Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu unsur pendukung dan menjadi tolak ukur
maju dan mundurnya suatu bangsa, baik dan buruknya suatu peradaban. Maka
jika suatu pendidikan itu baik maka, akan baik pula peradabanya begitupun
sebaliknya.
Maka dari itu, keilmuan seharusnya di tangani secara serius, lewat
sekolah-sekolah formal yang di jadikan sebagai tempat untuk mendidik generasi-
generasi bangsa supaya, menjadi manusia-manusia yang berguna bagi dirinya,
orang lain, dan untuk agamanya.
Tentunya ilmu yang tidak di ragukan lagi keshahihan yaitu isi kandungan
firman Allah, atau yang sering kita sebut al-Qur’an. Dimana al-Qur’an ini adalah
kitab umat islam yang di jadikan sebagai pedoman hidup nya, yang dimana di
dalam al-Qur’an tersebut terkandung ayat-ayat al-Qur’an yang membahas
berbagai macam hal dan salah satunya membahas tentang ayat-ayat subyek
pendidikan. Sebagai seorang calon pendidik, tentunya kita diharapkan menjadi
seorang pendidik yang profesional. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan bagaimana
menjadi guru yang baik dan profesional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tafsir dan isi kandungan surah ar-Rahman ayat 1-4?
2. Bagaimana tafsir dan isi kandungan surah an-Nahl ayat 43-44?
3. Bagaimana tafsir dan isi kandungan surah an-Najm ayat 5-6?
4. Bagaimana tafsir dan isi kandungan surah al-kahfi ayat 66?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui tafsir dan isi kandungan surah ar-Rahman ayat 1-4.
2. Untuk mengetahui tafsir dan isi kandungan surah an-Nahl ayat 43-44.
3. Untuk mengetahui tafsir dan isi kandungan surah an-Najm ayat 5-6.
4. Untuk mengetahui tafsir dan isi kandungan surah al-kahfi ayat 66.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SURAH AR-RAHMAN
1. Penafsiran ayat
AYAT 1-2

)2( ‫) َعَّلَم اْلُقْر آَن‬1( ‫الَّر َٰمْحُن‬


“Ar-Rahman. Dia-lah yang telah mengajarkan al-Qur’an”.
Akhir surah yang lalu (al-Qamar) ditutup dengan pernyataan tentang
keagungan kuasa dan kesempurnaan kodrat Allah. Itu tidaklah sempurna kecuali
jika disertai dengan rahmat yang mencakup semua makhluk. Karena itu, surah ini
dimulai dengan menyebut sifat rahmat-Nya yang menyeluruh yaitu Ar-Rahman,
yakni Allah yang mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk dalam kehidupan
dunia ini, baik manusia atau jin yang taat dan durhaka, malaikat, binatang,
maupun tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.
Setelah menyebut rahmat-Nya secara umum, disebutkan rahmat dan
nikmat-Nya yang teragung sekaligus menunjukkan kuasa-Nya melmpahkan
sekelumit dari sifat-Nya kepada hamba-hamba-Nya agar mereka meneladani-Nya,
yakni dengan menyatakan: Dia-lah yang telah mengajarkan al-Qur’an kepada
siapa saja yang Dia kehendaki.

Kata ( ‫ )ال َّر َٰمْح ُن‬ar-Rahman berarti Dzat yang memiliki kasih sayang yang

bersifat menyeluruh dan mencakup semua makhluk di dunia, dan juga kaum
mukmin ketika di akhirat nanti. Sedangkan kata “Ar-rahiim” berarti Dzat yang
memiliki kasih sayang yang hanyna ditunjukkan bagi kaum mukmin pada hari
Kiamat saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalam penjelasn Ibn
Jarir (dalam kitab tafsirnya), ada satu isyarat yang menunjukkan adanya
kesepakatan mengenai hal itu. Demikian pula dalam penafsiran sebagian ulama
Salaf., terdapat isyarat yang menunjukkan hal itu, seperti yang telah dkatakan oleh
Ibn Katsir, dan ditunjukkan dengan menggunakan dalil dikatakan oleh Ibn Katsir,
dan ia tunjukkan dengan dalil sebuah atsar yang diriwayatkan dari Nabi Isa –

2
seperti yang telah disebutkan oleh Ibn Katsir dan para mufassir lainnya, bahwa
Nabi Isa –semoga keberkahan dan keselamatan tercurah kepadanya dab juga

kepada Nabi kita ,Muhammad SAW pernah berkata ,‫ال رمحن رمحن اجلدنيا واألخ رة‬

‫وال رحيم ألخ رة‬ (“Yang dimaksud dengan ) Ar-rahman (Maha Pemurah) adalah

Maha Pemurah (yang mencakup segala makhluk) di dunia dan akhirat, dan (Yang
dimaksud engan ) Ar-rahiim (Maha Penyayang) adalah Maha Penyayang (bagi
makhluk yang berada) diakhirat”. Allah SWT telah mengisyaratkan tentang hal
yang telah kami sebutkan ini dalam firmanNya “Kemudian dia bersemayam
diatas Arsy (Dialah) Yang Maha Pemurah “ (Qs. Al-Furqaan: 59). Dan juga
berfirman “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah , Yang bersemayam di atas
Arsy”. (Qs. [20]: 5). Penyebutan kata bersemayam yang disandingkan dengan
salah satu nama Alah yaitu “Ar-rahman” dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa rahmat (kasih sayang) Allah itu mencakup seluruh makhlukNya.
Hal ini juga tedapat pada firman Allah SWT. “Dan apakah mereka tidak
memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupka sayapnya
di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha
Pemurah”. (Qs. Al Mulk [67]: 19). Maksudnya di antara bukti kasih sayang
Allah itu adalah kasih sayangNya kepada burung-burung, dimana Dia telah
menjadikan burung-burung itu agar bisa tetap terbang di udara dengan cara
mengebangkan mangatupkan sayapnya. Dalil yang paling jelas mengenal hal itu

adalah firman Allah SWT, )2( ‫) َعَّلَم اْلُق ْر آَن‬1( ‫ال َّر َٰمْحُن‬ (“Tuhan ) Yang Maha

Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran.”(Qs. Ar-Rahman [55]: 1 - 2).

Allah SWT berfirman (‫ا‬ ‫ِب ِمِن ِح‬


‫)َو َك اَن اْلُم ْؤ َني َر يًم‬ “Dan adalah Dia Maha

Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Qs. Al Ahzaab [33]: 43). Pada
ayat ini, Allah mengkhudsuskan kasih sayang Nya yang terkandung dala salah
satu namaNya, yaitu “Ar-Rahman”, hanya untuk mereka ( orang –orang yang
beriman). Jika ada seseorang yang berkata, “Bagaimana mungkin dapat
dikompermasikan antara apa yang telah kalian katakan itu dengan apa yang telah
kalian katakan itu dengan apa yang termuat dalam sebuah doa yang diriwayatkan

3
dari Rasulullah SAW, (‫َو َر ِح ْيُم ُه َم ا‬ ‫“ )َر َمْحُن الُّد ْنَيا َو اَاْلِخ َر ة‬Dzat Yang Maha Pemurah
di dunia dan di akhirat.” Jawaban yang paling tepat –Wallahu A’lam” itu hanya
hanya diberikan kepada kaum mukminin. Meskipun demikian, hal itu tidak hanya
diberikan kepada mereka di akhirat saja, tetapi juga akan diberikan kepada mereka

di dunia. Jadi, makna dari sabda Nabi SAW, ( ‫”)َر ِح ْيُم ُه َم ا‬Yang Maha Penyayang di

dunia dan akhirat” adalah bahwa kasih sayang Allah itu akan diberikan kepada
kaum mukminin di dunia dan akhirat.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa llah adalah Maha Penyayang
kepada orang-orang yang beriman ketika mereka berada di dunia adalah

firmanNya ( ‫اَن‬ ‫ُه َو اَّل ِذي ُيَص ِّلي َعَلْيُك ْم َو َم اَل ِئَك ُت ُه ِلُيْخ ِر َج ُك ْم ِم َن الُّظُلَم اِت ِإىَل الُّن وِر ۚ َو َك‬

