Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit zoonosis semakin banyak terungkap keberadaannya seiring dengan

pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia. Brucellosis

dikenal pertama kali pada tahun 1925 sebagai penyakit zoonosis di Indonesia yang

menyebabkan keluron pada hewan dan menjadi masalah nasional untuk kesehatan

masyarakat serta ekonomi peternak. Isolasi bakteri pertama dilakukan oleh Kirschner dari

kasus abortus sapi perah di daerah Bandung, Jawa Barat (Hardjopranjoto, 1995; Pratama

dkk., 2012).

Brucellosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella

dan dikategorikan oleh Office International des Epizooties (OIE) sebagai penyakit

zoonosis (Noor, 2006). Setiap spesies Brucella mempunyai hewan target sebagai reservoir,

Brucella abortus pada sapi, Brucella suis pada babi, Brucella canis pada anjing, Brucella

ovis pada domba, Brucella melitensis pada kambing dan Brucella neotomae pada tikus

hutan, tetapi bakteri ini belum pernah dilaporkan sebagai zoonosis (Ressang, 1984;

Soeharsono, 2002).

Penyebaran penyakit Brucellosis hampir ada di seluruh dunia, utamanya pada

negara berkembang. Afrika dan Amerika menunjukkan angka morbiditas yang cukup

signifikan terhadap kejadian Brucellosis pada manusia (Widiasih dan Budiharta, 2012).

Ada 14 propinsi yang memiliki tingkat prevalensi rendah dan dinyatakan bebas

Brucellosis, yaitu Bali pada tahun 2002; Nusa Tenggara Barat (Lombok tahun 2002 dan

Sumbawa tahun 2006); Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Tengah tahun 2009; Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kep. Riau tahun 2009;

1
Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung dan Kep. Bangka Belitung tahun 2011. Salah satu

wilayah yang sebentar lagi dinyatakan bebas Brucellosis adalah Madura dengan prevalensi

0,04% tahun 2011 dan Sumatera Utara dengan prevalensi 0,15% tahun 2011 serta 0,00%

tahun 2012 (Naipospos, 2014). Mulai tahun 2008 dilakukan Monitoring Brucellosis pada

sapi perah, untuk mengetahui tingkat prevalensi dan insidensi kejadian penyakit dalam

periode waktu tertentu. Dari tahun ke tahun kejadian Brucellosis masih lebih dari 2%

(Samkhan dkk., 2012). Penyebab meluasnya Brucellosis di Indonesia akibat lalu lintas

ternak antar daerah atau antar pulau dalam rangka peningkatan populasi dan mutu genetik

ternak (sapi) di berbagai daerah (Baraniah, 2009).

Gejala Brucellosis pada sapi betina adalah terjadinya abortus pada usia kebuntingan

lima sampai enam bulan. Jumlah Brucella abortus sangat tinggi pada janin yang abortus,

leleran vagina, plasenta dan merupakan sumber penularan yang potensial. Pada kelahiran

berikutnya, biasanya anak dilahirkan normal, kuman tersebut sering ada dalam uterus dan

kelenjar susu. Infeksi pada sapi jantan biasanya berupa radang testis dan epididimitis

(Anonimus, 2008). Gejala pada manusia meliputi demam, anoreksia, poliartritis,

meningitis, pneumonia, endocarditis dan gejala klinis lainnya yang biasa muncul karena

infeksi bakteri pada umumya (Widiasih dan Budiharta, 2012; Poermadjaja dan Sulaiman,

2011).

Kerugian ekonomis yang disebabkan oleh Brucellosis sangat besar walaupun

mortalitasnya kecil. Pada hewan kerugian dapat berupa keguguran, anak yang dilahirkan

lemah kemudian mati pasca kelahiran, gangguan reproduksi yang menyebabkan kemajiran

dan turunnya produksi air susu pada sapi perah (Ressang, 1984).

Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik dari

segi kesehatan masyarakat maunpun dari segi ekonomi peternakan. Peningkatan kasus

brucellosis sejalan dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Selain itu, seringnya

2
mutasi sapi perah merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kasus brucellosis di

Indonesia. Oleh sebab itu , penyakit brucellosis dimasukkan dalam daftar 5 penyakit

menular yang menjadi prioritas utama dalam pengendalian dan pemberantasannya secara

nasional sejak tahun 1959 (Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No.

59/KPTS/PD610/05/2007).

