Oleh
Pendamping:
PENDAHULUAN
1. Identitas Pasien
Nama : Rahmat
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 12 tahun
Alamat : Kota Fajar
Pekerjaan : Pelajar
2. Anamnesis
2.1 Keluhan Utama
Benjolan pada lipatan paha kanan.
2.2 Keluhan Tambahan
Tidak ada
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUDYA dibawa oleh keluarga dengan keluhan
benjolan pada lipatan paha kanan. Benjolan sebesar telur puyuh. Benjolan sudah
ada sejak pasien berumur 5 tahun. Benjolan biasanya timbul bila pasien sedang
berbicara, batuk, mengedan, beraktivitas berat seperti berlari dan bermain bola.
Saat beraktivitas berat seperti bermain bola maka benjolan dapat turun hingga ke
buah sakar. Pasien mengaku bila benjolan keluar dapat masuk sendiri ataupun
dimasukkan. Keluhan nyeri pada benjolan tidak pernah dikeluhkan. Pasien hanya
merasa tidak nyaman karena benjolan terkadang sampai buah sakar. Berdasarkan
pernyataan keluarga, karena pasien ada rencana sunatan, ditakutkan ada keluhan
atau kelainan yang berhubungan dengan benjolan tersebut kedepannya. Keluhan
mual tidak ada. Keluhan muntah tidak ada. Buang air kecil (BAK) nyeri tidak
pernah. BAK dalam batas normal. BAB dalam batas normal.
Vital sign
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Heart rate : 80 kali/menit
Respiratory rate : 18 kali/menit
Temperatur : 36,70C
3. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Thorax :
Paru-paru :
Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi
Palpasi : Fremitus raba normal
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS IV MCLS
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I> BJ II, reguler, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), soepel (+), organomegali (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik dalam batas normal
Ekstremitas
Superior : Edema (-), sianosis (-)
Inferior : Edema (-), sianosis (-)
Genetalia
Inspeksi : Saat berbaring dan berdiri tampak adanya penis dalam
ukuran normal, tampak preputium menutupi gland penis, tidak tampak
adanya luka, ekskroriasi, kutil, tidak ada tanda peradangan. Pada meatus
uretra eksterna tidak tampak adanya kutil maupun sekret. Tampak skrotum
berwarna sesuai dengan warna kulit pasien, tampak adanya rugae.
Palpasi : Pada penis tidak ada tanda peradangan, tidak teraba
massa, fimosis dan parafimosis tidak ada, pada glans penis tidak terdapat
kutil, sekret maupun nodul. Pada meatus uretra eksterna tidak ada keluar
sekret. Pada testis, teraba pada bagian kanan dan kiri skrotum, ukuran sama,
bentuk terasa bulat, konsistensi kenyal, tidak ada teraba massa sekitar testis,
nyeri tekan tidak ada. Palpasi epididimis pada bagian posterior testis tidak
teraba kelainan.
Status Lokalis
Regio inguinalis dextra
Look : Saat pasien berdiri, tidak ada kemerhan pada lipat paha,
tidak tampak adanya pembengkakan, saat pasien berbicara
dan batuk tampak adanya benjolan pada lipat paha
berukuran sekitar 3 x 3 cm. Kemudian saat berbaring
dengan posisi supine benjolan muncul saat pasien bericara.
Feel : Saat dilakukan perabaan pada saat berdiri dan berbaring
teraba adanya massa pada inguinal dekstra, bentuk bulat,
mobile, konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada.
Beberapa saat setelah pasien berbaring, tidak berbicara
benjolan dapat menghilang kembali. Tidak teraba adanya
pembesaran kelenjer getah bening pada regio inguinal
dekstra maupun sinistra.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan
Hematologi
- Hemoglobin 14,1 g/dl
- Hematokrit 43 %
- Eritrosit 5,4 106/mm3
- Leukosit 8,3 103/mm3
- Trombosit 268 103/mm3
Hitung jenis
- Eosinofil 7 %
- Basofil 0 %
- Netrofil segmen 0 %
- Netrofil batang 44 %
- Limfosit 42 %
- Monosit 7 %
Elektrolit
- Natrium 143 mmol/L
- Kalium 4,4 mmol/L
- Klorida 103 mmol/L
Diabetes
- Gula darah sewaktu 104 mg/dl
Ginjal Hipertensi
- Ureum 16 mg/dl
- Kreatinin 0,60 mg/dl
5. Foto Thoraks
7. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Embriologi
Perkembangan gonad menjadi sistem urogenitalia pada struktur
retroperitoneal dimulai pada usia 6 minggu kehamilan. Pada urogenitalia posterior
mengandung gonad yang sedang berkembang, rekresi mesonefros (ginjal tengah),
dan saluran genitalia. Duktus mesonefrik (the wolffian) akan berkembang menjadi
vas deferen, epididimis, dan vesikula seminalis dibawah stimulasi testosteron.
