Anda di halaman 1dari 6

Institusi Hukum Juga Harus

Paham Konteks Tata Ruang


Nyata bahwa sebuah aturan dalam peraturan perundang
undangan wajib dipahami planner sampai ke petunjuk teknis
dan pelaksanaannya. Pertanyaannya haruskah kita paham
seluruh aturan perundang-undangan serta petunjuk teknis dan
pelaksanaan dari taru?

Ada sebuah dilema dalam perencanaan, pelaksanaan dan


pengendalian tataruang, yng menyangkut apakah setelah
sebuah produk taru itu disahkan mengikat menjadi sebuah
peraturan setingkat presiden dengan Keppres, setingkat
pemerintahan daerah berupa Perda?

Pertanyaan selanjutnya jika ada pertentangan karena tafsir dari


sebuah lembaga hukum tentang hubungan levelling produk
rencana yng pasti akan melihat produk hukum yng paling atas
yng harus diikuti oleh yang dibawahnya lalu serta merta
menetapkan bahwa yng dibawahnya cacat yuridis?

Dari pertanyaan pertama, sebuah produk perencanaan sebelum


menginjak pada proses pengesahan, tentu melihat dan
memperhatikan juga menimbang sebuah aturan hukum
diatasnya...baca produk taru level diatasnya. Dikolaborasikan
antara tim yng dikepalai seorang planner dengan beberapa tim
ahli dari bidang lainnya dengan adanya tim teknis untuk
menghasilkan produk kesepakatan yng sudah melalui beberapa
pertimbangan dan ide teknis dan hukumnya, sebelum dibahas
dalam forum politis di legislatif. Tentu hasil produk
kesepakatan teknis tsb setelah mendapat pengesahan legislatif
akan mengikat pada daerah/wilayah yng bersangkutan sejak
diundangkan.
Pertanyaan kedua, jika suatu saat ada klaim dari masyarakat
pengguna ruang yng telah mengurus ijin dan menguasai lahan
ternyata dalam pengurusan IMB nya ditangguhkan karena tidak
sesuai dengan rencana yang sudah berupa perda, akan tetapi
bertahan pada alasan kuat bahwa perencanaan dlm tingkatan
perda bertentangan dengan perencanaan dalam tingkatan
Kepres.

Ini yng menarik, jika hal ini disengketakan akan harus juga
pasti akan ada dua syarat utama dalam memutuskan, pertama
yng menyidangkan perkaranya harus paham bagaimana produk
taru, bagaimana bagian kepemilikan dan peruntukan yang
paling prinsip paham tentang konteks taru tidak hanya teks nya.

Saya contohkan jika yang disengketakan sebuah lahan (non


kawasan) sesuai dengan delik dan lokus terlapor bahwa lahan
yng dimohonkan IMB yng ditolak karena lokasinya
diperuntukkan tetap sebagai lahan pertanian. Dasar yng
diambil untuk layanan IMB merujuk pada RDTR yang telah di
perdakan. Tidak serta merta bisa dibenturkan dengan
perencanaan diatasnya yng berupa sebuah kebijakan
pengembangan kawasan spt dalam produk sebuan perencanaan
KSN (kawasan strategis nasional). Dalam produk rencana
dalam skala KSN sama sekali tidak akan memakai nomenklatur
kegiatan, didalamnya karena berupa kebijakan pengendalian
lebih pada penamaan "Kawasan" bukan "Kegiatan" seperti di
RDTR.
Dalam sebuah kawasan, mempunyai fungi dominasi sedangkan
dalam konteks kegiatan, sudah harus nyata dan tetap sebagai
kegiatan apa dlm nomenklatur detailnya, seperti misalnya
plotting kawasan perumahan di KSN, di dalam nomenklaturnya
belum dijabarkan jenis kegiatan perumahan seperti apa yang
bisa didalamnya. (apakah perumahan kopel, deret, tunggal,
mewah dst belum lagi kekhususan dr plaotting kegiatan
perumahannya sendiri apakah perumahan kepadatan tinggi,
sedang, rendah dst). Demikian juga dalam plotting pertanian
dan lainnya yng berupa kawasan.
Dalam produk RDTR sudah bicara "Kegiatan Tidak Lagi
Kawasan". Disini jelas bahwa penggunaan dasar
mempertentangkan produk KSN dengan Rinci harus benar-
benar paham konteks.

Akan sangat salah jika sebuah lembaga hukum memutuskan


sebuah aduan masyarakat mengalahkan apa yng sdh ada dalam
produk RDTR yng sudah diperdakan karena sebab dalam KSN
tertera bukan pada kawasan.

Jika dan hanya jika terjadi sebuah sengketa lahan yang


diarahkan kepada sebuah lembaga hukum, selayaknya yng
berhak memutuskan memintakan fatwa ahlinya sebelum
menetapkan putusan, bukan hanya dilihat dari strata hukum,
yang atas mengalahkan yng bawah atau demi keadilan,
kesamaan hak dan rasa kemanusiaan juga mendukung upaya
investasi.

