Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adanya perubahan gaya hidup di era modern menimbulkan banyaknya
kesenjangan kesehatan, mulai dari makanan siap saji yang banyak kita jumpai
disekeliling kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa makanan cepat saji sangat dicari orang
tanpa memikirkan asupan gizi yang diperoleh. Akibat kesadaran yang kurang membuat
tubuh mengeluarkan reaksinya. Banyak kita jumpai bahwa di era modern ini tak luput
kita jumpai penyakit menular dan tidak menular akibat gaya hidup penduduk yang
mengutamakan kecepatan memperoleh makanan. Penyakit stroke dan kanker salah satu
penyakit akibat gaya hidup yang kurang sehat, tak hanya itu masih banyak penyakit
sudah menimbulkan tanda gejala namun penatalaksaannya yang belum diketahui sampai
saat ini.
Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam
10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya
banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis. Saat ini belum banyak data mengenai
Miastenia Gravis di Indonesia. Mengikut laporan Riskesdas (2010), insidensi Miastenia
Gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000. Data yang didapatkan di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosa miastenia gravis
pada periode tahun 2010-2011. Wanita lebih sering daripada pria. Kelompok umur
tersering adalah diatas usia 50 tahun.
Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara
drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan
dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan
timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Miastenia gravis adalah salah satu
karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
Penyakit ini dulunya mempunyai prognosis yang buruk, tetapi dalam beberapa
dekade telah terjadi perkembangan pemahaman signifikan mengenai penyakit ini, saat ini
Myasthenia Gravis merupakan penyakit yang dapat diobati. Pengenalan dan penegakan
diagnosis secara dini dan tepat penting karena semakin cepat terapi dimulai semakin baik

1
respon klinis pasien sehingga dapat memperbaiki prognosis penyakit, menurunkan
tingkat mortalitas dan morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit Miastenia Gravis ?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan Miastenia Gravis ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Miastenia Gravis
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan Miastenia Gravis

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa

2. Bagi Institusi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Konsep Dasar Penyakit


A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf
1. Anatomi Saraf

Gambar 2.1 anatomi saraf

Sistem saraf adalah suatu


jaringan saraf yang kompleks,
sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf
mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan
lingkungan lainnya.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular, Nur (2013).
2. Bagian – Bagian Sel Saraf
Menurut Nur (2013), Sel saraf terdiri dari Neuron dan Sel Pendukung menurut
a. Neuron
Adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan
sitoplasma.
1) Badan sel atau perikarion
Suatu neuron mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron.
Bagian ini tersusun dari komponen berikut :
a) Satu nukleus tunggal, nucleolus yang menanjol dan organel lain
seperti konpleks golgi dan mitochondria, tetapi nucleus ini tidak
memiliki sentriol dan tidak dapat bereplikas

3
b) Badan nissi, terdiri dari reticulum endoplasma kasar dan ribosom-
ribosom bebas serta berperan dalam sintesis protein.
c) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat
melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak.
b. Dendrit
Perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek serta berfungsi
untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
c. Akson
Suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari dendrite. Bagian
ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke sel lain (sel otot atau
kelenjar) atau ke badan sel neuron yang menjadi asal akson.
d. Sel Neuroglia
Neuroglia (berasal dari nerve glue) mengandung berbagai macam se yang
secara keseluruhan menyokong, melindungi, dan sumber nutrisi sel saraf pada
otak dan medulla spinalis, sedangkan sel Schwann merupakan pelindung dan
penyokong neuron-neuron diluar sistem saraf pusat. Neuroglia jumlahnya lebih
banyak dari sel-sel neuron dengan perbandingan sekitar sepuluh banding satu.
Ada empat sel neuroglia yang berhasil diindentifikasi yaitu menurut Lita (2006):
1) Astrosit adalah sel berbentuk bintang yang memiliki sejumlah prosesus
panjang, sebagian besar melekat pada dinding kapilar darah melalui
pedikel atau “kaki vascular”. Berfungsi sebagai “sel pemberi makan”
bagi neuron yang halus. Badan sel astroglia berbentuk bintang dengan
banyak tonjolan dan kebanyakan berakhir pada pembuluh darah
sebagai kaki perivaskular. Bagian ini juga membentuk dinding
perintang antara aliran kapiler darah dengan neuron, sekaligus
mengadakan pertukaran zat diantara keduanya. Dengan kata lain,
membantu neuron mempertahankan potensial bioelektris yang sesuai
untuk konduksi impuls dan transmisi sinaptik. Dengan cara ini pula
sel-sel saraf terlindungi dari substansi yang berbahaya yang mungkin
saja terlarut dalam darah, tetapi fungsinya sebagai sawar darah otak
tersebut masih memerlukan pemastian lebih lanjut, karena diduga