‫)ِب اْلُم ْؤ ِمِنَني َر ِح يًم ا‬ “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikatNya

(memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan


kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-
orang yang beriman.” (Qs. Al Ahzaab [33]: 43). Sebab rahmat (keberkahan) yang
diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman, permohonan ampunan yang
dilakukan oleh para malaikat untuk, serta dikeluarkannya mereka dari kegelapan
menuju cahaya yang terang, merupakan wujud kasih sayang Allah kepada mereka
di dunia, meskipun semua itu juga merupakan sebab yang dapat mendatangkan
kasih sayang Allah kepada mereka di akhirat nanti. Dalil lainnya adalah firman

Allah SWT, ( ‫ِم ْن‬ ‫َلَقْد َتاَب الَّلُه َعَلى الَّنِّيِب اْل َه اِج ِر ي اَأْلْنَص اِر اَّلِذ ي اَّتَبُع وُه يِف َس اَعِة اْلُع ِة‬
‫ْس َر‬ ‫َن‬ ‫َن َو‬ ‫َو ُم‬
‫ِح‬ ‫ِه ِإ ِهِب‬ ‫ِم‬ ‫ِد‬
‫)َبْع َم ا َك اَد َيِز يُغ ُقُل وُب َفِر يٍق ْنُه ْم َّمُث َت اَب َعَلْي ْم ۚ َّن ُه ْم َرُءوٌف َر يٌم‬ sesungguhnya

Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang


anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari
mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka mereka itu.
Sesungguhnya Allah maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepeda mereka”. (QS.
At-Taubah [9]: 117). Pada firman tersebut, kata “Ar-Rahiim” (maha penyayang)
dihubungkan dengan huruf “ba” yang bergandengan dengan dhaanir (kata ganti)
“him”, dimana kata ganti tersebut merupakan pengganti dari kata Nabi, orang-

4
orang muhajirin dan orang-orang anshar. Penerimaan Allah atas taubat mereka itu
merupakan wujud kasih sayang-Nya kepeda mereka di dunia. Meskipun hal itu
juga merupakan sebab yang dapat mendatangkan kasih sayang-Nya kepeda
mereka di dunia meskipun hal itu juga merupakan sebab yang dapat
mendatangkan kasih sayang-Nya kepeda mereka di akhirat. Sesungguhnya
pengetahuan yang benar mengenai hal itu hanyalah milik Allah.1
Dalam ayat ini, dapat ditambahkan bahwa kaum musyrikin mekkah tidak
mengenal siapa ar-Rahman sebagaimana pengakuan mereka yang direkam oleh
QS. Al-Furqan [25]:60. Dimulainya surah ini dengan kata tersebut bertujuan juga
mengundang rasa ingin tahu mereka kepada-Nya. Di sisi lain, penggunaan kata
tersebut di sini, sambil menguraikan nikmat-nikmat-Nya, merupakan juga
bantahan terhadap mereka yang enggan mengakui-Nya itu.
‫َّل‬
Patron kata (
‫)َع َم‬ ‘allamal/mengajarkan memerlukan dua objek. Bayak

ulama yang menyebut objeknya adalah kata ( ‫اَن‬ ‫ِإْل‬


‫)ا ْنَس‬ al-insan/manusia yang

diisyaratkanoleh ayat berikut. Thabathaba’i menambahkan bahwa jin juga


termasuk karena surah ini ditujukan kepada manusia dan jin. Hemat penulis, bisa
saja objeknya mencakup mencakup selain kedua jenis tersebut. Malaikat jibril
yang menerima dari Allah wahyu-wahyu al-Qur’an untuk disampaikan kepada
Rasul saw, termasuk juga yang diajar-Nya, karena bagaimana mungkin malaikat
itu dapat menyampaikan bahkan mengajarkannya kepada Nabi Muhammad saw,
sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-najm [53]: 5. Bagaimana mungkin
malaikat jibril mampu mengajarkan firman Allah itu kepada Nabi Muhammad
saw, kalau malaikat itu sendiri tidak tidak memeroleh pengajaran dari Allah swt.
Di sisi lain, tidak disebutkannya objek kedua dari kata tersebut mengisyaratkan
bahwa ia bersifat umum dan mencakup segala sesuatu yang dapat di jangkau oleh
pengajaran-Nya.
Al-Qur’an adalah firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat
jibril kepada Nabi Muhammad saw dengan lafal dan maknanya yang beribadah
siapa yang membacanya dan menjadi bukti kebenaran mukjizat nabi Muhammad

1
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, (Jakarta: Pustaka Azzam), 2006. H. 87-90

5
saw. Kata ( ‫ )اْلُق ْر آَن‬al-Qur’an dapat dipahami sebagai keseluruhan ayat-ayatnya

yang enam ribu kebih itu, dan dapat juga di gunakan untuk menunjuk walau satu
ayat saja atau bagian dari satu ayat.

AYAT 3-4

)4( ‫) َعَّلَم ُه اْلَبَياَن‬3( ‫َخ َلَق اِإْل ْنَس اَن‬


“Dia-lah yang menciptakan manusia, mengajarnya ekspresi”.
Allah ar-Rahman yang mengajarkan al-Qur’an itu Dia-lah yang
menciptakan manusia makhluk yang paling membutuhkan tuntunan-Nya,
sekaligus yang paling berpotensi memanfaatkan untunan itu dan mengajarnya
ekspresi, yakni kemampuan menjelaskan apa yang ada dalam benaknya, dengan
berbagai cara utamanya adalah bercakap dengan baik dan benar.

Kata ( ‫اَن‬ ‫ِإْل‬


‫)ا ْنَس‬ al-Insan pada ayat ini mencakup semua jenis manusia,

sejak Adam as. hingga akhir zaman.

Kata ( ‫ )اْلَبَي اَن‬al-bayan pada mulanya berarti jelas. Kata tersebut disini

dipahami oleh Thabathaba’i dala arti “potensi mengungkap”, yakni kalam/ucapan


yang dengannya dapat terungkap apa yang terdapat dalam benak. Lebih lanjut,
ulama ini menyatakan bahwa kalam bukan sekadar mewujudkan suara, dengan
menggunakan rongga dada, tali suara dan kerongkongan. Bukan juga hanya dalam
keanekaragaman suara yang keluar dari kerongkongan akibat perbedaan makharij
al-huruf (tempat-tempat keluarnya huruf) dari mulut, tetapi juga bahwa Allah
Yang Maha Esa menjadikan manusia dengan mengilhaminya mampu memahami
makna suara yang keluar itu, yang dengannya dia dapat menghadirkan sesuatu
dari alam nyata ini, betapapun besar atau kecilnya, yang wujud atau tidak wujud,
yang berkaitan dengan mala lampau atau datang, juga menghadirkan dalam
benaknya hal-hak yang bersifat abstrak yang dapat dijangkau oleh manusia
dengan pikirannya walau tidak dapat dijangkau oleh indranya. Itu semua
dihadirkan oleh manusia kepada pendengar dan ditampilkan ke indranya seakan-
akan pendengar itu melihatnya dengan mata kepala.

