Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi STEMI
Kejadian oklusi mendadak di arteri koroner epikardial dengan gambaran EKG
elevasi segmen ST (perkeni,2015).
Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral
dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama
sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga
tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark
(Guyton & Hall, 2007).

2. Epidemiologi STEMI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan
lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit.
Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan STEMI
(Bassand, 2007).

3. Etiologi STEMI
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara
lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam
lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya IMA pada individu.

4. Patofisiologi STEMI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya.

13
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang
poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus
yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI
dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

14
5. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor
resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.
Faktor yang tidak dapat dirubah :
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada
usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40
dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat
(Kumar, et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis
meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Hal ini
diperkirakan merupakan pengaruh dari hormon estrogen (Kumar, et al.,
2007).
c) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

Faktor resiko yang dapat dirubah :


a) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida
serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180
mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan
peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi
240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan

15
meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar
kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap
penyakit ini.
b) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar
50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal jantung
kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar,
et al., 2007).
c) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu
yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti
merokok dapat menurunkan risiko secara substansial (Kumar, et al.,
2007).
d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua
kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak.
Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita
diabetes mellitus
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

6. Diagnosis
Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar
jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko

16
antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stress serta
sakit jantung koroner pada keluarga.

Nyeri dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan
tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau
yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang
berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang
dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan
dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :


a. Lokasi : substernal
b. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, ulu hati.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin.
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas, lemas.
Dapat juga ditanyakan: Riwayat penyakit terdahulu, obat-obatan yang pernah
dikonsumsi, alergi terhadap sesuatu, riwayat penyakit keluarga.

Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>20 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda fisik
lain Secara umum dalam batas normal kecuali disertai komplikasi dan atau
komorbiditi.

17
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan
V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan
perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara
itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada
sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada
usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3
pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah
≥0,25 mV. sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di
lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita,
nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV,
kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI
kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST

18
≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST
≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai
perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas
rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan
pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas sangat rendah.

Tabel. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG (perkeni, 2015)

Sadapan dengan Deviasi Segmen Lokasi Iskemia atau Infark


ST
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, Avf Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Pemeriksaan marka jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin
I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan
penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin
I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang
seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi
ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi

19
dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.
Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di
ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status
elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan
laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.

8. Diagnosis Banding
1. Angina prinzmetal
2. LV aneurisma
3. Perikarditis
4. Brugada
5. Early repolarisasi
6. Pacemaker
7. LBBB lama

9. Penatalaksanaan
Fase awal di UGD
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu
segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi
penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah
terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang

20
gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.
1) Tirah baring.
2) Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka
dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami
distres respirasi
3) Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA
dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi
O2 arteri
4) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien
yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin.
Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi
sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a) Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180
mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90
mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik atau
b) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien
yang direncanakan untuk terapi reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
c) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi
pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung
saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian,
dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada

21
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti
d) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap
10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

Gambar 2.2 Penatalaksanaan ACS


Fase Perawatan Intensif di CVC (2x24 jam)
Obat-obatan
a. Simvastatin 1x20 atau Atorvastatin 1x20 mg atau 1x40 mg jika
kadar LDL di atas target.
b. Aspilet 1 x 80mg.
c. Clopidogrel 1 x 75 mg atau Ticagrelor 2 x 90mg.
d. Bisoprolol 1x1.25 mg jika fungsi ginjal bagus, Carvedilol 2x3,125
mg jika fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan
jika tidak ada kontra indikasi.

22
e. Ramipril 1 x 2,5 mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi
menurun EF <50%; diberikan jika tidak ada kontra indikasi.
f. Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat
golongan ARB: Candesartan 1 x 16 mg, Valsartan 2x80mg.
g. Obat pencahar 2 x 1 sendok makan.
h. Diazepam2 x 5 mg.
i. Jika tidak dilakukan primary PCI diberikan heparinisasi dengan:
 UF heparin bolus 60 Unit/kgBB, maksimal 4000 Unit,
dilanjutkan dengan dosis rumatan 12 Unit/kgBB maksimal
1000 Unit/jam atau
 Enoxaparin 2 x 60mg (sebelumnya dibolus 30mg iv) atau
 Fondaparinux 1 x 2,5 mg
j. Monitoring kardiak.
k. Puasa 6 jam.
l. Diet Jantung I1800 kkal/24 jam.
m. Total cairan 1800 cc/24 jam.
n. Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid)
dan asam urat.
Fase perawatan biasa
a. Sama dengan langkah a-n(diatas).
b. Stratifikasi Risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas pasien (pilih
salah satu) : 6 minutes walk test, Treadmill test, Echocardiografi
Stress test, Stress test perfusion scanning atau MRI.
c. Rehabilitasi dan Prevensi sekunder.