4
celah endothel kapiler darahlah yang lebih berperan sebagai sawar
darah otak.
2) Oligodendrosit menyerupai astrosit, tetapi badan selnya kecil dan
jumlah prosesusnya lebih sedikit dan lebih pendek. Merupakan sel glia
yang bertanggung jawab menghasilkan myelin dalam susunan saraf
pusat. Sel ini mempunyai lapisan dengan subtansi lemak mengelilingi
penonjolan atau sepanjang sel saraf sehingga terbentuk selubung
myelin.
3) Mikroglia ditemukan dekat neuron dan pembuluh darah, dan
dipercaya memiliki peran fagositik. Sel jenis ini ditemukan di seluruh
sistem saraf pusat dan dianggap berperan penting dalam proses
melawan infeksi.
4) Sel ependimal membentuk membran spitelial yang melapisi rongga
serebral dan ronggal medulla spinalis. Merupakan neuroglia yang
membatasi system ventrikel sistem saraf pusat. Sel-sel inilah yang
merupakan epithel dari Plexus Coroideus ventrikel otak.
e. Selaput Myelin
Merupakan suatu kompleks protein lemak berwarna putih yang
mengisolasi tonjolan saraf. Mielin menghalangi aliran Natrium dan Kalium
melintasi membran neuronal dengan hamper sempurna. Selubung myelin tidak
kontinu di sepanjang tonjolan saraf dan terdapat celah-selah yang tidak memiliki
myelin, dinamakan nodus ranvier, Tonjolan saraf pada sumsum saraf pusat dan
tepi dapat bermielin atau tidak bermielin. Serabut saraf yang mempunyai
selubung myelin dinamakan serabut myelin dan dalam sistem saraf pusat
dinamakan massa putih (substansia Alba). Serabut-serabut yang tak bermielin
terdapat pada massa kelabu (subtansia Grisea).
Myelin ini berfungsi dalam mempercepat penjalaran impuls dari transmisi
di sepanjang serabut yang tak bermyelin karena impuls berjalan dengan cara
“meloncat” dari nodus ke nodus lain di sepanjang selubung myelin. Cara
transmisi seperti ini dinamakan konduksi saltatorik.
Hal terpenting dalam peran myelin pada proses transmisi di sebaut saraf
dapat terlihat dengan mengamati hal yang terjadi jika tidak lagi terdapat myelin

5
disana. Pada orang-orang dengan Multiple Sclerosis, lapisan myelin yang
mengelilingi serabut saraf menjadi hilang. Sejalan dengan hal itu orang tersebut
mulai kehilangan kemampuan untuk mengontrol otot-otonya dan akhirnya
menjadi tidak mampu sama sekali.

Gambar 2.2 Struktur Myelin dan Nodus Ranvier


f. Synaps
Menurut Lita (2006), Synaps merupakan tempat dimana neuron mengadakan
kontak dengan neuron lain atau dengan organ-organ efektor, dan merupakan
satu-satunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke
neuron lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya
dikenal dengan celah sinaptik (Synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan
impuls saraf menuju sinaps disebut neuron prasinaptik dan neuron yang
membawa impuls dari sinaps disebut neuron postsinaptik

