Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS INDONESIA

PAPER TEKNIK REAKSI KIMIA 2


WETLAND

KELOMPOK 5
ANGGOTA KELOMPOK:

Chriscavin Jitas (1506673416)


Dimas Rahadi Pitoyo (1506673473)
Nabilla Larasati (1506673435)
Syafira Deani Tiaradiba (1506673422)
Tita Tri Yolandini (1506673403)

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
DEPOK
MARET 2018
ABSTRAK

Lahan basah atau biasa disebut wetland merupakan suatu lahan yang jenuh air
dengan kedalaman air tipikal yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan
tanaman air emergent misalnya cattail, bulrush, umbrella plant dan canna. Daerah ini juga
sering digunakan untuk mengolah limbah domestik serta digunakan sebagai reklamasi lahan
penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Wetland sendiri juga kaya akan
keanekaragaman dan sering dijadikan sebagai habitat makhluk hidup. Salah satu daerah
wetland yang berada di Indonesia adalah kawasan Blang Krueng dimana digunakan sebagai
pengolahan septic tank limbah rumah tangga dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
bersih. Dalam pengaplikasiannya, daerah wetland ini dapat diasumsikan sebagai reaktor
PFR, dimana tidak terdapat pengaduk pada daerah tersebut. Dalam penurunan
persamaannya, nilai konversi pada wetland akan semakin tinggi ketika panjang daerah
wetland (reaktor) semakin panjang. Sedangkan pada daerah wetland yang panjang, nilai
molar flow atrazine semakin kecil di titik keluaran karena atrazine sudah banyak yang
terkonversi serta nilai laju reaksi akan semakin kecil yang dipengaruhi oleh konversi yang
besar dan waktu tinggal yang besar.

Kata kunci: Wetland, Blang Krueng, PFR, molar flow, atrazine, konversi
BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai negara di dunia, sejak belakangan ini mengalami permasalahan karena


cadangan air yang tersedia tidak mencukupi. Negara Iran pun diramalkan akan mengalami
kelangkaan air pada tahun 2025, hal ini berdasarkan pada persediaan air yang kurang dari
1000 m3 untuk air daur ulang bagi tiap orang per tahun. Masalah ini disebabkan oleh sumber
air yang sudah tercemar oleh limbah industri, pertanian, dan perumahan. Limbah pertanian
dan perumahan mengandung nutrien yang tinggi, yang merupakan bahan polutan dan dapat
mencemari air permukaan tanah serta sistem air bawah tanah.
Pengolahan air limbah dengan menggunakan Constructed Wetland (CW) merupakan
salah satu sistem pengolahan limbah yang digunakan dibanyak negara. Sistem ini cukup
potensial untuk digunakan sebagai solusi dalam menekan tingkat limbah yang meluas serta
untuk mendapatkan akses air minum yang lebih aman. CW merupakan sistem pengolahan
limbah yang sudah didesain dengan proses yang alami dan menggunakan substrat wetland,
tanaman, serta memanfaatkan mikroba untuk membantu proses pengolahan air limbah.
Sistem ini hampir serupa dengan proses yang terjadi di wetland secara alami, sehingga
memberikan banyak manfaat dan lingkungan pun menjadi lebih terkontrol. Nitrogen (N) dan
Fosfor (P) merupakan nutrient penting yang akan dihilangkan dalam sistem CW ini.
Mekanisme pemurnian air limbah dari N adalah dengan menggunakan tanaman dan
mikroorganisme, amonifikasi, penguapan amoniak, serta pertukaran kation dari ammonium.
Sedangkan mekanisme pemurnian air limbah dari P adalah dengan menggunakan proses
adsorpsi kimia dan proses pemisahan zat padat dari zat cair pada substrat, serta
menggunakan proses transformasi biologi, dan tanaman yang digunakan adalah dalam
presentase yang lebih rendah.
Limbah Industri di negara-negara berkembang menunjukkan jumlah dan jenis
polutannya semakin meningkat, terutama ion logam berat dan menyebabkan emisi polutan
tersebut ke biosfer. Kontaminasi jenis ion logam berat di dalam air merupakan masalah
lingkungan yang serius, karena akan membahayakan ekosistem air serta kesehatan manusia.
Beberapa ion logam berat yang terkandung dalam air limbah antara lain Ni, Mn, Pb, Cr, Cd,
Zn, Cu, Fe, Hg, dan unsur berbahaya lainnya seperti As, B, Na. Beberapa diantaranya dapat
dihilangkan dengan sistem CW.
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Pengertian Wetland


