Mengapa sulit dicapai ketika itu ? jelaskan kendala yang dihadapi pada orde itu !
2. Hitunglah jumlah Pangan, berdasarkan jumlah penduduk. Pilih salah satu komoditi pangan dan
gambarkan kondisi real ketika Suppy=Demand !
3. Optimiskah anda bila Swasembada Beras bisa tercapai sejalan dengan cita-cita Jokowi
(Presiden RI) ?
JAWAB
1. Definisi sesuai zaman masing-masing :
a. Swasembada beras menjadi isu yang sangat penting dalam masa Orde Baru, karena ia
merupakan prestasi di masa itu. Hal yang menarik adalah mengapa setelah turunnya
Soeharto, Indonesia kini kembali lagi menjadi pengimpor beras dunia dan bahkan
masuk sebagai empat besar Negara pengimpor beras di dunia. Ini mengindikasikan
bahwa Soeharto benar-benar berperan langsung untuk mewujudkan hal tersebut. Hal
inilah yang kemudian akan saya bahas dalam essay ini. Dalam essay ini saya akan
membahas apa yang dilakukan oleh soeharto terkait dengan pencapaian swasembada
pangan melalui studi dari beberapa literatur yang saya temukan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Soeharto tidak main main dengan targetnya. Dalam
mengupayakan tujuan tersebut bisa dicapai, di dalam pedoman Repelita bahkan di-
breakdown hasil pertanian apa saja yang ingin ditingkatkan dan bagaimana langkah-
langkah strategis untuk mewujudkannya. Pembangunan sektor pertanian ini merupakan
wujud dari Revolusi Agraria di Indonesia yang ditempuh melalui empat langkah, yaitu
intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi pertanian. Beras sendiri,
seperti sudah disebutkan tadi, menjadi komoditas yang menjadi focus utama di Pelita I.
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras, antara lain melalui
pembuatan dan perbaikan sarana irigasi di berbagai daerah persawahan, pemberian
modal bagi masyarakat petani, penelitian dan penggunaan bibit unggul, serta
modernisasi pertanian melalui teknologi.
Kendala : tak jarang terjadi di lapangan, metode ini dirasakan menjadi semacam
pemaksaan dari penguasa kepada rakyatnya. Dalam kepemimpinannya, Soeharto sering
menggunakan kekerasan sebagai alat untuk memecahkan masalah. Berbagai kasus
sengketa agraria sepanjang berkuasanya rezim Orde Baru, penyelesaiannya selalu
dengan pola kekerasan, lalu pihak pemerintah selalu cenderung berpihak pada kekuatan
modal. Hal ini menjadi kenyataan yang terjadi pada masa Orde Baru, apabila terdapat
kelompok masyarakat yang menolak gagasan pembangunan ataupun melakukan
perlawanan, security approach pun dilakukan, dengan segera kelompok tersebut
mendapat tuduhan anti pembangunan, melawan negara, PKI, anti Pancasila dan sederet
stigma politik lainnya.
Source : https://www.kompasiana.com/nisarangkuti/swasembada-beras-pada-masa-
orde-baru-sebuah-perspektif-dari-sisi-enforcement-
negara_5500ae248133116619fa7b90
b. Konsep Dasar Ketahanan Pangan dan Pentingnya Upaya Penguatan Ketahanan Pangan
Ketika pertama kali dikenalkan dalam konferensi pangan dunia tahun 1974, konsep
dasar ketahanan pangan dimaknai sebagai: situasi dimana terdapat ketersediaan pangan
yang cukup dan dengan harga yang stabil sepanjang waktu. Ketersediaan pangan yang
cukup diartikan sebagai situasi dimana jumlah bahan pangan yang dibutuhkan oleh
seluruh penduduk tersedia cukup baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas.
Harga pangan yang stabil diartikan sebagai situasi dimana harga pangan tidak
mengalami kenaikan yang berarti sepanjang waktu. Pengertian ini menempatkan
penyediaan pangan dan stabilisasi harga sebagai dua pilar utama strategi penguatan
ketahanan pangan di banyak negara, termasuk di Indonesia, dalam periode 1970-an.
