KELOMPOK 5
ANGGOTA KELOMPOK:
Lahan basah atau biasa disebut wetland merupakan suatu lahan yang jenuh air
dengan kedalaman air tipikal yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan
tanaman air emergent misalnya cattail, bulrush, umbrella plant dan canna. Daerah ini juga
sering digunakan untuk mengolah limbah domestik serta digunakan sebagai reklamasi lahan
penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Wetland sendiri juga kaya akan
keanekaragaman dan sering dijadikan sebagai habitat makhluk hidup. Salah satu daerah
wetland yang berada di Indonesia adalah kawasan Blang Krueng dimana digunakan sebagai
pengolahan septic tank limbah rumah tangga dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
bersih. Dalam pengaplikasiannya, daerah wetland ini dapat diasumsikan sebagai reaktor
PFR, dimana tidak terdapat pengaduk pada daerah tersebut. Dalam penurunan
persamaannya, nilai konversi pada wetland akan semakin tinggi ketika panjang daerah
wetland (reaktor) semakin panjang. Sedangkan pada daerah wetland yang panjang, nilai
molar flow atrazine semakin kecil di titik keluaran karena atrazine sudah banyak yang
terkonversi serta nilai laju reaksi akan semakin kecil yang dipengaruhi oleh konversi yang
besar dan waktu tinggal yang besar.
Kata kunci: Wetland, Blang Krueng, PFR, molar flow, atrazine, konversi
BAB I
PENDAHULUAN
Constructed wetland ada dalam berbagai bentuk dan ukuran, tergantung dari
pemilihan dan evaluasi lokasi. Sistem ini bisa disesuaikan ke hampir semua lokasi dan
bisa dibangun dalam banyak konfigurasi dari unit tunggal kecil yang hanya beberapa
meter persegi sampai sistem dengan luas beratus hektar yg terintegrasi dengan pertanian
air atau tambak (USAID, 2006).
Dalam constructed wetland Terdapat dua sistem yang dikembangkan saat ini
yaitu:
1. Free Water Surface System (FWS)
FWS disebut juga rawa buatan dengan aliran di atas permukaan tanah. Sistem ini
berupa kolam atau saluran-saluran yang dilapisi dengan lapisan impermeable di bawah
saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau
saluran. Untuk sistem FWS dapat dilihat pada Gambar berikut:
Gambar 2.1 Free Water Surface System (FWS)
(Sumber: Wetland Ecosystem Treatment – a Brief Overview,2000 dalam Wijayanti, 2004)
FWS tersebut berisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang hidup pada air
tergenang (emerge plant) dengan kedalaman 0,1-0,6 m (Metcalf & Eddy, 1993). Pada
sistem ini limbah cair melewati permukaan tanah. Pengolahan limbah terjadi ketika air
limbah melewati akar tanaman, kemudian air limbah akan diserap oleh akar tanaman
dengan bantuan bakteri (Crites and Tchobanoglous, 1998 dalam Wijayanti, 2004).
Unit wetland harus didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada
media koral oleh partikel-partikel besar.
Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ± 1 m.
Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.
Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s/d 10 mm.
setinggi/setebal 80 cm
Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan
melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.
Dialirkan air limbah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang
memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral
Disain luas kolam berdasarkan Beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan
Loading rate pada umumnya. Untuk Amerika Utara = 32,10 kg BOD/Ha per hari.
Untuk daerah tropis kira-kira = 40 kg BOD/Ha per hari.
Gambar 2.2 Process flow diagram for a typical treatment plant via subsurface flow constructed
wetlands (SFCW)
(sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Sewage_treatment)
2.4 Aplikasi TRK terhadap Wetland
Parameter yang ditinjau pada wetland berdasarkan ilmu Teknik Reaksi Kimia adalah
sebagai berikut:
Pada wetland, terjadi penyerapan racun oleh akar tumbuhan yang ada pada wetland,
sehingga terjadi reaksi absorbs dan dapat diibaratkan sebagai reaktor.
