Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis merupakan penyebab utama kematian di sebagian besar Negara maju, bahkan
mencapai proporsi epidemik di banyak Negara yang sedang berkembang dan Negara industri
baru. Sampai saat ini, sepsis masih merupakan salah satu penyakit infeksi yang mortalitas dan
morbiditasnya tinggi. Di Indonesia tingkat penyebaran dari penyakit sepsis diperoleh di
rumah sakit Sutomo adalah penderita yang jatuh dalam keadaan sepsis berat sebesar
27,08%, syok septik sebesar 14,58%, sedangkan 58,33% sisanya hanya jatuh dalam
keadaan sepsis (Irawan dkk, 2012).
Secara global, tercatat 18 juta jiwa meninggal setiap tahunnya akibat sepsis. Terdapat
kesulitan dalam membedakan definisi dari sepsis, yang sering dikatakan sebagai septik aemia
dan syok septik (Weston, 2008). Dengan demikian, sepsis kini merupakan masalah glogal.
Sehingga perlu diketahui lebih lanjut penyebab terjadinya, prevalensi, gejala klinik, prognosis
dan rekomendasi terapi yang diberikan untuk mengobati serta terapi untuk mencegah
terjadinya sepsis untuk dapat meminimalkan mortalitas yang terjadi akibat sepsis.
Tabel 1. Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari
konferensi konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical Care
Medicine
Dua atau lebih dari kriteria berikut dibutuhkan:
Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional memodifikasi model SIRS
dan mengembangkan sebuah pandangan luas mengenai sepsis. Konferensi ini
mengembangkan konsep sistem penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik
terpisah yang disebut sebagai PIRO. Huruf P mewakili predisposisi, mengindikasikan
kondisi-kondisi ko-morbid yang akan menurunkan kesintasan. Huruf I mewakili infeksi, yang
merefleksikan pengetahuan klinis bahwa beberapa organisme patogen lebih letal
dibandingkan yang lainnya. Huruf R mewakili respons terhadap adanya infeksi, termasuk
timbulnya SIRS. Huruf terakhir yakni O mewakili disfungsi organ dan termasuk kegagalan
organ, termasuk kegagalan sistem seperti sistem koagulasi
Sindrom sepsis terjadi sepanjang suatu kontinuum penyakit yang termasuk sepsis
berat dan syok sepsis, berdasarkan terjadinya disfungsi organ terkait sepsis. Sindrom
disfungsi organ multipel merupakan sumber utama morbiditas dan mortalitas pasien yang
dirawat pada unit intensif dan timbul pada sekitar 15% pasien yang dirawat intensif.
Beberapa telah berspekulasi bahwa kondisi medis komorbid seperti kanker, HIV, diabetes
dan penyalahgunaan alkohol dapat mempunyai efek terhadap progresivitas penyakit sepsis.
Telah ditemukan bahwa komorbiditas mempengaruhi risiko dan hasil akhir sepsis, dan
komorbid kumulatif dikaitkan dengan insidens disfungsi organ yang meningkat. Evolusi
disfungsi organ pada proses sepsis dapat memberikan informasi kritis mengenai respons
pejamu, patofisiologi dan aplikasi optimal untuk terapi spesifik. Oleh karena disfungsi organ
bertanggung jawab untuk morbiditas dan mortalitas sepsis, makan pengenalan awal sangat
penting dalam tatalaksana
Sepsis sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan suatu sindrom dengan
dampak yang besar, baik dari segi morbiditas, mortalitas maupun biaya yang dikeluarkan
untuk menatalaksana pasien rawat inap. Pengertian sepsis baik dari segi patofisiologi maupun
manifestasi klinis amat penting dalam hal menentukan keberhasilan perawatan sepsis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Arti kata sepsis dalam bahasa Yunani adalah pembusukan. Menurut Kamus
Kedokteran Dorland, sepsis adalah adanya mikroorganisme pathogen atau toksinnyadi dalam
darah atau jaringan lain. Dalam buku tersebut, sepsis juga bisa disebut sebagai septikemia.
Septikemia merupakan penyakit sistemik yang disertai dengan adanya mikroorganisme dan
toksinnya bertahan di dalam darah. Septikemia ini dapat disebut juga blood poisoning
(Dorland, 2002).
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi.
Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik
adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest Physician dan
Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma
respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat,
dan syok/renjatan septik (Chen et.al,2009).
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response
syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu
tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC) ; takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai
dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan
jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis
berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada
infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ (Bone et al, 1992).
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau
hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok
septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau turun >40 mmHg di
bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun
telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar
tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg (Bone et al,
1992).