6
Gambar 2.3 Sinaps dari Neuron
g. Impuls Saraf
Impuls yang diterima oleh reseptor dan disampaikan ke efektor akan
menyebabkan terjadinya gerakan atau perubahan pada efektor. Gerakan tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Gerak sadar
Gerak sadar atau gerak biasa adalah gerak yang terjadi karena disengaja
atau disadari. Impuls yang menyebabkan gerakan ini disampaikan melalui
jalan yang panjang. Bagannya adalah sebagai berikut.
Impuls > Reseptor > Saraf Sensorik > Otak > Saraf Motorik > Efektor
(Otot)
2) Gerak refleks
Gerak refleks adalah gerak yang tidak disengaja atau tidak disadari. Impuls
yang menyebabkan gerakan ini disampaikan melalui jalan yang sangat
singkat dan tidak melewati otak..
Contoh gerak refleks adalah sebagai berikut:
a) Terangkatnya kaki jika terinjak sesuatu.
b) Gerakan menutup kelopak mata dengan cepat jika ada benda asing
yang masuk ke mata.
c) Menutup hidung pada waktu mencium bau yang sangat busuk.
d) Gerakan tangan menangkap benda yang tiba-tiba terjatuh.
e) Gerakan tangan melepaskan benda yang bersuhu tinggi.

7
Gambar 2.4 Lapisan Otak
h. Otak
Otak merupakan organ yang telah terspesialisasi sangat kompleks. Berat
total otak dewasa adalah sekitar 2% dari total berat badannya atau sekitar 1,4
kilogram dan mempunyai sekitar 12 miliar neuron. Pengolahan informasi di otak
dilakukan pada bagian-bagian khusus sesuai dengan area penerjemahan neuron
sensorik. Permukaan otak tidak rata, tetapi berlekuk-lekuk sebagai pengembangan
neuron yang berada di dalamnya. Semakin berkembang otak seseorang, semakin
banyak lekukannya. Lekukan yang berarah ke dalam (lembah) disebut sulkus dan
lekukan yang berarah ke atas (gunungan) dinamakan girus.
Otak mendapatkan impuls dari sumsum tulang belakang dan 12 pasang
saraf kranial. Setiap saraf tersebut akan bermuara di bagian otak yang khusus.
Otak manusia dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu otak depan, otak tengah,
dan otak belakang. Para ahli mempercayai bahwa dalam perkembangannya, otak
vertebrata terbagi menjadi tiga bagian yang mempunyai fungsi khas. Otak
belakang berfungsi dalam menjaga tingkah laku, otak tengah berfungsi dalam
penglihatan, dan otak depan berfungsi dalam penciuman, Brown (2005)

Gambar 2.5 Otak


i. Medulla Spinalis (Sumsum Tulang Belakang)

8
Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat. Seperti halnya dengan sistem saraf pusat yang dilindungi oleh
tengkorak kepala yang keras, sumsum tulang belakang juga dilindungi oleh ruas-
ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang memanjang dari pangkal leher,
hingga ke selangkangan. Bila sumsum tulang belakang ini mengalami cidera
ditempat tertentu, maka akan mempengaruhi sistem saraf disekitarnya, bahkan
bisa menyebabkan kelumpuhan di area bagian bawah tubuh, seperti anggota gerak
bawah (kaki).
Secara anatomis, sumsum tulang belakang merupakan kumpulan sistem
saraf yang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang
atau biasa disebut medulla spinalis ini, merupakan kumpulan sistem saraf dari
dan ke otak. Secara rinci, ruas-ruas tulang belakang yang melindungi sumsum
tulang belakang ini adalah sebagai berikut:
Sumsum tulang belakang terdiri dari 31 pasang saraf spinalis yang terdiri dari 7
pasang dari segmen servikal, 12 pasang dari segmen thorakal, 5 pasang dari
segmen lumbalis, 5 pasang dari segmen sacralis dan 1 pasang dari segmen
koxigeu, Nur (2013).

Gambar 2.6 Medula Spinalis (Sumsum Tulang Belakang)