Wetland diibaratkan sebagai reaktor PFR, Wetland diibaratkan sebagai reaktor PFR
karena bentuknya yang memanjang seperti PFR dan tidak terdapat pengaduk yang
mampu mengaduk secara sempurna (perfect mixing) sehingga tidak mampu diibaratkan
sebagai reaktor CSTR.
Karena adanya reaksi, maka panjang wetland, konsentrasi racun pada aliran masuk,
entering volumetric flow rate, specific reaction rate serta ada atau tidaknya evaporasi
pada wetland yang sangat mempengaruhi laju reaksinya.
1. Konsentrasi racun pada aliran masuk
Semakin besar konsentrasi atrazine pada aliran masuk, maka dapat
semakin besar pula konsentrasi pada aliran keluarnya dan mampu menyebabkan
laju reaksinya akan semakin tinggi pula.
Konsentrasi dari atrazine (toxic) dapat dipengaruhi oleh evaporasi,
evaporasi akan menghilangkan air yang menyebabkan konsentrasi atrazine dapat
meningkat.
2. Entering volumetric flow rate
Entering volumetric rate berpengaruh terhadap besarnya konversi yang
akan dihasilkan oleh reaksi. Volume juga dapat dipengaruhi oleh kedalaman
wetland itu sendiri, semakin dalam wetlandnya maka akan semakin besar
volumenya.
3. Specific reaction rate
Specific reaction rate dipengaruhi oleh suhu dari lingkungan, semakin
besar suhu nya maka akan semakin besar pula nilai specific reaction ratenya
yang menyebabkan laju reaksi semakin besar.
4. Ada atau tidaknya evaporasi
Ada atau tidaknya evaporasi akan mempengaruhi konsentrasi dari atrazine
dalam wetland yang akan mempengaruhi konversi dari wetlandnya. Konversi ini
disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi awal masuk atrazine, maka akan
semakin tinggi konversinya.
Terjadi atau tidaknya evaporasi sangat bergantung kepada humidity
lingkungannya. Semakin tinggi humidity di lingkungan tersebut maka akan sulit
terjadi evaporasi. Sebaliknya apabila humidity lingkungan tersebut rendah, maka
akan banyak air yang terevaporasi untuk menyeimbangkan humidity lingkungan.
o Primary Treatment
4 Unit tangki dari cincin dengan dinding dan dasar kedap air.
- Biasa digunakan oleh masyarakat untuk tangki septic.
- Kontruksi lebi murah dan lebih cepat dibandingkan dengan pasangan fiber,
plastik, bata atau beton.
- Memungkinkan dipasang pada daerah dengan muka air tanah tinggi, karena
dasar cincin dan dinding dapat dibuat sebelumnya.
- Cukup berat, sehingga tidak terangkat oleh tekanan air tanah.
o Secondary Treatment
- 2 Unit Up Flow Filter dari cincin dengan dinding dan dasar kedap air
- Wetland dengan dinding pasangan bata dan dasar dari plastik (memanfaatkan
tanah kosong.
BAB II
JAWABAN PERTANYAAN
1. Penurunan Persamaan
Langkah pertama terdiri dari persamaan untuk aliran molar toksik, F A, sebagai
fungsi jarak melalui lahan basah, z.
Pertama-tama persamaan yang berkaitan dengan HPK sehubungan dengan
konversi harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, laju alir molar atrazine
pada keluaran wetland, FA, bergantung pada laju alir molar atrazine awal, FAo, dan yang
tidak bereaksi (1). Selain itu juga diketahui persamaan yang menghubungkan laju reaksi,
konversi, dan perubahan volume (2). Karena reaksinya adalah orde pertama homogen,
persamaannya seperti pada persamaan (3).