6
Tidaklah dapat wujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga
makhluk ini dapat mencapai kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupannya
sebagaimana telah dicapai dewasa ini kecuali dengan kesadaran tentang al-
kalam/pembicaraan itu karena, dengan demikian, dia telah membuka pintu untuk
memperoleh dan memberi pemahaman. Tanpa itu, manusia akan sama saja
dengan binatang dalam hal ketidakmampuannya mengubah wajh kehidupan dunia
ini. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Hemat penulis, pengajaran al-bayan itu tidak hanya terbatas pada ucapan,
tetapi mencakup segala bentuk ekspresi , termasuk seni dan raut muka.bahkan,
menurut al-Biqa’i, kata al-bayan adalah potensi berfikir, yakni mengetahui
persoalan kulli dan juz’i, menilai yang tampak dan juga yang gaib dan
menganalogikannya dengan yang tampak. Sekali dengan tanda-tanda, dikali
selanjutnya dengan perhitungan, kali ketiga dengan ramalan dan dikali
selanjutnya dengan memandang ke alam raya serta cara-cara yang lain, sambil
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk atau semacamnya. Itu semua
disertai dengan potensi untuk menguraikan sesuatu yang tersembunyi dalam
benak serta menjelaskan dan mengajarkannya kepada pihak lain. Sekali dengan
kata-kata, di kali lain dengan perbuatan dengan ucapan, tulisan isyarat, dan lain-
lain. Dengan demikian, manusia tadi mampu untuk menyempurnakan dirinya
sekaligus menyempurnakan selainnya. Demikian antara lain al-Biqa’i.
Di sisi lain, kita tidak perlu menyatakan bahwa pengajaran Allah memalui
ilham-Nya itu adalah pengajaran bahasa. Ia adalah penciptaan potensi pada diri
manusia dengan jalan menjadikannya tidak dapat hidup sendiri, atau dengan kata
lain menciptakannya dengan makhluk sosial. Itulah yang mendorong manusia
untuk saling berhubungan dan ini pada gilirannya melahirkan aneka suara yang
disepakati bersama maknya oleh satu komunitas, dan aneka suara itulah yang
‫َّل‬
merupakan bahasa mereka. Memang kata (
‫)َع َم‬ ‘allamal/mengajar tidak selalu

dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata juga ide, tetapi
dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada
akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan.2
2
Shihab. M.Quraisy, Tafsir al-Mishbab, (Jakarta: lentera hati) 2002, H. 277-280

7
2. Apsek kandungan pendidikan dalam QS. ar-Rahman ayat 1- 4
Term-term qur’ani yang terdapat pada surah al-Rahman ayat 1- 4 yang
menjadi turunan untuk konsepsi pendidikan adalah:
a. Allama, term yang dijadikan turunan untuk konsep pendidikan itu
sendiri.
b. Al-Rahman, term yang menunjuk kepada subyek pendidikan.
c. Al-Insan, term yang selain menunjuk kepada subyek juga obyek
pendidikan.
d. Al-Qur’an, sebagai dasar dan sekaligus isi pendidikan.
Yang mula-mula melakukan proses ta’lim al-Qur’an adalah Rahman
kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril yang berperan selain
penyampai juga sebagai “penerjemah” Al-Qur’an dari kalamullah yang qadim
menjadi kalamullah dengan menggunakan simbol-simbul kemakhlukan seperti
huruf-huruf yang kemudian menyusun lafal-lafal dan kalimat-kalimat berbahasa
arab. Setelah Nabi Muhammad saw menerima pengajaran dari Allah, secara
estafet dan berkesinambungan beliau mengajarkannya kepada para sahabatnya,
dan melalui lidah para sahabat, tabi’in, dan para ulama, sampailah pengajaran al-
Qur’an itu kepada seluruh manusia. Kata ar-Rahman ‘allamal qur’an
menunjukkan bahwa Allah yang maha Rahman lah selaku subyek Maha Guru
yang mengajarkan alqur’an kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw
yang ummi sangat diyakini bukanlah pengarang al-Qur’an.
Beberapa aspek tarbawi yang dapat ditangkap dan isyarat ayat, ayat
tersebut adalah:
1) Seorang pendidik selaku subyek pendidikan harus memiliki sifat
kasih sayang terhadap anak didiknya selayaknya mereka
menyayangi anaknya sendiri.
2) Pendidikan sebagai pengembangan potensi memanusiakan manusia
semestinya dilaksanakan atas dasar sifat kasih sayang yang pada
hakikatnya adalah refleksi dari sifat al-Rahman.
3) Alqur’an, baik ia sebagai sumber dan dasar pendidikan, maupun
sebagai isi atau materi pendidikan, sarat dengan isyarat-isyarat

8
ilmiah yang apabila manusia mampu menggunakan potensi al-
Bayan, ia akan mengenal Tuhan penciptanya.
4) Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi al-bayan, yang
dengan kemampuan bahasanya ia dapat menjelaskan,
menerangkan, dan mengungkapkan segala fenomena alam dan
kehidupan baik yang abstrak maupun yang konkret. Oeh karenanya
bahasa marupakan salah satu alat untuk mentransformasikan
sebagai bagian dari proses pendidikan.3

B. SURAH AN-NAHL
1. Penafsiran ayat
AYAT 43

)43( ‫َو َم ا َأْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِإاَّل ِر َج ااًل ُنوِح ي ِإَلْيِه ْم َفاْس َأُلوا َأْه َل الِّذ ْك ِر ِإْن ُك ْنُتْم اَل َتْع َلُم وَن‬
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelalaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada ahl adz-Dzikr jika
kamu tidak mengetahui”.
Ayat-ayat yang lalu menguraikan keburukan ucapan dan perbuatan kamum
musyrikin serta pengingkaran mereka terhadap Allah swt, keniscayan hari
kemudian, dan kerasulan Nabi Muhammad saw. Demikian juga penolakan mereka
terhadap apa yang diturunkan Allah swt. Itu semua telah dibantah. Kini, ayat ini
dan ayat-ayat berikut kembali menguraikan kesesatan pandangan mereka
menyangkut kerasulan Nabi Muhammad saw. Dalam penolakan itu mereka selalu
berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi urusan Allah atau paling tidak dia
harus disertai oleh malaikat. Nah, ayat ini menegaskan bahwa: Dan kami tidak
mengutus sebelum kamu kepada umat manusia kapan dan dimana pun, kecuali
orang-orang lelaki, yakni jenis manusia pilihan bukan malaikat, yang kami beri
wahyu kepada mereka antara lain melalui malaikat jibril; maka, wahai orang-
orang yang ragu atau tidak tahu, bertanyalah kepada ahl adz-Dzikr, yakni orang-
orang yang berpengetahuan, jika kamu mengetahui.
3
M. Daud Yahya, Nilai-Nilai pendidikan dalam Al-Qur’an, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press),
2015.H. 60-61

9
Thabathaba’i, walaupun sependapat dengan banyak ulama yang menilai
ayat ini berbicara kembali tentang kerasulan yang ditolak oleh kaum musyrikin,
ulama beraliran syi’ah itu tidak menghubungkannya dengan penolakan kaum
musyrikin atas kehadiran manusia sebagai utusan Allah, tidak juga mengaitkannya
dengan usul-usul mereka agar malaikat turun menyampaikan atau membantu para
rasul dalam risalah mereka. Thabathaba’i beralasan, antara lain bahwa kedua hal
di atas tidak disinggung sebelumnya dalam konteks ayat-ayat ini. Ia
menghubungkan ayat ini dengan ayat 35 yang merekam ucapan kaum musyrikin:

(‫ش يء‬ ‫)لوش اء اهلل ما عبدنا من دون ه من‬ law sya’allah ma’abdana min dunihi min

syai’in/ jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak menyembah sesuatu apapun
selain Dia. Ucapan mereka ini, menurutnya bertujuan membuktikan kemustahilan
adanya utusan Allah, bukan bertujuan menetapkan kemustahilan manusia menjadi
utusan-Nya. Atas dasar itu, Thabathaba’i berpendapat bahwa ayat ini
menginformasikan bahwa dakwah keagamaan dan risalah kenabian adalah
dakwah yang disampaikan oleh manusia biasa yang mendapat wahyu dan bertugas
mengajak manusia menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Tidak seorang rasul
pun, tidak juga satu kitab suci yang menyatakan bahwa risalah keagaman berarti
tampaknya kekuasaan Allah yang gaib lagi mutlak atas segala sesuatu, atau
lahirnya kehendak Allah yang mutlak yang memporakporandakan sistem yang
berlaku atau membatalkan sunnatullah/hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya.
Tidak pernah ada pernyataan semacam itu sehingga kalian, wahai kaum
musyrikin, tidak wajar berkata: jika Allah menghendaki niscaya kami tidak
menyembah sesuatu apa pun selain Dia. Ayat ini lanjutnya hampir serupa dengan
firmannya di tempat lain:

‫) َو َم ا‬٧ ( ‫َو َم ا َأْر َس ْلَنا َقْبَل َك ِإال ِر َج اال ُن وِح ي ِإَلْيِه ْم َفاْس َأُلوا َأْه َل ال ِّذ ْك ِر ِإْن ُك ْنُتْم ال َتْع َلُم وَن‬