Brucellosis adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh bakteri

Brucella. Brucellosis ditakuti karena bersifat zoonosis artinya dapat menular ke manusia,

menimbulkan kerugian ekonomi akibat keguguran, gangguan reproduksi dan turunnya

produksi susu pada sapi perah. Umumnya penyakit pada manusia berupa demam sehingga

dikenal juga sebagai Undulant fever, Malta fever, Gibraltar fever, atau Mediteranean fever,

dimana ketiga sebutan terakhir merupakan sebutan brucellosis yang disebabkan oleh

konsumsi susu kambing di daerah Laut Tengah.

Brucellosis dapat menyerang berbagai usia. Zoonosis ini dapat ditemukan di

seluruh dunia terutama di Negara Mediteranian, Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah,

Asia Selatan dan Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia, penyakit brucellosis

dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten

Pasuruan, Jawa Timur dan bakteri Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938.

Penyakit brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul

sebagai epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Brucellosis tersebar luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera,

dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih terbebas karena adanya larangan

memasukkan sapi jenis lain, berkaitan kebijaksanaan pemerintah untuk memurnikan sapi

Bali.

Penyakit Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional

baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak. Dengan infeksi

3
yang tersifat pada hewan maupun manusia. Di Indonesia kecenderungan meningkatnya

populasi dan lebih seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab utama meningkatnya

kasus brucellosis.

Brucellosis dikategorikan sebagai penyakit zoonosis. Setiap spesies Brucella

mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovispada

domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canispada

anjing. Brucellosis pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan

pada hewan bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada

kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9.

Jika tidak terjadi abortus, kuman Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan

fetus dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan

mikroorganisme ini diekskresikan ke susu. Infeksi pada hewan terjadi secara persisten

seumur hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan

semen. Pada manusia, spesies Brucella yang pathogen adalah B. melitensis, B . abortus, B.

suis dan B. canis. Tingkat morbiditas penyakit tergantung dari spesies Brucella yang

menginfeksi. Penularan brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang

terinfeksi atau melalui konsumsi makanan dan susu asal hewan penderita brucellosis.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penyakit zoonosis yang

ditularkan dari ternak ke manusia dan dari manusia ke ternak, untuk mengetahui penyakit

zoonosis yang disebabkan oleh virus, bakteri dan fungi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Penyakit Brucellosis

Penyakit infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.

Secara morfologi, kuman Brucella bersifat Gram negatif, tidak berspora, berbentuk

cocobasillus (batang pendek) dengan panjang 0,6 - 1,5 μm, tidak berkapsul, tidak

berflagella sehingga tidak bergerak (non motil). Dalam media biakan, koloni kuman

Brucella berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaannya cembung dan licin,

mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1-2 mm. Pada pengecatan Gram, kuman

terlihat sendiri-sendiri (tidak berkoloni), berpasangan atau membentuk rantai pendek.

Secara biokimia, kuman Brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan

tidak membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan

temperatur 20-40°C dengan penambahan karbondioksida (C02) 5-10%. Kuman Brucella di

luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam

waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah

selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat bertahan hidup selama 66

hari dan pada tanah becek bertahan hidup selama 151-185 hari. Kuman Brucella juga dapat

bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan

suhu yang relative tinggi . Pada air minum ternak, kuman dapat bertahan selama 5 - 114

hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari.

Klasifikasi kuman Brucella :

 Kingdom : Bacteria

 Filum : Proteobacteria

 Class : Alphaproteobacteria

5
 Ordo : Rhizobiales

 Famili : Brucellaceae

 Genus : Brucella

 Spesies : Brucella Abortus, brucella melitensis, brucella canis

Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri genus

Brucella. Brucellosis di Indonesia dikenal sebagai penyakit reproduksi menular pada

ternak, tetapi sebagai penyakit menular pada manusia, penyakit ini belum banyak dikenal

di masyarakat. Hewan yang terinfeksi kuman Brucella dapat mengalami abortus, retensi

plasenta, orchitis dan epididinitis serta dapat mengekskresikan kuman ke dalam uterus dan

susu. Penularan penyakit ke manusia terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu yang

tidak dipasteurisasi atau melalui membrana mukosa dan kulit yang luka. Berat ringan

penyakit tergantung strain Brucella yang menginfeksi. Brucella abortus, B. melitensis, B.

suis dan B. canis adalah strain yang patogen ke manusia. Gejala klinis brucellosis pada

manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah, arthralgia, myalgia dan turunnya

berat badan. Komplikasi penyakit dapat terjadi berupa arthritis, endokarditis, hepatitis

granulona, meningitis, orchitis dan osteomyelitis serta dilaporkan dapat pula

mengakibatkan abortus pada wanita hamil. Diagnosis brucellosis dilakukan dengan isolasi

brucella spesies dalam darah dan urin serta uji serologis. Pengobatan antibiotika dapat

diberikan pada orang yang terinfeksi tetapi memerlukan waktu lama. Kontrol brucellosis

pada manusia dapat dilakukan dengan pengendalian brucellosis pada hewan melalui

program eradikasi yang komprehensif berupa program vaksinasi yang diikuti dengan

eliminasi hewan positif brucellosis secara serologis.