Sedangkan paramesonefrik (the mullerian) rekresi dibawah pengaruh hormon
glikoprotein. Gonad akan bediferensiasi menjadi testis dan ovarium pada minggu
ke-6 dan ke-7 pada intrauterine yang tumbuhnya mulai dipengaruhi hormon.
Cincin inguinal mulai tumbuh mulai usia 12 -14 minggu kehamilan.
Gubernaculum yang berada di bawah testis berikatan dengan mesenkim
menguatkan struktur tersebut dan juga mengahantarkan testis nantinya ke
skrotum. Testis berada di cincin inguinal sampai usia kehamilan 28 minggu dan
turun melaui canalis inguinalis ke skrotum pada minggu ke-36 hingga 40 minggu.
Saat memasuki cincin inguinalis kemudian masuk ke canal nantinya, prosessus
vaginalis akan memandu turunnya testis ke skrotum. Biasanya prosesus vaginalis
akan menutup segera sebelum atau sesudah kelahiran. (6,4,7)
Turunnya testis dipengaruhi oleh beberapa faktor dibawah ini : (8)
1. Diferensiasi pertumbuhan dari posterior abdomen
2. Formasi dari inguinalis eksterna : adanya kelainan pada saluran abdomen
menuju skrotum. Tidak terbentuknya canalis inguinalis saat testis mulai
turun. Normalnya canalis inguinalis sudah terbentuk sebelum testis mulai
turun.
3. Gubernaculum testis : lapisan mesenkim yang berada dibawah testis hingga
ke skrotum. Membantu dilatasi inguinalis eksterna dan mengahnatar testis
ke skrotum.
4. Prosessus vaginalis : sebuah divertikulum rongga abdomen yang tumbuh dan
melewati canalis inguinalis hingga skrotum. Merupakan tempat testis turun
ke skrotum yang melewati canalis inguinalis. Saat testis sudah berada di
skrotum, maka prosessus vaginalis idealnya akan menutup dengan segera.
Bagian prosesus vaginalis yang membungkus testis, akan menjadi tunika
vaginalis.
5. Dorongan atau tekanan dari abdomen membantu turunnya testis.
6. Hormon seks laki – laki berperan dalam turunnya testis.
7. Sebuah neurotransmiter spesifik yang disebut calsitonin gene related peptide
(CGRP) yang dihasilkan oleh nervus genitofemoralis membantu serat
muskulus dari gubernaculum testis
F. Penegakan Diagnosa
1. Anamnesis
Pada bayi adanya hernia biasanya akan disadari oleh orantuanya. Biasanya
akan ditemukan adanya pembengkakan di selangkangan, labia maupun skrotum.
Paling seringnya akan muncul saat adanya peningkatan tekanan intraabdominal
misalnya selama menangis atau bayi meregangkan badan. Paling penting
dipastikan kapan pertama adanyaa benjolan. Hernia biasanya asimptomatik. (4)
Pada anak besar mengeluhkan adanya ketidaknyamanan pada lipat paha
selama beraktivitas fisik. Benjolan akan muncul saat bersin, berdiri, batuk,
mengedan namun dapat kembali setelah berbaring dan didorong masuk kembali
pada hernia reponibel. Pada hernia inkarserata dimana adanya usus yang
memasuki kantong hernia. Hal ini dapat menyebabkan nyeri hilang timbul,
ketidaknyamanan, jika terjadi obstruksi usus dapat menyebabkan distensi, mual,
muntah dan obstipasi. Jika hernia tidak ditatalaksana maka akan menyebabkan
strangulata dimana terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan akan
mengalami infark dan dapat berakhir dengan peritonitis. (4)
2. Pemeriksaan Fisik
Pasien tidur dengan posisi supine, pada inspeksi perhatikan apakah ada
massa atau pembengkakan pada lipat selangkangan. Perhatikan juga bagian
skrotum. Kemudian lakukan pemeriksaan palpasi, pertama periksa bagian
skrotum apakah kedua testis berada pada skrotum. Untuk menilai pembengkakan
pada inguinal dapat dilakukan retractil testis. Jika massa tidak dapat
diidentifikasi, maka pada anak pada anak yang lebih besar dapat diminta berdiri
dan buat valsava manuver. Pada bayi, buat dan tunggu bayi meregangkan badan
atau menangis. Jika massa juga tidak tampak, lakukan pemeriksaan silk glove
sign, dimana lakukan palpasi menggunakan jari pada cord spermatic pada level
pubic tuberkel. Pemeriksaan positif jika struktor cord dan canalis inguinalis
menebal dari biasanya. Apabila hernia tidak didapatkan jusa saat pemeriksaan,
namun dari riwayat klinis ada, tindakan penatalaksanaan dapat dilanjutkan. (4)