(٨( ‫َجَعْلَناُه ْم َج َس ًد ا ال َيْأُك ُلوَن الَّطَعاَم َو َم ا َك اُنوا َخ اِلِد يَن‬


“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang orang lelaki yang Kami
beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, dan tidaklah Kami jadikan mereka

10
jasad-jasad yang tidak memakan makanan dan tidak pula mereka itu orang-orang
yang kekal”. (QS. Al-Anbiya [21]: 7-8)

Para ulama menjadikan kata (‫ )رجال‬rijal pada ayat ini sebagai alasan untuk

menyatakan bahwa semua manusia yang diangkat Allah sebagai Rasul adalah
pria, dan tidak ada atupun wanita! Memang dari segi bahasa, kata rijal yang
merupakan bentuk jamak dari kata ( ‫ )رجل‬rajul sering kali dipahami dalam arti

lelaki. Namun demikian, terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang mengesankan bahwa


kata tersebut tidak selalu dalm arti jenis kelamin lelaki. Ia digunakan juga untuk
menunjuk manusia yang memiliki keistimewaan atau ketokohan atau ciri tertentu
yang membedakan mereka dari yang lain. Bacalah firman-Nya:

)6( ‫َو َأَّنُه َك اَن ِر َج اٌل ِم َن اِإْل ْنِس َيُعوُذوَن ِبِر َج اٍل ِم َن اِجْلِّن َفَز اُدوُه ْم َر َه ًق ا‬
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia
meminta pelindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka doa dan kesalahan”.(QS. Al-jinn [72]: 6). Atau firman-
Nya dalam QS. Al-A’raf [7]: 48 yang berbicara tentang lelaki yang berada di al-
A’raf. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan hanya laki-laki, tetapi juga
perempuan.
Kata (‫ )أهل ال ّذ كر‬ahl adz-Dzikr pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama

dalam arti para pemuka agama yahudi dan nasrani. Mereka adalah orang-orang
yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang diutus Allah.
Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada informasi
al-Qur’an sebab mereka juga termasuk yang tidak memercayainya. Kendati
demikian, persoalan kemanusiaan para rasul, mereka akui. Ada juga yang
memahami istilah ini dalam arti sejarahwan, baik muslim maupun non muslim. 4
Dalam sumber yang lain, dijelaskan Ahludz-Dzikri, orang yang ahli
peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Umum arti ayat
menyuruhkan orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu

4
Shihab. M.Quraisy, Tafsir al-Mishbab jilid 6, (Jakarta: lentera hati) 2002, H.

11
pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah buat mencari kebenaran.
Menurut yang dirawikan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa Ahludz-Dzikri di
sini maksidnya ialah Ahlul-Kitab. Sebelum Ahlul-Kitab itu dipengaruhi oleh nafsu
ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan Rasul-rasul
yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan yang duiberi
wahyu oleh Allah.
Dengan ayat ini kita mendapat pengertian bahwasanya kita boleh menuntut
ilmu kepada ahlinya, di mana saja dan siapa saja, sebab yang kita cari ialah
kebenaran.

Ulama Besar Syi’ah yang terkenal, cucu Rasulullah saw, Ja’far Al-Baqir,
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Ahludz-Dzikri iran itulah ialah kita
sendiri, yaitu bahwasanya ulama dari ummat inilah yang berhak disebut Ahludz-
Dzikri. Sebab beberapa ayat dalam al-Quran menyebutkan bahwa al-Quran itulah
Adz-Dzikri.

Yang mana pun diantara kedua tafsir itu tidaklah berlawanan. Dalam hal
yang mengenai ilmu-ilmu Agama Islam sendiri niscaya kita bertanya kepada
Ahludz-Dzikri dalam hal Islam, dan ilmu-ilmu yang lain, yang lebih umum kita
tanyai pula kepada Ahludz-Dzikrinya sendiri; tandanya kita berfaham luas dan
berdada lapang.5
Kata (‫ )إن‬in/jika pada ayat di atas, yang biasanya digunakan menyangkut

sesuatu yang tidak pasti atau diragukan, mengisyaratkan bahwa persoalan yang
dipaparkan oleh Nabi saw dan al-Qur’an sudah demikian jelas sehingga di
ragukan adanya ketidaktahuan dan, dengan demikian, penolakan yang dilakukan
kaum musyrikin itu bukan lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari sikap keras kepala.
Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek
pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, karena redaksinya yang bersifat
umum, ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak
diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapa pun yang tahu dan tidak
tertuduh objektivitasnya.
5
Hamka, tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas),1983. H. 249

12
Di sisi lain, perintah untuk bertanya kepada ahl al-Kitab yang dalam ayat
ini mereka digelari ahl adz-Dzikr menyangka apa yang tidak diketahui, selama
mereka dinilai berpengetahuan dan objektif, menunjukkan berapa islam sangat
terbuka dalam perolehan pengetahuan. Memang, seperti sabda Nabi saw,
“Hikmah adalah sesuatu yang didambakan seorang mukmin, dimana pun dia
menemukannya, dia yang lebih wajar mengambilnya”. Demikian juga dengan
ungkapan yang populer dinilai sebagai sabda nabi saw, walaupun bukan, yaitu:
tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina,” itu semua merupakan landasan untuk
menyatakan bahwa ilmu dalam pandangan islam bersifat universal, terbuka, serta
manusiawi dalam arti harus dimanfaatkan oleh dan untuk kemaslahatan seluruh
manusia.
Ayat di atas mengubah redaksinya dari persona ketiga menjadi persona
kdua yang ditujukan langsung kepada mitra bicara, dalam hal ini adalah Nabi
Muhammad saw. Agaknya, hal ini mengisyaratkan penghormatan kepda beliau
dan bahwa beliau termasuk dalam kelompok para rasul yang di utus Allah, bahkan
kedudukan beliau tidak kurang jika enggan berkata lebih tinggi dari mereka
sebagaimana di kesankan oleh ayat berikut.
AYAT 44

)44( ‫ِباْلَبِّيَناِت َو الُّز ُبِر َو َأْنَز ْلَنا ِإَلْيَك الِّذ ْك َر ِلُتَبَنِّي ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلْيِه ْم َو َلَعَّلُه ْم َيَتَف َّك ُر وَن‬
“Keterangan-keterangan dan zubur. Dan kami turunkan kepadamu adz-Dzikr,
agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah di turunkan kepada
mereka dan suapa mereka berfikir”.
Para rasul yang Kami utus sebelummu itu semua membawa keterangan-
keterangan, yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka
sebagai rasul, dan sebagian membawa pula zubur, yakni kitab-kitab yang
mengandung ketetapan-ketetapan hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya
menyentuh hati, dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr, yakni al-Qur’an, agar
engkau menerangkan kepada seluruh manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka, yakni al-Qur’an itu, mudah-mudahan dengan penjelasanmu mereka

13
mengetahui dan sadar dan supaya mereka senantiasa berfikir lalu menarik
pelajaran untuk kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi mereka.
Kata (‫ )الّز بر‬az-zubur adalah jamak dari kata ( ‫ )زبور‬zabur, yakni tulisan.

Yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab yang ditulis seperti Taurat, Injil, Zabur,
dan Shuhuf Ibrahim as. para ulama berpendapat bahwa zubur adalah kitab-kitab
singkat yang tidak mengandung syariat, tetapi sekadar nasihat-nasihat.
Salah satu nama al-Qur’an adalah ( ‫ )ال ّذ كر‬adz-Dzikr yang dari segi bahasa

adalah antonim kata lupa. Al-Qur’an dinamai demikian karena ayat-ayatnya


berfungsi mengingatkan manusia apa yang dia berpotensi melupakannya dari
kewajiban, tuntunan dan peringatan yang seharusnya dia selalu ingat, laksanakan,
dan indahkan. Di sisi lain, tuntunan dan petunjuk-petunjuknya harus pula selalu
diingat dan dicamkan.
Penyambutan anugerah Allah kepada Nabi Muhammad saw secara khusus
dan bahwa yang di anugerahkan-Nya itu adalah adz-Dzikr mengesankan
perbedaan kedudukan beliau dengan para nabi dan para rasul sebelumnya. Dalam
konteks ini, Nabi Muhammad saw bersabda: Tidak seorang nabi pun kecuali telah
dianugerahi Allah apa (bukti-bukti indriawi) yang menjadikan manusia percaya
padanya. Dan sesungguhnya aku dianugerahi wahyu (al-Qur’an yang bersifat
immaterial dan kekal sepanjang masa), maka aku mengharap menjadi yang paling
banyak pengikutnya di hari kemudian”. (HR. Bukhari).
Pengulangan kata turun dua kali, yakni (‫ )أنزلنا إلي ك‬anzalna ilaika/Kami

turunkan kepadamu dan (‫ )ما نّز ل إليهم‬ma nuzzila ilaihim/apa yang telah diturunkan

kepada mereka mengisyaratkan perbedaan penurunan yang dimaksud. Yang


pertama adalah penurunan al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw yang bersifat
langsung dari Allah swt dan dengan reaksi pilihan-Nya sendiri, sedang yang
kedua adalah yang ditujukan kepada manusia seluruhnya. Ini adalah penjelaan-
penjelasan nabi Muhammad saw tentang al-Qur’an. penjelasan yang dimaksud
adalah berdasar wewenang yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw
dan wahyu atau ilham-Nya yang beliau sampaikan dengan bahasa dan redaksi
beliau.

14
Thabathaba’i menegaskan bahwa diturunkannya al-Qur’an kepda umat
manusia dan turunnya Nabi Muhammad saw adalah sama, dalam arti
diturunkannya kepaa manusia dan turunnya kepada nabi saw adalah agar mereka
semua Nabi dan seluruh manusia mengambil dan menerapkannya. Ayat ini
menurutnya bermaksud menegaskan bahw atujuan al-Qur’an adalah untuk semua
manusia dan keadaanmu, wahai Nabi Muhammad serta seluruh manusia, dalam
hal ini sama. Kami mengarahkan pembicaran kepadamu dan menurunkan wahyu
ini bukan untuk memberikan kepadamu kuasa mutlak yang gaib atau kehendak
Ilahiah yang menjadikanmu mampu melakukan dan menguasai segala sesuatu,
tetapi wahyu Kami turunkan untuk dua hal. Pertama, untuk menjelskan apa yang
diturunkan secara bertahap kepada manusia karena ma’rifah Ilahiyah tidak dapat
diperoleh manusia tanpa perantara karena itu diutus seorang dari mereka
(manusia) untuk menjelskan dan mengajar.
Kadua, adalah harapan kiranya mereka berpikir menyangkut dirimu wahai
nabi agung agar mereka mengetahui bahwa apa yang engkau sampaikan itu adalah
kebenaran yang bersumber dari Allah swt. Keadaan dan situasi yang
menyelubungi dirimu, peristiwa-peristiwa yang menimpamu sepanjang hidup,
seperti keyatiman, ketidakmampuan belajar dan menulis, ketiadan pendidik yang
baik, kemiskinan, keterbelangguan dalam lingkungan orang-orang bodoh yang
disentuh oleh keistimewaan peradaban, dan lain-lain, semua itu merupakan faktor-
faktor yang menghalangi mu mengecup setetes kesempurnaan. Tetapi allah
menurunkan kepadamu adz-Dzikr yang menentang siapa pun yang ragu, dari jenis
manusia dan jin, dan yang mengatasi kitab suci yang lain serta menjadi penjelas
bagi segala sesuatu serta petunjuk, rahmat, bukti, serta cahaya benderang.
Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Pendapat ulama yang beraliran syi’ah itu yang menjadikan objek kata
yatafakkarun adalah pribadi nabi Muhammad saw, berbeda dengan pendapat
banyak ulama yang menjadikan objeknya adalah adz-Dzikr, yakni berpikir tentang
al-Qur’an. menjadikan objeknya seperti itu __tulis Thathaba’i__ menjadikannya
mengandung makna yang sama dengan kandungan penggalan sebelumnya.
Pendapat Thabathaba’i ini sejalan dengna dengan pendapat asy-Sya’rawi ulama

15
mesir dan al-Azhar kontemporer itu yang menegaskan bahwa objek berpikir yan
dimaksud adalah keadan Nabi Muhammad saw sebelum di utus Allah yang ketika
itu beliau tidak dikenal sebagai sastrawan, penyair, atau penulis.
Ayat di atas menggunakan dua patron yang berbeda menyangkut turunnya
al-Qur’an. Terhadap nabi saw digunakan kata ( ‫ )أنزلنا‬anzalna yang menurut

beberapa ulama mengandung makna turun sekaligus, sedang kata turun yang
digunakan untuk manusia adalah ( ‫ )ن ّز ل‬nuzzila yang mengandung makna turun

berangsur-angsur. Hal ii agaknya untuk mengisyaratkan bahwa manusia secara


umum mempelajari dan melaksanakan tuntunan al-Qur’an secara bertahap sedikit
demi sedikit dan dari saat ke saat. Adapun Nabi Muhammad saw, kata diturunkan
yang dimaksud disini bukan melihat pada turunnya ayat-ayat itu sedikit demi
sedikit, tetapi melihat kepada Nabi saw yang menghafal dan memahaminya secara
langsung karena diajar langsung oleh Allah swt, melalui malaikat jibril as. (baca
QS.al-Qiyamah [75] : 16) dan juga melaksanakan secara langsung begitu ayat
turun, berbeda dengan manusia yang lain.
Ayat ini menugaskan Nabi saw untuk menjelaskan al-Qur’an. Bayan atau
penjelasan nabi Muhammad saw itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.
Memang, as-Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Qur’an dan
fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Ada dua fungsi penjelaan
Nabi Muhammad saw dalam kaitannya dengan al-Qur’an, yaitu Bayan Ta’kid dan
Bayan Tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan atau menggarisbawahi kembali
apa yang terdapat dalam al-Qur’an, sedang yang kedua memperjelas, memperinci,
bahkan membatsi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an.
Para ulama mendefinisikan fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur’an sebagai
Bayan Murad Allah (Penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia
merupakan penjelasan penguat atau pemerinci, pembatas, dan bahkan tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah swt. Ketika Rasul saw melarang seorang suami
memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri yang pada
lahirnya berbeda dengan bunyi QS. An-Nisa’ [4]: 24, pada hakikatnya

16
penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud Allah swt dalam
firman tersebut.
Persoalan ini dibahas secara panjang lebar dan disiplin ilmu Ushul Fiqh.
Rujuklah kesana jika ingin mendalaminya. Namun, yang pasti adalah Rasul saw
mendapat wewenang dari Allah untuk menjelaskan maksud firman-Nya. Sebagian
dari Firman itu tidak jelas maksud atau cara pelaksanaannya dan ketika itu
penjelasan Rasul saw sangat dibutuhkan, dan karena itu pula as-Sunnah mutlak
diperlukan untuk melaksanakan tuntunan al-Qur’an.6
2. Apsek kandungan pendidikan dalam QS. An-Nahl ayat 43 – 44
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan turunnya al-Qur’an adalah untuk
semua manusia. Alqur’an untuk dual hal. Pertama, untuk menjelaskan apa yang
diturunkan secara bertahap kepada manusia, karena ma’rifal ilahiyah tidak dapat
diperoleh manusia tanpa melalui perantaraa, karena itu diutus seorang dari mereka
untuk menjelaskan dan mengajar. Kedua, adalah harapan kiranya mereka berpikir
menyangkut dirimu Wahai nabi agung agar mereka mengetahu apa yang engkau
sampaikan adalah kebenaran yang bersumber dari Allah Swt.
Ayat ini menegaskan Nabi Muhammad Saw untuk menjelaskan al-Qur’an.
Bayan atau penjelasan Nabi Muhammad Saw itu bermacam-macam dan
bertingkat-tingkat.
Nilai pendidikan yang dapat kitan ambil dari QS. An-Nahl ayat 43 dan 44
antara lain:
1. Menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu. Guru
sebagai subyek sekaligus sebagai murid yang aktif.
2. Apabila kita mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum
tahu.
3. Dalam mendidik menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan
pemahaman peserta didik.
4. Pendidikan dilakukan secara bertahap.
5. Pendidik atau guru mesti menguasai bahan ajar.7
6
Shihab. M.Quraisy, Tafsir al-Mishbab jilid 6, (Jakarta: lentera hati) 2002, H. 589-595
7
M. Daud Yahya, Nilai-Nilai pendidikan dalam Al-Qur’an, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press),
2015.H. 74-75

17
C. SURAH AN-NAJM
1. Penafsiran ayat
AYAT 5-6

)6( ‫) ُذْو ِم َّر ٍة َفاْس َتَو ى‬5( ‫َعَّلَم ُه َش ِد ْيُد ْالُقَو ى‬

“Ia diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat, pemilik potensi yang sangat
hebat, lalu dia tampil sempurna. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi”.

