Anda di halaman 1dari 4

BSLT

Temu lawak memiliki banyak jenis metabolit sekunder dengan


berbagai bioaktivitas. Senyawa aktif utama yang terkandung dalam temu
lawak adalah kurkuminoid dan xantorizol . Minyak atsiri temu lawak
dengan komponen utama xantorizol memiliki aktivitas sebagai antimikrob.
Sementara itu, kurkuminoid dalam ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol
terbukti sebagai antioksidan antiradang. Selain itu, penelitian lainnya
menunjukkan bahwa kombinasi xantorizol dan kurkumin dari temu lawak
dapat menghambat perkembangan aktivitas sel kanker MDA-MB-231.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 761/MENKES/SK/IX/1992
menyatakan bahwa uji toksisitas merupakan prasyarat formal keamanan
calon obat untuk pemakaian pada manusia (Depkes RI 1992).Uji
pendahuluan untuk mengamati ketoksikan suatu bahan dapat dilakukan
dengan uji letalitas larva udang (BSLT, brine shrimp lethality test)
. Uji toksisitas menggunakan larva udang merupakan metode
pendahuluan yang telah terbukti memiliki korelasi dengan daya toksisitas.
Larva udang sebagai bioindikator sangat peka terhadap bahan toksik,
sehingga toksisitas suatu bahan terhadap larva udang dapat dijadikan
indikasi awal dari efek farmakologis bahan tersebut. Keunggulan metode
ini ialah larva udang peka terhadap bahan uji, mudah dibiakkan, memiliki
siklus hidup yang cepat, waktu uji cepat, mudah dilakukan, dan biaya
relatif murah. Akan tetapi, terdapat kelemahan dari uji BSLT, yaitu hasil
pengamatan tidak menunjukkan penyebab kematian atau abnormalitas
hewan uji.
Pada praktikum dilakukan uji BSLT menggunakan larva udang,
perama dilakukan penetasan telur larva udang. Telur A. salina
dimasukkan ke dalam wadah berisi air laut yang sudah disaring dan
diaerasi. Telur dibiarkan selama 48 jam di bawah pencahayaan lampu
agar menetas sempurna. Ekstrak etanol dilarutkan dalam air laut dan
dibuat dalam konsentrasi 1000 ppm sebagai larutan induk, kemudian
diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 100, 200, 300, 400, dan 500
ppm. Apabila tidak larut, maka ke dalam larutan ditambahkan 100 μL
DMSO. Ke dalam setiap vial dimasukkan air laut, 10 ekor larva udang, dan
ekstrak temu lawak. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Vial
lalu ditutup dengan kertas aluminium dan diinkubasi selama 24 jam pada
suhu ruang. Nilai konsentrasi letal 50% (LC50) ditentukan dengan
menggunakan kurva hubungan log konsentrasi ekstrak (sumbu x) dengan
nilai probit (sumbu y).
BSLT dapat meramalkan toksisitas komponen aktif dengan hasil uji
berupa nilai LC50, yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan
50% populasi. Jika nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, maka ekstrak yang
diujikan bersifat toksik. Nilai LC50 diperoleh berdasarkan persamaan
kurva hubungan antara log konsentrasi dan nilai probit. Dari hasil yang di
dapatkan persen mortalitas dari keseluruhan seri konsentrasi ektrak etanol
temulawak adalah 100 % dan untuk kontrol negatif adalah 0 %, artinya
ektrak etanol temulawak pada konsentrasi yang paling rendah yaitu 100 %
sudah dapat membunuh semua larva udang yang di ujikan, hal ini juga
dapat di validasi oleh pembanding kontrol negatif yang hasil persen
mortalitasnya 0 % atau tidak membunuh larva udang, selain itu untuk
meyakinkan percobaan dilakukan pengulangan dengan menurunkan
konsentrasi menjadi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm, pada pengulangan ini
hasil yang di dapatkan sama seperti percobaan pertama, dengan hasil
semua seri konsentrasi menghasilkan persen mortalitas 100 % sedangkan
kontrol negatif menghasilkan persen mortalitas 0 %.
Pada penelitian Nurfadilawati (2015) Ekstrak etanol yang diujikan
pada larva udang menghasilkan nilai LC50 238.23 ppm, sedangkan fraksi
etil asetat menghasilkan nilai LC50 176.73 ppm. LC50 hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan Nurcholis et al. (2012) juga tidak berbeda
jauh dengan hasil penelitian, yaitu 210.30 ppm untuk ekstrak etanol. hal ini
menandakan bahwa Ekstrak etanol rimpang temulawan memang memiliki
aktivitas sebagai sitotoksik dan dapat di gunakan dalam pengobatan
kanker. kemungkinan besar perbedaan nila LC 50 pada setiap penelitian
di karenakan jumlah komponen senyawa kurkuminoid dan xhantorizol
pada setiap sampel temulawak yang digunakan berbeda-beda sehingga
berbeda pula efek yang dihasilkan.