23
1.1 Definisi DM Tipe 2
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
2.1 Patogenesis DM Tipe 2
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari
DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi
lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM
tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
a. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
b. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
c. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang
berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)

24
The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to
the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes
Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795) Secara garis besar patogenesis DM
tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

25
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan
amylin.
g. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus

26
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah alah
satu contoh obatnya.
h. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3.1 Klasifikasi DM
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut
 Autoimun
 diopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan


resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai
resistensi
Insulin
Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi

27
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM

Diabetes mellitus
gestasional

4.1 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat
ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 3.KriteriaDiagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)

Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau

28
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria


DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Penatalaksanaan DM Tipe 2
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik
berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder atau Tersier. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri
tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

29
Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistik.
Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain serta pasien dan keluarganya).
Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang
tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian

30
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu
reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
Penghambat Alfa Glukosidase.

31
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak
digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat
golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1
untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter
dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1
dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat

32
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
1) Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
2) Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
3) Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
4) Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
5) Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
Efek samping terapi insulin
1) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia
2) Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian
komplikasi akut DM
3) Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
1) Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu menyerupai pola
sekresi insulin yang fisiologis.
2) Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.

33
3) Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
4) Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan
glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
5) Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila
sasaran terapi belum tercapai.
6) Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan HbA1c belum mencapai target, maka dilakukan
pengendalian glukosa darah prandial (mealrelated). Insulin
yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang
disuntikan 5-10 menit sebelum makan atau insulin kerja
pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum
makan.
7) Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat
antihiperglikemia oral untuk menurunkan glukosa darah
prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan
karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau metformin
(golongan biguanid)
8) Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

34

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen56 halaman
    Bab Iii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Gilut
    Laporan Kasus Gilut
    Dokumen13 halaman
    Laporan Kasus Gilut
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Pereira2010 (Result)
    Pereira2010 (Result)
    Dokumen8 halaman
    Pereira2010 (Result)
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Kontusio
    Kontusio
    Dokumen2 halaman
    Kontusio
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen4 halaman
    Bab Iii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Tugas Fraktur 1
    Tugas Fraktur 1
    Dokumen1 halaman
    Tugas Fraktur 1
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Chrcanovic2011 (Result)
    Chrcanovic2011 (Result)
    Dokumen13 halaman
    Chrcanovic2011 (Result)
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Pereira2010 (Result)
    Pereira2010 (Result)
    Dokumen10 halaman
    Pereira2010 (Result)
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii1
    Bab Iii1
    Dokumen18 halaman
    Bab Iii1
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Chrcanovic2011 (Result)
    Chrcanovic2011 (Result)
    Dokumen13 halaman
    Chrcanovic2011 (Result)
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen1 halaman
    Bab Iv
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Pereira2010 (Result)
    Pereira2010 (Result)
    Dokumen10 halaman
    Pereira2010 (Result)
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen26 halaman
    Bab Ii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Kasus Pendek
    Kasus Pendek
    Dokumen6 halaman
    Kasus Pendek
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Referat Hernia Femoralis Fix
    Referat Hernia Femoralis Fix
    Dokumen11 halaman
    Referat Hernia Femoralis Fix
    PutriCaesarrini
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Pengesahan
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Kasus Panjang
    Kasus Panjang
    Dokumen4 halaman
    Kasus Panjang
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen4 halaman
    Bab Iii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Hernia Femoralis
    Hernia Femoralis
    Dokumen15 halaman
    Hernia Femoralis
    Joses Prima
    Belum ada peringkat
  • Bab IV
    Bab IV
    Dokumen1 halaman
    Bab IV
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Nilai Dasar Pancasil1
    Nilai Dasar Pancasil1
    Dokumen6 halaman
    Nilai Dasar Pancasil1
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen11 halaman
    Bab Ii
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    abdul pandawa
    Belum ada peringkat