Lahan basah terjadi dimana air bertemu dengan tanah. Contoh dari lahan basah
antara lain bakau, lahan gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir,
sawah, dan terumbu karang. Lahan basah ada di setiap negara dan di setiap zona iklim,
dari daerah kutub sampai daerah tropis, dan dari dataran tinggi sampai daerah kering.
Menurut Hammer (1991), Sistem Constructed Wetland adalah sistem yang terdiri
dari tiga faktor utama:
1. Area yang tergenangi air dan mendukung hidup tanaman air sejenis
hydrophita.
2. Media tempat tumbuh tanaman berupa tanah yang selalu digenangi
air (basah).
3. Media tempat tumbuh tanaman bias juga bukan tanah, tetapi media
yang jenuh dengan air.
Definisi lain dari Sistem Constructed wetland sangat beragam diantaranya Sistem
Constructed wetland adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air yang
kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent misalnya
Cattail, bulrush, umbrella plant dan canna (Metcalf and Eddy, 1991). Pengertian lainnya
Sistem Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang dibuat untuk mengolah
air limbah domestik, untuk aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau sebagai
tempat hidup habitat liar lainnya, selain itu constructed wetland dapat juga digunakan
untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Sistem
Constructed Wetland dapat berupa biofilter yang dapat meremoval sedimen dan polutan
seperti logam berat (Wikipedia, 2007).
Yang termasuk kedalam lahan gambut diantaranya adalah moor, bog, mires, hutan
rawa gambut dan permafrost tundra. Luas lahan gambut secara keseluruhan mencapai
setengah dari luas lahan basah di dunia, dan menutupi 3% dari total luas permukaan
bumi. Semua lahan gambut dapat dijumpai di berbagai belahan dunia.
Lahan Gambut menjadi penting karena sebagai:
 Air: Lahan Gambut dapat menyerap air hujan, mencegah terjadinya banjir,
melepaskan air secara perlahan-lahan, dan menjamin pasokan air bersih sepanjang
tahun.
 Makanan: Jutaan orang bergantung pada lahan gambut sebagai kawasan
untuk menggembala ternak, penangkapan ikan, dan melakukan kegiatan pertanian
 Spesies: Hutan rawa gambut tropis merupakan rumah bagi ribuan hewan dan
tumbuhan, termasuk spesies langka dan terancam punah seperti orangutan dan
harimau Sumatera.
 Perubahan iklim: Lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari
hutan yang ada di seluruh dunia. Ketika terganggu atau dikeringkan, lahan
gambut dapat menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.

Constructed wetland ada dalam berbagai bentuk dan ukuran, tergantung dari
pemilihan dan evaluasi lokasi. Sistem ini bisa disesuaikan ke hampir semua lokasi dan
bisa dibangun dalam banyak konfigurasi dari unit tunggal kecil yang hanya beberapa
meter persegi sampai sistem dengan luas beratus hektar yg terintegrasi dengan pertanian
air atau tambak (USAID, 2006).
Dalam constructed wetland Terdapat dua sistem yang dikembangkan saat ini
yaitu:
1. Free Water Surface System (FWS)
FWS disebut juga rawa buatan dengan aliran di atas permukaan tanah. Sistem ini
berupa kolam atau saluran-saluran yang dilapisi dengan lapisan impermeable di bawah
saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau
saluran. Untuk sistem FWS dapat dilihat pada Gambar berikut:
Gambar 2.1 Free Water Surface System (FWS)
(Sumber: Wetland Ecosystem Treatment – a Brief Overview,2000 dalam Wijayanti, 2004)

FWS tersebut berisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang hidup pada air
tergenang (emerge plant) dengan kedalaman 0,1-0,6 m (Metcalf & Eddy, 1993). Pada
sistem ini limbah cair melewati permukaan tanah. Pengolahan limbah terjadi ketika air
limbah melewati akar tanaman, kemudian air limbah akan diserap oleh akar tanaman
dengan bantuan bakteri (Crites and Tchobanoglous, 1998 dalam Wijayanti, 2004).

