Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan
kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada
manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara
optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban
taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun
tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena
beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal
primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana
kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan
terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan.
Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan
kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan
yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai
pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh
melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang
memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah
(Harun Nasution, 1986: 1).
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul
pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang
diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang
diperoleh melalui kedua-duanya. Karena itu, masalah hubungan akal dan
wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur dan paling mendalam
dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua ribu tahun
(Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia
tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah,
Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat.

B. Rumusan Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Pengertian Akal
2. Pengertian Wahyu
3. Fungsi Akal Dan Wahyu Dalam memahami akidah

C. Tujuan Penulisan
Penulis memiliki tujuan buat dirinya sendiri dan orang lain yang
membaca makalah ini, agar setelah membaca makalah ini kita dapat :
1. Untuk mengetahui Pengertian Akal
2. Untuk mengetahui Pengertian Wahyu
3. Untuk mengetahui Fungsi Akal Dan Wahyu Dalam memahami akidah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akal
1. Pengertian Akal
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti,
diantaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf
(tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologis, ‘aql (selanjutnya ditulis
akal) digunakan untuk dua pengertian:1
Pertama, aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan
dasar yang ada pada setiap manusia.
Kedua, kesiapan bawaan yang bersifat instinkif dan kemampuan
yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau sifat aksiden yang ada dalam diri
manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat itu dijelaskan oleh Rasulullah
saw dalam salah satu sabdanya:

‫َو ْال َم ْجنُ ْونَ َحتَى َي ْع ِق َل‬


“....dan orang gila sampai ia kembali berakal.”

Ia adalah instink yang diciptakan Allah swt kemudian diberi muatan


tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah
aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah
dimuliakan Allah. Firman-Nya:

‫َولَقَ ۡد َك َّرمۡ نَا بَنِ ٓي َءادَ َم َو َح َم ۡل َٰنَ ُه ۡم فِي ۡٱلبَ ِر َو ۡٱلبَ ۡح ِر‬
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan.” (al-Isra: 70)

1
Prof.H.Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam ,(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1998)
hal 384
Karena itu, maka tempat akal itu terletak dalam hati yang merupakan
pusat penilaian Allah terhadap manusia, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah saw:
ُ ‫ص َو ِر ُك ْم َوأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َولَ ِك ْن َي ْن‬
‫ظ ُر ِإلَى قُلُ ْو ِب ُك ْم‬ ُ ‫ا َِّن هللاَ ََل يَ ْن‬
ُ ‫ظ ُر ِإلَى‬
‫َوأ َ ْع َما ِل ُك ْم‬
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa atau bentuk kamu,
tidak juga kepada jasad kamu, tetapi Ia melihat kepada hati dan
perbuatan kamu.”

Maka zhahir dari ayat ini juga membenarkan hal itu:

‫وب ََّل َي ۡفقَ ُهونَ بِ َها‬


ٞ ُ‫لَ ُه ۡم قُل‬
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah)...” (al-A’raf: 179)
Selain itu, ada juga sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari
dari Ali bin Abi Thalib ra dalam kitab Al-Adab al-Mufrad bahwa beliau
bersabda:

ِ ‫ا َ ْل َع ْق ُل فِي ْالقَ ْل‬


‫ب‬
“Akal itu ada dalam hati.”

Inilah pendapat yang kebenarannya diyakini oleh jumhur ulama


dan fuqoha. Pendapat ini sama sekali tidak menafikan adanya hubungan
antara akal dan kepala manusia, yaitu bahwa akal adalah kekuatan
pemikiran yang ada di dalamnya.2

2. Kedudukan Akal dalam Syariat Islam


Syariat Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi
terhadap akal manusia. Dan itu dapat dilihat pada poin-poin berikut:

2
Ibid,.
Pertama, Allah swt hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang-
orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syariat-Nya. Allah berfirman:

ِ ‫َوذ ِۡك َر َٰى ِِل ُ ْو ِلي ۡٱِل َ ۡل َٰ َب‬


‫ب‬
“...dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai
akal.”(Shaad: 43)
Kedua, akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia
untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah swt. Hukum-
hukum syariat tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di
antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan
akalnya. Rasulullah saw bersabda:

َ‫ ا َ ْل َم ْجنُ ْو ُن َحتَّى يَ ِفيْق‬: ‫ث َو ِم ْن َها‬ َ ‫ُرفِ َع ا َ ْلقَلَ ُم‬


ٍ ‫ع ْن ث َ ََل‬
“pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga
golongan, diantaranya: orang yang gila sampai dia kembali sadar
(berakal).
Ketiga, Allah swt mencela orang yang tidak menggunakan akalny.
Misalnya celaan Allah terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya.
Firmannya-Nya:

‫ير‬
ِ ‫س ِع‬ ِ ‫َوقَالُواْ لَ ۡو ُكنَّا ن َۡس َم ُع أ َ ۡو نَعۡ ِق ُل َما ُكنَّا ِف ٓي أَصۡ َٰ َح‬
َّ ‫ب ٱل‬
“Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala."(al-Mulk: 10)

Dan ketika mencela orang-orang yang tidak mengikuti syariat dan


petunjuk nabi-Nya, Allah berfirman:

َ‫أ َ َولَ ۡو َكانَ َءا َبا ٓ ُؤهُ ۡم ََل يَعۡ ِقلُونَ ش َۡيا َو ََل َيهۡ تَدُون‬
“Apakah (mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."(al-
Baqarah: 170)
Keempat, penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas
kepemikiran dalam Al-Qur’an, seperti tadabbur, tafakkur, ta’qqul dan
lainnya. Maka kalimat semacam “la’allakum tatafakkarun” (mudah-mudahan
kamu berpikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau
“afalaa yatadabbaruuna al-Qur’ana” (apakah mereka tidak mentadabburi
(merenungi) isi kandungan Al-Qur’an) dan lainnya.
Kelima, Al-Qur’an banyak menggunakan penalaran logika rasional.
Misalnya ayat-ayat berikut ini:

َّ ‫أَفَ ََل يَتَدَب َُّرونَ ۡٱلقُ ۡر َءانَ َولَ ۡو َكانَ ِم ۡن ِعن ِد غ َۡي ِر‬
‫ٱّللِ لَ َو َجدُواْ فِي ِه‬
٨٢ ‫ٱخ ِت َٰلَفا َك ِثيرا‬ ۡ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau
kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”(an-Nisaa: 82)

َّ ‫لَ ۡو َكانَ فِي ِه َما ٓ َءا ِل َهةٌ إِ ََّل‬


َ َ‫ٱّللُ لَف‬
‫سدَتَا‬
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”(al-Anbiyaa: 22)

Keenam, Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan


fungsi dan kerja akal. Allah berfirman:

‫ٱّللُ قَالُواْ َب ۡل نَتَّبِ ُع َما ٓ أ َ ۡلفَ ۡينَا َعلَ ۡي ِه‬


َّ ‫َو ِإذَا ِقي َل لَ ُه ُم ٱت َّ ِبعُواْ َما ٓ أَنزَ َل‬
َ‫َءا َبا ٓ َءنَا ٓ أ َ َولَ ۡو َكانَ َءا َبا ٓ ُؤ ُه ۡم ََل َيعۡ ِقلُونَ ش َۡيا َو ََليَهۡ تَدُون‬
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."(al-Baqarah: 170)
Ketujuh, Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya
dalam memahami dan mengikuti kebenaran. Allah berfirman:

َ ‫ ٱلَّذِينَ يَ ۡست َ ِمعُونَ ۡٱلقَ ۡو َل فَيَتَّبِعُونَ أ َ ۡح‬١٧ ‫ فَبَش ِۡر ِعبَا ِد‬. . .
ُ‫سنَ ٓهۥ‬
ٓ ‫أ ُ ْو َٰ ٓلَ ِئ َك ٱلَّذِينَ َهدَ َٰى ُه ُم َّ ه‬
١٨ ‫ب‬ ِ َ‫ٱّللُ َوأ ُ ْو َٰلَ ِئ َك هُ ۡم أ ُ ْولُواْ ۡٱِل َ ۡل َٰب‬
“...sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (az-
Zumar: 17-18)