2.1.1.Gejala yang Muncul pada Penyakit Brucellosis

Gejala klinis dari penyakit brucellosis ini adalah abortus atau dimasyarakat dan

peternak dikenal dengan nama keluron. Keguguran biasanya terjadi pada umur

6
kebuntingan 6 sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus yang yang diaborsikan terlihat

oedema, hemoragi, nekrotik dan adanya eksudat kental serta adanya retensi plasenta,

metritis dan keluar kotoran dari vagina. Penyakit brucellosis ini juga menyebabkan

perubahan didalam ambing. Lebih dari setengah dari sapi-sapi yang titer aglutinasinya

tinggi menunjukkan presentasi yang tinggi didalam ambingnya. Selain itu juga penyakit

brucellosis ini menimbulkan lesi higromata terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini

terbentuk sebagai regangan sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi

cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma

akibat adanya suatu trauma kemudian kuman brucella yang berada didalam darah

membentuk koloni di daerah persendian tersebut.

Pada ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan

mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis

dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada buah pelir dan

kelenjar kelamin tambahan. Sehingga semen yang diambil dari pejantan mungkin

mengandung bakteri brucella abortus.

2.1.2. Penularan Brucellosis pada hewan ke manusia

a. Sapi

Gejala klinik yang mencolok terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut

(7-8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami keguguran sekali saja pada

kebuntingan yang berurutan. Meskipun demikian induk sapi yang mengalami

keguguran tersebut masih membawa kuman Brucella Abortus sampai 2 tahun. Sapi

yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami higroma yaitu pembesaran kantong

persendian karena berisi cairan bening atau fibrinopurulen.

7
b. Babi

Menimbulkan arthritis, osteomielitis, bursitis dan spondilitis. Kadang-kadang

ditemukan pula posterior paralisis yang disebabkan oleh nekrosis discus

intervetebrales. Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis tetapi kuman Brucella

suis tidak ditemukan pada semen atau urine. Dibandingkan dengan sapi, kejadian

abortus relatif jarang terjadi pada babi.

c. Anjing

Bakteri Brucella canis merupakan penyebab utama sterilitas pada pejantan dan

abortus pada induk, terutama terjadi di kennel (pembiak) anjing di Amerika. Anjing

yang menderita brucellosis akut mengalami kebengkaan kelenjar limfe prefemuralis

dan submandibularis. Pada anjing jantan brucellosis menyebabkan orchitis

sehingga testis terlihat membengkak beberapa lama kemudian diikuti atropi, testis

terlihat mengecil karena sel pembentuk spermatozoa mengalami kerusakan.

d. Domba dan Kuda

Terlihat adanya epididimitis, bursitis dan spondilitis.

e. Manusia

Brucellosis bersifat zoonosis, jika bakteri ini terjangkit pada manusia biasanya

disebabkan oleh kontak langsung dengan organ-organ alat genital atau cairan

abortusan. Dan akan menimbulkan gejala seperti demam, berkeringat, obstipasi,

nyeri rematik, bengkak persendian dan orchitis.

Table 1. Reservoar alami spesies Brucella dan penyebaran penyakit secara geografis pada
manusia
Organisme Hewan reservoar Daerah penyebaran
brucellosis
B. melitensis Kambing, domba dan unta Mediteranean, Asia dan
Amerika Latin
B. abortus Sapi, kerbau, unta dan yaks Seluruh dunia, kecuali

8
Jefiang, Israel dan beberapa
negara Eropa bebas
B. suis Babi Amerika Selatan, Asia
Tenggara dan Amerika
Serikat Barat bagian Tengah
B. canis Anjing Kosmopolitan
Sumber: Lisgaris dan salata (2005)

Tabel 2 . Beberapa kejadian brucellosis pada manusia di beberapa negara

Negara Kasus Brucellosis Sumber


Jepang 5 pekerja kebun binatang ARON (1998)
(2001)
Meksiko 6500 kasus (1998) ARON (1998)
Saudi Arabia 73 kasus (1990) GAAFAR (1998)
Saudi Arabia 1,3/1000 wanita hamil YOUSUF KHAN (2001)
USA 100 kasus/tahun (10 tahun JOHN dan NALIA (2002)
terakhir)
Kuwait 128 kasus/100.000 orang BRUCELLOSIS FACT
SHEET (2003)
India 59,7% anak/5726 anak MANTUR et al . (2004)
(2004)
Kashmir 0,8%/3532 orang KADRI et al. (2000)
Yordan 20 - 26/100 .000 orang AL-ANI et al. (2004)
California 462 kasus (1973 - 1992) GOFFREY et al .
(2002)

2.1.3. Pencehagan dan Pengobatan Penyakit Brucellosis

Pencegahan brucellosis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti

memperhatikan lalu lintas ternak untuk daerah yang bebas. Pada sapi didasarkan pada

tindakan higiene dan sanitasi, vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta

penyingkiran sapi reaktor. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari

kelompoknya. Fetus dan placenta yang abortusan harus dikubur atau dibakar dan tempat

yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis.

Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella Strain

9
19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati karena dapat menyebabkan brucellosis atau

demam unggulan pada manusia. Metode pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan

45/20 terhadap semua ternak, uji serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT,

monitoring dengan MRT dan isolasi atau penyingkiran reaktor.

2.1.4. Pengobatan

Pengobatan brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya

komplikasi dan relapsis. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat

yang cukup efektif. Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu

antibiotik yang diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di

dalam sel. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin,

streptomisin dan rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu. Pada orang dewasa dan

anak di atas umur 8 tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin

selama 6 - 8 minggu, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan

rifampisin dan trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6 minggu. Penderita

brucellosis dengan spondilitis direkomendasikan antibiotika doksisiklin dan rifampisin

dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamisin) selama 2 - 3 minggu kemudian

diikuti dengan rifampisin dan doksisiklin selama 6 minggu.

Brucellosis dengan komplikasi endocarditis atau meningoenchepalitis memerlukan

pengobatan dengan kombinasi antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida serta

penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan. Sedangkan, brucellosis

dengan komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan

kombinasi aminoglikosida dengan doksisiklin, rifampisin dan TMP-SMX selama 4 minggu

diikuti sekurang-kuranganya kombinasi 2 - 3 jenis antibiotika selama 8 - 12 minggu. Pada

wanita hamil penderita brucellosis, antibiotika pilihan yang harus diberikan adalah

10
kombinasi TMP-SMX. Percobaan telah menunjukan bahwa cotrimoxazol dan rifampisin

adalah obat yang aman untuk digunakan dalam pengobatan terhadap wanita hamil yang

menderita brucellosis.

2.1.5. Distribusi Penyakit dan Reservoir

1. Distribusi Penyakit

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama di negara Mediteran, Eropa, Afrika

Timur, negara-negara timur Tengah, India, Asia Tengah, Meksiko dan Amerika

Selatan. Sumber infeksi dan organisme, penyebab penyakit bervariasi tergantung

letak geografis.Brucelosis terutama muncul sebagai penyakit akibat kerja, yaitu

menimpa mereka yang bekerja menangani ternak yang terinfeksi dan jaringannya,

seperti petani, dokter hewan dan pekerja di tempat pemotongan hewan. Penyakit ini

banyak menyerang laki-laki. Kasus-kasus sporadis dan KLB terjadi pada orang

yang mengkonsumsi susu mentah dan produk susu (terutama keju lunak yang tidak

dipasturisasi) dari sapi, domba dan kambing. Kasus-kasus infeksi B. canis terbatas

terjadi pada pekerja yang merawat anjing. Penderita yang dilaporkan terjadi di AS,

kurang dari 120 kasus tiap tahunnya; diseluruh dunia, penyakit ini terkadang tidak

diketahui dan tidak dilaporkan.

2. Reservoir

Sapi, babi, kambing dan domba bertindak sebagai reservoir. Infeksi bisa terjadi

pada bison, rusa besar, karibu dan beberapa spesies dari rusa. B. canis kadang-

kadang menjadi masalah di tempat pemeliharaan anjing, sebagian kecil anjing

peliharaan dan sebagian besar anjing liar terbukti mempunyai titer antibody

terhadap B. canis. Anjing hutan juga terbukti telah terinfeksi.

11
2.2. Jurnal Mengenai Penyakit Brucellosis

Contoh susu sebanyak 599 telah diambil dari 313 peternakan. Dari 599 contoh susu

tersebut, 85 (14,2%) di antaranya positif MRT yang berasal dari 64 (20,4%) peternakan

(Tabel 1) . Sebanyak 922 contoh darah diambil dari 64 peternakan tersangka . Dari 922

contoh serum, 215 (23,3%) bereaksi positif RBPT dan 201 (21,8%) bereaksi positif CFT

sehingga dinyatakan sebagai sapi sero-positif brucellosis.