2. Sub-Surface Flow System (SSF)


SFS disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah permukaan tanah. Air limbah
mengalir melalui tanaman yang ditanam pada media yang berpori (Novotny dan Olem,
1994). Untuk Sub-Surface Flow System dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Sistem ini menggunakan media seperti pasir dan kerikil dengan diameter bervariasi
antara 3-32 mm. Untuk zona inlet dan outlet biasanya digunakan diameter kerikil yang
lebih besar untuk mencegah terjadinya penyumbatan (USAID, 2006).
Proses pengolahan yang terjadi pada sistem ini adalah filtrasi, absorbsi oleh
mikroorganisme, dan absorbsi oleh akar-akar tanaman terhadap tanah dan bahan organik
(Novotny dan Olem, 1994). Pada sistem SFS diperlukan slope untuk pengaliran air
limbah dari inlet ke outlet. Tipe pengaliran air limbah pada umumnya secara horizontal,
karena jenis ini memiliki efisiensi pengolahan terhadap suspended solid dan bakteri
lebih tinggi dibandingkan tipe yang lain. Hal ini disebabkan karena daya filtrasinya lebih
baik. Penurunan BOD nya juga lebih baik karena kapasitas transfer oksigen lebih besar
(Khiattudin, 2003).

Wetland Buatan memiliki keunggulan dan kekurangan, diantaranya :


 Keunggulan :
o Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan lebih murah.
o Pengoperasian dan perawatan lebih mudah sehingga dapat dilakukan oleh
tenaga lokal.
o Mempunyai efisiensi yang cukup tinggi.
o Relatif toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi bahan pencemar
o Dapat menghilangkan logam-logam berat yang tidak dapat diolah dengan
cara konvensional.
o Bahan pencemar di dalam air limbah dapat didaur ulang untuk menjadi
biomassa yang bernilai ekonomis.
o Cocok dikembangkan di pemukiman yang kecil, daerah pertanian, daerah
pertambangan yang mampunyai lahan yang cukup luas.
o Memberikan keuntungan yang tidak langsung seperti mendukung fungs
iekologis, kawasan hijau, habitat satwa, dan juga untuk kawasan rekreasi.
 Kekurangan :
o Memerlukan lahan yang luas.
o Kriteria desain dan operasi masih belum jelas.
o Kompleksitas biologis dan hidrologis belum dipahami dengan baik.
o Kemungkinan berkembangnya vektor penyakit dalam sistem seperti
nyamuk

2.2 Aplikasi Wetland sebagai Pengolah Air Limbah Domestik


Air limbah domestik adalah air buangan manusia yang berasal dari perumahan,
daerah komersial, institusi dan fasilitas sejenis (Metcalf dan Eddy, 1991). Menurut Mara
D. dalam Mukhlis, 2003 air limbah domestik didefinisikan sebagai air buangan tubuh
manusia yang berupa tinja atau kemih (black water) serta buangan dapur dan kamar
mandi (grey water).
Air limbah yang masih baru berupa cairan keruh berwarna abu-abu dan berbau
tanah, tetapi tidak terlalu merangsang. Bahan ini mengandung padatan berukuran besar
yang terapung atau tersuspensi (misal tinja, jerami dan lain-lain), padatan tersuspensi
yang lebih kecil (misal irisan sayuran), serta polutan dalam bentuk larutan sejati. Bahan
ini tidak sedap dipandang dan sangat berbahaya, terutama karena jumlah mikroorganisme
pathogen yang dikandungnya (Mukhlis, 2003).
Air limbah domestik terdiri dari komponen–komponen fisik, kimia dan biologi.
Beberapa kontaminan penting yang terdapat dalam air limbah yaitu (Metcalf dan Eddy,
1991) :
 Padatan tersuspensi, substansi zat ini dapat menstimulasi pembentukan deposit
lumpur dan kondisi anaerobik pada badan air.
 Bahan organik biodegradable meliputi senyawa protein, karbohidrat dan lemak.
Bahan organik yang tinggi dalam air dapat menurunkan kandungan oksigen
didalamnya.
 Nutrien, keberadaan nutrien menyebabkan terjadinya eutrofikasi dalam badan air dan
dapat menyebabkan polusi air tanah.
 Bahan organik non-biodegradable (zat oaganik yang sulit terurai) adalah bahan yang
terutama disintesis secara buatan dan bertahan lama di alam karena sulit didegradasi,
meliputi surfaktan, phenol dan pestisida.
 Mikroorganisme pathogen.
 Bahan inorganik terlarut, misalnya kalsium, natrium dan sulfat.
 Priority pollutant, yaitu senyawa organik dan inorganik yang bersifat karsinogenik,
mutagenik dan teragenik serta toksik akut.