3. Bentuk-bentuk Penalaran Akal


Ada tiga macam bentuk penalaran akal:3
Pertama, penalaran masalah-masalah yang bersifat makro tanpa
masalah-masalah yang bersifat mikro. Karena masalah-masalah akal
merupakan penalaran terhadap kaidah dan prinsip umum yang berlaku atas
satuan-satuannya. Maka si A misalnya tidak bisa merasakan sakitnya si B,
karena setiap orang hanya dapat merasakan sakitnya sendiri. Ini merupakan
masalah khusus yang tidak dapat ditentukan, tetapi dapat diketahui melalui
pemberitaan-pemberitaan bahwa pemukulan itu, misalnya menyakitkan.
Kedua, penalaran atas perbedaan antara sesuatu yang saling berbeda
dan kesamaan antara sesuatu yang sama atau mirip dengan mengetahui sifat-
sifat kolektif benda-benda. Misalnya mengetahui bahwa manusia itu
mempunyai kehidupan dan bahwa ia dapat mendengar dan sebagainya.
Ketiga, penalaran atas apa yang bermanfaat dan berbahaya. Manusia
dapat mengetahui apa yang secara umum berguna atau berbahaya bagi
dirinya, atas dasar konklusi-konklusi yang ia peroleh dari berbagai

3
Ibid,. h.385
pengalaman. Karena itu, manusia dapat mengetahui manfaat iman dan bahaya
kekufuran.

B. Wahyu
Harun Nasution dalam buku akal dan wahyu dalam Islam, menjelaskan
bahwa wahyu berasal dari kata al-wahy, kata ini berarti suara, api dan kecepatan.
Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-
wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan suara tersembunyi dan dengan
cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti ‟apa yang disampaikan Tuhan
kepada nabi-nabi‟4. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti
penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada
umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan ini mengandung
ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid, menyebutkan bahwa wahyu
adalah berita dan juga pemberitahuan secara rahasia dalam arti isi beritanya.
Kemudia oleh Muhammad Abduh ditarik pada satu pengertian bahwa yang
dikatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya
sendiri dengan keyakinan penuh, bahwa pengetahuan itu datangnya dari Allah
baik dengan perantara ataupun tidak. Yang pertama itu ialah dengan perantara
suara yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali.
Bedanya dengan Ilham adalah bahwa Ilham itu perasaan, yang meyakinkan hati,
yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Dan
Ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar, haus, duka dan suka.
Muhammad Abduh membagi wahyu dalam tiga bentuk berdasarkan
kesanggupan manusia untuk menerimanya, diantaranya:
a. Wahyu diberikan kepada kaum khawas dan juga diberikan kepada kaum
awam, dan ini merupakan bagian yang paling besar.
b. Wahyu yang hanya ditujukan kepada kaum awam saja, menurut jumlahnya
hanya sedikit.

4
Prof.H.Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam ,(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1998)
hal 386
c. Wahyu yang diturunkan kepada kaum khawas saja dan jumlahnya paling
sedikit dibanding yang kedua.5

1. WAHYU DALAM ISLAM


Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di
dunia maupun akhirat yaitu yang sudah tertulis di dalam Al-Qur;an Dalam
Islam wahyu atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw,
terkumpul semuanya dalam Al-Qur‟an. Penjelasan tentang cara terjadinya
komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi Nya, yang diberikan oleh Al-Qur‟an
sendiri. digambarkan dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya
komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat
materi. Sebagai telah disebut wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi
Muhammad Saw, melalui Jibril mengambil bentuk Al-`Qur‟an. Al-Qur‟an
mengandung sabda, firman, dan wahyu, sebagai yang disebut dalam satu ayat
di atas, diturunkan dalam bentuk berbahasa Arab.
Wahyu turun juga untuk memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan balasan yang akan diterima manusia di akhirat kelak. Al-Qodi
„Abd Al-Jabbar menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar
kecilnya pahala di surga dan hukuman di neraka nanti. Menurut Al-Jubba‟I
wahyulah yang menjelaskan semua itu. Wahyu akan datang untuk
memperkuat apa yang telah diketahu akal. Rasul-rasul datang untuk
memperkuat apa yang telah ditempatkan Tuhan dalam akal manusia dan
untuk menerangkan perincian apa yang telah diketahui akal. Jelas kiranya
bahwa wahyu yang memberi daya yang kuat kepada akal, tidak
membelakangkan wahyu, tetapi tetap berpegang dan berhajat pada wahyu
yang disampaikan oleh Allah Swt.
Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat,
pembicaraan rahasia, dan mengerakan hati. Sedangkan menurut istilah adalah