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk batang lainnya
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram negatif bentuk
batang lainnya, Bacteroides fragilis
2.3 Patofisiologi
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun
dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom
sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat
yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi
dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.
Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut yang tanda-tanda
klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia dan takipnea menjadi satu-satunya
petunjuk, sehingga masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dikaitkan
dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan kreatinin plasma, intoleransi
glukosa dan lainnya (Hinds et.al, 2012).
Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai sindrom
sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi
infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam memfokuskan
terapi (Shapiro et.al, 2010).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik dimulai
lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu untuk intubasi),
pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi), sirkulasi (denyut jantung,
tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi kulit), dan inisiasi cepat resusitasi (Russell,
2012).
Seseorang dikatakan sepsis jika dalam gejala klinik yang dialaminya terdapat dua atau
lebih tanda-tanda dari systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dengan suspek
adanya infeksi. Sepsis berat didiagnosis jika terdapat minimal satu disfungsi dari organ
tubuh. Syok septik didiagnosis jika pasien yang mengalami sepsis maupun sepsis berat
tersebut juga mengalami hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang adekuat.
Pemeriksaan penunjang sepsis dapat ditegakkan bila terdapat bukti terjadi infeksi dan
adanya respons sistemik infeksi. Minimal dua atau lebih kriteria klinik sebagai berikut;
1) Kriteria umum, meliputi :
a. Hipertermia (temperatur >38°C)
b. Hipotermia (temperatur < 36°C)
c. Takikardia (heart rate> 90/ menit)
d. Takipnea (respiratory rate> 20/ menit)
e. Hiperglikemi (glukosa > 120 mg/dL pada pasien diabetes mellitus)
f. Edema (> 20 mL/ kg)
2) Kriteria inflamasi, meliputi :
a. Leukositosis (sel darah putih > 12.000/mm3)
b. Leukopenia (sel darah putih < 4000/mm3)
3) Kriteria hemodinamik, meliputi :
a. Hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg)
4) Kriteria disfungsi organ, meliputi :
a. Serum kreatinin > 0.5 mg/dL
b. Trombositopenia (platelet count< 100,000 mm3)
c. Hiperbilirubinemia (bilirubin > 4 mg/dL) (Booker, E., 2011).
Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan prosedur
radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012).
2.7.1 Tujuan
a) Ketepatan diagnosis dan identifikasi patogen
b) Ketepatan dalam mengeliminasi sumber infeksi
c) Ketepatan dalam pemberian antimikrobial awal
d) Mencegah dari gangguan patogen yang mengarah ke syok septic
e) Menghindari kegagalan organ (Birken & Dipiro,2008).
2.7.2 Sasaran Terapi
Organ-organ yang terinfeksi seperti; saluran pernafasan, saluran urin, atau intra
abdomen.
2.7.3 Strategi Terapi
a) Menghentikan kemungkinan terjadinya syok sepsis
b) Menghindari terjadinya kegagalan organ. (Birken & Dipiro,2008)
2.8Tatalaksana Terapi
a. Terapi farmakologi
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab
infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan,
terapi antiinfeksi/antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ,
gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respon imun maladaptif host
terhadap infeksi. Oleh karena sepsis dimulai dari adanya infeksi, maka pemberian
antibiotika dini merupakan suatu keharusan.
ALGORITMA
1. Pemberian terapi antiinfeksi broad spectrum (spektrum luas)
Bakteri Terapi yang utama
Subset Alternatif terapi Secara per oral
penyebab (i.v)
Meropenem 1 g tiap Quinolon tiap 24 Quinolon selama
8 jam selama 2 jam selama 2 24 jam selama 2
minggu atau minggu dengan minggu dengan
Penyebab Imipenem 1 g tiap 6 tambahan tambahan
Enterobacteri
infeksi yang jam selama 2 Metronidazole 1 g Clindamisin 300
aaceae
tidak minggu atau tiap 24 jam mg tiap 8 jam
B. Fraagilis
diketahui Ertapenem 1 g tiap selama 2 minggu selama 2 minggu
24 jam selama 2 atau Clindamisin
minggu 600 mg selama 2
minggu
Quinolone tiap 24
S.
