Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL KULON PROGOL

Fisiografi dan Geomorfologi Regional


Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan sebagai dome besar
dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong Dome”. Dome ini
mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan
arah barat laut-timur tenggara.

Gambar Sketsa Fisografi Jawa (Van Bemmmelen, 1949) dan Citraan Landsat (SRTM NASA,
2004)
Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian selatan
dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut pegunungan
ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.
Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah tererosi cukup dalam,
sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Gunung Gajah yang
terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan gunung api tertua yang menghasilkan
Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang
terletak di bagian selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic,
kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian
inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai
terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon
Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian
dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini dikenal
sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan
memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan,
sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.
Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa sisi utara dari
Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga di bagian ini
banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah alluvial Magelang.

Geomorfologi Regional
Rangkaian Pegunungan Kulon Progo termasuk dalam zona selatan Jawa Tengah dan
secara keseluruhan merupakan Plateu (Pannekoek, 1939). Berdasarkan relief dan genesanya,
wilayah ini terbagi menjadi beberapa satuan geomorfologi, yaitu :
1.Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuian Pegunungan Kulon Progo ini penyebarannya memanjang dari selatan ke utara
meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo, dan Semigaluh. Kulon Progo merupakan tinggian yang
berbentuk Kubah memanjang dengan sumbu panjang berjarak kurang lebiuh 32 Km dengan arah
Utara Timur Laut – Selatan Barat Daya, dan dibatasi oleh tinggian dan rendaham Kebumen. Dan
terjadinya erosi yang sudah cukup intensif menghasilkan morfologi terbiku kuat oleh
penyaluran.Daerah ini banyak digunakan sebagai pemukiman, kebun, sawah, serta tegalan.
2.Satuan Perbukitan Sentolo
Satuan ini meliputi daerah Pengasih dan Sentolo dan terletak di sebelah timur Pegunungan
Kulon Progo.Satuan ini bisa dibilang memiliki kelerengan yang tidak cukup curam, rata-rata
kelerengan yang terdapat di satuan ini hanyalah 15° dan satuan ini memiliki ketinggian kurang
lebih 50 – 150 m di atas permukaan air laut.
3.Satuan Teras Progo
Satuan Teras Progo ini meliputi kecamatan Nangggulan dan Kali Bawang tepatnya terletak di
sebelah timur pegunungan Kulon Progo dan di sebelah utara satuan perbukitan Sentolo.
4.Satuan Dataran Alluvial
Satuan yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo selanjutnya adalah Satuan Dataran
Alluvial yang memanjang dari sebelah barat ke timur dan meliputi Kecamatan Wates,
Temon, Panjatan, Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah. Satuan ini memiliki kelerengan
yang relatif landai sehingga daerah ini banyak dimanfaatkan sebagai lahan-lahan persawahan
dan pemukiman penduduk.
5.Satuan Dataran Pantai.
Satuan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 sub-satuan, antara lain :
a.Sub Satuan Gumuk Pasir
Sub satuan ini terdiri dari daerah byang luas dan memanjang sepanjang pantai selatan,
termasuk Pantai Glagah. Gumuk-gumuk pasir yang terdapat pada daerah ini kemungkinan
terbentuk akibat dari material-material berukuran pasir yang dibawa oleh Kali Serang dan Kali
Progo yang diendapkan di muara sungai, dan oleh karena aktivitas debaran ombak yang cukup
besar serta adanya angin, kemudian terbentuklah gumuk-gumuk pasir.
b.Sub Satuan Dataran Alluvial Pantai
Sub satuan ini tersebar di bagian selatan Kulon Progo. Sub satuan ini terdiri dari material-
material berukuran pasir halus yang tertransport dan diendapkan oleh aktivitas angin di bagian
utara dari sub satuan gumuk pasir.