𝐹𝐴 = 𝐹𝐴𝑜 (1 − 𝑥) (1)
𝑑𝑥
𝐹𝐴𝑜 = −𝑟𝐴 (2)
𝑑𝑧
−𝑟𝐴 = 𝑘1 . 𝐶𝐴 (3)
Setelah itu, menghubungkan konsentrasi dan aliran molar ke laju alir volumetrik,
yang diberikan dalam kondisi data awal. Karena laju alir volumetrik akhir, v, adalah
perbedaan antara vo awal dengan laju alir volumetrik pada pintu keluar, maka dapat
direpresentasikan sebagai pengurangan sederhana. Namun, untuk itu perlu
dipertimbangkan penguapan air superfisial (Q) yang dikalikan dengan luas permukaan
lahan basah (W x L atau W x z) dan dibagi dengan kerapatan molar akan menghasilkan
unit adekuat (m3/jam) sebagai ditunjukkan dalam persamaan (4).
𝑄. 𝑊. 𝑧
𝑣 = 𝑣𝑜 − (4)
𝜌𝑚
𝐶𝐴𝑜 . (1 − 𝑥)
𝐶𝐴 = (6)
𝑄. 𝑊. 𝑧
1 − 𝜌𝑚. 𝑣𝑜
Setelah itu, untuk menggabungkan laju reaksi dengan ekspresi baru untuk
konsentrasi, perlu mengganti persamaan (3) ke dalam persamaan (2) terlebih dahulu.
Kemudian, perbedaan volume (dV) pada (2) harus direpresentasikan sebagai perkalian W
x D x dz, yang berarti bahwa panjang lahan basah masih bervariasi, dengan lebar dan
kedalaman konstan. Dengan menggunakan persamaan (5), kita bisa menerjemahkan nilai
FAO sebagai perkalian CAO x vo. Akhirnya, CA pada persamaan (3) diganti dengan
persamaan yang diperoleh pada (6). Hasilnya adalah persamaan PFR yang siap untuk
integrasi yang diperlihatkan pada persamaan (7).
𝑑𝑥 𝐶𝐴𝑂 . (1 − 𝑥)
𝐶𝐴𝑂 . 𝑣𝑜. = 𝑘1. 𝑊. 𝐷. (7)
𝑑𝑧 𝑄. 𝑊. 𝑧
1 − 𝜌𝑚. 𝑣𝑜
𝑋 𝑍
𝑑𝑥 𝑘1. 𝑊. 𝐷 1
∫ =∫ . 𝑑𝑧
0 (1 − 𝑑𝑥) 0 𝑣𝑜 1 −∝2
𝑘1. 𝑊. 𝐷
ln(1 − 𝑋) = . ln(1 −∝𝑍 ) = 𝛽. ln(1 −∝𝑍 ) (9)
𝑣𝑜. ∝
Dimana,
𝑄. 𝑊 𝑘1 . 𝑊. 𝐷
∝ = 𝛽=
𝜌𝑚. 𝑣𝑜 𝑣𝑜. 𝛼
Mengatur ulang dan menyelesaikan persamaan untuk konversi (X) dalam fungsi jarak
(Z), diperoleh persamaan (10):
𝑋 = 1 − (1 −∝𝑍 )𝛽 (10)
Akhirnya, dengan menempatkan hasil tersebut kembali ke persamaan awal (1) untuk FAO,
maka diperoleh persamaan akhir untuk model PFR sesuai dengan kasus.
Jika kasus dimodelkan dengan asumsi tidak terjadi evaporasi dan curah hujan di
lahan basah (Q = 0 dan karena itu v = vo), maka akan diperoleh menemukan solusi
dengan persamaan berikut.
𝑋(𝑧) = 1 − 𝑒 𝛿 (12)
Dimana,
−𝑘1 . 𝑊. 𝐷
𝛿= 𝑧
𝑣𝑜
2. Memplot nilai z = 100m dan z = 1000m pada Polymath
Data-data yang diketahui diinput ke dalam polymath dan memasukan final value
sebesar 100 dan 1000 sebagai berikut
Setelah polymath di run, diperoleh data sebagai berikut:
Grafik hubungan konversi terhadap jarak juga memiliki tren yang serupa
b. Nilai konsentrasi awal atrazine (CAO) dinaikkan sebanyak tiga kali (CAO = 3 x 10-4)
Nilai FA meningkat dan laju reaksi juga semakin cepat. Hal ini sesuai dengan persamaan
yang ada yaitu
𝐹𝐴
𝐶𝐴 = −𝑟𝐴 = 𝑘1 . 𝐶𝐴
𝑣
Plot your results with three different variations: conversion (x) as a function
of distance, molar flow of atrazine (FA) as a function of distance, and reaction rate
(rA) as a function of distance. Do these runs until z = 1000 m.