Dapus

Nurcholis W, Priosoeryanto BP, Purwakusumah ED, Katayama T, Suzuki


T. 2012. Antioxidant, cytotoxic activities and total phenolic content
of four Indonesian medicinal plants. Valensi. 4(2):501-510.
Nurfadilawai. 2015. Toksisitas ekstrak etanol temulawak (curcuma
xanthorriza) berdasarkan uji letalitas larva udang dan embrio ikan
zebra. Journal kimia IPB. . Bogor

KLTP
Selanjutnya Fraksi ekstrak temulawak di murnikan menggunakan
KLTP, KLTP merupakan teknik KLT yang dilakukan dengan beberapa
modifikasi sehingga diperoleh metode KLT yang bekerja sesuai dengan
keinginan dan tujuan yang kita kehendaki (Rubiyanto, 2016). Pada
kromatografi lapis tipis preparatif, cuplikan yang akan dipisahkan
ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi pelat lapisan besar dan
dikembangkan secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga campuran
akan terpisah menjadi beberapa pita. Pita ditampakkan dengan cara yang
tidak merusak jika senyawa itu tanpa warna, dan penyerap yang
mengandung senyawa pita dikerok dari pelat kaca. Kemudian cuplikan
dielusi dari penyerap dengan pelarut polar. Cara ini berguna untuk
memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa murni
Fraksi yang digunakan adalah fraksi hasil kolom dengan eluent
eluent N-Heksan : Kloroform (2:8), dikarenakan memberikan pola yang
paling baik dan warna kuning yang paling terang, fraksi yang di ambil di
perkirakan adalah kurkumin dan xhantorizol karena memiliki warna kuning
(xhantorizol) dan kuning orange (kurkumin) (Depkes RI, 2009 ; Sutisna,
2012), kemudian fraksi di KLTP menggunakan kaca yang di lapisi oleh
silika, ditotol dengan cara membuat totolan bersambung seperti pita dan di
elusi menggunakan eluent N-Heksan : Kloroform (2:8)
Dari hasil elusi di dapatkan 2 pita noda dengan warna kuning dan
warna kuning-orange, kedua pita noda ini kemudian di kerok dan di
larutkan dalam vial dengan 2 ml metanol kemudian di centrifugasi sampai
silika mengendap dan diambil bagian yang jernihnya (supernatan) setelah
itu senyawa yang berhasil di tarik di masukkan kembali ke dalam vial
masing – masing dan di uapkan, dan dilanjutkan ke KLT 2D.

Rubiyanto, D. 2016. Teknik Dasar Kromatografi. Deepublish, Yogyakarta.


Depkes RI. 2009. Farmakope Herbal Indonesia. Departmen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta

Sutisna W, A. 2012. Isolasi dan Pemurnian Xantorizol Dari Temulawak


(Curcuma Xanthorrhiza Roxb.). Departmen Kimia Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Ipb. Bogor
Ekstrak etanol rimpang temulawak
Pengamatan Replikasi Kontrol 100 200 300 400 500
ppm ppm ppm ppm ppm
1 10 10 10 10 10 10
2 10 10 10 10 10 10
Jumlah Larva awal
3 10 10 10 10 10 10
Total 30 0 0 0 0 0
1 10 10 10 10 10 10
2 10 10 10 10 10 10
Jumlah Moralitas
3 10 10 10 10 10 10
Total 30 0 0 0 0 0
% Moralitas 0% 100% 100% 100% 100% 100%

konsentrasi Log %
Probit
(ppm) Konsentrasi Moralitas
100 2 100 -
200 2,3 100 -
300 2,47 100 -
400 2,6 100 -
500 2,69 100 -

Anda mungkin juga menyukai