009).

Lemak subkutan daerah abdomen sebagai

komponen obesitas sentral mempunyai korelasi yang kuat

dengan resistensi insulin seperti lemak viseral. Vena porta

merupakan saluran pembuluh darah tunggal bagi jaringan

adiposa dan berhubungan langsung dengan hati. Mobilisasi

asam lemak bebas akan lebih cepat dari daerah viseral

dibandingkan lemak daerah subkutan. Aktivitas lipolitik

yang lebih besar dari lemak viseral, baik pada obesitas

maupun non obesitas merupakan kontributor terbesar

asam lemak bebas dalam sirkulasi (Sugondo, 2009). Untuk

mngetahui interpretasi perkembangan otot atau distribusi

lemak tubuh dan klasifikasi obesitas perlu

mempertimbangkan usia dan jenis kelamin. Misalnya

adositas pusat yaitu penumpukkan lemak terutama pada

bagian abdomen lebih menunjukkan peningkatan resiko

penyakit kardiobvaskular. Hal ini dapat ditentukan

berdasrkan pengukuran lingkar pinggang (La Morte, 2013).

Jenis pemeriksaan klasifikasi Laki-laki Perempuan


Normal 94-102 cm 80-88 cm
Lingkar pinggang Tinggi >102 cm >88 cm
Rasio lingkar Normal <0,90 <0,85
Pinggang panggul tinggi ≥90 ≥85
Tabel 2.3.4 interpretasi lingkar pinggang (LP) dan rasio lingkar pinggang dan

panggul (RLPP) (WHO, 2008)

2) Obesitas General

Obesitas adalah penumpukkan lemak yang berlebih di

dalam tubuh yang melebihi kebutuhan skeletal dan fisik

yang menyebabkan peningktan berat badan (Dorland,

2008). Besitas diartikan sebagai kondisi dimana massa sel

lemak yang berlebihan (Fauci et al.,2009).

Penilaian obesitas dapat ditentukan dengan

menghitung IMT. IMT adalah indikator yang paling sering

digukan dan praktis untuk mengukur berat badan berlebih

dan obesitas pada orang dewasa. Untuk pengukurannya

sendiri digunakan indeks quetelet, yaitu berat badan dalam

kilogram dibagi tinggi meter kuadarat 2 ukuran tinggi

badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.

Hubungan antara lemak ditubuh dan IMT ditentukan oleh

bentuk tubuh dan proporsi tubuh, sehingga dengan

demikian IMT belum tentu memberikan kegemukan yang

sama bagi semua populasi (Sugondo, 2009).

Klasifikasi IMT Kg/m2


Berat Badan Kurang ≤18.5
(Underweight)
Normal 18.5-22.9
Berat Badan Lebih ≥ 23.0
(Overweight)
Beresiko 23.0-24.0
Obesitas I 25.0-29.0
Obesitas II ≥ 30.0
Tabel 2.2 klasifikasi berat badan leih dan obesitas

berdasarkan IMT menurut kriteria Asia Pasifiki (WHO, 2012).

2.3.5 Patofisiologi Obesitas

Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan

keluaran kalori dari tubuh penurunan aktifitas fisik (sedentary life

style) yang menyebabkan penumpukan lemak di jaringan adiposa.

Ketidakseimbangan dipengaruhi pengontrolan nafsu makan dan

tingkat kekenyangan seseorang yang diatur oleh mekanisme neural

dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh oleh genetik,

nutrisi, lingkungan dan sinyal psikologis (Marlinda, 2015).

Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa

lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat

katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi

menjadi dua kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal

pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan , makan

serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida

gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin sebagai

stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan

oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur

penyimpanan dan keseimbangan energi (Sherwood, 2012).

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka

jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar

leptin dalam peredaran darah. Kemudianm leptin merangsang

anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi

neuro peptida Y (NPY) sehingga terjadi penrunan nafsu makan.

Demikian pula sebaliknya bila kebuthan energi lebih besar dari


asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi

rangsangan pada orixigenic center di hipotalamus yang

menyebabkan peningktan nafsu makan (jeffrey, 2009).

Pada sebagaian besar penderita obesitas, sell-sel adiposa

tetap menghasilkan leptin yang akan bersirkulasi ke darah.

Reseptor-reseptor di anorexigenic center mengalami penurunan

kemampuan atau resistensi sehingga menyebabkan proses sinyal

panjang yang diperantarai saraf simpatis terganggu sehingga

mengurangi pengontrolan nafsu makan. Resistensi reseptor leptin

dihipotalamus memiliki peran besar dalam terjadinya obesitas

(jeffrrey, 2009).

2.4 Hubungan Obesitas dengan kejadian infark miokard akut

Obesitas terkait dengan beberapa faktor resiko CAD , termasuk

HTN, DM, dan displimedemia, dan juga mungkin menjadi faktor resiko

independen untuk CAD. Melalui beberpa jalur, termasuk peningkatan

tension angio volume sirkulasi darah, dan resistensi perifer total, berat

badan berlebih meningkatan HTN risk. Melalui perubahan sensitivitas

insulin, obesitas meningkatkan resiko DM yang menyebabkan perubahan

dalam fungsi endotel, peningkatan dislipidemia, dan respon inflamasi

lainnya yang semuanya meningkatkan resiko CAD (Jahangir, De

Schutter, & Lavie, 2014).

Obesitas merupakan faktor resiko utama cadiovaskuler disease

(CVD), dan data secara konsisten menunjukkan peningkatan insidensi

penyakit seiring dengan meningkatnya IMT. Secara keseluruhan,

diperkirakan bahwa pada subjek yang mengalami semua penyakit yang

terkait dengan CVD, mortalitas CVD meningkat tiga kali lipat; 18% dari
variasi resiko CVD telah dikaitkan dengan resistensi insulin. Telah

diketahui dengan jelas bahwa penumpukkan sejumlah besar lemak dalam

tubuh akan mengubah fungsi metabolik normal sehingga dalam tubuh

akan mengubah fungsi metabolik normal sehingga mengasilkan

perubahan yang verpotensi membahayakan (Mary, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dari obesitas dengan infark miokard

akut meneliti efek American Heart Assocition step 1 diet dan program

oenurunan berat badan (satu pertemuan dalam seminggu dengan ahli

gizi, tanpa olahraga). Hasil menunjukkan penurunan berat badan rata-rata

11 kg, penurunan 10% baik total kolesterol maupun LDL, penurunan 24%

trigliserida, dan peningkatan 8% HDL. Adanya perbaikan dalam

mengontrol faktor resiko dengan penurunan berat badan, amaka kejadian

infark miokard akut recurrent menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan

rekomendasi ACC / AHA / CCS bahwa pasien pulih dari IMA harus

melaksanakan program untuk penurunan berat badan (diet dan olahraga)

dengan cara merencanakan dan memantau rspon terhadap terapi melalui

pengukuran indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar pinggang. Target

indeks massa tubuh (IMT) adalah 18,5-24,9 kg/m2 dan lingkar pinggang

pada wanita < 35 inchi (<89 cm) dan pada laki-laki <40 inchi (<102 cm).

Percapai target tersebut untuk pencegahan skunder pada pasien infark

miokard akut sehingga dapat menurunkan angka kejadian serangan

berulang/recurrent (Smith el al., 2011).

Anda mungkin juga menyukai