9
j. Medulla Spinalis (Sumsum Tulang Belakang)
Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat. Seperti halnya dengan sistem saraf pusat yang dilindungi oleh
tengkorak kepala yang keras, sumsum tulang belakang juga dilindungi oleh ruas-
ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang memanjang dari pangkal leher,
hingga ke selangkangan. Bila sumsum tulang belakang ini mengalami cidera
ditempat tertentu, maka akan mempengaruhi sistem saraf disekitarnya, bahkan
bisa menyebabkan kelumpuhan di area bagian bawah tubuh, seperti anggota gerak
bawah (kaki).
Secara anatomis, sumsum tulang belakang merupakan kumpulan sistem
saraf yang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang
atau biasa disebut medulla spinalis ini, merupakan kumpulan sistem saraf dari
dan ke otak. Secara rinci, ruas-ruas tulang belakang yang melindungi sumsum
tulang belakang ini adalah sebagai berikut:
Sumsum tulang belakang terdiri dari 31 pasang saraf spinalis yang terdiri dari 7
pasang dari segmen servikal, 12 pasang dari segmen thorakal, 5 pasang dari
segmen lumbalis, 5 pasang dari segmen sacralis dan 1 pasang dari segmen
koxigeus, Nur (2013).

k. Saraf Tepi Manusia


Susunan saraf tepi terdiri atas serabut saraf otak dan serabut saraf sumsum
tulang belakang (spinal). Serabut saraf sumsum dari otak, keluar dari otak
sedangkan serabut saraf sumsum tulang belakang keluar dari sela-sela ruas tulang
belakang. Tiap pasang serabut saraf otak akan menuju ke alat tubuh atau otot,
misalnya ke hidung, mata, telinga, dan sebagainya. Sistem saraf tepi terdiri atas
serabut saraf sensorik dan motorik yang membawa impuls saraf menuju ke dan
dari sistem saraf pusat. Sistem saraf tepi dibagi menjadi dua, berdasarkan cara
kerjanya, yaitu sebagai berikut.
1) Sistem Saraf Sadar
Sistem saraf sadar bekerja atas dasar kesadaran dan kemauan kita. Ketika
Anda makan, menulis, berbicara, maka saraf inilah yang

10
mengkoordinirnya. Saraf ini mene-ruskan impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat, dan meneruskan impuls dari sistem saraf pusat ke semua otot
kerangka tubuh. Sistem saraf sadar terdiri atas 12 pasang saraf kranial,
yang keluar dari otak dan 31 pasang saraf spinal yang keluar dari sumsum
tulang belakang 31 pasang saraf spinal. Saraf-saraf spinal tersebut terdiri
atas gabungan saraf sensorik dan motorik. Dua belas pasang saraf kranial
tersebut, antara lain sebagai berikut.
a) Saraf olfaktori, saraf optik, dan saraf auditori. Saraf-saraf ini
merupakansaraf sensori.
b) Saraf okulomotori, troklear, abdusen, spinal, hipoglosal. Kelima
saraf tersebut merupakan saraf motorik.
c) Saraf trigeminal, fasial, glossofaringeal, dan vagus. Keempat saraf
tersebut merupakan saraf gabungan dari saraf sensorik dan
motorik. Agar lebih memahami tentang jenis-jenis saraf kranial,
Zhang (2012).

2) Sistem Saraf Tak Sadar (Otonom)


Sistem saraf ini bekerja tanpa disadari, secara otomatis, dan tidak di bawah
kehendak saraf pusat. Contoh gerakan tersebut misalnya denyut jantung,
perubahan pupil mata, gerak alat pencernaan, pengeluaran keringat, dan
lain-lain. Kerja saraf otonom ternyata sedikit banyak dipengaruhi oleh
hipotalamus di otak. Coba Anda ingat kembali fungsi hipotalamus yang
sudah dijelaskan di depan. Apabila hipotalamus dirangsang, maka akan
berpengaruh terhadap gerak otonom seperti contoh yang telah diambil,
antara lain mempercepat denyut jantung, melebarkan pupil mata, dan
menghambat kerja saluran pencernaan.Sistem saraf otonom ini dibedakan
menjadi dua, Zang (2012).
a) Saraf Simpatik
Saraf ini terletak di depan ruas tulang belakang. Fungsi saraf ini
terutama untuk memacu kerja organ tubuh, walaupun ada beberapa
yang malah menghambat kerja organ tubuh. Fungsi memacu, antara

11
lain mempercepat detak jantung, memperbesar pupil mata,
memperbesar bronkus. Adapun fungsi yang menghambat, antara
lain memperlambat kerja alat pencernaan, menghambat ereksi, dan
menghambat kontraksi kantung seni.
b) Sistem Saraf Parasimpatik
Saraf ini memiliki fungsi kerja yang berlawanan jika dibandingkan
dengan saraf simpatik. Saraf parasimpatik memiliki fungsi, antara
lain menghambat detak jantung, memperkecil pupil mata,
memperkecil bronkus, mempercepat kerja alat pencernaan,
merangsang ereksi, dan mepercepat kontraksi kantung seni. Karena
cara kerja kedua saraf itu berlawanan, makamengakibatkan
keadaan yang normal.

