Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang
benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang
akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya,
sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam
tujuan institusi pendidikan.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan sangat
mendasar yang diperlukan oleh manusia. Di Indonesia banyak ragam atau
macam pendidikan baik secara formal, informal, dan nonformal yang
mana semua macam pendidikan tersebut memiliki tujuan untuk
mewujudkan suatu visi dan misi dalam sebuah pendidikan.
Tujuan pendidikan merupakan hal penting dalam pendidikan
karena tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh
subyek dalam dunia pendidikan. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang menjelaskan tentang Tujuan Pendidikan di antaranya QS. Ali Imran
/3 : 138-139, QS. Fath /48 : 29, QS. Al-Hajj /22 : 41, QS. Al-Dzariyat /51 :
56, QS. Hud /11 : 61.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, penulis bermaksud untuk
merumuskan masalah agar ruang lingkupnya terbatas. Adapun rumusan
masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana isi kandungan QS. Ali Imran /3 : 138-139 di dalam alqur’an ?
2. Bagaimana isi kandungan QS. Fath /48 : 29 di dalam al-qur’an ?
3. Bagaimana isi kandungan QS. Al-Hajj /22 : 41 di dalam al-qur’an ?

1
4. Bagaimana isi kandungan QS. Al-Dzariyat /51 : 56 di dalam al-qur’an ?
5. Bagaimana isi kandungan QS. Hud /11 : 61 di dalam al-qur’an ?

C. TUJUAN PENULISAN
Penulis memiliki tujuan buat dirinya sendiri dan orang lain yang
membaca makalah ini, agar setelah membaca makalah ini kita dapat :
1. Memahami isi kandungan QS. Ali Imran /3 : 138-139 di dalam al-qur’an.
2. Memahami isi kandungan QS. Fath /48 : 29 di dalam al-qur’an.
3. Memahami isi kandungan QS. Al-Hajj /22 : 41 di dalam al-qur’an.
4. Memahami isi kandungan QS. Al-Dzariyat /51 : 56 di dalam al-qur’an.
5. Memahami isi kandungan QS. Hud /11 : 61 di dalam al-qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. QS. ALI ‘IMRAN/3: 138-139


Buku 1 :
      
Ayat 138 “Inilah (al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua
manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa.”
Al-Qur’an ini adalah penerangan dan petunjuk menuju jalan yang haq dan
pengingat yang menjadikan hati orang-orang yang bertakwa khusyu’. Dan
mereka itu adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Mereka disebut
secara khusus, karena hanya merekalah orang-orang yang dapat
mengambil manfaat dari al-Qur’an itu, bukan golongan yang lainnya.

       


 
Ayat 139 “Dan janganlah kalian (merasa) lemah, dan jangan (pula)
bersedih hati, sebab kalianlah yang paling tinggi (derajatnya), jika
kalian adalah orang-orang yang beriman.
Dan janganlah kalian wahai kaum Mukminin, bersikap lemah untuk
memerangi musuh kalian, dan janganlah kalian bersedih hati atas
kekalahan yang menimpa kalian di Perang Uhud, padahal kalian itu adalah
orang-orang yang unggul dan kesudahan yang baik akan menjadi milik
kalian, jika kalian beriman kepada Allah dan RasulNya serta mengikuti
Syariatnya.1

1
Hikmat Basyir,dkk. Tafsir Muyassar 1 Memahami Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Penafsiran
Paling Mudah,Darul Haq, Jakarta, 2016, hlm 200

3
Buku 2 :
     

       
 

138. (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan
petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
139. janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman.

Makna ayat: wahai kaum Muslimin generasi terdahulu maupun


generasi sekarang, perhatikanlah umat—umat terdahulu sebelum kalian,
pelajarilah berita orang-orang masa lalu, niscaya kalian akan menemukan
satu manhaj yang tidak akan berganti, satu metode yang tidak akan
berubah. Yakni, apabila kalian berjalan menelusuri jalan orang-orang yang
taat dan mendapat petunjuk, niscaya kalian akan sukses. Namun jika
kalian berjalan mengikuti jalan para pelaku maksiat dan para pendusta,
niscaya kalian akan merugi. Sesungguhnya kalian menempuh jalan yang
lurus pada hari pertempuran Badar sehingga kalian meraih kemenangan,
dan kalian menempuh jalan yang salah dengan menyelisihi nabi kalian
pada pertempuran Uhud sehingga kalian kalah. Begitu juga setiap
kekalahan yang kita alami, tidak lain disebabkan oleh tindakan kita
sendiri.
Al-Qur’an merupakan penjelasan yang nyata bagi manusia secara
umum, dan menjadi petunjuk bagi manusia secara umum, dan menjadi
petunjuk serta nasihat bagi orang-orang bertakwa secara khusus. “Kitab
(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.” (al-Baqarah:2)

4
Wahai kaum mukminin, jauhilah oleh kalian sikap tidak berdaya
dan lemah setelah mengalami kekalahan pada perempuran Uhud dan
pertempuran yang lain, jangan bersedih atas apa yang telah terjadi, juga
atas orang-orang yang terbunuh. Bila kalian mengalami pembunuhan atau
mendapatkan luka-luka, pada pertempuran Uhud misalnya, maka selain
kalian juga mengalami hal yang sama, sedangkan para syuhada kalian
dimuliakan di sisi Allah. Apa yang terjadi pada musuh bukanlah
kemenangan, melainkan pelajaran penuh makna yang mesti kalian ambil
hikmahnya. Karenanya, Nabi saw. Bersabda pada hari pertempuran Uhud,
“Sekiranya aku mendapat pilihan antara kekalahan atau kemenangan
dalam pertempuran Uhud, tentulah aku memilih kekalahan.” Sebab,
pertempuran tersebut mengandung banyak pendidikan, nasihat, dan
pelajaran. Yang paling penting ialah Menyelisihi perintah Nabi berarti
keluar dari sunnah Allah dalam mewujudkan kemenangan.
Wahai kaum mukminin, tidak tidak dibenarkan bila kalian bersedih
atau pasrah terhadap kelemahan atau kesedihan, karena kalianlah kaum
yang paling tinggi derajatnya berdasarkan sunnatullah yang menjadikan
akibat yang baik itu hanya milik orang-orang bertakwa, yang menghendaki
tingginya seruan Islam, yang menempatkan korban terbunuh kalian di
surga dan melemparkan korban terbunuh mereka ke dalam neraka.
Peperangan itu adalah catatan (prestasi), dan hari-hari adalah giliran yang
Kami pergilirkan di anatara manusia; Kami berikan giliran satu hari
kepada kebenaran. Melainkan, akibat yang baik dan kemenangan akhir itu
hanya milik orang-orang bertakwa dan bersabar.
Peperangan dan hamparan kehidupan merupakan medan ujian dan
cobaan. Di dalamnya Allah SWT mengetahui dengan pengetahuan yang
bersifat menyingkap dan menampakkan, bukan pengetahuan yang datang
sesudah ketidaktahuan. Sebab, pengetahuan Allah itu bersifat dahulu dan
sesuai dengan kenyataan, sama sekali tidak berbeda. Jadi,Allah
mengetahui orang-orang yang beriman semenjak zaman azali, kemudian
memperlihatkan keimanan mereka di dalam wujud nyata dan memuliakan

5
beberapa orang dengan kesyahidan dan gugur di jalan Allah. Kesyahidan
memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah dan umat manusia.
Di dalam ujian sulit ini Allah hendak membersihkan dan
menyucikan orang-orang yang beriman, Allah hendak memperlihatkan
iman yang tulus dari iman yang kotor. Di dalam realitas nyata akan terlihat
jelas keimanan orang-orang yang telah Allah ketahui semenjak zaman
azali bahwa mereka adalah kaum beriman. Yang demikian itu agar jiwa-
jiwa menjadi suci dan siap untuk kembali kepada jalan yang lurus dan
terjun ke dalam peperangan yang sukses. Peperangan yang merealisasikan
kehancuran kaum kafir atau hilangnya eksistensi mereka sedikit demi
sedikit, kemenangan bagi kaum mukminin, penyucian orang-orang yang
ikhlas, dan pemilahan mereka dari orang-orang munafik. Karena itu, bila
musuh meraih kemenangan, mereka menjadi sewenang-wenang dan
sombong, sehingga kebinasaan menimpa mereka dalam satu waktu.
Namun bila mereka kalah, mereka menjadi lemah dan binasa sedikit demi
sedikit hingga akhirnya musnah. Sedangkan, akibat yang baik itu hanya
milik orang-orang bertakwa.
Kesimpulannya, bahwa mengambil sebab-sebab yang melapangkan
jalan rezeki dan kemenangan misalnya adalah perkara yang selaras dengan
prinsip keimanan kepada kekuasaan Allah yang sempurna dala
memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki. Karena, Allah SWT
menghendaki agar umat manusia teguh di dalam kepribadian mereka,
menampilkan amal perbuatan mereka, agar menjadi jelas siapa yang
berbuat baik dan siapa yang berbuat buruk, siapa mujahid dan siapa yang
berpangku tangan, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, dan apabila kita
menginginkan terwujudnya segala sesuatu dengan perintah kauniah
(penciptaan) Allah, “Jadilah, “maka terjadilah ia.” Maka, yang demikian
itu berarti mengabaikan keberadaan manusia, mengesampingkan peran dan
efektivitasnya di dalam kehidupan. Dan pada umumnya jiwa yang mulia
tidak puas bila menerima segala sesuatu dai pihak lain, sekadar duduk
menunggu hasil, lalu menyambut kemenangan dengan tilam emas. Karena

6
itu, kerja adalah sebuah kemuliaan, jihad adalah sebuah keutamaan, dan
meneguhkan eksistensi merupakan indikasi pemuliaan dan penghormatan.2

2. QS. FATH /48 : 29

        


       
        
        
     
      
       
    
29. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
besar.

[1406] Maksudnya: pada air muka mereka kelihatan keimanan dan


kesucian hati mereka.

 “Muhammad itu” adalah Mubtada (subyek), dan 


“adalah utusan Allah”, sebagai Khabar (predikat)nya.3

2
Muhammad Ashim,dkk. Tafsir Al-Wasith,Gema Insani, Jakarta, 2012, hlm 216-218

3
Al-Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli Al-Imam Jalaluddin
Abdirrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Pustaka eLBA, Surabaya, 2010, hlm. 467
7
Menurut pendapat, lafazh  adalah mubtada’ , dan lafazh
 adalah N’t-nya. Lafazh   ”dan orang-orang
yang bersama dengan dia,” diathafkan kepada Mubtada dan Khabarnya
yang ada setelahnya. Jika berdasarkan kepada pendapat ini, maka bacaan
firman Allah itu tidak boleh diwaqafkan pada lafazh: .4
Tapi jika berdasarkan kepada pendapat pertama, bacaan firman Allah
itu boleh diwaqafkan pada lafazh: . Sebab sifat beliau itu
melebihi sifat para sahabatnya, sehingga lafazh  harus menjadi
Mubtada, lafazh  manjadi Khabarnya. Lalu lafazh 
 “dan orang-orang yang bersama dengan dia,” menjadi
Mubtada yang kedua, lafazh  ”keras” menjadi Khabarnya, dan
lafazh  “Berkasih sayang,” menjadi khabar yang kedua.
Keberadaan sifat pada sekelompok sahabat Nabi adalah kemiripan.5
Ibnu Abbas berkata, “Orang-orang yang berada di Hudaibiyah itu keras
terhadap orang-orang kafir, yakni galak terhadap mereka, seperti harimau
terhadap mangsanya.”
Menurut satu pendapat, yang dimaksud oleh firman Allah 
 “dan orang-orang yang bersama dengan dia,” adalah seluruh
kaum mukminin.
Firman Allah Ta’ala,    “tetapi berkasih sayang
sesama mereka.” Maksudnya satu sama lain saling menyayangi. Menurut
satu pendapat, mereka saling saling mengasihi dan mencintai.
Al Hasan membaca firman Allah itu dengan:  
  “adalah keras terhadap orang-
orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,” –yakni dengan
nashab, karena menjadi Haal, seolah-olah Allah berfirman: ‫َو اَّلِذ ْيَن َم َع ُه‬
‫“ ِفي َح اِل ِش َّد ِتِهْم َع َلي اْلُك َف اِرَو َتَر اُح ِم ِهْم َبْيَنُهْم‬Dan
orang-orang yang
bersamanya berada dalam keadaan keras terhadap orang yang kafir, dan
saling menyayangi di antara mereka”
   “Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud,”
firman Allah ini merupakan pemberitahuan tentang banyaknya shalat
mereka,       “mencari karunia
Allah dan keridaan-Nya,” yakni mencari surga dan keridhaan Allah
Ta’ala.

4
Syaikh Imam AL Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi [16], PUSTAKA AZZAM, Jakarta, 2009, hlm 756
5
Ibid
8
Kedua: Firman Allah Ta’ala,     
 “Tanda-tamda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.”
As-Siima adalah Al alaamah (tanda). Untuk kata ini ada dua dialek: (1) dibaca
panjang, dan (2) dibaca pendek. Maksud firman Allah itu adalah: tanda-tanda
tahajud pada malam hari dan ciri-ciri bangun malam muncul.
Pada Sunan Ibri Majah dinyatakan: Isma’il bin Muhammad Ath-Thalhi
menceritakan kepada kami, Tsabit bin Musa Abu Yazid menceritakan kepada
kami dari Syarik, dari Al A’Masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, dia
berkata,”Rasulullah SAW bersabda,

‫َم ْن َك ُثَر ُت َص اَل ُتُه ِبالَّلْيِل َح ُسَن َو ْج ُهُه ِبلَّنَهـاِر‬


“Barangsiapa yang banyak shalatnya pada malam hari, niscaya baik
wajahnya pada siang hari.”
Ibnu Al Arabi berkata, “Ada sekelompok orang yang menyelinapkan hadits itu
ke dalam hadits Nabi karena kesalahannya, padahal ia tidak diriwayatkan dari
Nabi SAW satu huruf pun.”
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik tentang firman Allah:
      “Tanda-tanda mereka tampak
pada muka mereka dari bekas sujud.” Imam Malik berkata, “Itu adalah sesuatu
yang menggantungkan di jidat mereka, yang berasal dari tanah ketika bersujud.”
Pendapat ini pula yang dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi SAW dinyatakan
bahwa beliau melakukan shalat (Shubuh) pada hari kedua puluh satu Ramadhan.
Saat itu atap masjid menitikkan air, dan saat itu masjid sudah diberikat atap, Nabi
SAW kemudian berpaling dari shalatnya, dan di kening serta ujung hidung beliau
terhadap sisa-sisa air dan tanah.
Al Hasan berkata, “Tanda tersebut adalah putih yang ada di wajah pada hari
Kiamat.” Pendapat ini pula yang dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair. Pendapat ini
pula yang diriwayatkan Al Ufi dari Ibnu Abbas. Pendapat ini pula yang
dikemukakan Az-Zuhri. Dalam Ash-Shahih terdapat sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Dalam hadits itu
dinyatakan:
“Hingga ketika Allah selesai memberikan pengadilan di antara hamba-
hamba(Nya). Dan Allah hendak mengeluarkan –dengan rahmatNya- orang-orang
yang dikehendaki-Nya dari penghuni neraka, maka Dia pun memerintahkan para
malaikat untuk mengeluarkan orang-orang yang tidak menyekutukan sesuatu
dengan Allah dari dalam orang yang mengatakan: Laa Ilaaha Illallah (tidak ada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Maka, para malaikat dapat
mengenali orang-orang itu di dalam neraka melalui bekas-bekas sujud(nya). Api

9
neraka akan memakan anak cucu Adam kecuali bekas sujudnya. Allah telah
mengharamkan neraka untuk memakan bekas sujud(nya).
Syahr bin Hausyab berkata, “Bagian yang digunakan bersujud pada wajah
mereka (sahabat Nabi) itu seperti bulan purnama.”
Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan bahwa tanda itu di dunia, dan tanda
tersebut adalah tanda yang baik.
Dari Mujahid juga diriwayatkan bahwa (yang dimaksud dengan tanda tersebut
adalah) khusyu dan tawadhu’.
Manshur berkata, “Aku bertanya kepada Mujahid tentang firman Allah Ta’ala,
      “Tanda-tanda mereka tampak
pada muka mereka dari bekas sujud.” Apakah ia tanda yang berada di antara
kedua mata seseorang? Mujahid menjawab, “Bukan, sebab terkadang di antara
kedua mata seseorang itu ada sesuatu seperti tanda pada kambing bandot, namun
hati orang itu lebih keras daripada batu. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang berada
di wajah mereka dari kekhusyu’an’.”
Ibnu Juraij berkata, “(Yang dimaksud dengan tanda tersebut adalah ketenangan
dan wibawa.”
Syamr bin Athiyah berkata, “(Yang dimaksud dengan tanda itu adalah)
kuningnya wajah akibat melakukan ibadah malam.”
Al Hasan berkata, “Apabila engkau melihat mereka, engkau menduga
mereka sakit, padahal mereka itu tidak sakit.”
Adh-Dhahak berkata, “Tanda itu bukanlah bekas luka di wajah mereka, akan
tetapi warna kekuning-kuningan.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Mereka menunaikan shalat pada malam hari,
keesokan harinya, hal itu dapat diketahui pada wajah mereka. Penjelasannya
adalah sabda Rasulullah SAW:

‫َم ْن َك ُثَر ُت َص اَل ُتُه ِبالَّلْيِل َح ُسَن َو ْج ُهُه ِبلَّنَهـاِر‬


“Barang siapa yang banyak shalatnya pada malam hari, niscaya baik
wajahnya pada siang hari’. “Pembahasan mengenai hal ini baru saja telah
dijelaskan di muka.
Atha’ Al Kharasani berkata, “Adakah termasuk ke dalam ayat ini setiap orang
yang memelihara shalat lima waktu.”
Ketiga:        
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.”

10
Al Farra’ berkata, “Untuk firman Allah ini ada dua pendapat: jika engkau
menghendaki maka engkau dapat mengatakan bahwa maknanya adalah:
Demikianlah perumpamaan mereka dalam Taurat dan juga dalam Injil, seperti
perumpamaan mereka dalam Al Qur’an. Jika berdasarkan kepada pendapat ini,
maka waqaf terdapat pada lafazh:  . Tapi jika engkau menghendaki
maka engkau dapat mengatakan kalimat sempurna: Demikian perumpamaan
mereka dalam taurat. Setelah itu, kalimat dimulai lagi dengan: dan perumpamaan
mereka dalam Injil. Jika berdasarkan kepada pendapat ini, maka waqaf terdapat
pada lafazh .”
Mujahid berkata, “Perumpamaan itu adalah perumpamaan yang satu.
Maksudnya, inilah sifat mereka dalam taurat dan Injil. “Jika berdasarkan kepada
pendapat ini, firman Allah itu tidak boleh diwaqafkan pada lafazh ,
akan tetapi diwaqafkan pada lafazh  setelah itu, kalimat dimulai
dengan:    “yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya,” dalam arti: mereka itu seperti tanaman. Yang dimaksud dari lafazh
 adalah tunas-tunas dan anak-anaknya. Demikianlah yang dikatakan
oleh Ibnu Zaid dan yang lainnya.
Muqatil berkata, “Itu adalah tumbuhan yang satu. Apabila tumbuhan
setelahnya keluar, maka dikatakan: Qad Syatha`ahu (ia telah mengeluarkan
tumbuhan setelahnya).”
Al Jauhari berkata, “Syatha`a az-zar ‘u wa an-nabaatu firaakhahu (tumbuhan
dan tanaman mengeluarkan tunasnya). Bentuk jamak kata asy-syath`u adalah al
asythaa`. (Dikatakan): Qd Asytha`a Az-Zar’u (tanaman bertunas), yakni tunasnya
keluar.”
Al Akhfasy berkata tentang firman Allah Ta’ala,   “tanaman
yang mengeluarkan tunasnya.” Al Akhfasy berkata, “Yakni ujung-ujungnya.”
Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dari Al Kisa’i.
Al Farra` berkata, “Asytha’a Az-Zar’u fahuwa Musythi’un (tanaman bertunas,
maka ia adalah sesuatu yang bertunas), yakni tunasnya keluar.”
Az-Zujaj berkata, “Akhraja Syath`ahu (dia mengeluarkan tunasnya), yakni
tunasnya.”
Menurut satu pendapat, Asy-Syath’u adalah duri tungkai. Orang-orang Arab
juga menamakan dengan Asy-Safaa, dan As-Safaa adalah duri Al Bahmi (sejenis
rumput). Demikianlah yang dikatakan Qurthrub.
Menurut pendapat yang lain, Asy-Syath’u adalah tangkai. Dari biji benih keluar
sepuluh, sembilan atau delapan tangkai. Itulah yang dikatakan Al Farra’. Itulah
yang diriwayatkan Al Mawardi.

11
Ibnu Katsir dan Ibnu Watstsab membaca firman Allah itu dengan ‫– َش ـــَطَأُه‬
yakni dengan fathah huruf tha. Sementara yang lainnya menyukunkan huruf tha
itu. Adapun Anas, Nashr bin Ashim dan Ibnu Watstsab, mereka membaca firman
Allah itu dengan: ‫ َش ـــَطَأُه‬seperti lafazh ‫ َع ـــَص اُه‬sementara Al Jahdari dan Ibnu
Ishaq membaca firman Allah itu dengan: ‫َش ـــَطَأُه‬, yakni tanpa huruf hamzah.
Semua itu merupakan dialek untuk kata Asy-Syath’u itu.
Firman Allah ini merupakan sebuah perumpamaan yang Allah buat bagi para
sahabat Muhammad SAW. Maksudnya, mereka itu dulunya sedikit, kemudian
bertambah dan menjadi banyak. Ketika pertama kali menyeru pada agamanya,
Nabi SAW adalah seorang yang lemah. Lalu satu demi satu dari mereka
mengabulkan seruannya, hingga beliau pun menjadi kuat. Hal ini seperti tanaman
yang muncul –setelah berupa benih- dalam keadaan lemah, lalu sedikit demi
sedikit menguat, hingga keraslah tunas dan anak-anaknya. Ini merupakan sebuah
perumpamaan yang paling tepat dan penjelasan yang paling kuat.
Qatadah berkata, “Perumpamaan sahabat Muhammad di dalam Injil tertulis:
bahwa mereka akan keluar dari suatu kaum yang tumbuh seperti tumbuhan
tanaman. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar.”
Firman Allah:  “maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat,”
yakni tunas itu menguatkan, membantu dan menopang tanaman itu. Maksudnya,
tunas itu memperkuat tanaman tersebut. Menurut satu pendapat sebaliknya, yaitu
tanaman itu memperkuat tunas tersebut.
Qira’ah kalangan mayoritas adalah: , yakni dengan dibaca
panjang. Namun Ibnu Dzakwan, Abu Haiwah dan Humaid bin Qais membaca
firman Allah itu dengan: ‫ َفـــَأَز َر ُه‬-yakni dengan dibaca pendek, seperti
fa’alahu. Namun qira’ah yang terkenal adalah dibaca panjang.
   “Dan tegak lurus di atas pokoknya,” yakni pada
batangnya dimana ia berdiri di atasnya, sehingga ia menjadi pokoknya. As-Suuq
adalah bentuk jamak dari As-Saaq.
  ”Tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya,” yakni tanaman itu membuat senang orang yang menanamnya, dan
sebagaimana yang telah kami jelaskan, ini adalah sebuah perumpamaan. Tanaman
itu adalah Muhammad, tunas itu adalah para sahabatnya yang dulu sedikit
kemudian menjadi banyak, dan yang dulu lemah kemudian menjadi kuat.
Demikianlah yang dikatakan oleh Adh-Dhahak dan yang lainnya.

12
   “Karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” Huruf lam (yang
terdapat pada lafazh ) terhubung dengan kata yang dibuang, yakni:

‫َفَعَل ُهَّللا َهَذ ا ِلُمَح َّمٍد َص َلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َأْص َح اِبِه ِلُيِغ ْيَظ ِبِهُم اْلُكًفاَر‬
“Allah melakukan ini kepada Muhammad SAW dan para sahabatnya, karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan (kekuatan) mereka
(orang-orang mukmin).
Keempat: Firman Allah Ta’ala ,    “Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman,” yakni Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang bersama Muhammad yaitu orang-orang beriman yang
amal perbuatannya adalah amal shalih, ‫“َم ْغ ِفَر ًة َو َأْج ًراَع ِظ ْيَم ـا‬ampunan dan
pahala yang besar,” yakni pahala yang tiada terputus, yakni surga.

Huruf ‫ِم ْن‬ ‫ ِم ْنُهْم‬itu tidak berarti sebagian,


yang terdapat pada firman Allah
yakni sebagian kelompok sahabat tanpa sebagian yang lain. Akan tetapi huruf ‫ِم ْن‬
itu umum untuk semua jenis, seperti firman Allah Ta’ala, ‫َفآْج َتِنُبوْاآلِّر ْج َس ِم َن‬

‫“ آَأْلْو َثاِن‬Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu.” Huruf min
yang terdapat pada firman Allah ini tidak mengandung makna sebagian, akan
tetapi mengandung makna jenis. Maksud firman Allah itu adalah: maka jauhilah
najis dari jenis berhala-berhala itu. Sebab najis itu terdiri dari banyak jenis, di
antaranya adalah zina, riba, mengkonsumsi khamar dan berdusta. Oleh karena
itulah Allah memasukkan huruf ‫ ِم ْن‬yang menunjukkan makna jenis itu. Demikian
pula dengan firman Allah: ‫ِم ْنُهْم‬, yakni dari jenis ini yaitu jenis sahabat.
Dikatakan: Anfiq Nafaqataka min Ad-Daraahim (keluarlah infakmu yang
berupa dirham), yakni jadikanlah infakmu dari jenis (dirham) ini.
Allah mengkhususkan janji ampunan kepada para sahabat Muhammad sebagai
sebuah keutamaan bagi mereka. Maka firman Allah itu adalah: Allah menjanjikan
kepada mereka semua ampunan dan pahala yang besar. Dengan demikian, firman
Allah itu sama dengan ucapan orang-orang Arab baduy: Qatha ‘tu min ts-tsaubi
qamiishan (aku memotong kain untuk membuat baju), maksudnya aku meminta
seluruh kain untuk membuat baju. Huruf min itu itu tidak membagi dua sesuatu.
Bukti atas hal ini dari Al Qur’an adalah: ‫“َو ُنَنِّز ُل ِم َن آْلُقْر َء اِن َم ا ُهَو ِش َفآٌء‬Dan
kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar.” (Qs. Al Israa` [17]:
82) Maknanya, Kami menurunkan Al Qur’an menjadi penawar. Sebab setiap
huruf Al Qur’an itu dapat menjadi penawar, namun hal itu tidak dikhususkan
kepada sebagiannya saja tanpa sebagian yang lain. Meskipun ada sebagian Ahli

13
Nahwu yang berpendapat bahwa huruf ‫ ِم ْن‬tersebut mengandung makna jenis,
dimana perkiraan susunan kalimatnya adalah:

‫ َو ِم ْن َناِح َيِة اْلُقْر آِن‬, ‫ِوِم ْن ِج َهِة اْلُقْر آِن‬, ‫ُنَنِزُل الِش َفاَء ِم ْن ِج ْنِس اْلُقْر آِن‬
“Kami menurunkan penawar dari jenis Al Qur’an, dari arah Al Qur’an, dan
dari sekitar Al Qur’an.”
Kelima: Abu Urwah Az-Zubairi meriwayatkan dari anak Az-Zubair: “Kami
berada di tempat Malik bin Anas, kemudian menceritakan seseorang yang
mencela para sahabta Rasulullah SAW. Malik kemudian membaca ayat ini:
      “Muhammad itu adalah utusan
Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia,” hingga tiba pad a bacaan: 
‫“ُيْع ِج ُب آلُّز َّراَع ِلَيِغ ْيَظ ِبِهُم آْلُك َّفاَر‬tanaman ini menyenangkan hati penanam-
penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mukmin).” Malik berkata, “Baransiapa yang di dalam
hatinya ada kejengkelan terhadap salah seorang sahabat Rasulullah SAW, maka
sesungguhnya dia telah terkena ayat ini.” Demikianlah yang dituturkan Al
Khathib Abu Bakar.
Menurut saya (Al Qurthubi), sesungguhnya apa yang dikatakan Malik itu
sangat baik dan sesuai dengan takwilnya. Barangsiapa yang mencela seseorang
dari para sahabat rasul, atau menyangsikan riwayatnya, maka sesuangguhnya dia
telah melakukan penolakan terhadap Allah Tuhan semesta alam dan membatalkan
syari’at kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman:   
     “Muhammad itu adalah utusan
Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-
orang kafir.” Allah juga berfirman: ‫َّلَقْد َرِض َي آُهَّلل َع ِن آْلُم ْؤ ِمِنْيَن ِاْذ ُيَباِيُعْو َنَك‬
‫“ َتْح َت آلَّش َج َر ِة‬Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” Juga ayat-ayat lainnya
yang mengandung sanjungan dan kesaksian tentang kejujuran dan kebaikan
mereka. Allah Ta’ala berfirman: ‫“ ِر َج اٌل َص َد ُقوْا َم ا َع اَهُد وْا آَهَّلل َع َلْيِه‬Orang-
orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.” (Qs. Al
Ahzaab [33]: 23) Allah berfirman,
         
          

Juga( bagi orang kafir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan (“
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-

14
Nya ..... Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs. Al Hasyr [59]: 8) setelah
,itu, Allah berfirman
       
        
         
     
Dan orang-orang yang telah menepati kota Madinah dan telah beriman “
(Anshor) sebelum kedatangan) mereka (Muhajirin) ...... Mereka itulah orang-
orang yang beruntung.” (Qs Al Hasyr [5]: 9) Ini semua karena Allah mengetahui
.keadaan dan akhir urusan mereka
Rasulullah SAW bersabda,

‫َخ ْيُرالَّناِس َقْر ِنْي ُثَّم اَّلِذ ْيَن َيُلْو َنُهْم‬


“Manusia yang terbaik adalah yang semasa denganku, kemudian orang-orang
yang ada setelah mereka.”
Rasulullah SAW bersabda,

‫َالَتُسُّبوا َأْص َح اِبْي َفَلْو َأَّن َأَح َد ُك ْم َأْنَفَق ِم ْثَل ُأُح ٍد َذ َهًبا َلْم ُيْد ِرْك ُم َّد َأَح ِدِهْم‬
‫َو َال َنِص ْيَفُه‬
“Janganlah kalian mencela para sahabatku.sebab kalau salah seorang dari
kalian menginfakkan sebesar gunung Uhud, niscaya dia tidak akan dapat
menyamai mud salah seorang dari mereka, dan tidak pula menyamai
separuhnya.” Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari. Dalam sebuah
hadits lain dinyatakan:

‫َفَلْو َأَّن َأَح َد ُك ْم َأْنَفَق َم ا ِفى اَأْلْر ِض َلْم ُيْد ِرْك ُم َّد َأَح ِدِهْم َو َال َنِص ْيَفُه‬
“Sebab kalau salah seorang dari kalian menginfakkan apa yang ada di bumi,
niscaya dia tidak akan dapat menyamai mud salah seorang dari mereka, dan
tidak pula menyamai separuhnya.” Abu Ubaid berkata, “Makna sabda Rasulullah
SAW tersebut adalah: niscaya dia tidak akan dapat menyamai mud salah seorang
dari mereka jika dia menyedekahkan gunung emas itu, dan tidak pula dapat
menyamai separuhnya.”
Dengan demikian, yang dimaksud dari kata An-Nashiif di sini adalah separoh.
Demikian pula dikatakan untuk sepersepuluh: Asyiir; seperlima: Khamiis;
sepersembilan: Tasii’, seperdelapan: Tsamiin; sepertujuh: sabii’; seperenam:
Sadiis; seperempat: Rabi’, namun orang-orang Arab tidak pernah mengatakan
untuk sepertiga: Tsaliits.

15
Dalam kitab Al Bazar terdapat hadits shahih yang diriwayatkan dari Jabir
secara marfu’: “Sesungguhnya Allah telah memilih para sahabatku untuk seluruh
alam (makhluk) kecuali para nabi dan para rasul. Allah telah memilih empat
orang dari para sahabatku.” Maksud beliau adalah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali. “Lalu Allah menjadikan mereka sebagai sahabat-sahabatku.” Beliau
kemudian bersabda,

‫ِفى َأْص َح اِبْي ُك ِّلِهْم َخ ْيٌر‬


“Pada semua sahabatku terdapat kebaikan.”
Uswain bin Sa’diah berkata, “Rasulullah SAW bersabda,

‫ َفَج َعَل ِلْي ِم ْنُهْم ُو َز َر اًء‬, ‫ِاَّن َهَّللا َع َّز َو َج َّل َاْخ َتاَر ِنْي َو اْخ َتاَرِلْى َأْص َح اِبْي‬
, ‫ َفَم ْن َس َّبُهْم َفَع َلْيِه َلْعَنُة ِهَّللا َو اْلَم اَل ِئَك ِة َو الَّناِس َأْج َم ِع ْيَن‬,‫َو َأْخ َتاًنا َو َأْص َهاًرا‬
‫َو َال َيُقَبُل ُهَّللا ِم ْنُه َيْو َم اْلِقَياَم ِة َص ْر ًفا َو َال َع ْد ًال‬.
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memilihku dan memilih sahabat-
sahabatku untukku, lalu Dia menjadikan untukku sebagian dari mereka sebagai
menteri, saudara dan keluarga. Barangsiapa yang memaki mereka, maka baginya
laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Dan Allah tidak akan menerima
Sharf darinya dan tidak pula Adl.”
Hadits-hadits yang memiliki pengertian seperti ini banyak sekali. Oleh karena
itu, janganlah mencela salah seorang dari para sahabat, sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang yang mencermari agama (Islam), dimana mereka
mengatakan bahwa surah Al Mu’awwidzatain (Al Falaq dan An-Nas) itu bukan
termasuk bagian dari Al Qur’an, dan tidak ada hadits yang sah dari Rasulullah
SAW, yang menetapkan bahwa kedua surah itu termasuk ke dalam Al Qur’an
kecuali dari Aqabah bin Amir, sementara Aqabah bin Amir itu dha’if, sehingga
dia tidak mendapatkan dukungan dari yang lainnya. Dengan demikian, riwayat
Aqabah itu harus dibuang.
Ini merupakan sebuah bantahan terhadap apa yang telah kami sebutkan dari Al
Qur’an dan sunnah, sekaligus pembatalan terhadap agama yang diriwayatkan oleh
para sahabay kepada kita. Sebab Aqabah bin amir bin Isa Al Juhani itu termasuk
orang yang meriwayatlan syari’ah kepada kita dalam Shahoh Bukhari dan Shahih
Muslim, dan juga dalam kitab hadits lainnya. Dia adalah termasuk orang yang
disanjung, disifati, dipuji dan dijanjikan ampunan dan pahala yang besar oleh
Allah. Barangsiapa yang menisbatkannya atau salah seorang sahabat (lainnya)
kepada kebohongan, maka sesungguhnya dia telah keluar dari syari’ah,
menganggap batil terhadap Al Qur’an, sekaligus mencela Rasulullah SAW.
Pasalnya jika salah seorang dari para sahabat itu dinisbatkan kepada kebohongan,
maka sesungguhnya dia telah dicela.sebab tidak ada aib dan cela yang lebih besar

16
setelah kufur kepada Allah, dari pada dusta. Sementara Rasulullah SAW telah
melaknat orang yang memaki sahabatnya. Dengan demikian, orang yang
mendustakan sahabat yang paling kecil sekalipun –sementara tidak ada sahabat
yang dianggap kecil –adalah orang yang termasuk ke dalam laknat Allah, yang
telah dipersaksikan dan diwajibkan Rasulullah SAW bagi orang yang mencela
atau memfitnah salah seorang dari sahabatnya.
Diriwayatkan dari Umar bin Habib, dia berkata, “Aku menghadiri majlis Harun
Ar-Rasyid, kemudian terjadilah suatu permasalahan yang diperselisihkan oleh
orang-orang yang hadir (di sana), sehingga suara mereka pun menjadi tinggi.
Sebagian dari mereka berargumentai dengan hadits yang diriwayatkan Abu
Hurairah dari Rasulullah SAW, dimana sbeagian dari mereka merafa’kan hadits
itu.
Bantahan dan perselisihan yang terjadi semakin sengit, hingga berkatalah
sebagian dari mereka: “Hadits yang mengatasnamakan Rasulullah SAW ini tidak
dapat diterima. Sebab riwayat Abu Hurairah itu masih disangsikan. “Mereka
menyatakan dengan tegas bahwa Abu Hurairah berbohong. Aku melihat Ar-
Rasyid lebih condong pada mereka, dan dia pun membantu ucapan mereka. Aku
kemudian berkata, “Hadits ini shahih dari Rasulullah SAW, dan Abu Hurairah itu
seorang yang Shahih periwayatannya, sekaligus orang yang sangat jujur pada apa
yang diriwayatkannya dari Nabi dan juga dari yang lainnya. ‘Ar-Rasyid
memandangku dengan pandangan yang marah. Setelah itu, aku berdiri dari majlis
itu dan pergi ke rumahku.
Tidak lama kemudian dikatakan (kepadaku): “Pembawa surat di depan pintu.”
Pembawa surat itu kemudian masuk dan berkata padaku, Amirul Mukminin
menjawab dengan jawaban: dibunuh. Engkau harus membalsam diri dan memakai
kain kafan.” Aku berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku
membela sahabat Nabi-Mu, dan aku memuliakan Nabi-Mu dengan cara tidak
menghina sahabatnya. Maka selamatkanlah aku darinya (Ar-Rasyid).”
Aku kemudian dihadapkan kepada Ar-Rasyid, dan saat itu dia duduk di atas
kursi emas seraya merentangkan kedua tanganya. Di tangannya terdapat sebilah
pedang dan di hadapannya terdapat tikar kulit yang biasa dihamparkan untuk
makan atau untuk meletakan orang yang divonis mati. Ketika dia melihatku, dia
berkata, “Wahai Amr bin Habib, tidak pernah ada seorang pun yang berani
membantah dan menetang ucapanku seperti yang telah engkau lakukan.”
Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya apa yang engkau
katakan dan apa yang engkau perdebatkan itu mengandung unsur cemoohan
terhadap Rasulullah SAW dan apa yang dibawanya. Sebab jika para sahabatnya
adalah para pendusta, maka agama ini adalah sesuatu yang batil. Lebih jauh,
semua kewajiban dan ketentuan dalam puasa, shalat, talak, nikah dan hukuman,
seluruhnya harus ditolak dan tidak boleh diterima.” Ar-Rasyid mengintrospeksi

17
dirinya, lalu berkata “Engkau telah menyadarkan aku wahai Umar bin Habib.
Semoga Allah memanjangkan umurmu.” Ar-Rasyid kemudian memerintahkan
untuk memberikan sepuluh ribu dirham padaku.”
Menurut saya (Al Qurtubi), dengan demikian para sahabat adalah orang-
orang yang unggul. Mereka adalah para kekasih dan pilihan Allah, yang telah
dipilih-Nya di antara makhluk-Nya, setelah memilih para nabi dan rasul-Nya. Ini
adalah madzhab Ahlussunnah sekaligus pendapat yang dipegang oleh jama’ah
dari para imam ummat ini.
Namun ada sekelompok kecil (manusia) –yang keberadaannya tidak perlu
diperhatikan –yang berpendapat bahwa kondisi para sahabat itu sama dengan
kondisi yang lainnya, dimana keadilan mereka itu masih harus dikaji. Di antara
mereka pun ada yang membedakan antara kondisi mereka pada masa-masa awal
dan pada masa-masa setelahnya. Mereka berkata, “Sesungguhnya mereka itu
berada pada keadilan pada masa itu, lalu setelah itu kondisi mereka berubah,
dimana muncullah peperangan dan pertumpahan darah, sehingga (keadilan
mereka) pun masih perlu dikaji.” Pendapat ini tertolak. Sebab para sahabat yang
mulia dan pilihan seperti Ali, Thalhah, Zubair dan yang lainnya, adalah termasuk
orang-orang yang disanjung, disucikan, diridhai dan dijanjikan surga oleh Allag
melalui firman-Nya:

‫“َّم ْغ ِفَر ًة َو َأْج ًرا َع ِظ ْيَم ا‬ampunan


dan pahala yang besar.” Terlebih lagi
sepuluh orang yang sudah dipastikan masuk surga melalui pemberitahuan
Rasulullah SAW. Mereka adalah sosok-sosok teladan, meskipun mereka tahu –
melalui pemberitahuan beliau terhadap mereka- bahwa akan banyak fitnah dan
masalah yang terjadi pada mereka, semua itu tidak menjatuhkan mereka dari
martabat dan kemuliaan mereka. Sebab semua itu terjadi karena ijtihad, dan (perlu
diketahui) bahwa semua mujtahid itu benar. Pembahasan mengenai hal ini akan
dikemukakan secara jelas pada surah Al Hujuraat, insya Allah.6
3. QS. AL- HAJ/22:41

Buku 1 :

       


       
  

“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi, niscaya


mereka melaksanakan shalat dan menunaikan zakat serta menyuruh berbuat yang

6
Syaikh Imam AL Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi [16], PUSTAKA AZZAM, Jakarta, 2009, hlm 756-771
18
ma’ruf dan mencegah yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.”

Ayat-ayat yang lalu menjanjikan pertolongan dan bantuan Allah kepada


mereka yang dianiaya dan terusir dari kampung halaman mereka. Ayat ini
menjelaskan lebih jauh sifat-sifat mereka bila mereka memeroleh kemenangan
dan telah berhasil membangun masyarakat. Ayat di atas menyatakan bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang jika Kami anugerahkan kepada kemenangan
dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yakni Kami berikan mereka
kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka merdeka dan berdaulat,
niscaya mereka, yakni masyarakat itu, melaksanakan shalat secara sempurna
rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai
kadar waktu, sasaran, dan cara penyaluran yang ditetapka Allah serta mereka
menyuruh anggota-anggota masyarakatnya agar berbuat yang maruf, yakni nilai-
nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik dalam masyarakat itu lagi tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiah, dan mereka mencegah dari yang mungkar,
yakni yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat, dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan. Dia-lah yang memenangkan siapa yang hendak
dimenangkan-Nya dan Dia pula yang menjatuhkan kekalahan bagi siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Dia juga yang menentukan masa kemenangan dan
kekalahan itu.

Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang


diidamkan Islam, kapan dan di mana pun, dan yang telah terbukti dalam sejarah
melalui masyarakat Nabi Muhammad saw, dan para sahabat beliau.

Masyarakat itu adalah yang pemimpin-pemimpin dan anggota-anggota


secara kolektif dinilai bertakwa sehingga hubungan mereka dengan Allah swt,
baik dan jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana dicerminkan oleh
sikap mereka yang selalu melaksanakan shalat dan harmonis pula hubungan
anggota masyarakat, termasuk antara kaum berpunya dan kaum lemah yang
dicerminkan oleh ayat di atas dengan menunaikan zakat. Di samping itu, mereka
juga menegakkan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, yaitu nilai-nilai ma’ruf,
19
dan mencegah perbuatan yang mungkar. Pelaksanaan kedua hal tersebut
menjadikan masyarakat melaksanakan kontrol sosial sehingga mereka saling
mengingatkan dalam hal kebajikan dan saling mencegah terjdinya pelanggaran.

Ketika menafsirkan QS. Ali ‘Imran [2]: 104, penulis antara lain
mengemukakan bahwa kita semua tahu bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah melalui
dakwahnya mengamanatkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang bersifat mendasar,
universal, dan abadi, serta ada juga bersifat praktis, lokal, dan temporal sehingga
dapat berbeda antara satu tempat/waktu dan tempat/waktu yang lain.
Perbedaan,perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat diterima oleh Islam
selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.

Al-Qur’an mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya dalam


QS. Ali ‘Imran 104 itu dengan kata : al-khair/kebajikan dan al-ma’ruf.

Al-khair, adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan as-
Sunnah. Al-khair menurut Rasul saw, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir

dalam tafsirnya, adalah (‫ )اتباع القران وسنتي‬ittib’ al-Qur’an wa as-Sunnati/


mengikuti tuntunan al-Qur’an dan Sunahku. Sedang, al-ma’ruf adalah sesuatu
yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-
khair. Adapun al-mungkar, ia adalah sesuatu yg dinilai buruk oleh suatu
masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Karena itu, ayat Ali ‘Imran
tersebut menekankan perlunya mengajak kepada al-khair/kebaikan,
memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar. Jelas terlihat betapa
mengajak kepada al-khair didahulukan, kemudian memerintahkan kepada ma’ruf
dan melarang melakukan yang mungkar.

Karena itu, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan


secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sekadar mengajak yang
dicerminkan antara oleh kata mengajak dan oleh Firman-Nya:

20
     
          
        

“Ajaklah ke jalan Tuhan-mu dengan cara yang bijkasana, nasihat (yang


menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan mereka dengan cara yg lebih baik”
(QS. An-Nahl [16] : 125). Perhatikan kalimat “dengan cara yg lebih baik” bukan
sekadar “baik”. Selanjutnya, setelah mengajak, siapa yang akan beriman silakan
beriman, dan siapa yang kufur silakan pula, masing-masing
mempertanggungjawabkan pilihannya.

Adapun al-ma’ruf, yang merupakan kesepakatan umum masyarakat, ini


sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-mungkar seharusnya dicegah. Baik
yang memerintahkan dan mencegahnya adalah penguasa maupun bukan, Siapa
pun di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya
(menjadikannya ma’ruf) dengan tangan/kekuasaannya, kalau dia tidak mampu
(tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah/ucapannya, kalau (yang inipun)
dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman. (HR.
.Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah melalui Abu Sa’id al Khudri)

Di sisi lain, karena keduanya merupakan kesepakatan satu masyarakat,


kesepakatan itu bisa berbeda antara satu masyarakat muslim dan masyarakat
muslim yang lain, bahkan antara satu waktu dan waktu lain dalam satu masyarakat
tertentu.

Dengan konsep ma’ruf, al-Qur’an membuka pintu yang cukup lebar guna
menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Hal
ini agaknya ditempuh al-Qur’an karena ide/nilai yang dipaksakan atau tidak
sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat tidak akan dapat ditetapkan.
Karena itu al-Qur’an, di samping memperkenalkan dirinya sebagai pembawa
ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, ia juga melarang pemaksaan nilai-
nilainya walau merupakan nilai yang amat mendasar, seperti keyakinan akan
Keesaan Allah swt.

21
Perlu dicatat bahwa konsep ma’ruf hanya membuka pintu bagi
perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya. Dari sini,
filter al-khair harus benar-benar difungsikan. Demikian juga halnya dengan
mungkar yang pada gilirannya dapat memengaruhi pandangan tentang muruah,
identitas dan integritas seseorang. Karena itu, sungguh tepat khususnya pada era
yg ditandai oleh pesatnya informasi serta tawaran nilai-nilai untuk selalu
mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.7

Buku 2 :

       


       
  

“(Yaitu) Orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan kepada mereka di muka
bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Dan kepada Allah-lah
segala urusan akan kembali.”

(‫(“)اَلِذ ْيَن ِان َم َّك اَّناُهْم ِفي اَالْر ِض‬Yaitu) Orang-orang yang jika Kami berikan
kedudukan kepada mereka di muka bumi” dengan memberi mereka kemenangan
atas musuh mereka,

( ‫)َاَقاُم وا الَّصَالَة َو آَتُو ا الَّز كَاَة َو َأَم ُروا ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو َنَهْو ا َع ِن اْلُم ْنَك ِر‬
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang
ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar.”

7
M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an.Cet.1,Vol.8 ,Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm 227-230

22
Ini adalah jawab syarat. Sedangkan syarat dan jawabnya berkedudukan
sebagai shilatul maushul (keterangan kata sambung). Dan sebelum isim maushul –

kata sambung- (‫)اَّلِذ ْىن‬ diperkirakan ada kata ganti ‫ُهْم‬ ) ) –mereka- yang
berkedudukan sebagai mubtada’ (subyek).

( ‫“ )َو ِهَّلِل عَاِقَبُة اُالُم ْو ِر‬Dan kepada Allah-lah segala urusan akan
kembali.” Maksudnya hanya kepadaNyalah segala urusan akan dikembalikan di
Akhirat kelak.8

Buku 3 :

       


       
  

“(Yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi,
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang
ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
segala urusan akan kembali.”

Az-Zujaj berkata, “Lafazh ( ‫) اَلِذ ْيَن‬ berada pada posisi nashab karena

dikembalikan kepada lafazh ‫ َم ْن‬yang terdapat pada firman-Nya, ‫َو َلَينُص َر َّن هَّللا‬
‫َم ْن َيْنُص ُر ُه‬ ‘Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya’.” (Qs.Al Hajj [22]:40)

Selain itu, Az-Zujaj berkata,” Lafazh ‫اَّلِذ ْيَن‬ berada pada posisi jar

karena dikembalikan kepada (lafazh ‫ ) اَّلِذ ْيَن‬yang terdapat pada firman-Nya, ‫ُأِذ َن‬
8
Al-Imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi. Tafsir
Jalalain. Cetakan 1 Jilid 2, PT. elBA FITRAH MANDIRI SEJAHTERA. Surabaya, 2010, Halaman 539

23
‫ِلَّل ِذ ْيَن ُيَق ا ِتُل ْو َن‬ ‘Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi’.” (Qs. Al-Hajj [22]:39)

Selanjutnya, jadilah empat (golongan) sahabat Rasulullah SAW, sebagai ‫َا َّل‬

‫“ ِذ ْيَن ان َّم َّكَّن اُهْم ِفْي اَالْر ِض‬Orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi,” dimana tidak ada seorang pun di muka bumi
selain mereka.

Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud adalah orang-orang Muhajirin,


Anshar, dan orang-orang yang mengikuti (beliau) dengan baik.”

Qatadah berkata,”Mereka adalah para sahabat Muhammad.”

Ikrimah berkata,”Mereka adalah orang-orang yang menunaikan shalat lima


waktu.”

Al Hasan dan Abu Al Aliyah berkata, “Mereka adalah umat ini, yang jika
Allah memberikan kemenangan kepada mereka, maka mereka mendirikan shalat.”

Ibnu Abu Najih berkata. “ Maksudnya adalah para penguasa.”

Adh-Dhahhak berkata, “ Itu (keempat perkara tersebut) merupakan syarat


yang telah Allah tetapkan kepada siapa saja yang akan diberikan kerajaan.”

Pendapat ini merupakan pendapat yang baik.

Sahl bin Abdullah berkata, “ Memerintahkan kepada yang makruf dan


mencegah dari yang mungkar adalah kewajiban penguasa dan para ulama yang
mendatanginya. Manusia tidak wajib memerintahkan penguasa (agar
memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar). Sebab itu
merupakan kewajiban dan keharusan dirinya. Manusia juga tidak wajib
mewajibkan ulama agar menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar, sebab dalil-dalil telah mewajibkan mereka melakukan hal itu.” 9

9
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Mahmud Hamid Utsman, Tafsir Al-Qurthubi. Cetakan 1 Jilid 12.
PUSTAKA AZZAM. Jakarta. 2009. Halaman 180-182
24
4. QS. AL-DZARIYAT/51 : 56

Buku 1 :

      


“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah Ku.”

Ayat ini tidak menyalahi keadaan orang-orang kafir yang tidk mau beribadah.
Karena tujuan penciptaan tidak mengharuskan adanya ibadah. Seperti ketika anda
mengucapkan: “Saya melancipkan pensil ini utuk menullis. ” karena anda belum
tentu mngggunakannya ntuk menulis.10

Buku 2 :

Dan setelah itu, Allah SWT berfirman: ( ‫“ ) َو َم ا َخ َلْقُت اْلِج َّن َو ْاِإل نَس إَّال ِلَيْعُب ُدو ِن‬Dan
tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” Maksudnya, Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk
menyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan
mereka. Mengenai firman Allah Ta’ala : ( ‫“ )إَّال ِلَيْعُبُدو ِن‬Melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Artinya, melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik
secara sukarela maupun terpaksa. Dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Sedangkan Ibnu Juraij menyebutkan: “Yakni, supaya mereka mengenal-Ku.” Dan
masih mengenai firman-Nya:

( ‫“ )إَّال ِلَيْعُب ُدو ِن‬Melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Ar-Rabi’ bin
Anas mengatakan :”Maksudnya tidak lain kecuali untuk beribadah.” As-Suddi

10
Al-Imam Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi.
Tafsir Jalalain. Cetakan 1 Jilid 3, PT. elBA FITRAH MANDIRI SEJAHTERA. Surabaya, 2010.
hlm 512

25
mengemukakan: “Di antara ibadah itu ada yang bermanfaat dan ada pula yang
tidak bermanfaat.” Allah berfirman:

        


        

25. dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah".
Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.

Ibadah mereka yang disertai dengan kesyirikan itu sama sekali tidak
mendatangkan manfaat bagi mereka. Adh-Dhahhak mengatakan: “Dan yang
11
.dimaksudkan dengan hal itu adalah orang-orang yang beriman

5. QS. HUD/11 :61

        


          
      
    
“Dan kepada Tsamud saudara mereka Shalih. Shalh berkata: “Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kamu tuhan selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi dan menjdikan kamu memakmurkannya, karena itu
memohonnlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat lagi Maa Memperkenankan.”

Setelah selesai kisah ‘Ad, kini tiba kisah suku Tsamud. Allah berfirman: Dan
kai juga telah mengtus kepada Tsamud saudara seketurunan merereka, yaitu
11
Abdullah bin Muhammad bin “Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 7,
Mu-assasah Daar al-Hilaal. Kairo,1994. hlm
26
shalih. Pesan pertama yang beliau sampaikan sama dengan yang dismpaikan oleh
Nabi Nuh as. Dan Nabi Huda as. Shalhh bekata: “Hai kaumku sembahlah Allah
Tuhan yang Maha Esa, sekali-kali tidak ada bagi kamu satu tuhan yang
memelihara kamu dan menguasai seluruh makhluk selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu pertama kali dari bumi, yakni tanah dan menjadikan kamu
berpotensi memakmurkannya atau memerintahkan kamu memakmurkannya.
Memang, dalam memakmurkannya atau dalam keberadaan kamu di bumi, kamu
disertai dengan hadirya setan, kamu dapat melakukan pelanggaran, karena itu
memohonlah ampunan-Nya dengan menyesali kesalahan-kesalahan kamu yang
terdahulu kemudian bertaubatlah kepada-Nya dengan meninggalkan kedurhakaan
dan bertekkad untuk tidak mengulanginya di masa datang, niscaya kamu
memeroleh rahmat-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat rahmat-Nya sehingga
seseorang tidak harus berpayah-payah untuk pergi jauh meraihnya lagi Maha
Memperkenankan doa serta harapan siapa yang berdoa dan mengharap dengan
tulus.

Tsamud juga merupakan salah satu suku bangsa Arab terbesar yang telah
punah. Mereka adalah keturunan Tsamud Ibn Jatsar, Ibn Iram, Ibn Sam, Ibn Nuh.
Dengan demikian, silsilah keturunan mereka bertemu dengan ‘Ad pada kakek
yang sama yaitu Iram. Mereka bermukim di satu wilayah bernama al-Hijr yaitu
satu daerah di Hijaz (Saudi Arabia sekarang). Ia juga dikenal sampai sekarang
dengan nama Madain Shalih. Di sana, hingga kini terdapat banyak peninggalan,
antara lain berupa reruntuhan bangunan kota lama, yang merupakan sisa-sisa dari
kaum Tsamud itu. Ditemukan juga patahan-patahan indah serta kuburan-kuburan,
dan aneka tulisan dengan berbagai aksara Arab, Aramiyan, Yunani, dan Romawi.

Kaum Tsamud pada mulanya menarik pelajaran berharga dari pengalaman


buruk kaum Ad. Karena itu, mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada
masa itulah mereka berhasil membangun peradaban yang cukup megah tetapi
keberhasilan itu menjadi mereka lengah sehingga mereka kembali menyembah
berhala serupa dengan berhala yang disembah kaum Ad. Ketika itulah Allah swt.
mengutus Nabi Shalih as. Mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan

27
Allah swt. tetapi tuntunan dan peringatan beliau tidak disambut baik oleh
mayoritas kaum Tsamud.

Kata ( ( ‫ أنشأ كم‬ansya’akum/menciptakan kamu mengandung makna


mewujudkan serta mendidik dan mengembangkan. Objek kata ini biasanya adalah
manusia dan binatang. Sedang, kata ( ( ‫ا ستعمر‬ista’mara terambil dari kata ( ‫’) عمر‬
amara yang berarti memakmurkan. Kata tersebut juga dipahami sebagai antonim
dari kata ( ‫ )خر اب‬kharab, yakni kehancuran. Huruf sin dan ta’ yang menyertai
kata ista’mara ada yang memahaminya dalam arti perintah sehingga kata tersebut
berarti Allah memerintahkan kamu memakmurkamn bumi. Dan ada juga yang
memahaminya sebagai berfungsi penguat, yakni menjadikan kamu benar-benar
mampu memakmurkan dan membangun bumi. Ada juga yang memahami nya
dalam arti menjadikan kamu mendiaminya atau memanjangkan usia kamu. Ibn
katsir memahaminya dalam arti menjadikan kamu pemakmur-pemakmur dan
pengelola-pengelola nya.

Thabathaba’i memahami kata ( ‫ ) ا ستعمركم في ا ألرض‬ista’marakum fi al-


ardh dalam arti mengolah bumi sehingga beralih menjadi suatu tempat dan
kondisi yang memungkinkan manfaatnnya dapat dipetrik, seperti membangun
pemukiman untuk di huni, masjid untuk tempat ibadah, tanah untuk pertanian,
taman untuk dipetik buahnya dan rekreasi. Dan, dengan demikian, tulis
Thabathaba’i lebih lanjut, penggalan ayat tersebut bermakna bahwa Allah swt.
telah mewujudkan, melalui bahan bumi ini, manusia yang dia sempurnakan
dengan mendidiknya tahap demi tahap dan menganugerahkannya fitrah berupa
potensi yang menjadikan ia mampu mengolah bumi dengan mengalihkannya ke
suatu kondisi dimana ia dapat memanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya.
Sehingga, ia dapat terlepas dari segala macam kebutuhan dan kekurangan dan
dengan demikian, ia tidak untuk wujud dan kelanggengan hidupnya kecuali
kepada Allah swt. demikian lebih kurang Thabathaba’i.

Terlepas apapun pendapat yang anda pilih, yang jelas ayat ini mengandung
perintah kepada manusia langsung atau tidak langsung untuk membangun bumi
dalam kedudukannya sebagai khalifah, sekaligus menjadi alasan mengapa
28
manusia harus menyembah Allah swt. semata-mata. Ini sejalan juga dengan
firman-Nya yang diarahkan kepada kaum musyrikin mekkah:

     


      
“ Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).

yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy [106]: 3-4). Memberi
makanan, yakni menyiapkan sarana dan prasarana yang menjadikan mereka dapat
memperoleh.

Firman-Nya

‫فَا ْس َتْغ ِفُر وُه ُثَّم ُتو ُبوْاِإَلْيِه‬


“ karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertaubatlah kepada-Nya “ dapat
juga merupakan isyarat bahwa dalam membangun tidak jarang terjadi kesalahan
dan pelanggaran. Namun, hal tersebut kiranya dapat diampuni Allah jika yang
bersangkutan memohon ampunan-Nya. Ketika Allah SWT. menyampaikan
kepada para malaikat rencana-Nya menciptakan khalifah di bumi, para malaikat
yang bertanya : Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi siapa yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah...?” pertanyaan ini
tidak dijawab Allah dengan mengiyakan atau menafikan tetapi dengan
menyatakan “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui” (QS.
Al-Baqarah [2]:30-31) Tidak mengiyakan dan tidak menafikan itu agaknya
sebagai isyarat bahwa bisa saja terjadi pengrusakan akibat membangun bumi
karena adanya kekurangan manusia, tetapi itu dapat ditoleransi selama tujuannya
baik dan yang bersangkutan selalu memohon ampun dan mengharapkan rahmat-
Nya.

29
Kata ( ‫ )جميب‬mujib terambil dari kata ( ‫ )أجاب‬ajaba. Dari akar kata yang
sama lahir kata jawab, yakni jawaban. Kata Mujib adalah pelaku jawaban
itu/yang menjawab. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini pada mulanya
berarti memotong seakan akan yang memeperkenankan permohonan, memotong
permohonan dan menghentikannya dengan jalan mengabulkan, demikian juga
yang menjawab pertanyaan, memotong pertanyaan dengan jawabannya. Kata ini
hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’aan yaitu pada ayat ini, dan sekali juga
dalam bentuk jaamak mujibun (QS.ash-Shaffat [37]: 75).

Allah Mujib, menurut Imam Ghazali, adalah Dia yang menyambut


permintaan para peminta dengan member bantuan, doa yang berdoa dengan
mengabulkannya, permohonan yang terpaksa dengan kecukupan bahkan member
sebelum dimintai dan melimpahkan anugerah sebelum dimohonkan. Ini hanya
dapat dilakukan oleh Allah karena hanya Dia yag mengetahui kebutuhan dan hajat
setiap makhluk sebelum permohonan mereka.

Kala Allah yang mengabulkan doa dan harapan itu dilukiskan oleh ayat di
atas dengan kata (‫)قريب‬ Qarib, itu mengisyaratkan tidak perlu berteriak
mengeraskan suara ketika berdoa.