Jika hal diatas benar-benar terjadi juga sampai Pemda kalah,


maka Pemerintah daerah yng sudah kalah dalam proses uji
materi di MA sekalipun dapat melakukan upaya peninjauan
kembali ttg hal tersebut.

Dasarnya menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar


Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan
kembali dalam perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (“UU MA”).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan


hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan
sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal
yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama
atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dipahami bahwa kepemilikan lahan bukan serta merta lalu


semaunya sendiri menjadikannya untuk kegiatan apapun,
justru dalam rencana tataruanglah bisa mendapatkan kepastian
hukum dalam pelaksanaan pembangunannya. Karena semua
masyarakat membutuhkan harmoni dalam kebutuhan ruangnya
yng dinamis maka harus diatur peruntukannya agar bersinergi
dengan peruntukan lainnya dan mengeliminir benturan
kepentingan dalam aktifitasn

Mimpi Buah Simalakama


Tertib Tata Ruang
Sebuah kebijakan merupakan keputusan yng diambil karena
ada permasalahan. Begitu pula dalam kebijakan penataan ruang
yng harus mempertimbangkan pada penyelarasan daya dukung
dan daya tampung ruang, ketersedian lahan dengan target
pembangunan.
Perencanaan harus terukur sehingga dapat selaras dan saling
mengisi serta memedomani antara perencanaan spatial dan
pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan.

Tidak hanya satu dua daerah saja kita temui adanya konflik
ruang karena daya dukung dan daya tampungnya tdk
didasarkan atas data yng benar. Seringkali data hanya berupa
angka-angka tabulasi tanpa crosschek kondisi dilapangan.
Apabila diterapkan sebagai data analisis akan bias jika
diterapkan karena apa yng tertera di tabulasi nomerik tdk sama
dengan peta yng akan ditetapkan sebagai kebijakan publik.

Ada sebuah contoh tentang hal ini, pada tahun 2010 ada sebuah
perda rtrw provinsi Z terbit. Peruntukan kawasan pertanian di
sebuah kota A ditetapkan 1.800Ha yang terdiri sawah irigasi
teknis, 1/2 teknis dan pasang surut.

Tahun 2011, perda rtrw kota A terbit dengan luasan 1.100.Ha.


Ternyata setelah ditinjau, peta, batang tubuh dan lampiran yang
menyebutkan luas pertanian tidak sinkron. Di dalam lampiran
perda hanya menyebutkan pengembangan hortikultura seluas
36 ha. Lalu pada tahun 2013, ada audit lahan pertanian di kota
sebesar 2.100 Ha berdasarkan data tahun 2012. Tahun 2013,
provinsi mengeluarkan perda LP2B dengan luasan lahan
pertanian di kota tetap 1.800 (karena mereka mengacu pada
perda rtrw yang dibuat tahun 2010 tapi kajian). Tidak
disertakan peta hanya data tabel.

Pada tahun 2014, perda LP2B direvisi tapi hanya merivisi pasal
yang mengacu pada pengenaan sanksi dengan luasan tetap
1.800 ha. Tahun 2017 perda LP2B direvisi lagi tapi luas tetap
1.800 ha. Sedangkan kenyataannya data dari dinas pertanian
kota, luas pertanian tercatat 1.900 Ha tahun 2016.

Pada tahun 2017 dilakukan kajian ulang dengan melakukan


pendigitasian kembali terhadap lahan-lahan pertanian kota dan
jumlahnya ternyata hanya tersisa 1.600 Ha. Itupun faktanya
dari kondisi ini ternyata dari 1.600Ha tersebut sudah banyak
lahan yang keluar izinnya, meskipun belum implementasi fisik.
Tertahan karena menunggu perda revisi terbaru.

Pembahasan revisi rtrw kota A tersebut sudah sampe tahap ke


persiapan pembahasan persub. Ketika konsultasi diminta
membuat kesepakatan bersama provinsi tentang luasan yang
diajukan. Tapi ternyata tetap berpedoman pada perda LP2B
2013 yang direvisi 2017 dengan luasan tetap 1.800Ha.

Berdasarkan fenomena tersebut, bukan tdk mungkin bahwa


lahan yng sdh diukur ulang sebesar 1.600 Ha dan ternyata
sudah banyak ada ijin selain untuk pertanian akan hanya
separuhnya yng benar2 sawah. Karena kasat mata sawah
dilapangan.

Pertanyaannya, jika Pengprov bertahan pada angka lahan


1.800Ha. Lalu dimana letak lahan tersebut? Inilah bahayanya
jika hanya bermain angka tanpa melakukan crosschek kondisi
sebenarnya dilapangan.

Memperhatikan dan menyelaraskan dinamika ruang terhadap


daya dukung dan daya tampung ruang, sangatlah penting, jika
tidak, siap-siap saja kehabisan lahan untuk pertanian. Jangan
terjebak pada upaya penghalalan alih fungsi dengan dalih revisi
tata ruang.

Sebuah mimpi siang hari di weekend ini yng membuat keringat


mengucur. Semoga tdk terjadi hal seperti ini !

Anda mungkin juga menyukai