5
E Hutansuhut, “ AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM (perbandingan pemikiran harun nasution dan
muhammad abduh)”, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 176-205
wahyu merupakan pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada para
nabi-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk
kepada jalan yang lurus dan benar.
Jadi bisa disimpulkan dari beberapa pendapat bahwa wahyu secara
syara‟ yaitu pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi-NabiNya,
secara langsung maupun tidak langsung dengan perantaraan malaikat ataupun
tidak, dengan suara atau tidak tetap dia paham dengan apa yang telah
diterimanya. Wahyu itu adalah suatu kebenaran yang datang dari Allah
kepada manusia tertentu. Wahyu itu terjadi karena adanya komunikasi yang
langsung antara Tuhan dan Manusia.6

C. Fungsi Akal dan Wahyu dalam Memahami Aqidah


Dalam pembahasan karya-karya tradisi Islam, akan dilihat sebagai suatu
unsur penting dalam diri manusia. Ia malah menjadi unsur pentakrif yang
membedakan manusia dari makhluk-makhluk Tuhan yang lain.7 Sedangkan, wahyu
merupakan satu sumber dan panduan dasar bernilai kepada setiap individu dan
masyarakat seluruhnya, maka bagaimanapun bagusnya pemikiran manusia jika
bertentangan dengan wahyu tetaplah bernilai salah dan wajib diperbaiki.8
Hubungan akal dan wahyu seharusnya dilihat lebih bersifat simbiosis (saling
memerlukan) daripada bersifat bertentangan. Ini karena, Al-Qur’an diturunkan
kepada manusia yang mempunyai akal, dan akal manusialah yang akan
menganggap, memahami, dan meneliti semua isi kandungannya. Pandangan yang
meletakkan bahwa wahtu lebih tinggi kedudukannya daripada akala adalah benar
karena dari segi akal tidak mampu menjangkau beberapa hakikat yang diketahui
melalui jalan wahyu seperti hakikat zat Tuhan, perkara-perkara ghaib dan beberapa
perkara yang berkaitan dengan dasar akhlak dan perundangan Islam. Akan tetapi
akal juga adalah sangat penting dalam memahami dan menjustifikasi kebenaran

6
“ AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM (perbandingan pemikiran harun nasution dan muhammad
abduh)”, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 176-205
7
Maad Ahmad, dkk. Antara Akal dan Wahyu dari Perspektif Islam. (Universitas Islam
Antarabangsa Selanggar) h.6
8
Ibid,h.2
pekara-perkara ghaib tadi.9 Akal manusia sangat terbatas dan tidak memiliki
kebenaran mutlak, oleh karena itu akal memerlukan wahyu untuk memberi
petunjuk dan menjadi pembimbing bagi akal agar tidak tergelincir pada kesesatan.
Dalam memahami aqidah ada beberapa aliran dalam Islam yang erat
kaitannya dengan penggunaan akal dan wahyu dalam memahami ajarannya.
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah pertama kali dibina oleh Wasil Ibn Ata’ sebagai
dikatakan Al-Mas’udi, ia adalah Syaikh al-Al-Mu’tazilah wa qadilmuha,
yaitu kepala dari Mu’tazilah yang tertua. Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis
daripada kaum khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak
memakai akal sehingga mereka mendapat gelar ‘kaum rasionalis islam’.10
Wahyu pada aliran ini mempunyai fungsi konformasi dan informasi,
memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa
yang belum diketahui akal, dan demikian menyempurnakan pengetahuan
yang telah diperoleh akal.11 Akal dapat mengetahi segala sesuatu dan akal
wajib mengetahu Tuhan meski tanpa ada keterangan wahyu. Abu al-Huzail,
salah seorang tokoh Mu’tazilah menegaskan bahwa sebelum turunnya wahyu,
orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan dengan adanya akal. Demikian
dengan halnya tokoh Mu’tazilah lainnya, semisal An-Nazzam dan al-Jubba’i.
Golongan Al-Murdar bahkan berpandangan lebih jauh dengan mengatakan
bahwa orang yang tidak mengetahui hal tersebut akan kekal didalam neraka.12
Dalam hal kebaikan dan keburukan, Mu’tazilah juga berpendapat
bahwa akal mempuyai kekuasaan tinggi yang diberikan Tuhan kepada
manusia sebagai bentuk keadilan Tuhan dan fasilitas yang diberikan
kepadanya untuk dapat membedakan kebaikan dan keburukan dan melakukan
kebaikan serta menjauh keburukan. Kebaikan dan keburukan merupakan
suatu yang murni (nature) yang dpat diketahui oleh akal murni, beriman atau