1. Grafik Conversion (X) sebagai fungsi jarak (z)
Seperti yang telah dicantumkan pada pembahasan sebelumnya, telah diketahui
bahwa semakin jauh jarak wetland (z) maka akan semakin besar pula konversinya seperti
yang ditunjukan oleh grafik diatas menunjukan hasil yang semakin meningkat seiring
bertambah panjangnya jarak pada wetland.
𝐹𝐴 = 𝐹𝐴𝑜 (1 − 𝑥)
Grafik diatas membentuk tren menurun ke bawah karena semakin besar nilai z
maka konversi semakin tinggi sehingga molar flow atrazine yang didapat akan semakin
kecil. Hal ini berlaku untuk molar flow dari atrazine yang semakin menurun sepanjang
wetland karena sebagian besar atrazine telah terkonversi.
𝐹𝑎 = 𝐹𝑎𝑜(1 − 𝑥) −𝑟𝐴 = 𝑘1 . 𝐶𝐴 𝐹𝐴
𝐶𝐴 =
𝑣
Pada grafik dapat terlihat hubungan reaction rate (rA) dengan jarak wetland (z)
semakin meningkat, dalam persamaan laju reaksi disimbolkan dengan –rA yang
seharusnya semakin panjang jarak wetland maka akan semakin kecil reaction ratenya.
Maka apabila rA tidak dalam bentuk negatif maka grafik yang ditampilkan akan
berkebalikan, yaitu meningkat, walaupun hasil yang dimaksud sama saja.
Dari hasil polymath, dapat dilihat bahwa untuk ketiga kondisi masih terjadi
konversi dari atrazine, namun konversi paling kecil dimiliki saat kondisi terjadi hujan.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi atrazine menjadi semakin kecil dengan adanya
penambahan volume air (air hujan) sehingga konversinya menjadi paling kecil. Saat tida
terjadi evaporasi maupun hujan, didapatkan konversi yang sedikit lebih kecil dari
konversi saat terjadi evaporasi karena laju evaporasi yang terjadi sangat kecil sehingga
tidak begitu signifikan perbedaannya.
Grafik yang dihasilkan FA vs z :
Grafik yang dihasilkan merupakan grafik molar flow output (FA) vs jarak (z).
Garis berwarna abu-abu (paling atas) mewakilkan kondisi ketika terjadi hujan, garis
berwarna biru muda mewakilkan kondisi awal (ketika tidak terjadi evaporasi maupun
hujan) sedangkan garis berwarna hitam mewakilkan kondisi ketika terjadi evaporasi.
Garis berwarna abu-abu berada paling atas dimana memiliki nilai FA paling tinggi
dikarenakan pada kondisi ini konversi yang dihasilkan lebih sedikit sehingga molar flow
saat keluar juga lebih tinggi .
Garis berwarna biru muda dan hitam berhimpitan karena perbedaan konversi yang
dihasilkan sangat kecil. Kedua garis tersebut memiliki nilai FA yang lebih rendah
dibandingkan dengan kondisi saat terjadi hujan dikarenakan konversi yang terjadi lebih
besar sehingga molar flow yang keluar jumlahnya akan lebih sedikit.
BAB III
KESIMPULAN
Foggler, Scott. 2006. Elements of Chemical Reaction Engineering, 4th edition. New York:
Pearson Education, Inc.
Soewondo, Prayatni. n.d. Aplikasi Wetland. Prodi Teknik Lingkungan, FTSL, ITB.