Stratigrafi Regional
Pengertian Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan dan
kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu sedangkan dalam arti
sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.(Menurut Sandi Stratigrafi, 1996).Menurut
saya stratigrafi adalah penggambaran penampang kelompok litologi batuan dari tua ke muda
yang ditinjau berdasarkan tebal lapisan secara vertikal.
Dari pengertian Stratigrafi tersebut, saya akan membahas mengenai Stratigrafi
Pegunungan Kulon Progo yang ditinjau berdasarkan literatur dan hasil penelitian yang telah
dijadikan parameter menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598) dan Wartono
Rahardjo,dkk.(1977) dan menurut beberapa ahli, Stratigrafi regional Kulon Progo tersusun oleh
formasi-formasi batuanyang diurutkan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut :
1.Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan memiliki ketebalan kurang lebih 300 meter dan berumur Eosen
tengah sampai Oligosen akhir.Formasi ini tersebar pada Kecamatan Nanggulan yang memiliki
morfologi berupa perbukitan bergelombang rendah hingga menengah.Formasi ini tersusun oleh
batupasir yang bersisipan lignit, napal pasiran, batu lempung, sisipan napal dan batugamping,
batupasir dan tuff.Bagian bawah formasi ini tersusun oleh endapan laut dangkal berupa
batupasir, serpih, dan lignit pada perselingannya.Sedangkan bagian atas dari formasi ini tersusun
atas batuan napal, batupasir gampingan, dan tuff yang menunjukkan wilayah endapan laut
neritik.Formasi Nanggulan dibagi menjadi 3 bagian menurut Marks 1957, hal.101) dan
berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth &
Gerth (1928)
- Axinea Beds
Bagian ini merupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan.Dan merupakan
endapan laut dangkal dengan ketebalan 40 meter dan tersusun oleh batupasir dengan interkalasi
lignit lalu diatasnya terdiri dari batupasir dengan kandungan fosil Pelecypoda.
- Yogyakarta Beds (Djogjakartae Beds)
Yogyakarta Beds merupakan formasi yang terbentuk di atas Axinea Beds. Formasi ini
banyak tersusun oleh napal pasiran berselingan dengan batupasir dan batu lempung yang banyak
mengandung Foraminifera besar dan Gastropoda,fosil yang khas yaitu Nummulites djogjakartae.
Formasi ini memiliki ketebalan 60 meter.
- Discocyclina Beds
Formasi ini terendapkan di atas Yogyakarta Beds dengan ketebalan 200 meter dan
tersusun atas napal, batugamping, dan batupasir serta serpih sebagai perselingannya, dan arkose
yang berjumlah semakin banyak ke bagian atas formasi ini. Pada formasi ini dapat dijumpai
Discocyclina omphalus sebagai fosil pencirinya.
2. Formasi Kebo Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir, dan batulempung yang
menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain.
Di bagian bawah oleh Bothe( disebut sebagai anggota Kebo (Kebo beds) yang tersusun antara
batupasir, batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit dengan
perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah
anggota ini diterobos oleh sill batuan beku.
Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh perulangan
batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau.Ketebalan rata-rata
formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan yang membentuk Formasi Kebo – Butak ini
ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan beberapa intrusi
pengendapan tipe mid fan yang terbentuk pada Oligosen Akhir.
3. Formasi Andesit Tua (Old Andestie Formation or OAF)
Formasi ini berumur Oligosen akhir hingga Miosen awal yang diketahui dari fosil
plankton yang terdapat pada bagian bawah formasi ini.OAF tersusun atas breksi andesit, tuff, tuff
lapili, aglomerat, dan sisipan aliran lava andesit.Formasi Andesit Tua ini memiliki ketebalan
mencapai 500 meter dan mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan.
Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari
beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949)
disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di
bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara
Pegunungan Kulon Progo.
4.Formasi Jonggrangan
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan, suatu
desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai Plato
Jonggrangan.Formasi ini berumur Miosen awal hingga Miosen tengah dengan ketebalan 250
meter dan diendapkan pada laut dangkal.Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat
yang ditumpangi oleh Batunapal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit.Batuan
ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977).Formasi
Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari
Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (Van Bemmelen, 1949, hal.598), (vide van
Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo
keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”).
5.Formasi Sentolo
Formasi ini terletak di bagian tenggara pegunungan Kulon Progo dengan morfologi
perbukitan bergelombang rendah hingga tinggi.Bagian bawah formasi ini tersusun atas
konglomerat yang ditumpangi batupasir gampingan, napal tufan dan sisipan tuf kaca.Semakin ke
atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies Neritik. Batugamping koral dijumpai
secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa
tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar (1975) dijumpai
beberapa spesies yang khas, seperti :Globigerina Insueta Cushman & Stainforth, dijumpai pada
bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide
Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah.
Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian
terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalah berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona
N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono
Rahardjo, dkk, 1977).
6.Alluvium (Endapan Alluvial)
Alluvium terdiri atas endapan-endapan kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang
sungai yang besar dan dataran pantai. Alluvium sungai berdampingan dengan alluvium
rombakan bahan vulkanik gunung api.
Tabel Stratigrafi Regional Pegunungan Kulon Progo, menurut tiga ahli yaitu Wartono
Rahardjo,dkk (1977), Suroso,dkk (1986), dan Pringgoprawiro,dkk (1988)