jam selama 2
pneumoniae Cefepime 2 g tiap
minggu atau
H. influenza 12 jam selama 2
Paru atau Doxycycline 200
Non Quinolon tiap 24 jam minggu atau
urinary tract mg tiap 12 jam
enterococcal selama 2 minggu Ceftriaxone 2 g
(SLE) selama 3 hari lalu
streptococci tiap 24 jam
100 mg tiap 12
Enterobacteri selama 2 minggu
jam selama 11
aceae
hari
Group A Cefoxamine 2 g tiap Quinolon tiap 12 Quinolone tiap 24
6 jam selama 2 jam selama 2 jam selama 2
Sreptococci minggu atau minggu atau minggu atau
ceftizoxime 2 g tiap nafcillin 2 g tiap 4 Cephalexin 500
6 jam selama 2 jam selama 2 mg tiap 6 jam
minggu minggu selama 2 minggu
Kulit atau
Vancomycin 1 g tiap Linezolide 600
jaringan
S. aureus 12 jam selama 2 mg tiap 12 jam
lemak
minggu atau Minocycline 100 selama 2 minggu
linezolid 600 mg tiap mg tiap 12 jam atau minocycline
12 jam selama 2 selama 2 minggu 100 mg tiap 12
minggu atau jam selama 2
quinupristin/dalfo minggu
pristin 7,5 mg/kg
tiap 8 jam selama
2 minggu
S. Quinolone tiap 24 Cefepime 2 g tiap Quinolone tiap 24
Multiple
pneumoniae jam selama 2 12 jam selama 2 jam selama 2
myeloma
H. influenza minggu minggu atau minggu
N. ceftizomine 2 g
meningitidis tiap 8 jam selama
K. 2 minggu
pneumoniae
Enterobacteri Cefepime 2 g
aceae tiap 12 jam
Grup B Quinolone tiap 24 selama 2 minggu Quinolone tiap 24
Diabetes
Streptococci jam selama 2 atau ceftriaxone 2 jam selama 2
urinary tract
minggu g tiap 24 jam minggu
selama 2 minggu
2. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C).Perubahan status mental
atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap
jalan nafas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar noksigen lebih tinggi.
Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernafasan dan
peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah yang terancam dan
penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif
dengan cairan (ditambah kristaloid dan/atau koloid). Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis
berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah mencapai CVP 8-12
mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6
jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-
12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit) (Briken & Dipiro, 2008).
3. Terapi Suportif
a) Oksigenasi; Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
b) Vasopresor dan Inotropik; Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg
atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Sebagai vasopresor dan inotropik dapat
digunakan dopamin, dobutamin dan norepinefrin.
c) Bikarbonat; Secara emprik bikarbonat diberikan bila pH < 7,2 atau serum bikarbonat
< 9 mEq/L dengan disertai upaya untuk mmperbaiki keadaan hemodinamik.
d) Nutrisi ; Pada sepsis direkomendasikan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi meliputi
kalori (asam amino), asam lemak, vitamin, dan mineral perlu diberikan sedini
mungkin.
e) Kontrol Gula Darah; Kontrol gula darah direkomendasikan untuk pasien sepsis. Pada
pasien sepsis kadar gula darah dijaga pada level antara 80-110 mg/dL. Pasien sepsis
dengan tingkat glukosa darah yang tinggi diberi insulin dan dilakukan monitoring
glukosa dengan frekuensi awal setiap 1 jam, kemudian dilanjutkan 2-4 jam ketika
kadar glukosa sudah stabil.
f) Gangguan Koagulasi; Pada sepsis berat terjadi penurunan antikoagulan dan supresi
proses fibrinolisis sehingga mikrotrobus menumpuk di sirkulasi yang mengakibatkan
kegagalan organ. Terapi antikoagulan berupa heparin dan antitrombin.
g) Kortikosteroid; Hanya diberikan pada pasien dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis
(Briken & Dipiro, 2008).
Uji Kepekaan Antibiotik
Efektivitas antibiotik terhadap spesies bakteri atau suatu galur bakteri berbeda antara
yang satu dengan yang lain. Sensitivitas setiap bakteri patogen terhadap suatu antimikroba
harus diuji dengan berbagai konsentrasi untuk menentukan tingkat konsentrasi yang
menyebabkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat atau mati. Dengan pengujian tersebut
dapat diketahui apakah bakteri tersebut masih sensitive atau telah resisten terhadap suatu
antibiotika.
Uji kepekaan bakteri terhadap obat-obatan secara in vitro bertujuan untuk mengetahui
antibiotik yang masih dapat digunakan untuk mengatasi infeksi oleh mikroba tersebut
(Sjoekoer dkk, 2005).
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN
Ny. P. Usia 40 tahun mengalami demam dengan suhu 38,50C, mual muntah. RR : 32x/menit,
HR : 126x/menit, TD : 120/80 mmHg dengan data laboratorium. Leukosit : 21.3x103 /mm3.,
CR : 1,67 mg/dL,. Dokter mendiagnosa sepsis. Pada tanggal 11 Agustus 2016, pemeriksaan
laboratorium Ny. P terinfeksi Enterobacteriaaceae.
Dokter memberikan Resep pada hari pertama 11 Agustus 2016 pukul 18.47 WIB :
Tanggal Pemberian
PENYELESAIAN KASUS
Subjektive.