Setelah ayat lalu menjelaskan bahwa apa yang diucapkan Nabi


Muhammad saw adalah wahyu, kini dijelaskan siapa yang menyampaikannya
kepada beliau. Allah berfirman bahwa: Ia, yakni wahyu yang diterimanya itu,
diajarkan kepadanya, yakni kepada Nabi Muhammad saw, oleh malaikat Jibril
yang sangat kuat, pemilik potensi akliah yang sangat hebat; lalu dia, yakni
malaikat Jibril itu, tampil sempurna dan menampakkan diri dengan rupanya yang
asli. Sedang dia, yakni malaikat itu, berada di ufuk langit yang tinggi berhadapan
dengan orang yang menengadah kepadanya.

Kata (‫‘ )َعَّلَم ُه‬allamahu/diajarkan kepadanya bukan berarti bahwa wahyu

tersebut bersumber dari malaikat Jibril. Seorang yang mengajar tidak mutlak
mengajarkan sesuatu yang bersumber dari sang pengajar. Bukankah kita mengajar
anak kita membaca, padahal sering kali bacaan yan diajarkan itu bukan karya kita.
Menyampaikan atau menjelaskan sesuatu secara baik dan benar adalah salah satu
bentuk pengajaran. Malaikat menerima wahyu dari Allah dengan tugas
menyampaikan secara baik dan benar kepada Nabi Muhammad saw, dan itulah
yang dimaksud dengan pengajaran di sini.

Kata (‫ )ِم َّر ٍة‬mirrah terambil dari kata (


‫ )َأْم َر ْر ُت اَحْلْب َل‬amrartu al-habla yang
berarti melilitkan tali guna menguatkan sesuatu. Kata ( ‫ )ُذوِم َّر ة‬dzu mirrah

digunakan untuk mengambarkan kekuatan nalar dan tingginya kemampuan


seseorang. Al-Biqa’i memahaminya dalam arti ketegasan dan kekuatan yang luar

18
biasa untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa sedikitpun
mengarah kepada tugas selainnya disertai dengan keikhlasan penuh. Ada juga
yang memahaminya dalam arti kekuatan fisik, akal, dan nalar.
Ada lagi ulama yang memahami ayat di atas sebagai berbicara tentang
Nabi Muhammad saw, yakni Nabi agung itu adalah seorang tokoh yang kuat
kepribadiannya serta matang pikiran dan akalnya lagi sangat tegas dalam
membela agama Allah.
Sementara ulama memahami kata ( ‫ )ُهَو‬huwa/dia pada ayat diatas dalam
arti Nabi Muhammad saw.8
2. Apsek kandungan pendidikan dalam QS. An-Najm ayat 5 – 6
Dalam surah an-Najm dijelaskan bahwasanya Nabi Muhammad saw
merupakan sahabat, yakni orang yang sangat dekat dan sangat kamu kenal
bagaikan sahabat yang selalu menyertai kamu, dan tidak pula ia melenceng dari
kebenaran dan tiadalah Ia berucap menurut kamauan hawa nafsunya, yang
diampaikannya itu, tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Inilah
jaminan selanjutnya tentang wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.
Bahwasanya yang mengajarkan wahyu itu kepada beliau ialah makhluk yang
sangat kuat. Ibu Katsir dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan yang
sangat kuat itu ialah malaikat Jibril.
Setelah ayat lalu menjelaskan bahwa apa yang diucapkan Nabi
Muhammad saw adalah wahyu, kini dijelaskan siapa yang menyampaikannya
kepada beliau. Wahyu yang diterimanya itu diajarkan kepadanya, yakni kepada
Nabi Muhammad Saw, oleh malaikat Jibril yang sangat kuat, memiliki potensi
akliah yang sangat hebat, lalu malaikat Jibril itu, tampil sempurna dan ufuk langit
yang tinggi berhadapan dengan orang yang menengadah kepadanya.
Pada surat an-Najm ayat 5 6 ditegaskannya klasifikasi seorang pendidik
atau siapa saja yang berkompeten menjadi subjek pendidikan yakni seperti yang
tersurat dalam ayat ini adalah seperti halnya seorang malaikat Jibril yang mana
beliau digambarkan sebagai berikut:

8
Shihab. M.Quraisy, Tafsir al-Mishbab, (Jakarta: lentera hati) 2002, H. 174-175

19
a. Sangat kuat, maksudnya memilki fisik dan psikis yang matang dan
mampu mmecahkan masalah.
b. Mempunyai akal yang cerdas, yakni seorang pendidik haruslah
memiliki akal yang mumpuni dalam bidangnya yakni berkompeten
dalam mengajarkan apa yang diajarkannya sebagai seorang seubyek
pendidikan. Secara bersamaan meski murid sebagai obyek pendidikan
tapi punya perilaku juga sebagai subyek pendidikan yang aktif. Dengan
canggihnya teknologi tapi pendidikan, kasih sayang, evaluasi dan
perhatian guru tak tergantikan oleh mesin.
c. Menampakkan dengan rupanya yang asli, yakni seorang subyek
pendidikan hendaklah bersikap wajar yang tidak melebih-lebihkan
segala sesuatu baik dari dirinya maupun apa yang dilakoninya dalam
bidangnya.
Dengan beberapa kompetensi yang dimilikinya diharapkan seorang guru
bisa menjadi pengajar dan pendidik yang baik dan profesional dalam suatu proses
pembelajaran.9

D. SURAH AL-KAHFI
1. Penafsiran ayat
AYAT 66

‫) َقاَل ِإَّنَك َلن َتْس َتِط يَع َم ِعَى َص ْبًر ا‬66( ‫َقاَل َلُه ُموَس ٰى َه ْل َأَّتِبُعَك َعَلٰى َأْن ُتَعِّلَم ِن َّمِما ُعِّلْم َت ُر ْش ًد ا‬

.)68( ‫) َو َك ْيَف َتْص ُرِب َعَلٰى َم ا ْمَل ِحُتْط ِبِه ُخ ْبًر ا‬67(
“Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau
mengajarkan kepadaku sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadamu untuk
menjadi petunjuk?Dia menjawab, “sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan
sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau dapat sabar atau sesuatu
uyang engkau belum jangkau secara menyeluruh?”

9
M. Daud Yahya, Nilai-Nilai pendidikan dalam Al-Qur’an, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press),
2015.H. 66-68

20
Dalam pertemuan kedua tokoh itu, Musa berkata kepadanya, yakni kepada
hamba Allah yang memeroleh ilmu khusus itu, “Bolehkah aku mengikutimu
secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari
apa, yakni ilmu-ilmu, yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi
petunjuk bagiku menuju kebenaran? “Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau, hai
Musa, sekali-kali tidak akan sanggup bersamaku. Yakni, peristiwa-peristiwa yang
engkau akan alami bersamaku akan membuatmu tidak sabar. Dan, yakni padahal,
bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara
menyeluruh hakikat beritanya? “Engkau tidak memiliki pengetahuan batiniah
yang cukup tentang apa yang akan engkau lihat dan alami bersamaku itu.
Kata (‫ )ُخ ْبًر ا‬khubran pada ayat ini bermakna pengetahuan yang mendalam.