2.3 Konsep Perencanaan Wetland


Terdapat beberapa ketentuan dalam membangun wetland yaitu:

 Unit wetland harus didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada
media koral oleh partikel-partikel besar.
 Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman ± 1 m.
 Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet.
 Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s/d 10 mm.
setinggi/setebal 80 cm
 Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan
melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.
 Dialirkan air limbah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang
memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral
 Disain luas kolam berdasarkan Beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan
Loading rate pada umumnya. Untuk Amerika Utara = 32,10 kg BOD/Ha per hari.
Untuk daerah tropis kira-kira = 40 kg BOD/Ha per hari.

Gambar 2.2 Process flow diagram for a typical treatment plant via subsurface flow constructed
wetlands (SFCW)
(sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Sewage_treatment)
2.4 Aplikasi TRK terhadap Wetland
Parameter yang ditinjau pada wetland berdasarkan ilmu Teknik Reaksi Kimia adalah
sebagai berikut:
Pada wetland, terjadi penyerapan racun oleh akar tumbuhan yang ada pada wetland,
sehingga terjadi reaksi absorbs dan dapat diibaratkan sebagai reaktor.
Wetland diibaratkan sebagai reaktor PFR, Wetland diibaratkan sebagai reaktor PFR
karena bentuknya yang memanjang seperti PFR dan tidak terdapat pengaduk yang
mampu mengaduk secara sempurna (perfect mixing) sehingga tidak mampu diibaratkan
sebagai reaktor CSTR.
Karena adanya reaksi, maka panjang wetland, konsentrasi racun pada aliran masuk,
entering volumetric flow rate, specific reaction rate serta ada atau tidaknya evaporasi
pada wetland yang sangat mempengaruhi laju reaksinya.
1. Konsentrasi racun pada aliran masuk
Semakin besar konsentrasi atrazine pada aliran masuk, maka dapat
semakin besar pula konsentrasi pada aliran keluarnya dan mampu menyebabkan
laju reaksinya akan semakin tinggi pula.
Konsentrasi dari atrazine (toxic) dapat dipengaruhi oleh evaporasi,
evaporasi akan menghilangkan air yang menyebabkan konsentrasi atrazine dapat
meningkat.
2. Entering volumetric flow rate
Entering volumetric rate berpengaruh terhadap besarnya konversi yang
akan dihasilkan oleh reaksi. Volume juga dapat dipengaruhi oleh kedalaman
wetland itu sendiri, semakin dalam wetlandnya maka akan semakin besar
volumenya.
3. Specific reaction rate
Specific reaction rate dipengaruhi oleh suhu dari lingkungan, semakin
besar suhu nya maka akan semakin besar pula nilai specific reaction ratenya
yang menyebabkan laju reaksi semakin besar.
4. Ada atau tidaknya evaporasi
Ada atau tidaknya evaporasi akan mempengaruhi konsentrasi dari atrazine
dalam wetland yang akan mempengaruhi konversi dari wetlandnya. Konversi ini
disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi awal masuk atrazine, maka akan
semakin tinggi konversinya.
Terjadi atau tidaknya evaporasi sangat bergantung kepada humidity
lingkungannya. Semakin tinggi humidity di lingkungan tersebut maka akan sulit
terjadi evaporasi. Sebaliknya apabila humidity lingkungan tersebut rendah, maka
akan banyak air yang terevaporasi untuk menyeimbangkan humidity lingkungan.