9
Ibid,h.9
10
S Moh, Akal dan Wahyu Menurut Ibn Ruysd, (IAIN Tulungagung) h.4
11
https://www.mahlil.com/2016/03/pengertian-ilmu-tauhid-nama-nama-lain.html
12
https://www.tongkronganislami.net/daftar-7-aliran-teologi-aqidah-islam
tidak. Agama tidak mampu mengubah hakikat kebikan dan keburukan. Oleh
karena itu, agama mencela keburukan karena hal itu merupakan sesuatu yang
hina dan menganjurkan kebaikan karena kebaikan adalah hal yang terpuji,
bukan sebaliknya. Sesuatu tidak serta merta menjadi baik atau buruk karena
agama memerintah atau melarang hal tersebut. Karenanya, manusia wajib
menajuhi kebaikan dan menjauhi keburukan.13
Mu’tazilah mengadopsi doktrin rasionalisme tersebut dari salah
seorang murid Yuhannah Ad-dimasqy yang bernama tsabit bin Qurrah yang
gigih membuktikan doktrin kisten dengan menggunakan logika murni.
Dengan dasar inilah, Mu’tazilah meneriakkan diktrin ‘al-fikr qabla al-
sami’(logika sebelum wahyu).14

2. Aliran Asy-‘Ariyah
Aliran Asy’ariyah dibangun pertama kali oleh Abu Hasan ‘Ali Ibn
Ismail al-Asy’Ari (260-324 H). Ia adalah seorang pemikir yang muncul pada
saat Islam mencapai puncak kemajuan pemikiran. Abu hasan Al-Asy’ari
mulanya adalah dari golongan mu’tazilah namun kemudian ia
mendeklarasikan dirinya keluar dari aliran ini karena ia tidak mendapatkan
sesuatu yang bisa menentramkan jiwa dan pikirannya tersebut, bahkan dalam
penilaian Asy’ari, aliran Mu’tazilah telah terlampau jauh dalam memberikan
batasan kewenangan bagi akal sehingga agama tidak lebih dari sekedar isu-
isu falsafah dan argumen logika, teks-teks al-Qur’an dan Hadits tidak lagi
menjadi acuan dan pedoman, tetapi justru sebaliknya agama hanyalah
menjadi perbudakan akal.15
Berbeda dengan Mu’tazilah, kaum Asy’ariyah mejelaskan
pengertian wahyu lebih tinggi dariapada akal. wahyu disini adlah Al-Qur’an
dan penjelasan nabi yang disebut Hadits. Sehingga, wahyu merupakan

13
Ibid.
14
Ibid,.
15
S Moh, Akal dan Wahyu Menurut Ibn Ruysd,..... h. 10
sumber pertama dari pengetahuan, sedangkan akal merupakan pemikiran
yang diperuntukkan memahami dan bukan sumber dari pengetahuan.16
Asy-Ariyah dalam hal ini Abu Al-Hasan berpendapat bahwa segala
kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu.17 Akal tidak dapat
membuat sesuatu menjadi wajib dan mengetahui perkara baik-buruk karena
kebaikan adalah kebaikan menurut syariat begitu juga dengan keburukan.
Manusia tidak dapat mengetahui bahwa kewajiban mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Akal memang dapat
mengetahui Tuhan, namun wahyulah yang mewajibkan manusia mengetahui
Tuhan. Juga dengan wahyulah manusia dapat mengetahui pahala dan murka-
Nya bagi orang yang melanggar perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu,
meskipun manusia dengan akanya mampu mengenal Tuhan, namun ia tidak
wajib mengetahui Tuhan (beriman) sebelum datangnya risalah. Meskipun
akal dalam pandangan Asy’Ariyah merupakan unsur penting. Namun, dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan yang kontradiktif dari
akal dan wahyu.18
Berdasarkan keterangan diatas, maka terkait empat permaasalahan
pokok yang diperdebatkan Asy’ariyah dalam hal ini Abu al-Hasan
berpendapat bahwa yang dpat diketahui hanya wujud Tuhan dan akal
merupakan penompang terhadap keterangan-keterangan wahyu dan berada
pada posisi kedua dalam hal akidah.19