Dari akar kata yang sama lahir kata ( ‫ )َخ ِبرْي‬khabir, yakni pakar yang sangat dalam
pengetahuannya. Nabi Musa as., memiliki ilmu lahiriah dan menilai sesuatu
berdasar hal-hal yang bersifat lahiriah. Tetapi, seperti diketahui, setiap hal yang
lahir ada pula sisi batiniahnya, yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi
lahirnya hal-hal lahiriah. Sisi batiniah inilah yang tidak terjangkau oleh
pengetahuan nabi Musa as. Hamba Allah yang saleh secara tegas menyatakan
bahwa Nabi Musa as tidak akan sabar, bukan saja karena Nabi Musa as dikenal
berkepribadian sangat tegas dan keras, tetapi lebih-lebih karena peristiwa dan apa
yang akan dilihatnya dari hamba Allah yang saleh itu sepenuhnya bertentangan
dengan hukum-hukum syari’at yang bersifat lahiriah dan yang dipegang teguh
oleh nabi Musa as.

Kata ( ‫ )َأَّتِبُع َك‬attabi’uka asalnya adalah ( ‫ )َأْتَبُع ِك‬atba’uka dari kata (‫)تبع‬
tabi’a, yakni mengikuti. Penambahan huruf (‫ )ت‬ta’ pada kata attabi’uka

mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti itu. Memang,


demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-
sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan di
pelajarinya.

21
Ucapan Nabi Musa as ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut
untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah
aku mengikutimu?” Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang diharapkannya
itu sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan
pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya
secara pribadi, yakniuntuk menjadi petunjuk baginya. Di sini lain, beliau
mengisyaratkan keluasan ilmu hamba yang saleh itu sehingga Nabi Musa as hanya
mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan
kepadanya. Dalam konteks itu, Nabi Musa as tidak menyatakan “apa yang engkau
ketahui wahai hamba Allah” karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah
bersumber dari satu sumber, yakni dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang,
nabi Musa as dalam ucapannya itu tidak menyebut nama Allah sebagai sumber
pengajaran karena hal tersebut telah merupakan aksioma bagi manusia beriman.
Di sisi lain,di sini kita menemukan hamba yang saleh itu juga penuh dengan tata
krama. Beliau tidak langsung menolak permintaan nabi Musa as, tetapi
menyampaikan penilaiannya bahwa Nabi agung itu tidak akan bersabar
mengikutinya sambil menyampaikan alasan yang sungguh logis dan tidak
menyinggung perasaan tentang sebab ketidaksabaran itu.

Kata (‫)حتط‬ tuhith terambil dari kata ( ‫حيي ط‬-‫ )أح اط‬ahatha-yuhithu, yakni

melingkari. Kata ini digunakan untuk menggambarkanpenguasaan dan


kemantapandari segala segi dan sudutnya bagaikan sesuatu yang melingkari
sesuatu yang lain.
Thahir Ibn ‘Asyur memahami jawaban hamba Allah yang saleh itu bukan
dalam arti memberi tahu Nabi Musa as tentang ketidaksanggupannya, tetapi
menuntutnya untuk berhati-hati karena seandainya jawaban itu merupakan
pemberitaan ketidaksanggupan kepada Nabi Musa as pu tidak akan menjawab
bahwa insya Allah dia akan sabar. Hemat penulis, pendapat ini tidak terlalu tepat.
Apalagi dengan sekian penekanan-penekanan dalam redaksi hamba Allah itu,
yakni kata sesungguhnya serta sekali-kali tidak akan. Di sisi lain, pemberitahuan
itu menunjukkan hamba Allah itu menyangkut peristiwa-peristiwa masa yang

22
akan datang yang merupakan keistimewaan yang diajarkan Allah kepadanya.
Memang, Nabi Musa as ketika itu belum mengetahuinya. Karena itu, setelah
beliau mendesakuntuk ikut, hamba Allah itu menerima untuk membuktikan
kebenaran ucapannya, dan karena itu pula sebagaimana terbaca di bawah, ia
mengulangi ucapannya itu setiap Nabi Musa as menunjukkan ketidaksabarannya.
Ucapan hamba Allah ini memberi isyarat bahwa seorang pendidik
hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang
akan di hadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak
mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya
tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.
Hamba yang saleh itu berkata, “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak

akan sanggup sabar bernamaku. Kata (‫ )معي‬ma’iya/bersama aku mengandung

sebab ketidaksabaran itu. Dalam arti ketidaksabarannya bukan karena


pengetahuan yang dimiliki oleh hamba yang saleh itu, tetapi dari apa yang dilihat
oleh nabi Musa as ketika bersama beliau. Ketika dia melihat pembocoran perahu
atau pembunuhan anak dan pembangunan kembali dinding seperti akan terbaca
nanti apa yang akan dilihatnya itulah yang menjadikan Nabi Musa as tidak sabar,
bukannya pengetahuannya tentang pembocoran perahu agar menghindari
penguasa yang lalim atau bagaimana masa depan anak itu. Memang, dampak
pengetahuan terhadap jiwa berbeda dengan ampak penyaksian. Yang kedua jauh
lebih dalam dan berkesan. Itu juga sebabnya ketika Nabi Musa as pergi
bermunajat kepada Allah dan di sana beliau diberitahu tentang kedurhakaan
kaumnya dengan menyembah anak lembu, beliau belum terlalu marah, tetapi
begitu kembali dan melihat kenyataan, amarahnya memuncak, dia menarik kepala
saudaranya, yakni nabu harun as, serta melemparkan jauh-jauh Taurat yang baru
saja diterimanya dari Allah swt.
Pada ayat berikut, kita akan melihat bagaimana tata krama Nabi Musa as
ketika menjawab dugaan hamba Allah yang saleh itu tentang
ketidaksabaraannya.10
2. Apsek kandungan pendidikan dalam QS. Al-kahfi ayat 66
10
Shihab. M.Quraisy, Tafsir al-Mishbab, (Jakarta: lentera hati) 2002, H. 342-345

23
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an, tentang pertemuannya Nabi Musa
as dengan Khaidir as, sebagaimana percakapan mereka yang tertera jelas dalam
surah al-kahfi ayat 66, yang berbunyi:

)66( ‫َقاَل َلُه ُموَس ٰى َه ْل َأَّتِبُعَك َعَلٰى َأْن ُتَعِّلَم ِن َّمِما ُعِّلْم َت ُر ْشًد ا‬

“Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu


mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu”
Pada ayat di atas di jelaskan bagaimana adanya seorang murid kepada
guru. Nabi Musa bertanya dengan etika yang sangat halus, dengan menyebutkan
“bolehkan?”. Walaupun beliau adalah orang yang disegani pada masa itu namun
beliau tetap merendahkan diri beliau terhadap orang lain, padahal beliau adalah
seorang Nabi yang mampu bercakap-cakap dengan Allah secara langsung.
Bahkan demi mencari pengetahuan sebagaimana yang Allah perintahkan,
beliau tetap berjalan di panasnya terik matahari dengan sabar. Bahkan beliau
berani mengatakan akan terus berjalan sampai menemukan tempat bertemunya
ddua laut tersebut, bahkan jika jarak yang ditempuh selama bertahun-tahun
lamanya.
Itulah sebagian hikmah yang dapat kita ambil dari ayat tersebut, yang
mengajarkan kepada kita pentingnya beradab dan menghormati kepada guru kita
dan semangat yang tinggi demi mendapatkan ilmu.
Meski Musa as disamping Nabi juga sebagai rasul tapi beliau tak segan-
segan belajar dengan orang yang derajatnya lebih rendah dari beliau yaknibelajar
kepada seseorang dengan kedudukan Nabi saja, yakni Nabi Khaidir as. ini
memberikan pelajaran supaya rendah hati mau belajar dengan siapa saja, semua
orang adalah guru.
Digambarkan betapa gigihnya hati Nabi Musa as untuk mendapatkan
kebenaran dan kedalaman ilmu. Betapapun sulit dan penuh bahaya suatu
perjalanan dan sukarnya cara yang harus ditempuh, namun ia pantang menyerah.
Betapa pentingnya pula memperhatikan etika-etika, sopan santun serta memiliki