Gambar 2.7 Saraf Parasimpatik dan Simpatik

B. Definisi
Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Hal ini

12
ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali, Kothari (2004).
Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi
menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa
saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata,
kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot
yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang,
Aurora (2013).
Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan saraf
(synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan
menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu
neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika
reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi
antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot, Mantegazza,
(2012).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Miastenia Gravis (MG) adalah
penyakit yang disebabkan oleh abnormalnya salah satu saraf pada jaringan otot yang
menyebabkan kelemah pada otot.

C. Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya
20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas
50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi
pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun. Saat
ini belum banyak data mengenai MG di Indonesia. Mengikut laporan RISKESDAS
2010, insidensi MG di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000. Data yang
didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan
diagnosa miastenia gravis pada periode tahun 2010-2011.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari
ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi

13
adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu
setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular.
Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang
sama, Solieman (2011).

D. Etiologi
Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit autoimun. Sejak tahun
1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita Myastenia
Gravis secara langsung melawan konstituen pada o t o t . Tidak diragukan lagi, bahwa
antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan Myastenia Gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-
AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata, Ciafaloni (2013).
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam sistem imun.
Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein asing yang disebut antigen
yang menyerang tubuh. Protein-protein ini termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi
menolong tubuh untuk melindungi dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk alasan
yang tidak dimengerti, sistem imun pada orang dengan Myasthenia Gravis membuat
antibodi melawan reseptor pada neuromuscular junction. Antibodi yang tidak normal ini
dapat ditemukan dalam darah pada orang-orang dengan Myasthenia Gravis. Antibodi
tersebut menghancurkan reseptor dengan lebih cepat dibanding tubuh mereka sendiri
dapat melakukannya (Myasthenia Gravis Foundation of America), Drachman (2010)
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat juga
penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam penyakit ini.
Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di bawah tulang dada, mempunyai
peranan penting dalam mengembangkan system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini
pada saat bayi ada dalam jmlah yang cukup banyak, tumbuh secara berangsur-angsur
sampai masa pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan
pertumbuhan bersama usia.
Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor
pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan
antara kelenjar thymus dan Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para

14
ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang salah
mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang transmisi
neuromuscular, Brown (2006).
E. Manifestasi Klinis
1. Kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang
fatal. Gejala klinik MG diakibatkan oleh kelemahan otot dengan sifat
karakteristik yaitu bertambah berat sesudah aktivitas, dan berkurang atau
menghilang setelah istirahat; siang hari lebih berat daripada pagi hari.
2. Ocular Myasthenia Gravis Gejala ini ditandai dengan penurunan kelopak mata
(ptosis) dan penglihatan ganda atau diplopia
3. Generalised Myasthenia Gravis Sebagai tambahan dari occular myasthenia
gravis, pasien myasthenia gravis juga mungkin mengalami kelemahan dalam
mengontrol ekspresi muka, menelan, mengunyah dan berbicara. Otot-otot
anggota badan dan pernafasan kemungkinan juga mengalami kelemahan. Awal
mula gejala yang dialami pasien myasthenia gravis kemungkinan bertambah
secara sedikit demi sedikit namun pasien myasthenia gravis dapat juga
mengalami penurunan kemampuan bernafas dalam waktu yang cepat. Hal ini
disebut dengan "Krisis Myasthenia" dan bila hal ini terjadi, pasien harus segera
pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secepatnya.
4. Kelemahan pada otot wajah, leher susah ditegakkan, dan bibir. Ciri khas yang
biasa ditemui pada penderita MG adalah senyum yang terlihat seperti sedang
menangis.
5. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan pada otot mulut sehingga mulut
penderita sulit untuk ditutup.
6. Kelemahan pada otot lidah dan faring sehingga kesulitan untuk menelan dan
berbicara (cadel dan biasanya susah untuk mengucapkan beberapa huruf).
7. Kelemahan pada otot pernafasan yang menyebabkan penderitanya sulit untuk
bernafas (dada terasa berat untuk bernafas, nafas tersengal bahkan terjadi sesak
nafas).
8. Kelemahan pada otot pita suara (suara biasanya terdengar sengau)
9. Kelemahan pada otot motorik atau tangan dan kaki (sering terjatuh ketika
berjalan, tidak kuat berjalan jauh, kesulitan naik turun tangga, tidak kuat menulis
dalam jangka waktu yang cukup lama, sulit mengangkat tangan, dan lain-lain)
10. Beberapa penderita sering tersedak saat minum atau makan, Ciafaloni (2013).

