Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

Daftar isi................................................................................................................................ 1

Kata Pengantar ...................................................................................................................... 2

BAB I Pendahuluan .............................................................................................................. 3

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5
C. Tujuan masalah ......................................................................................................... 5

BAB II Kajian Pustaka.......................................................................................................... 6

A. Pendidikan Vokasi .................................................................................................... 6


B. Urgensi Pendidikan Kejuruan ................................................................................... 7
C. Kompetensi Yang Harus Dimiliki Guru Pendidikan kejuruan ................................. 8
D. Komunitas Ekonomi ASEAN ................................................................................. 11

BAB III Pembahasan .......................................................................................................... 13

A. Deskripsi Penelitian ................................................................................................ 13


B. Analisis Hasil Penelitian ......................................................................................... 13
C. Pembahasan............................................................................................................. 18

BAB IV Penutup ................................................................................................................. 19

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 19
B. Saran ....................................................................................................................... 19

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 20

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun.

Bandung, 25 Februari 2018

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan vokasi/kejuruan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
memainkan peran yang sangat strategis bagi terwujudnya tenaga kerja yang terampil.
Dari berbagai kajian bahwa peluang untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkelanjutan dari suatu negara akan semakin besar jika didukung oleh
SDM yang memiliki: (1) pengetahuan dan kemampuan dasar untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan dinamika perkembangan yang tengah berlangsung; (2) jenjang
pendidikan yang semakin tinggi; (3) keterampilan keahlian yang berlatar belakang
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); dan (4) kemampuan untuk menghasilkan
produk-produk baik dari kualitas maupun harga, mampu bersaing dengan produk-
produk lainnya di pasar global.
Berdasarkan data dari Badan Statistik Nasional (BPS) tahun 2011, terdapat
82,1 juta tenaga kerja Indonesia diisi kelompok unskill workers (pekerja yang tidak
punya skill atau kompetensi di bidangnya). Kelompok unskill workers ini mayoritas
adalah lulusan sekolah umum. Sedangkan kelompok di atasnya diisi skill workers
(pekerja dengan skill atau kompetensi dibidangnya) sebesar 20,4 juta orang. Serta
komposisi teratas merupakan pekerja expert (ahli) dengan 4,8 juta orang. Melihat
kondisi seperti ini Indonesia akan sulit bersaing dengan negara lain dalam era
globalisasi dan persaingan yang ketat sekarang saat ini maupun di masa yang akan
datang. Berdasarkan kenyataan tersebut, menjadi tanggung jawab dunia pendidikan
khususnya pendidikan vokasi untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten. Oleh
karena itu kompetensi yang akan dikembangkan melalui proses pembelajaran harus
merujuk pada kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri. Salah satu mata kuliah
di perguruan tinggi yang sangat penting dan strategis untuk pembentukan kompetensi
adalah mata kuliah praktik. Oleh sebab itu dipandang sangat penting untuk selalu
meningkatkan mutu proses pembelajaran praktik. Berdasarkan prasurvei yang telah
dilaksanakan di industri manufaktur, diperoleh informasi bahwa proses pembuatan
satu unit produk memerlukan kolaborasi (kerja sama) dari berbagai keterampilan
(collaborative skill). Tanpa kerja sama yang baik maka hasil akhir dari produk yang

3
diharapkan tidak dapat tercapai. Salah satu 2 upaya untuk menanamkan sikap dan
perilaku peserta didik terkait dengan kompetensi yang dituntut oleh dunia industri
tersebut adalah dengan mengembangkan model pembelajaran praktik melalui
pendekatan collaborative skill.
Di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menuntut seseorang dapat
menghadapi tantangan – tantangan pertumbuhan ekonomi global yang ada. Tantangan
tersebut menuntut warga Indonesia dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja
sehingga dapat bersaing di MEA nanti. Salah satunya yaitu Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). SMK merupakan pendidikan formal yang mempersiapkan
lulusannya dapat bekerja langsung di Dunia Usaha atau Dunia Industri (DU/DI).
Menurut Sutrisno (2013:1), Pendidikan Kejuruan sebagaimana dijelaskan dalam UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mempunyai tujuan menyiapkan peserta didik untuk
memasuki lapangan kerja. Untuk menunjang tujuan tersebut, dirancang Pendidikan
Sistem Ganda (PSG) sebagai perwujudan kebijaksanaan link and match. Pendidikan
Sistem Ganda merupakan kombinasi pembelajaran dan prakerin, bertujuan
membimbing peserta didik pada penguasaan kemampuan kerja tertentu agar menjadi
lulusan SMK yang berkemampuan relevan dengan kebutuhan masyarakat (Surachim,
2016:53).
Keberadaan SMK dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dirasa
kurang optimal. Belum semua lulusan SMK dapat bekerja sesuai dengan keahliannya.
Seperti yang tertera dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran
terbuka (TPT) pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang atau 5,5 %. Persentase
lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah yang menganggur sebesar 3,44%, lulusan SMP
sebesar 5,76%, lulusan SMA sebesar 6,95%, lulusan SMK sebesar 9,84%,lulusan
Diploma I/II/III sebesar 7,22%, lulusan Perguruan Tinggi sebesar 6,22%. Hal ini
dipengaruhi oleh dua kemungkinan yang menyebabkan lulusan SMK menjadi
penyumbang tertinggi pengangguran di Indonesia, pertama ketersediaan lapangan
kerja yang kurang banyak bagi lulusan SMK. Sedangkan yang kedua kompetensi
kejuruan yang dimiliki oleh SMK belum cocok dengan lapangan kerja yang tersedia.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan diatas maka penyaji
mengambil judul “Kesiapan Kompetensi Guru Sekolah Menengah Teknik Elektro di
Manado menuju Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2025”

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kompetensi yang harus dimiliki guru teknik kejuruan ?
2. Bagaimana gambaran kesiapan kompetensi guru teknik kejuruan SMK di Manado
terhadap Komunitas Ekonomi ASEAN ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru teknik
kejuruan.
2. Mengetahui bagaimana gambaran kesiapan kompetensi guru teknik kejuruan
SMK di Manado terhadap Komunitas Ekonomi ASEAN ?

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Vokasi
Banyak istilah terkait dengan pendidikan kejuruan antara lain, vocational
education, technical education, professional education, dan occupational education.
Huges sebagaimana dikutip oleh Soeharto (1988:1) mengemukakan vocational
education (pendidikan kejuruan) adalah pendidikan khusus yang program-programnya
atau materi pelajarannya dipilih untuk siapapun yang tertarik untuk mempersiapkan
diri bekerja sendiri, atau untuk bekerja sebagai bagian dari suatu grup kerja. Sejalan
dengan pendapat tersebut Evans sebagaimana dikutip Muliati (2007:7)
mengemukakan pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang
mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan
atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lain. Hamalik
(1990:24), mengemukakan pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan
bakat, pendidikan dasar keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada
dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan. Djohar (2007:1285)
mengemukakan pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan yang
menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja yang profesional. Ditegaskan
oleh Byram dan Wenrich (1956:50) bahwa “vocational education is teaching people
how to work effectively”. Secara lebih spesifik Wenrich sebagaimana dikutip
Soeharto (1988:2) mengemukakan pendidikan kejuruan adalah seluruh bentuk
pendidikan persiapan untuk bekerja yang dilakukan di sekolah menengah. Technical
education, menurut Roy W. Robert (dalam Soeharto, 1988:2) adalah pendidikan
kejuruan yang bidang keahliannya meliputi masalah teknik industri.
Dijelaskan pula bahwa pendidikan teknik yang dilaksanakan di berbagai
fakultas teknik di lingkungan perguruan tinggi tidak termasuk di dalamnya.
Berkenaan dengan istilah professional education, Wenrich (dalam Soeharto, 1988:2)
mengemukakan bahwa istilah ini terkait dengan pendidikan persiapan kerja yang
dilakukan di perguruan tinggi. Terkait dengan keragaman terminologi yang berkaitan
dengan pendidikan kejuruan, secara lebih moderat Wenrich dan Galloway (dalam
Sugiyono, 2003:11) mengemukakan. The term vocational education, technical

6
education, occupational education are used interchangeably. These terms may have
different connotations for some readers. However, all three terms refer to education
for work. Sejalan dengan Undang-undang Sistem pendidikan Nasional, pendidikan
vokasional di Indonesia terdiri atas tiga jenis, yaitu pendidikan kejuruan, vokasi dan
profesional. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk
memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara program
sarjana. Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Ketiga jenis
pendidikan tersebut tujuannya sama yaitu mempersiapkan peserta didik untuk bekerja
pada bidang tertentu.

B. Urgensi Pendidikan Kejuruan


Berdasarkan batasan pendidikan kejuruan telah nampak adanya tuntutan
pendidikan tersebut untuk mempersiapkan tenaga terampil tingkat menengah.
Keberadaan lembaga pendidikan yang mempersiapkan tenaga kerja ini, selaras
dengan tuntutan masyarakat akan adanya kerja. Soeharto (1988:3) mengemukakan
empat argumentasi teoretik tentang perlunya pendidikan kejuruan. Pertama, manusia
menuntut adanya pekerjaan karena adanya kebutuhan (need) perlunya aktivitas,
kebebasan, kekuasaan, pengakuan sosial dan rasa senang. Kedua, manusia terdorong
kerja karena tiga aspek yakni, material, bekerja sama, dan jatidiri (ego); Ketiga,
dorongan untuk bekerja karena psikologi, keamanan, rasa memiliki dan cinta,
kepentingan, respek pencapaian tujuan pembangunan nasional. Fungsi-fungsi itu
meliputi: (1) sosialisasi yaitu, transmisi dan konkritisasi nilai-nilai ekonomi,
solidaritas, religi, seni, dan jasa; (2) kontrol sosial yaitu, kontrol perilaku dengan
normanorma kerjasama, keteraturan, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, keterbukaan;
(3) seleksi dan alokasi yaitu, mempersiapkan, memilih, dan menempatkan calon
tenaga kerja sesuai dengan permintaan pasar kerja; (4) asimilasi dan konservasi
budaya yaitu, absorbsi antar budaya masyarakat serta pemeliharaan budaya lokal; (5)
mempromosikan perubahan demi perbaikan.
Pendidikan kejuruan tidak sekedar mendidik dan melatih keterampilan yang
ada, tetapi juga harus berfungsi sebagai pendorong perubahan. Pendidikan kejuruan
berfungsi sebagai proses akulturasi atau penyesuaian diri dengan perubahan dan

7
enkulturasi atau pembawa perubahan bagi masyarakat. Karenanya pendidikan
kejuruan tidak hanya adaptif tetapi juga harus antisipatif. Selain didasarkan kepada
fungsinya, urgensi pendidikan kejuruan dapat dikaji dari manfaatnya. Pendidikan
kejuruan menurut Sudira (2009) memiliki tiga manfaat utama yaitu: (1) bagi peserta
didik sebagai peningkatan kualitas diri, peningkatan peluang mendapatkan pekerjaan,
peningkatan peluang berwirausaha, peningkatan penghasilan, penyiapan bekal
pendidikan lebih lanjut, penyiapan diri bermasyarakat, berbangsa, bernegara,
penyesuaian diri terhadap perubahan dan lingkungan; (2) bagi dunia kerja dapat
memperoleh tenaga kerja berkualitas tinggi, meringankan biaya usaha, membantu
memajukan dan mengembangkan usaha; (3) bagi masyarakat dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, meningkatkan produktivitas nasional, meningkatkan
penghasilan negara, dan mengurangi pengangguran.

C. Kompetensi yang harus dimiliki Guru Pendidikan Kejuruan


Kompetensi apa yang harus dimiliki guru dan agar guru itu harus profesional?
Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan
yang terdiri atas standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan harus ditingkatkan secara berencana
dan berkala. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru haruslah orang
yang memiliki insting sebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik. Guru
harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus
memiliki sikap integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan
martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan
mutu pendidikan nasional. Guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah
peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa
pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Kompetensi guru

8
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 14 tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan
profesi. Keempat kompetensi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran, sekurang-kurangnya meliputi (1) pemahaman wawasan atau
landasan kependidikan, (2) pemahaman terhadap peserta didik, (3) pengembangan
kurikulum/silabus, (4) perancangan pembelajaran, (5) pelaksanaan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis, (6) pemanfaatan teknologi pembelajaran, (7) evaluasi
proses dan hasil belajar, dan (8) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup (1) berakhlak mulia, (2)
arif dan bijaksana, (3) mantap, (4) berwibawa, (5) stabil, (6) dewasa, (7) jujur, (8)
mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (9) secara objektif
mengevaluasi kinerja sendiri, dan (10) mengembangkan diri secara mandiri dan
berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat,
sekurang-kurangnya meliputi (1) berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat,
(2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional,(3)
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua/wali peserta didik, (4)
bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma
serta sistem nilai yang berlaku, dan (5) menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan
dan semangat kebersamaan.
4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai
pengetahuan bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang sekurang-kurang meliputi
penguasaan (1) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran
yang diampunya, dan (2) konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi,
atau seni yang relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran
yang diampu. silahkan baca selengkapnya disini Keempat kompetensi tersebut di
atas bersifat holistik dan integratif dalam kinerja guru. Oleh karena itu, secara
utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta didik secara

9
mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (diciplinary content)
maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (pedagogical content); (c)
penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut
untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d) pengembangan kepribadian dan
profesionalitas secara berkelanjutan.

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005


menyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;


2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan,
dan akhlak mulia;
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugas;
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan belajar sepanjang hayat;
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan; dan
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa
pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap
jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
guru berkewajiban: Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; Meningkatkan dan

10
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Bertindak objektif dan
tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan
kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta
didik dalam pembelajaran; Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan Memelihara dan
memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

D. Komunitas Ekonomi ASEAN


Lebih dari satu dekade lalu, para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah
pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Ini dilakukan
agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik
investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Pembentukan
pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini
nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke
negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang
atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara,
akuntan, dan lainnya. Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita
Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-
aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. "Pembatasan,
terutama dalam sektor tenaga kerja profesional, didorong untuk dihapuskan," katanya.
"Sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk
mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga
asingnya."
Ada lima karakteristik Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) 2025
yang saling terkait dan saling menguatkan, seperti: (i) Ekonomi yang sangat terpadu
dan kohesif; (ii) ASEAN yang kompetitif, inovatif dan dinamis; (iii) Peningkatan
konektivitas dan kerjasama sektoral; (iv) ASEAN yang tangguh, inklusif, berorientasi
pada orang, dan berpusat pada orang; dan (v) ASEAN global. Karakteristik ini
mendukung visi AEC sebagaimana dibayangkan dalam Visi Komunitas ASEAN
2025. Pasar umum yang diluncurkan di AEC adalah kebebasan faktor produksi
mengalir bebas antar negara, seperti modal dan tenaga kerja (Yudhawirawan, 2017).

11
Tangkitvanich dan Rattanakhamfu (2017) mengatakan bahwa ASEAN telah mencapai
sangat sedikit dalam hal mempromosikan pergerakan buruh lintas batas. Pembukaan
pasar tenaga kerja tidak terampil melalui Free Trade Area (FTA) akan menjadi pilihan
kebijakan yang berguna, mengingat kelimpahan tenaga kerja tidak terampil di banyak
negara ASEAN, namun cetak biru AEC mencoba hanya memfasilitasi mobilitas para
profesional terampil, yang saat ini hanya terdiri dari delapan profesi Namun,
pengelolaan para profesional ini juga bermasalah.
Kesiapan Indonesia sangat dibutuhkan untuk menghadapi AEC jika tidak
ingin Indonesia menjadi pasar negara ASEAN lainnya (Prasetyo, 2015). Selain itu,
pasar bebas komoditas dan jasa akan mengakibatkan pekerja asing mudah masuk dan
bekerja di Indonesia sehingga persaingan kerja semakin ketat di bidang
ketenagakerjaan. Wuryandani (2014) dan Setuju (2015) menyatakan bahwa salah satu
isu unggulan terkait pelaksanaan AEC adalah kesiapan sumber daya manusia yang
handal dan kompeten. Strategi implementasi untuk meningkatkan daya saing nasional
dan pertemuan AEC, yaitu: pengembangan tenaga kerja melalui peningkatan daya
saing, kompetensi, dan produktivitas (Kresna, 2015). Untuk itu, guru SMK,
khususnya teknik elektro, diharuskan memiliki kompetensi yang bisa menghasilkan
lulusan yang tidak diragukan lagi. Jika guru memiliki kompetensi yang tidak
diragukan lagi maka memungkinkan mahasiswa pascasarjana untuk bersaing dengan
tenaga kerja negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Seorang guru dikatakan
kompeten saat mendominasi empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis,
kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (Peraturan
Republik Indonesia No. 14, 2005, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19,
2005). Keempat kompetensi tersebut tidak independen, namun saling berhubungan
dan saling mempengaruhi satu sama lain dan memiliki hubungan hierarkis, yang
berarti keduanya saling bergantung satu sama lain-satu kompetensi yang mendasari
yang lain (Saud, 2009)

12
BAB III

PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian
Menurut Emzir, pendekatan Mixed Methods merupakan salah satu pendekatan
yang cenderung didasarkan pada paradigma pengetahuan pragmatik (seperti oerientasi
konsekuensi, orientasi masalah, dan pluralistik). Pendekatan ini menggunakan strategi
penelitian yang melibatkan pengumpulan data baik secara simultan maupun secara
sequensial untuk memahami masalah penelitian sebaik-baiknya. Pendekatan Mixed
Methods disebut juga sebagai Penelitian gabungan. Berorientasi pada tindakan dengan
menggunakan baik metode kuantitatif maupun metode kualitatif dalam proses
pelaksanaan suatu penelitian yang sama.
Pendekatan studi yang beirisi Pendekatan kuantitatif dan kualitatif digunakan
untuk mencapai tujuan penelitian ini. Periset sebagai alat utama dalam penyaringan
data dan dianalisis secara induktif yang dinilai akurat untuk mencari data yang
dibutuhkan. Pengumpulan data kompetensi guru teknik SMK SMK di Manado
membutuhkan informasi sebanyak mungkin. Setiap informasi yang diberikan oleh
subjek studi belum menjadi kesimpulan namun masih merupakan hipotesis kerja
untuk menemukan pertanyaan baru yang akan menjadi pedoman dalam wawancara
atau observasi berikutnya. Subjek penelitian ini terdiri dari 46 guru teknik elektro
SMK di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia. Ada empat instrumen untuk
mengumpulkan data. Instrumen yang dibentuk oleh kuesioner skala Likert terdiri dari
lima alternatif jawaban per item. Kuesioner terdiri dari item positif dan negatif dengan
angka terendah dan skor tertinggi adalah lima. Untuk item positif dijawab sangat
setuju diberi skor lima, disepakati skor empat, tidak dipikirkan skor tiga, tidak setuju
skor dua, dan sangat tidak setuju dengan skor satu. Untuk item negatif adalah
pembalikan item skor positif.

B. Analisis Hasil Penelitian


Seluruh data dianalisis secara statistik dengan menggunakan program aplikasi
SPSS 17 untuk pencapaian tujuan penelitian ini. Dimulai dari pembuatan seperti:
analisis instrumen, skor maksimum dan minimum, rata-rata, standar deviasi, varians,

13
dan final, kami melakukan distribusi frekuensi untuk keputusan dalam menjawab
studi ini bermasalah. Hasil analisis data ditunjukkan pada Tabel 1-5. Tabel 1
menunjukkan hasil yang ditunjukkan seperti: skor maksimum dan minimum, rata-rata,
standar penyimpangan, varian, modus, dan median. Kita dapat melihat bahwa
perbedaan nilai antara kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dengan yang
lain kecil.