24
nilai-nilai moral yang baik dalam aspek pendidikan. Nabi Musa as berjalan
dengan muridnya menemui Khaidir as. Musa as mohon kepada Khaidir as agar
diberi perjalanan dan pengalaman, Khaidir as bersedia menerima permintaan
Musa as asal ia mau bersedia sabar dan tidak menanyakan persoalan yang di
hadapinya. Adanya kemauan yang keras dan Musa as untuk berguru kepada
Khaidir as. Kisah Nabi as dan Khaidir as bisa menjadi pedoman dalam adab dan
sopan santun seorang murid terhadap gurunya dan semangat untuk mencari ilmu.
Tujuan dasar pendidikan atau pembelajaran itu sendiri adalah adanya
perubahan tingkah laku pada diri seorang murid dan mencapai kepribadian yang
sholeh. Sedangkan tujuan akhirnya adalah menghambakan diri kepada Tuhan
yang Maha Esa, menjadi rahmat bagi semesta dan agar bahagia di dunia dan di
akhirat. Dari cerita Nabi Musa as dan Nabi Khaidir as terdapat prilaku tasawuf
proses transfer ilmu dari satu pihak ke pihak lain atau dari satu generasi ke
generasi lain.

‫ِع‬ ‫ِم ِع ِد َّل ِم‬ ‫ِم ِع ِد‬


‫) َقاَل َلُه ُموَس ٰى َه ْل‬65( ‫َفَو َج َد ا َعْبًد ا ْن َبا َنا آَتْيَناُه َر َمْحًة ْن ْن َنا َو َع ْم َناُه ْن َلُد َّنا ْلًم ا‬
)66( ‫َأَّتِبُعَك َعَلٰى َأْن ُتَعِّلَم ِن َّمِما ُعِّلْم َت ُر ْشًد ا‬

yang telah kami berikan rahmat kepadanya dari sisi kami, dan yang telah ”
Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya,
Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang
benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi petunjuk)?”.(al-kahfi/
.8: 65-66)

Yang dimaksud dengan rahmat dalam ayat ini ialah wahyu kenabian.
Sebab sambungan (akhir) ayat ini menyebutkan rahmat itu langsung diajarkan dan
sisi Allah Swt tanpa perantara dan yang berhak menerima seperti itu hanyalah
para Nabi (termasuk Nabi Khaidir as). dalam ayat berikutnya disebutkan supaya
Nabi Khaidir as mengajarkan ilmu yang benar kepada Nabi Musa as yang juga
sebagai seorang Rasul. Dalam hal ini sikap rendah hati itu mempunyai nilai yang
jauh lebih baik daripada sombong. Ada ilmu kasbi dan ilmu laduni.

25
Dan tafsir ayat di atas menceritakan tentang Nabi Musa as dan Nabi
Khaidir as hendaknya kita meneladani apa yang telah diceritakan pada ayat
tersebut. Adapun kandungan yang terdapat pada ayat di atas sebagai berikut:
a. Kuatnya kemauan Nabi Musa as untuk belajar.
b. Walaupun sudah pintar janganlah sombong. Masih ada orang yang
lebih pintar.
c. Amar Makruf Nahi Munkar yang selalu ditegakkan oleh Nabi Musa as.
walaupun ia sudah berjanji tidak bertanya, tetapi ia tetap menegur
perbuatan yang salah.
d. Sedia berkorban untuk kepentingan umum: nelayan, anak-anak yatim
dan memelihara keimanan. Nabi Khaidir as melakukan tiga peristiwa
itu demi untuk kebaikan dan ia sedia berkorban walaupun dicela Nabi
Musa as dan sebagainya.
e. Ayat ini juga menganjurkan kita untuk berprilaku sopan dan
menghormati orang lain.
f. Proses belajar adalah proses abadi sepanjang hayat. Karena itu, kita
tidak boleh merasa pintar dan cepat berpuas diri.
g. Orang yang berilmu boleh bangga jika ada orang lain yang ingin
belajar kepadanya.
h. Setiap pelajar harus memiliki kesabaran yang kuat dalam menuntut
ilmu.
i. Ada ilmu yang diusahakan dengan sungguh-sungguh (ilmu kasbi). Ada
ilmu yang merupakan pelimpahan ilmu langsung dari Allah swt
dengan kesucian jiwa (ilmu laduni). Ketaatan kepada guru ini terkait
dengan peran guru sebagai agen ilmu pengetahuan, bahkan agen
spritual. Kalau kita tidak taat kepada guru, maka apakah mungkin ilmu
yang kita dapat akan berserang di dalam ingatan kita. Dalam
pandangan para ahli pendidikan yang menggunakan paradigma sufistik
terdapat kesimpulan bahwa para guru adalah para agen spritual dan
agen ilmu dari Allah, mereka berpendapat bahwa pada hakikatnya ilmu
dari Allah, dan guru hanyalah sebagai mediator yang menyampaikan

26
ilmu dari Allah kepada manusia. Sejalan dengan itu, maka bagi orang
yang ingin mendapatkan ilmu dari Allah, maka ia harus menghormati
guru sebagai mediatornya, para Rasul pun sudah memerankannya.
j. Kerendahan hati lebih baik daripada kesombongan. Nabi Musa as yang
memiliki ilmu dan kedudukan yang tinggi pun masih mau untuk
belajar dan tidak menyombongkan diri. Beliau sebagai nabi sekaligus
Rasul mau belajar dengan Nabi Khaidir as. semua orang adalah subyek
pendidikan, semua orang adalah guru, learning society, reading
society.11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari surah Ar-rahman ayat 1 - 4 dapat diambil pelajaran pendidikan bahwa
Seorang pendidik selaku subyek pendidikan harus memiliki sifat kasih sayang,
Pendidikan sebagai pengembangan potensi memanusiakan manusia, Al-Quran
sebagai sumber dan dasar pendidikan, dan Manusia adalah makhluk yang
memiliki potensi al-bayan.
Dari surah an-nahl ayat 43 - 44 dapat di ambil pelajaran bahwa
menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu, Apabila kita
mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum tahu, Dalam mendidik
menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan pemahaman peserta didik,
Pendidikan dilakukan secara bertahap, dan Pendidik atau guru mesti menguasai
bahan ajar.
Dari surah an-Najm ayat 5 - 6 dapat diambil pelajaran bahwa seorang
pendidik atau siapa saja yang berkompeten menjadi subjek pendidikan yakni
seperti yang tersurat dalam ayat ini adalah seperti halnya seorang malaikat Jibril
yang mana beliau Sangat kuat, Mempunyai akal yang cerdas, dan Menampakkan
dengan rupanya yang asli.
Dari surah Al-Kahfi ayat 66 dapat di ambil pelajaran bahwa kuatnya kemauan
Nabi Musa as untuk belajar, walaupun sudah pintar janganlah sombong, amar
11
M. Daud Yahya, Nilai-Nilai pendidikan dalam Al-Qur’an, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press),
2015.H. 79-83

27
Makruf Nahi Munkar, sedia berkorban untuk kepentingan umum, Ayat ini juga
menganjurkan kita untuk berprilaku sopan dan menghormati orang lain, proses
belajar adalah proses abadi sepanjang hayat, orang yang berilmu boleh bangga
jika ada orang lain yang ingin belajar kepadanya, setiap pelajar harus memiliki
kesabaran yang kuat dalam menuntut ilmu, kerendahan hati lebih baik daripada
kesombongan, ada ilmu yang diusahakan dengan sungguh-sungguh (ilmu kasbi)
dan ada ilmu yang merupakan pelimpahan ilmu langsung dari Allah swt dengan
kesucian jiwa (ilmu laduni).

28
DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syanqithi, Syaikh. Tafsir Adhwa’ul Bayan. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006


Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 1983.
Shihab. M.Quraisy. Tafsir al-Mishbab. Jakarta: Lentera Hati. 2002
Yahya, M. Daud. Nilai-Nilai pendidikan dalam Al-Qur’an. Banjarmasin: IAIN
Antasari Press. 2015

29

Anda mungkin juga menyukai