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS.
al-A’raf[7]: 55). Dan, ditempat lain Allah berfirman:

“Dan berzikirlah sebutlah (nama) Tuhan dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf[7]: 205).12

12
M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.Cet.IV
,Vol.5 ,Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm 665-669
30
KAITAN AYAT-AYAT TERSEBUT DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN
1. QS. ALI ‘IMRAN/3: 138-139

Al-Qur’an ini adalah penerang bagi manusia secara keseluruhan. Ini adalah
kutipan peristiwa kemanusiaan telah jauh berlalu, yang manusia sekarang
tidak dapat mengetahuinya jika tidak akan penerangan (penjelasan) yang
menunjukannya. Akan tetapi, hanya segolongan manusia tertentu saja yang
mendapatkan petunjuk di dalamnya, mendapatkan pelajarn dari padanya,
mendapatkan manfaat dan menggapai petunjuknya. Mereka itu adalah
golongan “muttaqin” yaitu orang-orang yang bertaqwa.
Rasulullah SAW bersabda:

‫َع ْن َم اِلك َأَّنُه َبَلَغ ُه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َت َر ْك ُت ِفيُك ْم‬
‫َأْمَر ْيِن َلْن َتِض ُّلوا َم ا َتَم َّس ْك ُتْم ِبِهَم ا ِكَتاَب ِهَّللا َو ُس َّنَة َنِبِّيه‬

“Dari Imam Malik, beliau menyampaikan sesungguhnya Rasullah SAW


Bersabda: “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara, kamu takkan
pernah tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya yaitu
Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi.”
2. QS. FATH /48 : 29

Keunikan sifat Rasulullah dan para sahabat, yang memadukan ketegasan


dan kekerasan (terhadap orang kafir) dengan kasih-sayang (terhadap sesama
Muslim). Seandainya hanya dinyatakan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras
terhadap orang-orang kafir), tentu akan menimbulkan persepsi, seakan-akan
mereka adalah orang-orang yang kasar. Karena itu, dengan dinyatakan,
ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), kesan tersebut hilang.

Lalu apa maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (sangat keras terhadap
orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (sangat mencintai sesama mereka)
dalam ayat tersebut? Apakah ini hanya sifat Rasul dan para sahabatnya yang
ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah saja atau bersifat umum meliputi karakter
seluruh para sahabat?
Secara umum, as-Suyuthi, menjelaskan maksud frasa tersebut dan frasa
berikutnya, bahwa mereka keras dan tegas terhadap siapa saja yang
menyimpang dari agamanya, dan saling kasih-mengasihi di antara sesama

31
mereka (Muslim). Inilah maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr ruhamâ’
baynahum. Sebagian ahli tafsir, menyebutkan bahwa sifat tersebut merupakan
sifat sahabat yang terlibat dalam kasus Hudaibiyah.
3. QS. AL- HAJ/22:41

Ayat ini mengemukakan tentang tujuan pendidikan yang membentuk


masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai pemimpin dan anggota-
anggota yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan zakat,
menegakkan nilai-nilai ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat dan
mencegah perbuatan yang munkar.
Untuk itu hendaklah kita benahi pendidikan kita yang telah terpedaya
dengan system yang dibuat oleh dunia barat. Dari sekarang hendaklah kita
pada umumnya dan pendidik pada khususnya merubah tujuan pendidikan
kita, yaitu untuk “mendapatkan ridho Allah S.W.T. dan menjadi hamba Allah
yang patuh terhadap perintah-Nya”. apabila tujuan kita berlandaskan dengan
ini, maka dunia akan terjamin keselamatannya, dan manusia akan mempunyai
moral yang berakhlak mulia. Sehingga dapat kita capai tujuan akhir dari
pendidikan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Athiyah al- Abrasyi,
yaitu: Terbinanya akhlak manusia. Manusia benar-benar siap untuk hidup
didunia dan diakhirat. Ilmu dapat benar-benar dikuasai dengan moral manusia
yang mantap dan manusia benar-benar terampil bekerja di dalam masyarakat.
4. QS. AL-DZARIYAT/51 : 56

Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah


agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai
dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalam
melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik,
harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah
termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang
artinya:
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki
dan perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)
Dan pula hadits ini:
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk
golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai
pulang kembali”. (H.R. Turmudzi)
Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup
individu termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku.

32
Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan oleh Allah SWT
dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai
khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang
sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun
juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban,
terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya
dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya,
yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di
balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat
utama dan takwa.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama
berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah
kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan
diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus
lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk
mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan
bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama).
5. QS. HUD/11 :61

Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang


didiami) dengan aman. Demikian besarnya karunia dan nikmat Allah yang
diberikan kepada mereka. Maka wajiblah mereka mensyukuri nikmat itu
dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya dan tidak menyembah selain-
Nya dan seharusnyalah mereka bertobat kepada-Nya, karena ketelanjuran
mereka berbuat kesesatan menyembah sembahan-sembahan selain Dia. Bila
mereka menyadari hal ini dan dengan sungguh-sungguh bertobat kepada-Nya
tentulah Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha menerima tobat mengampuni
mereka dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang saleh.
Inilah yang diserukan dan dianjurkan Nabi Saleh a.s. kepada kaumnya itu.

33
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari uraian dan penjelasan di atas, pemakalah menyimpulkan :
1. Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim
yang sadar akan tujuan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid
(hamba). Sehingga dalam melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi
pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah
SWT semata, selain itu dalam setiap gerak langkahnya selalu bertujuan
memperoleh ridho dari Yang Maha Kuasa.
2. Pendidikan Islam mempunyai misi membentuk kader-kader khalifah fil
ardl yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur, kuat jasmani
dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Diharapkan akan terbentuk muslim yang mampu mengemban tugas
sebagai pembawa kemakmuran di bumi dan “Rahmatan Lil Alamin“.
3. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai anggota masyarakat.
4. Kesimpulannya, bahwa didalam Surat Ali Imran ayat 138-139
mengandung perintah untuk melakukan persiapan, menyediakan segala
sesuatunya termasuk dengan tekad dan semangat yang benar, di samping
keteguhan hati dan tawakkal kepada Allah. Supaya kita bisa meraih
keberhasilan dan mendapatkan apa yang kita inginkan, seta dapat
mengembalikan kerugian atau kegagalan-kegagalan yang telah diderita.
5. Pada Surat Al Fath ayat 29 ini mengandung perintah untuk mewujudkan
rasa hormat dan rasa kasih sayang sesama manusia, menunjukkan bahwa
seorang hamba haruslah selalu sujud dan taubat kepada Allah Swt, serta
mengingatkan kepada manusia untuk selalu menyenangkan orang lain.
6. Al-Hajj (22) Ayat 41 Ayat ini menerangkan tentang keadaan orang-orang
yang diberikan kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi; yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu
wilayah dalam keadaan mereka yang merdeka niscaya mereka
melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat, dan sunnah-
sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadarnya. Serta
mereka menyuruh anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf serta
mencegah dari yang munkar.Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari
ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di manapun, dan

34
yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat beliau.
7. Hud 61 Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia telah mengutus seorang
utusan kepada kaum Samud namanya Saleh. Ia menyeru mereka supaya
hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan sembahan-sembahan yang
telah membawa mereka kepada jalan yang salah dan menyesatkan. Allahlah
yang menciptakan mereka dari tanah. Dari tanah itulah diciptakan-Nya Adam
a.s. dan dari itu pulalah asal mula semua manusia karena manusia dalam
rahim ibunya berasal dari air mani. Setetes air mani itu setelah membuahi
telur dalam rahim berkembang menjadi segumpal daging lalu membentuk
kerangka tubuh berupa tulang-tulang, dan tulang-tulang ini dibalut dengan
daging sehingga menjadi janin dalam rahim. Kemudian setelah sempurna
semua anggota badannya ia keluar sebagai bayi. Mani itu berasal dari
makanan yang dimakan manusia sedangkan makanan itu baik yang berupa
tumbuh-tumbuhan maupun berupa daging binatang semua berasal dari tanah
juga. Setelah manusia berkembang biak di atas bumi mereka diserahi Allah
tugas memakmurkannya sebagai anugerah dan karunia daripada-Nya. Dengan
karunia itu kaum Samud telah hidup senang bahkan mereka telah dapat pula
membuat rumah tempat berlindung.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah .Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 7. Kairo : Mu-assasah Daar al-Hilaal. 1994

Ashim, Muhammad,dkk. Tafsir Al-Wasith. Jakarta : Gema Insani, 2012.

Basyir,Hikmat,dkk. Tafsir Muyassar 1 Memahami Al-Qur’an dengan Terjemahan


dan Penafsiran Paling Muda. Jakarta : Darul Haq, 2016.

Ibrahim, M. Al-Hifnawi,dkk. Tafsir Al-Qurthubi. Cetakan 1 Jilid 12. Jakarta :


PUSTAKA AZZAM. 2009

Imam, Syaikh AL Qurtubi. Tafsir Al Qurtubi [16]. Jakarta : PUSTAKA AZZAM,


2009.

Jalaluddin, Al-Imam Muhammad. Tafsir Jalalain.Surabaya : Pustaka eLBA.


2010.

Quraish, M Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-


Qur’an.Cet.1,Vol.8 Jakarta : Lentera Hati, 2002.

Quraish, M Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-


Qur’an.Cet.1,Vol.5 Jakarta : Lentera Hati, 2002.

36

Anda mungkin juga menyukai