Ke-201 sapi sero-positif brucellosis tersebut berasal dari 38 (59,4%) peternakan

tersangka . Sapi-sapi sero-positif brucellosis ini masing- masing berasal pada Kecamatan

Setiabudi sebanyak 134 (24,3%), Kecamatan Mampang Prapatan 42 (16,9%) dan

Kecamatan Pasar Minggu 25 (21,2%) (Tabel 2) . Prevalensi penyakit dihittutg berdasarkan

banyaknya sapi sero-positif brucellosis dibagi dengan populasi sapi setempat, sehingga

terlihat bahwa prevalensi brucellosis di DKI Jakarta rata-rata sebesar 4,5% yang

terdistribusi di Kecamatan Setiabudi 8,5%, Kecamatan Mampang Prapatan 2,3%, dan

Kecamatan Pasar Minggu 2,9% (Tabe1 2) .

Brucellosis pada sapi perah dengan tingkat prevalensi yang bervariasi pernah

dilaporkan terjadi di Jawa Timur (2,71 %), Jawa Barat (0,29 %), DKI Jakarta (l1,8 %), DI

Aceh (0,17 %) (SUDIBYO dan RONOHARDJO, 1989). Setelah dilakukan pengamatan

penyakit secara lebih teliti di salah satu daerah terserang tersebut, yaitu DKI Jakarta,

12
ternyata bahwa ada sebanyak 20,4% peternakan atau kelompok sapi perah di Jakarta

Selatan yang dinyatakan sebagai kelompok tersangka terserang brucellosis .

Pengamatan gangguan reproduksi

Kasus keguguran ini paling banyak (64,7%) terjadi pada umur kebuntingan 5 bulan

atau lebih, sedangkan umur kebuntingan 3-4 bulan sebanyak 21,2% dan umur kebuntingan

kurang dari 3 bulan sebanyak 14,1 % (Tabel 4). Kcsus keguguran paling banyak terjadi

pada frekuensi keguguran satu kali, yaitu 67 kcsus (78,8%), keguguran 2 kcli 11 kcsus

(12,9 %), dan keguguran 3 kali 7 kcsus (8,2%).

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1) Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke

manusia.

2) Penyakit infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.

3) Penularan penyakit ke manusia terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu

yang tidak dipasteurisasi atau melalui membrana mukosa dan kulit yang luka.

4) Gejala klinis brucellosis pada manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala,

lemah, arthralgia, myalgia dan turunnya berat badan.

5) Pada ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan

mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula

seminalis dan ampula.

6) Penyakit brucellosis di Indonesia dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan

pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

7) Brucella mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada

sapi,B. ovis pada domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B.

neotomae dan B. canis pada anjing.

3.2. Saran

1. Sebaiknya bila meminum susu, memakan daging pastikan susu yang akan diminum

sudah di pasterurisasi dan daging yang terbebas dari virus brucellosis.

14
2. Setelah melakukan pemotongan hewan, perawatan hewan dan pemerahan susu

sebaiknya cuci tangan dan membersihkan diri agar steril dari kuman yang dapat

menular ke tubuh kita.

3. Gunakan alat-alat keselamatan kerja atau pelindung tubuh dari hewan saat merawat

ataupun mengobati hewan yang sedang sakit.

15
DAFTAR PUSTAKA

AGus SUDIBYO Balai Penelifan Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30, Kctak Pos 52, Bogor
16144, Indonesia (Diterima dewan redaksi 1 Msret 1995)

ALTON, G.G . 1978 . Recent development in vaccination againsts bovine brucellosis .


Aust. Vet . J. 54:551-556

ALTON, G.G., L.M . JoNEs, R.D.ANGUS, and J.M. VERGER. 1988 . Techniquesfor the
Brucellosis Laboratory. Institute National de la Recherche, Agronomicque, Paris .

Budiharjo. 2009. Manual standar diagnostik penyakit hewan. Direktur jendral pertenakan
dan Japang International Cooperation Agency (JICA), Jakarta

Hardjopranjot. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya

Murpraptomo, 1995. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung

Soejoedono R R. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet FKH IPB. Bogor

Subronto. 2003. Penyakit Mastitis pada Kambing. UGM press. Yogyakarta.

Sutjipto. 1995. Penanganan Penyakit Brucellosis pada Sapi. Erlangga. Jakarta


[WHO] World Health Organization. 2006. Brucellosis in humans and animals.
Geneva

16

Anda mungkin juga menyukai