Ketahanan pangan adalah misi setiap negara. Ini karena akses terhadap pangan
merupakan hak azasi manusia yang harus dijamin negara. Di samping itu, terdapat
sedikitnya tiga alasan lain dari pentingnya upaya penguatan ketahanan pangan.
Pertama, penguatan ketahanan pangan berarti meningkatkan akses masyarakat miskin
terhadap pangan sehingga mereka dapat hidup produktif untuk dapat meningkatkan
status kehidupan ekonominya. Ini sejalan dengan tujuan pembangunan Abad 21:
pengurangan jumlah orang miskin dan kelaparan. Kedua, penguatan ketahanan pangan
diperlukan dalam rangka menyediakan sumberdaya manusia sehat dan berkualitas
untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing nasional. Ketiga, penguatan
ketahanan pangan juga meningkatkan keamanan nasional. Tersedianya akses terhadap
pangan yang cukup bagi semua dapat mencegah terjadinya permasalahan-permasalahan
kerawanan sosial di masyarakat yang dipicu oleh situasi kerawanan pangan.]
Berdasarkan pada konsep dasar ketahanan pangan di atas, aspek strategis dalam
ketahanan pangan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: ketersediaan, stabilitas, akses
dan penggunaan pangan. Ketersediaan pangan dan stabilitas merupakan aspek
ketahanan pangan di tingkat makro sedangkan akses pangan dan penggunaan pangan
adalah aspek ketahanan pangan di tingkat mikro. Terpenuhinya kondisi masing-masing
aspek ini secara simultan adalah syarat multak untuk ketahanan pangan yang mantap
dapat terwujud.
Ketersediaan pangan memiliki dua sisi, yaitu: sisi pasokan pangan dan sisi kebutuhan
pangan penduduk. Pada sisi pasokan, ketersediaan pangan terkait dengan kapasitas
produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. Tergantung pada kapasitas produksi
yang dimilikinya, sumber pasokan pangan suatu negara dapat bersumber dari roduksi
domestik, impor atau kombinasi produksi domestik dan impor. Kapasitas produksi
pangan merupakan fungsi gabungan serangkaian faktor, meliputi: luas lahan,
agroklimat, infrastruktur, dan teknologi. Semakin besar kapasitas produksi pangan yang
dimiliki semakin kecil ketergantungannya pada sumber impor atau bahkan tidak
bergantung sama sekali (Swasembada). Kondisi ideal terjadi pada negara yang
memiliki kapasitas produksi yang memadai kebutuhan seluruh penduduknya dan juga
memiliki ketahanan pangan yang mantap, seperti di Amerika Serikat, Australia dan
Brunei. Namun, tidaklah berarti bahwa sebuah negara dengan kapasitas produksi
pangan cukup akan otomatis juga memiliki ketahanan pangan yang mantap, seperti di
Indonesia, Philipina dan Myanmar. Ini dimungkinkan karena negara dimaksud masih
memiliki kelemahan pada aspek-aspek ketahanan pangan selain ketersediaan pangan.
Sistim produksi pangan tersusun atas unit-unit usahatani dimana para petani
membudidayakan tanaman dan atau hewan untuk memproduksi bahan pangan yang
bersifat musiman dan spesifik lokasi. Faktor lokasi adalah penting kerena proses
produksi pangan umumnya juga membutuhkan kondisi lingkungan alamiah (seperti
tanah, air, dan sinar matahari) yang mendukung, disamping menggunakan sarana
produksi (seperti benih/bibit, pupuk dan bahan kimia lainnya). Sebagai pengelola
usahatani, para petani dapat mengendalikan jumlah dan kualitas sarana produksi yang
digunakan dalam proses produksi pangannya, tapi mereka umumnya tidak dapat
mengendalikan faktor kondisi lingkungan alamiah usahatani pangannya. Sebagai
akibat, produktivitas pangan cenderung bervariasi antar musim (waktu) dan lokasi.
Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang stabil memerlukan sistim manajemen
logistik dan distribusi pangan yang dapat secara efektif dan efisien menselaraskan
disparitas produksi dan konsumsi pangan antar waktu dan tempat. Untuk menjamin
stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, The ASEAN Food Security
Information and Training Center menyarankan rasio cadangan pangan terhadap
kebutuhan domestik minimal sebesar 20 persen untuk menstabilkan ketersediaan
pangan sepanjang tahun.
Ketersediaan pangan yang cukup dan stabil lintas waktu dan wilayah saja belumlah
dapat menjamin bahwa setiap orang akan memperoleh pangan yang dibutuhkannya.
Jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan seorang acapkali bervariasi antara satu
dan lainnya, sesuai dengan selera, perilaku makan, budaya, kepercayaan, dan agama.
Ada yang suka makan nasi, gandum, jagung ataupun ubi sebagai makanan pokok. Ada
makan sebanyak 3x sehari dan ada yang 2x sehari. Ada yang makan dalam jumlah
banyak saat makan siang dan ada yang saat malam hari. Sementara itu, kemampuan
seseorang untuk memproleh makanan yang dibutuhkannya dipengaruhi oleh kapasitas
ekonomis dan sosialnya, disamping ketersediaan pangan itu sendiri di dalam wilayah
jangkauan fisiknya.
Pada masa sekarang, dimana bahan pangan merupakan komoditas ekonomis dan
kebanyakan orang tidak memproduksi sendiri bahan pangan yang dibutuhkannya,
seseorang yang tidak memiliki daya beli umumnya akan menghadapi kesulitan untuk
memproleh bahan pangan yang dibutuhkannya. Pada masyarakat tertentu masih
terdapat nilai sosial dimana penyuguhan pangan diutamakan pada anggota keluarga
yang produktif, lelaki, ataupun yang terhormat. Dalam masyarakat demikian dan bila
persediaan pangan keluarga terbatas maka anggota keluarga yang tidak produktif,
wanita dan anak akan memproleh makanan yang kurang dari cukup Upaya penguatan
ketahanan pangan, karenanya; perlu memperhatikan hal-hal terkait dengan aspek akses
penduduk terhadap pangan berikut: aksesibilitas secara fisik, aksesibilitas secara
ekonomis, aksesibilitas secara sosial, selera makan, tingkah laku makan, budaya
makan, serta nilai-nilai kepercayaan dan agama terkait dengan makanan.
Terdapat beberapa indikator makro dan mirko yang menyatakan bahwa ketahanan
pangan Indonesia masih belum mantap. Rata-rata rasio cadangan pangan terhadap
penggunaan dalam negeri Indonesia baru mencapai 4.38, jauh dibawah standar yang
minimal sebesar 20 persen. Swasembada pangan (beras) hanya tercapai 2 x kali (tahun
1984 dan 2008) dalam periode 30 tahun terakhir. Sementara itu peluang pemenuhan
defisit cadangan pangan dari impor diperkirakan menurun seiring dengan penurunan
produksi global sebagai akibat perubahan iklim global. Rata-rata asupan gizi penduduk
berada di bawah standar anjuran ( dengan skor pola pangan harapan 83.1 tahun 2007).
Terdapat indikasi bahwa tingkat keamanan pangan masih rendah dan kerawanan
pangan dengan terjadinya insiden keracunan makanan dan kasus gizi kurang di
beberapa tempat seperti NTB dan NTT.