G. Penatalaksanaan
Hernia inguinalis dilakukan penatalaksanaan depenitif segera setelah
ditegakkan diagnosa, untuk menghindari terjadinya hernia inkarserata yang akan
berakhir dengan obtruksi dan strangulata. Tindakan operatif yang dilakukan yaitu
herniotomy. Biasanya dengan general anestesi. Sebelum tindakan operatif maka
akan dilakukan persiapan (preoperasi) dengan berbagai pemeriksaan dan
konsultasi dengan bagian anestesi. Setelah operasi dilakukan pengontrolan nyeri
dengan memberikan untuk anak – anak dapat diberikan parasetamol, tylenol
syrup, obat suppusitoria. Tindakan operatif pada hernia inguinalis dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu melalui pendekatan open approach dan laparoscopic
approach : (6,4)
1.Open Approach, tindakan insisi dilakukan secara transversal di kulit
bagian inguinal bawah kira – kira di atas cincin inguinalis eksternal (anulus
inguinalis superficialis). Harus diperhatikan bahwa vena epigastrium dangkal
untuk menghindari pendarahan dan ekimosis di bagian superficialis luka pada post
operasi. Saat fasia scarfa di insisi lalu identifikasi fasia obliquus eksterna setelah
itu telusuri ke arah lateral ligamentum inguinalis, diabgian inferior ligamentum
inguinalis dapat ditemukan cincin inguinalis eksterna. Cara ini dilakukan untuk
meminimalkan resiko pembukaan canalis inguinalis yag terlalu medial. Operasi
ini biasanya dilakukan di bawah anestesi umum, meskipun beberapa ahli bedah
lebih suka anestesi spinal pada bayi prematur. Perut bagian bawah, daerah
skrotum inguinal, perineum, dan paha dipersiapkan dengan sterilisasi pilihan dan
kemudian terbungkus untuk tibdakan herniotomi. (6)
2.Laparoscopic Approach, abdomen dan daerah selangkangan disiapkan
dengan larutan steril dan dibungkus dengan linen. Sebuah trocar yang berukuran 3
mm atau 5 mm ditempatkan melalui sayatan pusar (umbilcal) dan perut
insufflated dengan CO2 sekitar 8-14 tekanan mmHg. Sebuah trocar berukuran 3
mm atau 5 mm laparoskopi maju ke dalam perut untuk melihat kedua groin untuk
kehadiran hernia, evaluasi untuk melihat hernia inguinalis latealis, hernia
inguinalis medial dan hernia femoralis. Jika tidak ada hernia dicatat, prosedur ini
selesai dengan penutupan cacat pusar. Jika hernia ada, sebuah driver jarum
berukuran dua 2 mm atau 3 mm dimasukkan melalui dinding perut lateral yang
dengan atau tanpa menggunakan trocar untuk menyelesaikan perbaikan. Leher
kantung ditutup dengan jahitan 4/0 monofilamen dalam terganggu atau mode tas-
string. Instrumen diangkat bersama dengan trocar, dengan cacat pusar adalah satu-
satunya luka yang biasanya menjamin penutupan fasia. Kulit dibalut dengan
steristrips pada semua luka. Durasi prosedur telah dilaporkan sekitar 16
menituntuk perbaikan satu sisi dan 22 menit untuk bilateral perbaikan. tingkat
kekambuhan yang dilaporkan adalah 3,4 persen sampai dengan 7 tahun follow-up.
H. Komplikasi
Komplikasi post operasi :
Komplikasi yang cepat:
1. Hematom pada skrotum
2. Infeksi pada luka
3. Terbentuknya abses pada luka
4. Obstruksi intestinal
5. Inkontenensia urin dan fecal karena iatrogenik trauma
Late komplikasi :
1. Abses internal karena benang absorpsi
2. Recurren hernia inguinalis
3. Hidrokel
4. Atropi testis
5. Infark pada ovarium atau tuba palopi
6. Subfertilitas atau fertilitas karena injuri
I. Prognosis
Prognosis pada hernia kongenital adalah baik. Namun pada hernia yang
didapat indikator prognosis dapat dilihat dari durasi kejadian hernia tersebut.
Tanpa memperhatikan apakah disertai atau tidak dengan adanya strangulata usus
prognosis akan baik untuk kasus hernia yang ditegakkan dibawah 24 jam. Kasus
hernia lama yang tidak dilakukan tindakan akan berakhir dengan prognosis yang
buruk. (9)
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik. 6th ed. Hartanto H, Listiawati e, Suyono YJ,
Susuilawati , Nisa TM, Prawira J, et al., editors. Jakarta: EGC; 2012.
3. Syamsuhidayat, R; Jong, Wim De. Hernia. In Buku Ajar Ilmu bedah. Jakarta:
EGC; 2005. p. 695-794.