3. Aliran Maturidiyah
Aliran Al-Maturidiyah, seperti aliran asy’Ariyah, masih tergolong
Ahl Al-Sunnah. Pendirinya ialah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur.
Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarqand (termasuk

16
Ibid,h.11
17
https://www.mahlil.com/2016/03/pengertian-ilmu-tauhid-nama-nama-lain.html
18
https://www.tongkronganislami.net/daftar-7-aliran-teologi-aqidah-islam
19
Ibid,.
daerah Usbekistan Soviet sekarang) kurang lebih pada pertengahan abad
ketiga Hijriah dan meninggal di Samarqand tahun 332 H.20
Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal
kepercayaan kepada pikiran-pikiran Islam Imam Abu Hanifah yang
tercantum dlam kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar” dan ‘Al-fiqh al-absat” dan
memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut al-Maturidi
meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian besarnya dlam
lapangan ilmu Tauhid.
Menurut aliran ini akal dapat mengetahui kewajiban manusia.
Perintah dan larangan Tuhan sangat erat kaitannya dengan sifat dasar (nature)
suatu perbuatan, pahala, dan hukuman tergantung pada sifat yang terdapat
dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu, akal dalam pandangan al-Maturidi
dapat mengetahui sifat baik dan sifat buruknya suatu perbuatan. Dengan
demikian, akal juga mengetahui bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat
buruk adalah buruk. Pengetahuan akal inilah yang selanjutnya melazimkan
adanya perintah dan larangan Tuhan. Namun, Abu Manshur tidak
memberikan penjelasan mengenai wajibnya mengerjakan kebaikan dan
meningalkan keburukan. Berbeda dengan Mu’tazilah, al-maturidi tidak
menganggap bahwa pengetahuan akal manusia mengenai baiknya perbuatan
baik dan buruknya perbuatan buruk yang menyebabkan adanya perintah dan
larangan menjadikan sesuatu itu wajib, akan tetapi akal hanya berfungsi
sebagai alat untuk mengetahui bak buruknya sesuatu bukan wajibnya
sesuatu.21

4. Aliran Salafiyah
Menurut salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibanding dengan
fungsi akal. Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum islam dan
segal sesuatu yang betalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang

20
Febri Hijroh Muhlis.Model Penelitian Kalam: Teologi Islam (Ilmu Kalam) Ahmad Hanafi. (Jurnal
STAIN Ponorogo) h.7
21
https://www.tongkronganislami.net/daftar-7-aliran-teologi-aqidah-islam
cabang, baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya. Apa yang
telah ditetapkan oleh Al-Qur’an da dijelaskan oleh sunnah Nabi harus
diterima dan tidak boleh ditolak.22
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan
pentakwilan Al-qur’an atau mentafsirkannya tapun menguraikannya, kecuali
dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pula
oleh hadits-hadits. Kekuatan akal sesudah itu tidak hanya memberikan tunduk
pada nash, serta mendekatkannya kepada alam pikiran. Jadi fungsi akal
fikiran tidak lain hanya mejadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil al-
Qur’an, bukan menajadi hakim yang mengadili dan menolaknya.23

22
Rujukanisla.blogspot.co.id
23
Ibid,.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Prof.H.Mohammad Daud .Pendidikan Agama Islam. 1998. Jakarta:


PT.RajaGrafindo Persada

Ahmad, Maad dkk. Antara Akal dan Wahyu dari Perspektif Islam. (Universitas
Islam Antarabangsa Selanggar)

Hutansuhut, E. “ AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM (perbandingan pemikiran


harun nasution dan muhammad abduh)”, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017

Moh, S.Akal dan Wahyu Menurut Ibn Ruysd, (IAIN Tulungagung)

Muhlis,Febri Hijroh. Model Penelitian Kalam: Teologi Islam (Ilmu Kalam) Ahmad
Hanafi..Jurnal STAIN Ponorogo

https://www.mahlil.com/2016/03/pengertian-ilmu-tauhid-nama-nama-lain.html

https://www.tongkronganislami.net/daftar-7-aliran-teologi-aqidah-islam

Rujukanisla.blogspot.co.id

Anda mungkin juga menyukai