Nama : Ny. P
Usia : 40 Tahun
Objektive
Suhu : 38,50C
RR : 32x/menit
HR : 126x/menit
TD : 120/80 mmHg
Leukosit : 21.3x103 /mm3 .
CR : 1,67 mg/dL
Terinfeksi bakteri Enterobacteri aaceae.
Assesment
1. Pamol diberikan untuk menurunkan panas juga untuk mengatasi efek samping
pusing dari ondansentron dan omeprazol. Pamol berisi paracetamol yang bekerja
dengan menghalangi produksi prostaglandin yang merupakan bahan kimia yang
terlibat dalam transmisi pesan rasa sakit keotak.
2. Omeprazol dan Ondansentron diindisikan untuk mengatasi mual dan muntah.
Ondansentron bekerja sebagai antagonis selektif reseptor 5-HT3. Omeprazol
bekerja dengan menekan sekresi asam lambung dengan menghambat aktivitas
transpoter H+ atau K+.
3. Meropenem digunakan untuk pengobatan sepsis akibat infeksi Enterobacteri
aaceae. Bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel terhadap protein tubuh.
Analisis DRP
5. DRP efek samping : efek samping dari omeprazol yang sering muncul adalah
dapat menyebabkan rasa pusing
6. DRP salah obat : Ondansentron digunakan untuk mual muntah paska kemoterapi
Plan
1. Efek samping omeprazol bisa diatasi dengan pamol, tetapi jika rasa pusing masih
belum sembuh penggunaan pamol bisa diganti dengan ibuprofen.
KIE
1. Menjaga pola makan sehat dan teratur dan perbanyak minum air putih
Birken, S.L., Dipiro, J.T. 2008. Sepsis And Septic Shock, In: Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. Edisi vii. Oleh Dipiro,J.T., dkk. New york : Mc. Graw
Hill.
Bone et al. Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative
therapy for sepsis. Chest [Internet]. 1992. [cited 2012 December 24];101(6):1644-55,
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1303622
Booker, E,. 2011. Sepsis, Severe Sepsis, And Septic Shock: Current Evidence For Emergency
Department Management. Washington, DC : Department of Emergency Medicine,
Washington Hospital Center.
Chen, K., and Pohan, H.T., 2009. Penatalaksanaan Syok Septik. In: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing, 252-256.
Dasenbrook, E., and Merlo, C., 2008. Critical Care. In: Le, T., Hong, P.C., and Baudendistel,
T.E., ed. First Aid for The Internal Medicine Boards. 2nd ed. USA: Mc Graw Hill, 157-
159.
Halim-Mubin, A. 2001. Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Terapi. Cetakan I. Jakarta:
EGC, 583-586.
Irawan, Danny, dkk, 2012. Profil Penderita Sepsis Akibat Bakteri Penghasil Penderita
Sepsis Akibat Bakteri Penghasil ESBL. J Peny Dalam, Vol. 13, No.1.
LaRosa, S.P., 2010. Sepsis. In: Gordon, S., ed. Current Clinical Medicine. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier, 720-725.
Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the United States
from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003;348:1546-54.
Moss, P.J., Langmead, L., Preston, S.L., Hinds, C.J., Watson, D., Pearse, R.M., 2012. Kumar
and Clark’s Clinical Medicine. 8th ed. Spanyol: Saunders Elsevier.
Munford, R.S., 2008. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Fauci et al., ed. Harrison,s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: Mc Graw Hill, 1695-1702.
Opal, S.M., 2012. Septicemia. In: Ferri et al., ed. Ferri’s Clinical Advisor 2012: 5 Books in 1.
Philadelphia: Elsevier Mosby, 924-925.
Russell, J.A., 2012. Shock Syndromes Related to Sepsis. In: Goldman, L., and Schaffer, A.I.,
ed. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 658-665.
Saadat, S., 2008. Deja Review Internal Medicine. USA: Mc Graw Hill.
Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z., 2010. Sepsis Syndromes. In: Marx et al., ed.
Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier, 1869-1879.
Sjoekoer, M.D., Roekistiningsih, Sanarto, S., dan Sri, W., 2005. Bakteriologi Medik. Malang
: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Valdes, E. 2006. The Family Practice Handbook. Edisi 3. Dalam : Dewi Asih Mahanani dan
Susilawati (Ed). Jakarta : EGC.
Weber, R., and Fontana, A., 2007. Fever. In: Siegenthaler, W., ed. Differential Diagnosis in
Internal Medicine from Symptom to Diagnosis. Stuttgart: Thieme, 106-203.
Weston, Debbie. 2008. Infection Prevention and Control Theory and Practice for Healthcare
Professionals. England: British Library.