Pola konsumsi pangan penduduk Indonesia didominasi oleh beras. Data SUSENAS
2008 menunjukkan bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia saat ini adalah sekitar
107.8 kg/kapita/tahun. Dari jumlah
itu yang langsung dari beras dimaksak (nasi) adalah sekitar 88 persen. Sisanya adalah
beras dalam bentuk tepung, makanan olahan, beras ketan, dan sebagainya. Lebih dari
setengah dari asupan energi dan hampir setengah dari asupan protein penduduk
Indonesia bersumber dari konsumsi beras. Ketergantungan yang berlebihan pada satu
jenis komoditas adalah rawan dan keliru, baik dipandang dari sisi produksi maupun dari
sisi konsumsi. Dari sisi produksi, kerawanan disebabkan oleh daya dukung faktor-
faktor kapasitas produksi yang semakin terbatas, seperti: luas lahan sawah beririgasi,
ketersediaan air irigasi, dan teknologi berdaya hasil tinggi. Dari sisi konsumsi,
ketergantungan pada pangan beras tersebut mengurangi spektrum pilihan komoditas
yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk pangan. Padahal sebagai negara yang berada
di dalam wilayah tropis, Indonesia memiliki daya dukung pangan alamiah yang relatif
kaya. Upaya mendorong diversifikasi pangan telah mulai dilakukan (Perpres No. 22
Tahun 2009) namun perkembangannya masih jauh dari harapan.
Urbanisani dan kemiskinan perkotaan yang tinggi menuntut harga pangan murah tapi
menekan pendapatan petani produsen
Angka kemiskinan yang tinggi (di atas) dan tingkat urbanisasi yang cepat dalam
sepuluh tahun terakhir mengharuskan pemerintah Indonesia untuk sedapat mungkin
mengendalikan harga pangan (beras) yang rendah demi menjaga ketahanan pangan
nasional. Mekanisme yang ditempuh, diantaranya adalah dengan memberikan subsidi
harga pupuk dan bibit kepada petani produsen, menetapkan harga dasar gabah, dan
melakukan operasi pasar beras. Namun, harga pangan yang stabil murah ini pada
gilirannya akan menekan pendapatan relatif petani produsen pada tingkat yang rendah
mengingat rata-rata luas unit usahatani per petani sempit dan nilai tukar petani yang
cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Situasi ini dapat mengurangi insentif petani
produsen untuk menggunakan sumberdayanya secara maksimal untuk memproduksi
padi.
Source : https://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/04/30/ketahanan-
pangan%E2%80%9D/
Kendala : Setidaknya ada enam masalah di bidang pangan Indonesia yang harus
menjadi perhatian pemerintah dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan.
Pertama, kata Arifin (Pimpinan Medco Group Arifin) adalah produksi padi masih harus
ditingkatkan karena pada 2010 produksi gabah kering giling nasional hanya 66,47 juta
ton kemudian mengalami penurunan kembali pada 2011 menjadi 65,74 juta ton.
Kemudian yang kedua, konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.
Menurut Arifin, luas lahan sawah di Indonesia mengalami peningkatan dalam tiga
tahun belakangan dengan rincian pada 2012 luas lahan sawah di Indonesia mencapai
13,44 juta hektare, pada 2013 bertambah menjadi 13,83 juta hektare dan pada tahun
lalu mencapai 13,77 juta hektare.
Selanjutnya, masalah ketiga adalah perubahan cuaca atau "climate change" yang sering
membuat jadwal panen berubah.
Masalah keempat, kata Arifin menyangkut infrastruktur dan sumber daya pertanian
yang belum optimal.
"Jumlah waduk yang ideal di Indonesia adalah 100 waduk. Pemerintah Indonesia
sendiri tengah menargetkan pembangunan 49 waduk dalam lima tahun mendatang,"
tuturnya.
Masalah yang kelima adalah menajemen pasokan dan tata niaga pangan.
"Pada 2011, saat produksi nasional menurun, Indonesia pernah melakukan impor beras
hingga 2,7 juta ton dan saat 2012 mencapai 1,9 juta ton tetapi untungnya pada 2014 lalu
impor beras sudah menurun, hanya sekitar 176 ribu ton," tuturnya.
Source : https://jambi.antaranews.com/berita/306266/masalah-kemandirian-
pangan-di-indonesia
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi
pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan
perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Terdapat tujuh
prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah:
Pembaruan Agraria;
1) Adanya hak akses rakyat terhadap pangan;
2) Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan;
3) Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan;
4) Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi;
5) Melarang penggunaan pangan sebagai senjata;
6) Pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Source : http://www.spi.or.id/isu-utama/kedaulatan-pangan/
Tak berhenti di situ, Indonesia menurutnya juga masih menghadapi kendala benih.