Struktur Geologi Regional


Kulon Progo merupakan suatu perbukitan hasil dari aktivitas gunung api purba pada
masanya, dengan kata lain daerah ini dahulu merupakan kompleks gunung api pada umur
paleogen yang kemudian tertutup oleh batuan karbonat di umur Neogen akibat dari terjadinya
penurunan sehingga daerah ini tergenang air dan kemudian mengalami uplift kembali sehingga
batuan karbonat tersebut tersingkap ke permukaan dan dapat dilihat bahwa terdapat sesar-sesar
normal dengan pola penyaluran radial pada sekitar kubah-kubah hasil dari gunung api purba.
Menurut keadaan daerahnya, kenampakan struktur yang dominan dapat dibagi menjadi 2,
yaitu struktur Dome dan struktur Unconformity.
a.Struktur Dome
Plato Jonggrangan, merupakan Plato atau dataran tinggi yang luas sebagai penunjuk adanya
struktur Dome ini. Aktifitas-aktifitas yang dominan terjadi adalah karena orogenesis. Dome
ini memanjang dari utara ke selatan dan di bagian utara terpotong oleh sesar dengan arah
tenggara – barat laut.
b.Struktur Unconformity
Terdapat ketidakselarasan atau unconformity dari tiap-tiap kontak formasi yang ada pada
daerah Kulon Progo ini.Unconformity yang terjadi adalah ketidakselarasan disconformity
antara formasi – formasi berlitologi batuan sedimen seperti Formasi Jonggrangan dan
Formasi Sentolo.Selain itu juga terdapat ketidakselarasan nonconfrmity antara Formasi
Andesit Tua dengan Formasi Jonnggrangan dan/atau Formasi Sentolo.

EVOLUSI TEKTONIK PEGUNUNGAN KULON PROGO


Daerah Kulon Progo mengalami tiga kali fase tektonik (Rahardjo dkk, 1995).Fase
tektonik pertama terjadi pada Oligosen Awal dengan disertai aktifitas volkanisme.Fase ketiga
terjadi pada Pliosen sampai Pleistosen terjadi fase tektonik berupa pengangkatan dan aktivitas
vulkanisme.
Fase tektonik Oligosen Awal – Oligosen Akhir
Fase tektonik Oligosen Awal terjadi proses pengangkatan daerah Kulon Progo yang dicirikan
oleh ketidak selarasan antara Formasi Nanggulan yang diendapkan di darat.Fase tektonik ini juga
mengaktifkan vulkanisme di daerah tersebut ,yang tersusun oleh beberapa sumber erupsi.
Perkembangan vulkanisme di kulon Progo tidak terjadi bersamaan, namun di mulai oleh Gunung
Gajah, kemudian berpindah ke selatan pada Gunung Ijo. Dan terakhir berpindah ke utara pada
GunungMenoreh.
Fase Tektonik Miosen Awal
Pada pertengahan Miosen Awal terjadi fase tektonik kedua berupa penurunan daerah Kulon
Progo. Penurunan ini dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapan , yaitu dari Formasi
Andesit Tua yang diendapkan di darat menjadi Formasi Jonggrangan yang diendapkan di laut
dangkal. Pada fase ini, hampir semua batuan gunung api Formasi Andesit Tua tertutup oleh batu
gamping Formasi Jonggrangan, menandakan adanya genang laut regional.