2.5 Wetland di Indonesia


Salah satu aplikasi Wetland di Indonesia terdapat pada munbungo-lamkruet aceh
besar sebagai sarana sanitasi umum (mck).

Gambar 2.3. Sarana Sanitasi Umum (mck) di Munbungo-Lamkruet Aceh Besar


(Sumber : https://anzdoc.com/aplikasi-wetland-beberapa-kasus-di-nad.html)
Terdapat beberapa tahapan pada wetland yang terdapat di NAD, diantaranya :

o Primary Treatment
4 Unit tangki dari cincin dengan dinding dan dasar kedap air.
- Biasa digunakan oleh masyarakat untuk tangki septic.
- Kontruksi lebi murah dan lebih cepat dibandingkan dengan pasangan fiber,
plastik, bata atau beton.
- Memungkinkan dipasang pada daerah dengan muka air tanah tinggi, karena
dasar cincin dan dinding dapat dibuat sebelumnya.
- Cukup berat, sehingga tidak terangkat oleh tekanan air tanah.
o Secondary Treatment
- 2 Unit Up Flow Filter dari cincin dengan dinding dan dasar kedap air
- Wetland dengan dinding pasangan bata dan dasar dari plastik (memanfaatkan
tanah kosong.
BAB II
JAWABAN PERTANYAAN

Design a model for a wetland of known dimensions through which waste


water flows from left to right, assuming that the system behaves as a PFR. Assume
that the degradation of chemicals -such as atrazine- follows irreversible first-order
homogeneous kinetics, and that part of the waste water evaporates from the surface
as it flows along the wetland.
Obtain an equation that represents the molar flow of toxic substances (FA) as
a function of distance (z). Consider that evaporation occurs on the wetland's top
surface area at a constant rate (Q = kmol water / hr.m2) and that none of the toxic
chemicals are lost to the air by evaporation.

1. Penurunan Persamaan
Langkah pertama terdiri dari persamaan untuk aliran molar toksik, F A, sebagai
fungsi jarak melalui lahan basah, z.
Pertama-tama persamaan yang berkaitan dengan HPK sehubungan dengan
konversi harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, laju alir molar atrazine
pada keluaran wetland, FA, bergantung pada laju alir molar atrazine awal, FAo, dan yang
tidak bereaksi (1). Selain itu juga diketahui persamaan yang menghubungkan laju reaksi,
konversi, dan perubahan volume (2). Karena reaksinya adalah orde pertama homogen,
persamaannya seperti pada persamaan (3).

𝐹𝐴 = 𝐹𝐴𝑜 (1 − 𝑥) (1)
𝑑𝑥
𝐹𝐴𝑜 = −𝑟𝐴 (2)
𝑑𝑧
−𝑟𝐴 = 𝑘1 . 𝐶𝐴 (3)

Setelah itu, menghubungkan konsentrasi dan aliran molar ke laju alir volumetrik,
yang diberikan dalam kondisi data awal. Karena laju alir volumetrik akhir, v, adalah
perbedaan antara vo awal dengan laju alir volumetrik pada pintu keluar, maka dapat
direpresentasikan sebagai pengurangan sederhana. Namun, untuk itu perlu
dipertimbangkan penguapan air superfisial (Q) yang dikalikan dengan luas permukaan
lahan basah (W x L atau W x z) dan dibagi dengan kerapatan molar akan menghasilkan
unit adekuat (m3/jam) sebagai ditunjukkan dalam persamaan (4).
𝑄. 𝑊. 𝑧
𝑣 = 𝑣𝑜 − (4)
𝜌𝑚

Persamaan yang menghubungkan CA dan FA secara langsung sebagai berikut


𝐹𝐴
𝐶𝐴 = (5)
𝑣
Mengkombinasikan persamaan 1, 4, dan 5, mendapatkan persamaan general (6)
yang menghubungkan konsentrasi sebagai fungsi jarak.

𝐶𝐴𝑜 . (1 − 𝑥)
𝐶𝐴 = (6)
𝑄. 𝑊. 𝑧
1 − 𝜌𝑚. 𝑣𝑜

Setelah itu, untuk menggabungkan laju reaksi dengan ekspresi baru untuk
konsentrasi, perlu mengganti persamaan (3) ke dalam persamaan (2) terlebih dahulu.
Kemudian, perbedaan volume (dV) pada (2) harus direpresentasikan sebagai perkalian W
x D x dz, yang berarti bahwa panjang lahan basah masih bervariasi, dengan lebar dan
kedalaman konstan. Dengan menggunakan persamaan (5), kita bisa menerjemahkan nilai
FAO sebagai perkalian CAO x vo. Akhirnya, CA pada persamaan (3) diganti dengan
persamaan yang diperoleh pada (6). Hasilnya adalah persamaan PFR yang siap untuk
integrasi yang diperlihatkan pada persamaan (7).

𝑑𝑥 𝐶𝐴𝑂 . (1 − 𝑥)
𝐶𝐴𝑂 . 𝑣𝑜. = 𝑘1. 𝑊. 𝐷. (7)
𝑑𝑧 𝑄. 𝑊. 𝑧
1 − 𝜌𝑚. 𝑣𝑜

Dengan menyusun ulang persamaan dan konstanta, didapatkan persamaan (8).


𝑑𝑥 𝑘1. 𝑊. 𝐷 𝑘1. 𝑊. 𝐷 1
= 𝑑𝑧 = . 𝑑𝑧 (8)
(1 − 𝑑𝑥) 𝑣𝑜(1 − 𝑄. 𝑊. 𝑧) 𝑣𝑜 1 −∝2
𝜌𝑚. 𝑣𝑜
𝑄. 𝑊
Dimana, ∝ =
𝜌𝑚. 𝑣𝑜
Setelah itu melakukan integral dengan kondisi batas x = 0 pada z = 0, dan x = X pada z =
Z, sehingga didapatkan persamaan (9):

𝑋 𝑍
𝑑𝑥 𝑘1. 𝑊. 𝐷 1
∫ =∫ . 𝑑𝑧
0 (1 − 𝑑𝑥) 0 𝑣𝑜 1 −∝2

𝑘1. 𝑊. 𝐷
ln(1 − 𝑋) = . ln(1 −∝𝑍 ) = 𝛽. ln(1 −∝𝑍 ) (9)
𝑣𝑜. ∝

Dimana,
𝑄. 𝑊 𝑘1 . 𝑊. 𝐷
∝ = 𝛽=
𝜌𝑚. 𝑣𝑜 𝑣𝑜. 𝛼
Mengatur ulang dan menyelesaikan persamaan untuk konversi (X) dalam fungsi jarak
(Z), diperoleh persamaan (10):

𝑋 = 1 − (1 −∝𝑍 )𝛽 (10)

Akhirnya, dengan menempatkan hasil tersebut kembali ke persamaan awal (1) untuk FAO,
maka diperoleh persamaan akhir untuk model PFR sesuai dengan kasus.

𝐹𝐴 = 𝐹𝐴𝑂 . (1 −∝𝑍 )𝛽 (11)

Jika kasus dimodelkan dengan asumsi tidak terjadi evaporasi dan curah hujan di
lahan basah (Q = 0 dan karena itu v = vo), maka akan diperoleh menemukan solusi
dengan persamaan berikut.
𝑋(𝑧) = 1 − 𝑒 𝛿 (12)
Dimana,
−𝑘1 . 𝑊. 𝐷
𝛿= 𝑧
𝑣𝑜
2. Memplot nilai z = 100m dan z = 1000m pada Polymath

Melakukan simulasi pada polymath dengan data sebagai berikut:

Data-data yang diketahui diinput ke dalam polymath dan memasukan final value
sebesar 100 dan 1000 sebagai berikut
Setelah polymath di run, diperoleh data sebagai berikut:

Untuk nilai z = 100m

Untuk nilai z = 1000m


Dari kedua data tersebut, diperoleh hasil data polymath yang berbeda untuk nilai
konversi (x), laju reaksi kimia (-rA), molar flow rate outlet dari atrazine dan volumetric
flow ratenya.
Pada z = 1000m, nilai konversi yang dihasilkan lebih besar daripada yang nilai z
= 100m karena semakin jauh titik akhir yang diambil maka akan semakin lama reaksi
yang berlangsung, sehingga nilai konversi akan semakin besar. Namun, nilai laju reaksi
kimia yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan yang nilai z = 100m karena
semakin besar konversi maka akan semakin lama waktu tinggal komponen saat reaksi,
sehingga laju reaksi akan semakin lambat.
Adapun untuk molar flow rate output dari atrazine (toxic), pada z = 1000m akan
lebih kecil dibandingkan dengan nilai z = 100m karena semakin banyak atrazine yang
terkonversi maka akan semakin kecil pula konsentrasi atrazine yang belum terkonversi
saat di titik keluar wetland.
Volumetric flow rate untuk nilai z = 1000m sedikit lebih kecil dibandingkan
dengan nilai z = 100m karena atrazine yang terkandung semakin berkurang sehingga
mengurangi volumetric flow ratenya.
3. Memvariasikan parameter yang terlibat
a. Evaporation rate dinaikkan menjadi dua kali (Q = 2 x 10-5)
Konversi akan naik, karena konsentrasi akan meningkat dan v akan turun sehingga FA akan
turun.

Grafik hubungan konversi terhadap jarak juga memiliki tren yang serupa
b. Nilai konsentrasi awal atrazine (CAO) dinaikkan sebanyak tiga kali (CAO = 3 x 10-4)

Nilai FA meningkat dan laju reaksi juga semakin cepat. Hal ini sesuai dengan persamaan
yang ada yaitu
𝐹𝐴
𝐶𝐴 = −𝑟𝐴 = 𝑘1 . 𝐶𝐴
𝑣

Plot your results with three different variations: conversion (x) as a function
of distance, molar flow of atrazine (FA) as a function of distance, and reaction rate
(rA) as a function of distance. Do these runs until z = 1000 m.
1. Grafik Conversion (X) sebagai fungsi jarak (z)
Seperti yang telah dicantumkan pada pembahasan sebelumnya, telah diketahui
bahwa semakin jauh jarak wetland (z) maka akan semakin besar pula konversinya seperti
yang ditunjukan oleh grafik diatas menunjukan hasil yang semakin meningkat seiring
bertambah panjangnya jarak pada wetland.

2. Grafik Molar Flow Atrazine (FA) sebagai fungsi jarak (z)

𝐹𝐴 = 𝐹𝐴𝑜 (1 − 𝑥)

Grafik diatas membentuk tren menurun ke bawah karena semakin besar nilai z
maka konversi semakin tinggi sehingga molar flow atrazine yang didapat akan semakin
kecil. Hal ini berlaku untuk molar flow dari atrazine yang semakin menurun sepanjang
wetland karena sebagian besar atrazine telah terkonversi.

3. Grafik Reaction Rate (rA) sebagai fungsi jarak (z)

𝐹𝑎 = 𝐹𝑎𝑜(1 − 𝑥) −𝑟𝐴 = 𝑘1 . 𝐶𝐴 𝐹𝐴
𝐶𝐴 =
𝑣
Pada grafik dapat terlihat hubungan reaction rate (rA) dengan jarak wetland (z)
semakin meningkat, dalam persamaan laju reaksi disimbolkan dengan –rA yang
seharusnya semakin panjang jarak wetland maka akan semakin kecil reaction ratenya.
Maka apabila rA tidak dalam bentuk negatif maka grafik yang ditampilkan akan
berkebalikan, yaitu meningkat, walaupun hasil yang dimaksud sama saja.

Explore the effects of atrazine degradation if the weather conditions changed


over the wetlands. What would occur if the ambient air was saturated and there
could be no evaporation? What if it rained, making the evaporation rate a negative
value? Choose appropiate values for Q (surface area evaporation) in these two
scenarios, and plot them in comparison with the original case using Polymath. You
should observe differences on the way the weather affects the molar flow of atrazine,
FA, as the waste water travels a distance of z = 1000 m.
Pada kondisi ambient yang jenuh (jumlah uap air setimbang) maka tidak akan ada
evaporasi (maka Q2= 0 kmol water/hr.m2 ). Apabila kondisi nya hujan, maka laju
evaporasi akan menjadi negatif dan diasumsikan sebesar Q3 = -1E-03 kmol water/hr.m2.
Dengan mengubah persamaan pada polymath untuk menambahkan Q1, Q2 dan Q3 maka
listing pada polymath menjadi sebagai berikut.
Hasil Perhitungan :

Dari hasil polymath, dapat dilihat bahwa untuk ketiga kondisi masih terjadi
konversi dari atrazine, namun konversi paling kecil dimiliki saat kondisi terjadi hujan.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi atrazine menjadi semakin kecil dengan adanya
penambahan volume air (air hujan) sehingga konversinya menjadi paling kecil. Saat tida
terjadi evaporasi maupun hujan, didapatkan konversi yang sedikit lebih kecil dari
konversi saat terjadi evaporasi karena laju evaporasi yang terjadi sangat kecil sehingga
tidak begitu signifikan perbedaannya.
Grafik yang dihasilkan FA vs z :

Grafik yang dihasilkan merupakan grafik molar flow output (FA) vs jarak (z).
Garis berwarna abu-abu (paling atas) mewakilkan kondisi ketika terjadi hujan, garis
berwarna biru muda mewakilkan kondisi awal (ketika tidak terjadi evaporasi maupun
hujan) sedangkan garis berwarna hitam mewakilkan kondisi ketika terjadi evaporasi.

Garis berwarna abu-abu berada paling atas dimana memiliki nilai FA paling tinggi
dikarenakan pada kondisi ini konversi yang dihasilkan lebih sedikit sehingga molar flow
saat keluar juga lebih tinggi .

Garis berwarna biru muda dan hitam berhimpitan karena perbedaan konversi yang
dihasilkan sangat kecil. Kedua garis tersebut memiliki nilai FA yang lebih rendah
dibandingkan dengan kondisi saat terjadi hujan dikarenakan konversi yang terjadi lebih
besar sehingga molar flow yang keluar jumlahnya akan lebih sedikit.
BAB III
KESIMPULAN

1. Persamaan akhir untuk PFR model adalah


𝐹𝐴 = 𝐹𝐴𝑂 (1 − 𝛼𝑍)𝛽
2. Wetland dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, ukuran wetland, humiditas
lingkungan, konsentrasi toxic (yang dianggap sebagai reaktan) saat masuk serta
kedalaman wetland. Temperatur akan mempengaruhi koefisien laju reaksi yang akan
mempengaruhi kecepatan reaksi, sementara humiditas lingkungan akan
mempengaruhi terjadi atau tidaknya evaporasi.
3. Terjadi atau tidak terjadinya evaporasi serta terjadi atau tidak terjadinya hujan akan
mempengaruhi konsentrasi dari atrazine sehingga akan mempengaruhi molar flow
atrazine pada titik keluaran wetland.
4. Semakin panjang wetland/reaktor PFR maka akan semakin tinggi nilai konversi yang
dihasilkan karena reaksi yang terjadi semakin lama.
5. Semakin panjang wetland/reaktor PFR akan semakin kecil nilai molar flow atrazine
di titik keluaran dikarenakan atrazine sudah banyak terkonversi.
6. Semakin panjang wetland/reaktor PFR maka akan semakin kecil laju reaksinya
dikarenakan nilai konversi yang dihasilkan semakin besar dan waktu tinggal yang
semakin besar.
REFERENSI

Foggler, Scott. 2006. Elements of Chemical Reaction Engineering, 4th edition. New York:
Pearson Education, Inc.

Levenspiel, Octave. 1999. Chemical Reaction Engineering Third Edition. NewYork:


Department of Chemical Engineering Oregon State University.

Soewondo, Prayatni. n.d. Aplikasi Wetland. Prodi Teknik Lingkungan, FTSL, ITB.

Wetlands International. n.d. Apakah Lahan Basah Itu? Tersedia di:


https://indonesia.wetlands.org/. Diakses pada 15 September 2018.

Anda mungkin juga menyukai