15
F. Patofisiologi
Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul dalam otak.
Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati syaraf-syaraf menuju tempat dimana
syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot. Serabut syaraf tidak benar-benar berhubungan
dengan serabut otot. Ada tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut
neuromuskular junction.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian akhir,
syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut asetilkolin. Asetilkolin
berjalan menyeberangi jarak yang ada diantara serabut syaraf dan serabut otot
(neuromuscular junction) menuju serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor
asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin.
Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor asetilkolin.
Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan dan merintangi reseptor
asetilkolin.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-
synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu.
inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan
toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini,
Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B
lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa
sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis
penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita
Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada
pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan

16
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi
area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang
baru disintesis, Sathaslvan (2014).

G. Pathway

17
H. Klasifikasi
Klasifikasi menurut , Ciafaloni (2013):
1. Kelompok I Myasthenia Okular : Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok II Myasthenia Umum
a. Myasthenia umum ringan : Progress lambat, biasanya pada mata, lambat
laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
b. Myasthenia umum sedang : Progress bertahap dan sering disertai gejala-
gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh
otot-otot rangka dan bulbar. Disartria (gangguan bicara), disfagia
(kesulitan menelan) dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan
dengan Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena.
Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien
terbatas, tetapi angka kematian rendah.
c. Myasthenia umum berat:
1) Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka
dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi. Respon terhadap obat
buruk. Insiden krisis Myasthenik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi. Lanjut : Myasthenia Gravis
berat timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress gejala-gejala
kelompok I atau II. Myasthenia Gravis dapat berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Persentase thymoma menduduki
urutan kedua. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
I. Gejala Klinis

18
Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.
Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin
berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat.
Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang
khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata
terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa
penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya
kelopak mata secaara abnormal (ptosis), Pagana (2015).

Gambar 2.8 Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata

1. Kelopak mata tidak simetris,kiri lebih rendah dari kanan.


2. Setelah menatap 30 detik ptosis semakin bertambah.
Howard JF (2008), Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan
menyebabkan penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang
seperti tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi
gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut
dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di
seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan
dirasakan asimetris . Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami
kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut
akan menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata
disebut Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan
membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan
sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat
pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia

19
gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya infeksi
pada penderita Miastenia gravisSecara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita
2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang
berulang
3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam,
dengan istirahat
4. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
5. Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot
faring lainnya ( disfagia , suara sengau )
6. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit
motorikKadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
7. Tidak ada atrofi atau fasikulasi, Howard JF (2008).
J. Komplikasi
Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit Myasthenia Gravis adalah
Myasthenic Crisis dan Cholinergic Crisis.
1. Myasthenic Crisis
Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya memiliki
kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas, seringkali mengalami
penurunan kondisi. Ini biasanya dipicu oleh infeksi penyerta atau penarikan
tiba-tiba obat antikolinesterasi, tetapi mungkin terjadi secara spontan. Jika
peningkatan dosis dari obat antikolinesterase tidak dapat meningkatkan
kelemahan, intubasi endotrachial dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Dalam banyak kasus, respon obat kembali dalam 24 hingga 48 jam, dan
penyapihan dari respirator dapat dilanjutkan di kemudian waktu, Aurora
(2013).
2. Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih. Efek
muskarinik dari tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase
menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi paru berlebihan. Efek nikotinik
paradoksikal memperburuk kelemahan dan dapat menyebabkan kejang
bronkial. Jika status pernapasan terganggu, klien mungkin perlu intubasi dan
ventilasi mekanik, Mantegazza (2012).

K. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik


Pemeriksaan fisik menurut Solieman (2011) sebagai berikut :

20
1. Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu
benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa
waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan
menunjukkan ptosis.
2. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-
otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
3. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
4. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan
3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
5. Laboratorium (Tes darah)
Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil positif
pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40
tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang pentingpada penderita
miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun,.

21
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir 50% penderita
miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies : Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada
reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan
dengan pasien timomadengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat
akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini
disebabkan dalam seru beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational
pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi : Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil
yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-
AChR antibody
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG) : SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber
density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG
dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara
2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatufiber
density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam
oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) : Pada penderita miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat
adanya penurunan suatu potensial aksi.

22
7. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI) digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal
atau keberadaan dari thymoma.
8. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.
L. Penatalaksanaan
Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat
diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan
myasthenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Penatalaksanaan myastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi
ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan
prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan imunosupresif dan
imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan
menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang
mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami
masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani
timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan
yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali
terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk

23
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium,
dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Ini diakibatkan
terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Trombositopenia
dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada
terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen
plasma tidak diperlukan.
2. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi
tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien
tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk tertentu dimana 99%
merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman
untuk diberikan secara intravena.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai
terapi. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat
respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat
kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien
dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang
dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike
symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan
malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta
rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih
lambat.
3. Intravena Metilprednisolone(IVMp)

24
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih
juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10
dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,
sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek
maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan
IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal
atau tidak dapat digunakan.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang
kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung
hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap
pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu
setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan
dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek
pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta
antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang
menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun
pada miastenia gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis
diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek samping berupa osteoporosis,
diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
5. Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari
purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida
pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif
dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek

25
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang
secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis
tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga
dosis optimal tercapai.
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50%
kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.
6. Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine berpengaruh pada produksi
dan pelepasan interleukin-2 dari sel T- helper. Supresi terhadap aktivasi
sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat
menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
7. Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi
dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek
pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis
imunoglobulin.
8. Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus
dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus
dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap
kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf memiliki pengalaman
meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan
dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa
miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini

26
adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi
dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya
besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung
dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang
tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%
pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan adalah kesembuhan
yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan), Pagana (2015).

L. Prognosis
Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih dari 2 tahun,
hanya 10 - 20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis generalisata. Penanganan
dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada Miastenia gravis generalisata,
membaik dengan pemberian imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat yang
dianjurkan. Grob melaporkan angka kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada
perubahan 30 %, Zhang (2012) .

27
BAB III
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian, pemeriksaan fisik, pola gordon, itervensi, implementasi dan evaluasi selalu
meliputi pembuatan asuhan, Zang (2012).
1. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama penanggung jawab, pendidikan
penanggung jawab, pekerjaan penanggung jawab dan hubungan dengan klien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien Miastenia Gravis untuk datang
kerumah sakit adalah kekakuan otot dan susah menggerakkannya.
b. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan susahnya menggerakkan otot, otot tiba-tiba melemah.
Ketidaksimentrisan raut wajah yang mungkin diderita sebelum kekakuan otot
terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit apa saja yang pernah diderita oleh pasien selama masa hidupnya.