Benih yang dipakai petani menjadi faktor rendahnya produktifitas pertanian di
Indonesia.
Dia memaparkan, benih IR64 yang dibuat pada tahun 1986 masih digunakan petani di
Jawa Timur sebanyak 15,34 persen, sedangkan benih Inpari 13 dibuat pada tahun 2009
hanya digunakan sebanyak 3,29 persen. Sedangkan benih padi IR42 yang dibuat tahun
1980 masih digunakan petani di Sumatera Barat sebesar 18,25 persen. Dia mengakui,
penyediaan bibit atau benih di Indonesia tidaklah mudah. Saat ini, lebih dari setengah
kebutuhan benih Indonesia harus dipasok dari impor. Penyediaan benih sejak tahap
penelitian hingga siap pakai memang butuh waktu tidak singkat.
Source : https://www.merdeka.com/uang/sederet-kendala-wujudkan-kedaulatan-
pangan-di-indonesia.html
2. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementrian Pertanian
sebagaimana Laporan Tahunannya pada 2016 tersebut terbukti telah memberikan
dampak yang sangat positif, antara lain: (1) produksi padi tahun 2016 sebesar 79,1 juta
ton GKG atau naik 4,97% dari tahun 2015 sebesar 75,4 juta ton, (2) produksi jagung
tahun 2016 sebesar 23,2 juta ton atau naik 18,10% dari tahun 2015 sebesar 19,6 juta
ton, (3) produksi bawang merah sebesar 1,3 juta ton atau naik 5,74% dari tahun 2015
sebesar 1,2 juta ton, (4) produksi aneka cabai sebesar 2,1 juta ton atau naik 9,95% dari
tahun 2015 sebesar 1,9 juta ton, (5) impor jagung turun sebanyak 66,6% (3,22 juta ton
tahun 2015 menjadi 1,07 juta ton tahun 2016), (6) impor bawang merah turun sebanyak
93,2% (17,43 juta ton tahun 2015 menjadi 1,19 juta ton tahun 2016), dan (7) impor
beras medium turun 100% (1,15 juta ton tahun 2015 menjadi nol di tahun 2016), (8)
Nilai Tukar Petani (NTP) naik 0,06% (101,59 tahun 2015 menjadi 101,66 tahun 2016),
(8) Nilai Tukar Usaha Pertanian naik 2,31% (107,45 tahun 2015 menjadi 109,93 tahun
2016), dan (9) jumlah penduduk miskin turun 1,51% (17,94 juta jiwa tahun 2015
menjadi 17,67 juta jiwa tahun 2016).
Secara sederhana untuk menentukan Real Demand ialah sebagai berikut : Total
Produksi salah satu komoditi yaitu Beras pada tahun 2016 sebanyak 79,1 Ton Gabah
Kering Giling (GKG) dibagi dengan total Penduduk Negara Indonesia pada tahun 2016
sebanyak 261,1 juta orang
Source : http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/
3. Untuk saat ini, saya merasa tidak optimis dengan terwujudnya Swasembada Beras
sesuai harapan pak Jokowi. Alasan saya sederhana, swasembada Beras terjadi ketika
produksi pangan dalam negri atau dalam hal ini Beras melimpah dan dapat memuhi
seluruh kebutuhan penduduk Indonesia. Namun, ironisnya negara kita kemudian
mengimpor sejumlah Ton Beras dari luar negri. Saya bingung dengan tindakan atau
kebijakan ini sehingga saya merasa fenomena tersebut merupakan dampam dari
ketidakcukupannya stok Beras yang ada di Negeri kita. Hal ini juga masih menjadi
sebuah konflik karna berdasarkan pernyataan salah satu anggota komisi DPR yang
mengatakan bahwa Kementrian Pertanian tidak memiliki data Real Stok beras yang
terdistribusi di setiap Bulog/Gudang