Tabel 1. Hasil Analisis Statistik oleh Data Kuisioner kepada Guru Sekolah
Menengah Teknik Elektro di Manado mengenai Kompetensi Terdiri Pedagogical
(X1), Profesional (X2), Kepribadian (X3), dan Sosial (X4)

No Values X1 X2 X3 X4

1 Maximum 796 632 347 372

2 Minimum 294 215 156 148

3 Average 520.5 420 251 256.8

Deviation
4 standard 160 119 58 63

5 Variant 25600 14161 3364 3969

6 Modus 626.7 490 170 320

7 Median 529 519 255 320

Tabel 2 menunjukkan bahwa ada 13,04% atau 6 guru yang menunjukkan


kemampuan pedagogis yang baik, 24 guru (52,18%) menunjukkan cukup, dan kurang
dari 16 guru (34,78%). Arti bahwa guru perlu meningkatkan kompetensi seperti
menguasai karakteristik peserta didik, menguasai teori dan prinsip belajar,
mengembangkan kurikulum / merancang pembelajaran, mengorganisir pembelajaran
pendidikan, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran, memfasilitasi pengembangan peserta didik potensial, berkomunikasi
empatik dan sopan secara efektif dengan peserta mendidik, mengatur dan
memanfaatkan evaluasi, dan mengambil tindakan refleksi. Perbaikan melalui
pelatihan in-house (IHT), kursus singkat, studi lanjut, lokakarya belajar, program

14
magang, penelitian dan pengabdian masyarakat, penulisan buku teks, dan pembuatan
media pembelajaran. Febrianis dkk (2014) menyarankan IHT, pelatihan khusus, dan
kursus singkat sebagai metode pelatihan yang efektif untuk meningkatkan kompetensi
pedagogis guru ilmu alam. Juga, Syahruddin et al (2013) menjelaskan bahwa
kompetensi pedagogis guru melalui pembelajaran mandiri, lokakarya, studi lebih
lanjut, dan diskusi kelompok.
Tabel 2. Frekuensi Relatif terhadap Guru Sekolah Menengah Kejuruan Teknik
Elektro di Manado pada Kompetensi Pedagogis (X1)

Class Absolute Relative


No interval frequency frequency (%)

-
1 161 280 0 0.00

-
2 281 400 16 34.78

-
3 401 520 6 13.05

-
4 521 640 18 39.13

-
5 641 760 6 13.04

-
6 761 880 0 0.00

Tot
al 46 100

Tabel 3. Frekuensi Relatif terhadap Guru Besar SMK Teknik Elektro di


Manado pada Kompetensi Profesional (X2)

No
Class Absolute Relative

15
interval frequency frequency (%)

-
1 64 182 0 0.00

18
2 3 - 301 8 17.39

30
3 2 - 420 18 39.14

42
4 1 - 539 11 23.91

54
5 0 - 658 9 19.56

65
6 9 - 777 0 0.00

Tot
al 46 100,

Tabel 3 menunjukkan bahwa ada 19,56% atau 9 guru yang menunjukkan


kompetensi profesional, 29 guru (63,05%) menunjukkan cukup, dan kurang dari 8
guru (34,78%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi profesional masih
perlu ditingkatkan melalui pentingnya kompetensi profesional, menguasai materi,
konsep struktur dan pola pikir ilmiah, menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi dalam meningkatkan efektifitas pembelajaran, memanfaatkan tujuan
untuk memperbaiki kualitas belajar, menguasai filsafat, metodologi, teknis, dan
praktis, pengembangan diri dan kinerja profesional, serta meningkatkan kinerja dan
komitmen pelayanan masyarakat. Untuk meningkatkan kompetensi itu, kita harus
melakukan: pelatihan di institusi dan industri, kemitraan sekolah, program magang,
pelatihan bertahap dan khusus, lokakarya dalam pembelajaran dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian masyarakat, penciptaan teknologi dan seni. Oluremi (2015)
menemukan bahwa strategi untuk meningkatkan kompetensi profesional, harus
dilakukan oleh Pemerintah dan Organisasi Guru. Pemerintah harus memperbaiki guru

16
profesional penuh melalui Sertifikat Pendidikan, Diploma Pasca Sarjana Diploma
Nasional atau gelar Bachelor di bidang pendidikan. Organisasi guru harus
mengembangkan profesional seperti pengajaran, kode etik, budaya dan menahan diri
dari nilai-nilai yang tidak etis, kooperatif dengan pemerintah terhadap program
pengembangan staf seperti pendidikan in-service, pelatihan di tempat kerja,
lokakarya, seminar, konferensi, dan program liburan untuk guru.
Ada 19,56% atau 9 guru yang menunjukkan kompetensi kepribadian yang
baik, 27 guru (58,70%) menunjukkan cukup, dan miskin 10 guru (21,74%). Hasilnya
masih jauh dari harapan, jadi kita perlu memperbaiki aspek seperti: pendidik yang
bersemangat dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, jujur, mulia, dan patut
dicontoh, dewasa, stabil, dan berwibawa, memiliki etika kerja, tanggung jawab , dan
kepercayaan diri. Kegiatannya bisa dilakukan sebagai berikut: pembinaan mental dan
spiritual dari kepala sekolah (pembinaan internal dan kegiatan keagamaan), IHT,
kemitraan sekolah, program magang, dan pembahasan isu pendidikan. Pengaruh nilai
kepribadian pengaruh utama terhadap sikap kerja, kualitas kerja, dan komunikasi
kerja guru di sekolah (Settaraming et al, 2012, Settaraming dan Rahman, 2014, Asri
dan Tahir, 2015).
Tabel 4. Frekuensi Relatif terhadap Guru Besar SMK Teknik Elektro di
Manado pada Kompetensi Kepribadian (X3)

Class Absolute Relative


No interval frequency frequency (%)

1 78 - 135 0 0.00

13
2 6 - 193 10 21.74

19
3 4 - 251 12 26.09

25
4 2 - 309 15 32.61

5 - 367 9 19.56
31

17
0

36
6 8 - 425 0 0.00

Tot
al 46 100

Tabel 5. Frekuensi Relatif terhadap Guru Sekolah Menengah Kejuruan Teknik


Elektro di Manado mengenai Kompetensi Sosial (X4)

Class Absolute Relative


No interval frequency frequency (%)

-
1 69 131 0 0.00

-
2 132 194 9 19.56

-
3 195 257 14 30.44

-
4 258 320 14 30.44

-
5 321 383 9 19.56

-
6 384 446 0 0.00

Tot
al 46 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa 19,56% atau 9 guru dalam kompetensi sosial


terlihat baik, 28 guru (60,66%) menunjukkan cukup, dan 9 guru (19,56%)
menunjukkan angka yang kurang. Para guru terlihat kurang memiliki aspek seperti:
berperilaku dan bertindak secara obyektif, beradaptasi dengan lingkungan,

18
berkomunikasi secara efektif, dan empatik dan sopan dalam berkomunikasi. Aspek
perlu ditingkatkan melalui kegiatan seperti IHT, pelatihan di institusi dan industri,
kemitraan sekolah, program magang, pembelajaran terbuka dan jarak jauh (ODL),
pelatihan bertahap dan khusus, lokakarya dalam komunikasi, pembinaan mental dan
spiritual dari kepala sekolah (pembinaan internal dan agama kegiatan), diskusi isu
pendidikan, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Huda (2015)
menyimpulkan bahwa ODL dapat meningkatkan kompetensi sosial penyuluh
pertanian.

C. Pembahasan
Berdasarkan hasil pada tabel 3-5 masih jauh dari fokus cetak biru komunitas
ASEAN pada tahun 2025, sehingga guru teknik elektro SMK di Manado perlu
ditingkatkan melalui program IHT, magang, kemitraan sekolah, pembelajaran terbuka
dan jarak jauh, pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus, kursus singkat di institusi
pendidikan, pembinaan internal oleh sekolah, diskusi tentang isu pendidikan,
lokakarya, penelitian dan pengabdian masyarakat, penulisan buku teks, pembuatan
media pembelajaran, dan penciptaan teknologi dan seni.

19
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa kesiapan kompetensi
guru teknik elektro SMK seperti: pedagogis, profesional, kepribadian, dan sosial
masing-masing 13,04%, 19,56%, 19,56%, dan 19,56%. Hasilnya masih jauh dari
fokus komunitas ekonomi ASEAN, jadi mereka perlu ditingkatkan melalui pelatihan
in-house, program magang, kemitraan sekolah, pembelajaran terbuka dan jarak jauh,
pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus, kursus singkat di institusi pendidikan,
internal pembinaan oleh sekolah, diskusi tentang isu pendidikan, lokakarya, penelitian
dan pengabdian masyarakat, penulisan buku teks, pembuatan media pembelajaran,
dan penciptaan teknologi dan seni.

B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Asri, M. and Tahir, L.M. (2015). The Effect of Personality Value of Principals toward
Attitude, Discipline and Communications of Work. Journal of Education and
Learning, 9(1), 61-70.

Febrianis, I., Muljono, P., and Susanto, D. (2014). Pedagogical Competence-based


Training Needs Analysis for Natural Science Teachers. Journal of Education and
Learning, 8(2), 144-151.

Huda, N. (2015). Open and Distance Learning (ODL) and Agricultural Extention
Workers’ Social Competence in Indonesia. Journal of Education and Learning, 9(1),
17-24.

Indonesian Republic Regulations No. 14. (2005) on Teacher and Lecturer.

Indonesian Republic Government Regulation No. 19. (2005) on Educational National


Standard.

Kresna, R.H. (2015). Inovasi Govermental Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean


2015. Malang: Bupati Malang.

Tasiam F, Kustono D, Purnomo, Elmunsya H. (2017). Journal of Education and


Learning. Vol. 11 (3) pp. 337-342

Oluremi, F.D. (2015). Professionalization of Teaching in Nigeria: Strategies,


Prospects and Challenges.

Journal of Education and Learning, 9(3), 190-196.

Prasetyo, B. (2015). Menilik Kesiapan Dunia Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi


MEA. Jurnal Rechts Vinding, 1(1), 5.

Saud, Saefudin, U. (2009). Pengembangan Profesi Guru. Bandung: CV.Alfabeta.

Settaraming, Rahman, M.A.A., and Tahir, L.M. (2012). The New Role of Principals
in Improving Teachers’ Personal Mastery at Schools in Indonesia. Journal of
Education and Learning, 6(2), 73-80.

21
Settaraming and Rahman, M.A.A. (2014). The Relationship between Personal
Mastery and Teachers’ Competencies at Schools in Indonesia. Journal of Education
and Learning, 8(3), 217-226.

Setuju. (2015). Penguatan Karakter Mahasiswa Dalam Menghadapi Masyarakat


Ekonomi Asean. PTM.

UST. Syahruddin, Ernawati, A., Ede, M.N., Rahman, M.A.B.A., Sihes, A.J.B., and
Daud, K. (2013). Teachers’ Pedagogical Competence in School-Based Management:
A Case Study in a Public Secondary School at Pare-Pare, Indonesia. Journal of
Education and Learning, 7(4), 213-218.

Tangkitvanich and Rattanakhamfu (2017). Assessing the ASEAN Economic


Community. Available on http://www.eastasiaforum.org/2017/03/21/assessing-the-
asean-economic-community/. Accessed on 20 May 2017.

Wuryandani, D. (2014). Peluang dan Tantangan SDM Indonesia Menyongsong Era


Masyarakat Ekonomi Asean. Info Singka Ekonomi dan Kebijakan Publik, VI, 13-16.

Yudhawirawan. (2017). ASEAN Way : Lompatan Fase Teori Integrasi Ekonomi pada
ASEAN Economic Community. Available on http://pssat.ugm.ac.id/2017/01/24/asean-
way-lompatan-fase-teori-integrasi-ekonomi-pada-asean-economic-community/.
Accessed on 15 May 2017.

22
23

Anda mungkin juga menyukai