28
d. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat adanya penyakit Miastenia Gravis pada anggota keluarga yang lain sangat
menentukan, karena penyakit Miastenia Gravis bisa diturunkan/genetic. Keluarga
mempunyai penya menular seksual seperti HIV/AIDS, PMS dan penyakit genetic
seperti Hipertensi, Hepatitis dan PJK.
3. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
Bagaimana pasien memandang status kesehannya
b. Pola nutrisi dan metabolik
Biasanya pada pasien Miastenia Gravis mengalami mual, muntah, penurunan nafsu
makan selama sakit, nyeri saat menelan sehingga dapat mempengaruhi status
nutrisi.
c. Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien Miastenia Gravis akan terganggu aktifitasnya akibat adanya
kelemahan otot serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat
penyakitnya.
d. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pada pasien Miastenia Gravis kebiasaan tidur akan terganggu dikarenakan
pasien merasa gelisah pada waktu tidur. Pasien dengan Miastenia Gravis sering
sehingga kuantitas dan kualitas tidur maupun istirahatnya berkurang.
e. Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi retensi bila dehidrasi karena otot
menelan menurun, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
f. Pola reproduksi dan sexual
Pola ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan system reproduksi dan seksual
klien, mengkaji adanya penggunaan alat bantu.
g. Pola kognitif dan perseptual
Biasanya pada penderita Miastenia Gravis mengalami perubahan kondisi kesehatan
dan gaya hidup yang akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam
merawat diri. Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba dan penghidu
tidak mengalami gangguan.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Pada pasien dengan Miastenia Gravis biasanya timbul rasa cemas, gelisah dan rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal.
i. Pola koping dan toleransi

29
Biasanya pada pasien Miastenia Gravis stres timbul apabila seorang pasien tidak
efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. Pasien dengan Miastenia Gravis
biasanya merasakan cemas dan takut terhadap penyakitnya tidak kunjung sembuh.
j. Pola Hubungan dan Peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan
peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit,karena
klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi
hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, lingkungan masyarakat
k. Pola nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas
dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada pasien Miastenia Gravis biasanya didapatkan terjadinya keadaan umum lemah,
orientasi baik/buruk, personal hygne kotor/bersih, composmentis.
Pemeriksaan fisik head to toe
a) Integument :
b) Kepala : Bentuk mesochepal, rambut hitam/putih, kulit kepala bersih/kotor
c) Mata : Bentuk mata simetris atau tidak simentris, konjungtiva anemis,
sclera tidak ikterik, reflek pupil isokor.
d) Telinga : Simetris atau tidak simentris, bersih atau ada serumen, tidak ada
gangguan pendengaran atau ada gangguan pendengaran
e) Hidung : Simetris, ada secret atau tidak ada secret ,ada tarikan cuping
hidung/ tidak ada tarikan cuping hidung.
f) Mulut : Mukosa mulut kering, bibir kering, dehidrasi.
g) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada kekakuan
Leher.
h) Dada
Inspeksi : Bentuk dada simetris, ada penggunaan otot bantu pernafasan.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Palpasi : Taktil fremitus normal
Auskultasi : Vesikuler
i) Abdomen :
Inspeksi : Bentuk cembung, tidak ada lesi.
Auskultasi : Bising usus 20 x/menit
Perkusi : Tympani
Palpasi : Turgor kulit elastis, tidak ada nyeri tekan bagian atas.
j) Ekstrimitas : nyeri sendi, kekakuan otot, kekuatan otot lemah.
k) Genetalia : Bersih atau kotor, tidak ada kelainan atau ada kelainan di
buktikan tidak terpasang kateter atau tidak terpasang

30
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme sekresi mucus
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi
3. Gangguan menelan berhubungan gangguan neuromuskular
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan kelelahan fisik
6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sistem saraf pusat
8. Risiko cidera ditandai dengan kekakuan otot

C. Rencana keperawatan

31
D. Implementasi dan Evaluasi
1. Implementasi
Pada implementasi, perawat melakukan tindakan berdasarkan, perencanaan
mengenai diagnosa yang telah di buat sebelumnya.
2. Evaluasi

32
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya berhasil dicapai. Evaluasi bisa bersifat formatif yaitu dilakukan terus-
menerus untuk menilai setiap hasil yang telah di capai. Dan bersifat sumatif yaitu
dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan keparawatan yang telah
dilakukan.Melalui SOAP kita dapat mengevaluasi kembali.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

33
Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi
menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa
saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata,
kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot
yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang,
Aurora (2013).
Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan saraf
(synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan
menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu
neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika
reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi
antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot, Mantegazza,
(2012).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Miastenia Gravis (MG) adalah
penyakit yang disebabkan oleh abnormalnya salah satu saraf pada jaringan otot yang
menyebabkan kelemah pada otot.
Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada Miastenia
gravis generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi, timektomi, dan pemberian
obat yang dianjurkan
B. Saran

34

Anda mungkin juga menyukai