Fase Tektonik Pliosen – Pleiotosen


Pada Akhir Pliosen terjadi fase tetonik ketiga di daerah Kulon Progo, berupa pengangkatan.
Proses ditandai oleh berakhirnya pengendapan Formasi Sentolo di laut dan diganti oleh
sedimentasi darat berupa alluvial & endapan gunung api kuarter. Fase tektonik inilah yang
mengangkat daerah Kulon Progo menjadi pegunungan kubah memanjang yang disertai dengan
gaya regangan di utara yang menyebabkan terpancungnya sebagian Gunung Menoreh. Bisa
dikatakan bahwa fase tektonik inilah yang membentuk moorfologi Pegunungan Kulon Progo saat
ini.

Sejarah Geologi Daerah Penelitian


Sejarah geologi daerah penelitian dimulai sejak kala Oligosen Akhir - Miosen Awal ditunjukkan
oleh kegiatan magma andesitik yang menghasilkan endapan lahar, lava dan intrusi andesit pada
lingkungan laut.Kemudian diikuti oleh proses tektonik Miosen yang menghasilkan struktur sesar,
dan kekar pada lingkungan daratan. Pada lingkungan daratan ini terjadi alterasi dan mineralisasi
yang berupa urat - urat kuarsa dan ubahan batuan.Proses berikutnya terjadi genang laut dari
lingkungan darat menjadi laut dangkal pada kala Pliosen. Kondisi genang laut tersebut
menyebabkan diendapkannya batugamping beriapis.Kala Pleistosen terjadi perlipatan pada
batugamping berlapis dengan ditunjukkan oleh kemiringan satuan batuan tersebut.Pada kala
Holosen terjadi pelapukan, erosi, transportasi dan deposisi endapan aluvial disepanjang sungai
dan dataran banjir.

Struktur Geologi Regional


Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon Progo oleh Van
Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur
laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-
kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk
pola radial.
Gambar Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van
Bemmelen (1945, hal.596)
Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan arah
barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona sesar.

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan
hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini
disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena
sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar penelitian,
sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian. Tidak
lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya
perbedaan tentang susunan stratigrafi di daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.

STRUKTUR GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN


Menurut Sujanto dan Roskamil (1975), tektonik daerah Jawa Tengah bagian selatan
dipengaruhi oleh adanya zona penunjaman yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa.Samodra
(1981) mengemukakan bahwa struktur yang berkembang di Jawa Tengah mempunyai pola
dengan arah Timurlaut – Baratdaya, struktur ini berasosiasi dengan Pegunungan Meratus di
Kalimantan. Prihatmoko dkk., (2002) mengemukakan di daerah Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 5 struktur utama, yaitu: Citandui, Pati, Yogyakarta, Baribis
dan Kendeng.
Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian
selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut
pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.
Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah tererosi cukup
dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Gunung Gajah yang
terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan gunung api tertua yang menghasilkan
Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang
terletak di bagian selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic,
kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian
inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai
terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon
Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian
dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini
dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan
memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan,
sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.
Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa sisi utara
dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga di bagian ini
banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah alluvial Magelang.
Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon Progo oleh
Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-
timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada
kaki-kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang
membentuk pola radial.
Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan arah
barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona sesar.
Source:
http://ptbudie.wordpress.com/2009/02/01/pegunungan-selatan/
http://rorygeobumi.blogspot.com/2011/03/geologi-pegunungan-selatan.html
http://verdiesnatalies.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai