Anda di halaman 1dari 75

65 Model Pembelajaran dan 15

Metode pembelajaran
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga


tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam
prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk
segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah
memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi
guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga
cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya
berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya
diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat
tinggi.
1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh
ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian
tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif,
siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas,
tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif
adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan
masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk
bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri.
Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok
terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi,
dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok
heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)


Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan
(ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling),
sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia
pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan.
Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak
hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu
modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk,
rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan,
mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif
dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry
(identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism
(membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection
(reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah
pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian
seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).

3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)


Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided
reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu
matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan untuk digunakan dalam
menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui
proses dalam dunia rasio, pengembangan matematika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi),
pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-
twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial,
sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)


Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan
lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan
siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi.
Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)


Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan
mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah
otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi
yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana
nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi,
identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

6. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara
penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian
(menemukan pola, aturan, .atau algoritma). Sintaknya adalah: sajikan permasalahan yang
memenuhi kriteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau aturan
yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya
menemukan solusi.

7. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adalah problem posing, yaitu pemecahan masalah dengan melalui
elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga
dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-
hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.

8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)


Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan
permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi
jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif
tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntut untuk
berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh
jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses
mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses
daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram,
table), kembangkan permasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitkan dengan materi
selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat respon
siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian
pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan
pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan
demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak
sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari
proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan
terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mengurangi kondisi tersebut, guru
hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut.
Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria.
Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang
belajar, ia telah berpartisipasi

10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)


Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi
(deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi
berarti menggali pengetahuan prasyarat, eksplanasi berarti mengenalkan konsep baru dan
alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

11. Reciprocal Learning


Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat
hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik
(1999) mengemukan bahwa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya,
representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran
resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-
merangkum.

12. SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan
semua alat indra yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang
bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan
melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan,
menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan menanggapi;
Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui mengamati,
menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga; dan
Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on)
belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar,
menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan
menerapkan.

13. TGT (Teams Games Tournament)


Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama
bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja
individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa
kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi
permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian
bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam
rangka mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:

a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan
\mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang
berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan
seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa
yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah
disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa
bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor
turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja turnamen
sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
d. Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan
pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior
dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi
oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan
kelompok dan individual.

14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)


Model pembelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan
ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya
dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI,
dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.

15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)


Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu
pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui
pemberian tugas atau quis.

16. TAI (Team Assisted Individualy)


Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan
karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab belajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa
harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa
adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar
berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok
secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan
kelompok dan refleksi serta tes formatif.

17. STAD (Student Teams Achievement Division)


STAD adalah salah satu model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok
heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi
kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau
kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

18. NHT (Numbered Head Together)


NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok
heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap
kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan
nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan
nomor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual
dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

19. Jigsaw
Model pembelajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks seperti berikut ini.
Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri
dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas
membahas bagian tertentu, tiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian
bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok asal,
pelaksanaan tutorial pada kelompok asal oleh anggota kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi,
refleksi.

20. TPS (Think Pairs Share)


Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal,
berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-
sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap
siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

21. GI (Group Investigation)


Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi
tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di
luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah,
jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengolahan data
penyajian data hasil investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkembangan siswa,
umumkan hasil kuis dan berikan reward.

22. MEA (Means-Ends Analysis)


Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan
sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi
sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga
terjadi koneksivitas, pilih strategi solusi.

23. CPS (Creative Problem Solving)


Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik
dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya
adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan,
identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk
menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

24. TTW (Think Talk Write)


Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan
alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat
laporan hasil presentasi. Sintaknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai),
presentasi, diskusi, melaporkan.

25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)


Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan
kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa
lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok,
kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)


Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk
memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan,
memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)


Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu
dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks:
Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan
membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar),
Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang
diberikan (catat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)


SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas
memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.

29. MID (Meaningful Instructionnal Design)


Model ini adalah pembelajaran yang mengutamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan
cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah
(1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisis pengalaman, dan
konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaman belajar; (3) production melalui
ekspresi-apresiasi konsep

30. KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses,
Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-
menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan
pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

31. CRI (Certainly of Response Index)


CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat
keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan
pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan
rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3
untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.

32. DLPS (Double Loop Problem Solving)


DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada
pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk
pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap
yang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal,
deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesaian masalah sebagai berikut:
menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah
yang telah direvisi, mengidentifikasi kausal, implementasi solusi, identifikasi kausal utama,
menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)


DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan
berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan,
pendahuluan, pengembangan, penerapan, dan penutup.

34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)


Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –
kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana
bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian,
menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil
kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

35. IOC (Inside Outside Circle)


IOC adalah model pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan,
1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang
berbeda dengan singkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separuh dari jumlah siswa membentuk
lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke
dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkaran
luar berputar kemudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya.

36. Tari Bambu


Model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat
yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar
yang memerlukan pertukaran pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah:
Sebagian siswa berdiri berjajar di depan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya
berdiri berhadapan dengan kelompok siswa pertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalaman
dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satu jajaran pindah ke ujung lainnya pada
jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

37. Artikulasi
Artikulasi adlah model pembelajaran dengan sintaks: penyampaian kompetensi, sajian materi,
bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima
kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing
siswa untuk menyimpulkan.

38. Debate
Debat adalah model pembalajaran dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk
berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok,
sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh
kelompok lainnya begitu seterusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan
menambahkannya biola perlu.

39. Role Playing


Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan skenario pembelajaran, menunjuk
beberapa siswa untuk mempelajari skenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian
kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa
membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan kesimpulan
dan refleksi.

40. Talking Stick


Sintak pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa membaca
materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan
siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepada siswa lain
dan guru memberikan pertanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-
evaluasi.

41. Snowball Throwing


Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan
diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan
pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian,
penyimpulan, refleksi dan evaluasi.
42. Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan
menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.

43. Course Review Horay


Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa
atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan
soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan
guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore
atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

44. Demostration
Pembelajaran ini khusus untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen.
Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi
tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk
mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

45. Explicit Instruction


Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah
demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan
pengetahuan dan ketrampilan prosedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek
pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

46. Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak
nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa
berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.

47. Pair Checks


Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya
mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

48. Make-A Match


Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya,
setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa
mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward,
kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk babak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama,
penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

49. Mind Mapping


Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah:
informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan
membuat berbagai alternatif jawaban, presentasi hasil diskusi kelompok, siswa membuat
kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

50. Examples Non Examples


Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar
ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang
sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

51. Picture and Picture


Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi,
siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar
tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.
52. Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari
wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi,
bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

53. LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangka solusi masalah. LAPS (
Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah
bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman
masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.

54. Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing
and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian
pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latihan dan bertanya, balikan-perbaikan-pengayaan-
interaksi.

55. Generatif
Basis generatif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep
awal, tantangan dan restrukturisasi sajian konsep, aplikasi, rangkuman, evaluasi, dan refleksi

56. Circuit Learning


Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola
bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan fokus, siswa
membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan
refleksi

57. Complette Sentence


Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintaks: sisapkan blanko isian
berupa paragraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan
membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya
belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.

58. Concept Sentence


Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru
menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tiap kelompok membuat kalimat berdasarkan kata
kunci, presentasi.

59. Time Token


Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan keterampilan sosial agar
siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas
untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara
(pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

60. Take and Give


Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang
berisi nama siswa – bahan belajar – dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi,
pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang
materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan
seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi

61. Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari
simpel ke kompleks, berupa pemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan
gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan soal tes bentuk super item, yaitu mulai dari
mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.

62. Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi
konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual
workshop menggunakan computer-internet.

63. Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urutan
ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam
pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-
kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.

64. Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana
nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung
diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali
salah guru membimbing.

65. Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus
menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai.
Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus
dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak,
alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui
presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward
dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.(muhfida.com)
MACAM-MACAM METODE PEMBELAJARAN

MetodolOgi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang
tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling
berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam
arti tujuan pengajaran tercapai.

Agar tujuan pengajaran tercapai sesuai dengan yang telah dirumuskan oleh pendidik, maka perlu
mengetahui, mempelajari beberapa metode mengajar, serta dipraktekkan pada saat mengajar.

Beberapa metode mengajar

1. Metode Ceramah (Preaching Method)


Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan
saecara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Muhibbin Syah,
(2000). Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk
menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan
yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham siswa.

Beberapa kelemahan metode ceramah adalah :

a. Membuat siswa pasif


b. Mengandung unsur paksaan kepada siswa
c. Mengandung daya kritis siswa ( Daradjat, 1985)
d. Anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih
tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya.
e. Sukar mengontrol sejauhmana pemerolehan belajar anak didik.
f. Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).
g. Bila terlalu lama membosankan.(Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

Beberapa kelebihan metode ceramah adalah :

a. Guru mudah menguasai kelas.


b. Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar
c. Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar.
d. Mudah dilaksanakan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

2. Metode diskusi ( Discussion method )


Muhibbin Syah ( 2000 ), mendefinisikan bahwa metode diskusi adalah metode mengajar yang
sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga
disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama ( socialized recitation ).
Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk :

a. Mendorong siswa berpikir kritis.


b. Mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas.
c. Mendorong siswa menyumbangkan buah pikirnya untuk memcahkan masalah bersama.
d. Mengambil satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah
berdsarkan pertimbangan yang seksama.

Kelebihan metode diskusi sebagai berikut :

a. Menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan
b. Menyadarkan ank didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara
konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik.
c. Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan
pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

Kelemahan metode diskusi sebagai berikut :

a. tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar.


b. Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas.
c. Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara.
d. Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formal (Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

3. Metode demontrasi ( Demonstration method )


Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan,
dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media
pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Muhibbin Syah (
2000).
Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara
kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Syaiful Bahri Djamarah, ( 2000).

Manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi adalah :


a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan .
b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari.
c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa (Daradjat, 1985)

Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut :


a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atu kerja suatu benda.
b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan .
c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melaui pengamatan dan
contoh konkret, drngan menghadirkan obyek sebenarnya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000).

Kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut :


a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan.
b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan
c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang
didemonstrasikan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000).

4. Metode ceramah plus


Metode ceramah plus adalah metode mengajar yang menggunakan lebih dari satu metode, yakni
metode ceramah gabung dengan metode lainnya.Dalam hal ini penulis akan menguraikan tiga
macam metode ceramah plus yaitu :
a. Metode ceramah plus tanya jawab dan tugas (CPTT).
Metode ini adalah metode mengajar gabungan antara ceramah dengan tanya jawab dan pemberian
tugas.
Metode campuran ini idealnya dilakukan secar tertib, yaitu :
1). Penyampaian materi oleh guru.
2). Pemberian peluang bertanya jawab antara guru dan siswa.
3). Pemberian tugas kepada siswa.
b. Metode ceramah plus diskusi dan tugas (CPDT)

Metode ini dilakukan secara tertib sesuai dengan urutan pengkombinasiannya, yaitu pertama guru
menguraikan materi pelajaran, kemudian mengadakan diskusi, dan akhirnya memberi tugas.

c. Metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL)

Metode ini dalah merupakan kombinasi antara kegiatan menguraikan materi pelajaran dengan
kegiatan memperagakan dan latihan (drill)

5. Metode resitasi ( Recitation method )


Metode resitasi adalah suatu metode mengajar dimana siswa diharuskan membuat resume dengan
kalimat sendiri (http://re-searchengines.com/art05-65.html).
Kelebihan metode resitasi sebagai berikut :
a. Pengetahuan yang anak didik peroleh dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama.
b. Anak didik berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif,
bertanggung jawab dan berdiri sendiri (Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

Kelemahan metode resitasi sebagai berikut :


a. Terkadang anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan
temennya tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri.
b. Terkadang tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan.
c. Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual (Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

6. Metode percobaan ( Experimental method )

Metode percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau
kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Syaiful Bahri Djamarah, (2000)

Metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan tertentu dan dilakukan lebih
dari satu kali. Misalnya di Laboratorium.

Kelebihan metode percobaan sebagai berikut :


a. Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan
percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku.
b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi)
tentang ilmu dan teknologi.
c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan
penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup
manusia.

Kekurangan metode percobaan sebagai berikut :

a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan
ekperimen.
b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk
melanjutkan pelajaran.
c. Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi.
Menurut Roestiyah (2001:80) Metode eksperimen adalah suatu cara mengajar, di mana siswa
melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil
percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru.

Penggunaan teknik ini mempunyai tujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri
berbagai jawaban atau persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengadakan percobaan
sendiri. Juga siswa dapat terlatih dalam cara berfikir yang ilmiah. Dengan eksperimn siswa
menemukan bukti kebenaran dari teori sesuatu yang sedang dipelajarinya.

Agar penggunaan metode eksperimen itu efisien dan efektif, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut : (a) Dalam eksperimen setiap siswa harus mengadakan percobaan, maka jumlah alat dan
bahan atau materi percobaan harus cukup bagi tiap siswa. (b) Agar eksperimen itu tidak gagal dan
siswa menemukan bukti yang meyakinkan, atau mungkin hasilnya tidak membahayakan, maka
kondisi alat dan mutu bahan percobaan yang digunakan harus baik dan bersih. (c) dalam
eksperimen siswa perlu teliti dan konsentrasi dalam mengamati proses percobaan , maka perlu
adanya waktu yang cukup lama, sehingga mereka menemukan pembuktian kebenaran dari teori
yang dipelajari itu. (d) Siswa dalam eksperimen adalah sedang belajar dan berlatih , maka perlu
diberi petunjuk yang jelas, sebab mereka disamping memperoleh pengetahuan, pengalaman serta
ketrampilan, juga kematangan jiwa dan sikap perlu diperhitungkan oleh guru dalam memilih obyek
eksperimen itu. (e) Tidak semua masalah bisa dieksperimenkan, seperti masalah mengenai
kejiwaan, beberapa segi kehidupan social dan keyakinan manusia. Kemungkinan lain karena sangat
terbatasnya suatu alat, sehingga masalah itu tidak bias diadakan percobaan karena alatnya belum
ada.

Prosedur eksperimen menurut Roestiyah (2001:81) adalah : (a) Perlu dijelaskan kepada siswa
tentang tujuan eksprimen,mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui
eksprimen. (b) memberi penjelasan kepada siswa tentang alat-alat serta bahan-bahan yang akan
dipergunakan dalam eksperimen, hal-hal yang harus dikontrol dengan ketat, urutan eksperimen,
hal-hal yang perlu dicatat. (c) Selama eksperimen berlangsung guru harus mengawasi pekerjaan
siswa. Bila perlu memberi saran atau pertanyaan yang menunjang kesempurnaan jalannya
eksperimen. (d) Setelah eksperimen selesai guru harus mengumpulkan hasil penelitian siswa,
mendiskusikan di kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau tanya jawab.

Metode eksperimen menurut Djamarah (2002:95) adalah cara penyajian pelajaran, di mana siswa
melakukan percobaan dengan mengalami sendiri sesuatu yang dipelajari. Dalam proses belajar
mengajar, dengan metode eksperimen, siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau
melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu obyek, keadaan atau proses sesuatu.
Dengan demikian, siswa dituntut untuk mengalami sendiri , mencari kebenaran, atau mencoba
mencari suatu hukum atau dalil, dan menarik kesimpulan dari proses yang dialaminya itu.
Metode eksperimen mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :

Kelebihan metode eksperimen : (a) Membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan
berdasarkan percobaannya. (b) dalam membina siswa untuk membuat terobosan-terobosan baru
dengan penemuan dari hasil percobaannya dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. (c) Hasil-hasil
percobaan yang berharga dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran umat manusia.

Kekurangan metode eksperimen :


(a) Metode ini lebih sesuai untuk bidang-bidang sains dan teknologi. (b) metode ini memerlukan
berbagai fasilitas peralatan dan bahan yang tidak selalu mudah diperoleh dan kadangkala mahal. (c)
Metode ini menuntut ketelitian, keuletan dan ketabahan. (d) Setiap percobaan tidak selalu
memberikan hasil yang diharapkan karena mungkin ada factor-faktor tertentu yang berada di luar
jangkauan kemampuan atau pengendalian.

Menurut Schoenherr (1996) yang dikutip oleh Palendeng (2003:81) metode eksperimen adalah
metode yang sesuai untuk pembelajaran sains, karena metode eksprimen mampu memberikan
kondisi belajar yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir dan kreativitas secara optimal.
Siswa diberi kesempatan untuk menyusun sendiri konsep-konsep dalam struktur kognitifnya,
selanjutnya dapat diaplikasikan dalam kehidupannya.

Dalam metode eksperimen, guru dapat mengembangkan keterlibatan fisik dan mental, serta
emosional siswa. Siswa mendapat kesempatan untuk melatih ketrampilan proses agar memperoleh
hasil belajar yang maksimal. Pengalaman yang dialami secara langsung dapat tertanam dalam
ingatannya. Keterlibatan fisik dan mental serta emosional siswa diharapkan dapat diperkenalkan
pada suatu cara atau kondisi pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga
perilaku yang inovatif dan kreatif.

Pembelajaran dengan metode eksperimen melatih dan mengajar siswa untuk belajar konsep fisika
sama halnya dengan seorang ilmuwan fisika. Siswa belajar secara aktif dengan mengikuti tahap-
tahap pembelajarannya. Dengan demikian, siswa akan menemukan sendiri konsep sesuai dengan
hasil yang diperoleh selama pembelajaran.

Pembelajaran dengan metode eksperimen menurut Palendeng (2003:82) meliputi tahap-tahap


sebagai berikut : (1) percobaan awal, pembelajaran diawali dengan melakukan percobaan yang
didemonstrasikan guru atau dengan mengamati fenomena alam. Demonstrasi ini menampilkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan materi fisika yang akan dipelajari. (2) pengamatan,
merupakan kegiatan siswa saat guru melakukan percobaan. Siswa diharapkan untuk mengamati dan
mencatat peristiwa tersebut. (3) hipoteis awal, siswa dapat merumuskan hipotesis sementara
berdasarkan hasil pengamatannya. (4) verifikasi , kegiatan untuk membuktikan kebenaran dari
dugaan awal yang telah dirumuskan dan dilakukan melalui kerja kelompok. Siswa diharapkan
merumuskan hasil percobaan dan membuat kesimpulan, selanjutnya dapat dilaporkan hasilnya. (5)
aplikasi konsep , setelah siswa merumuskan dan menemukan konsep, hasilnya diaplikasikan dalam
kehidupannya. Kegiatan ini merupakan pemantapan konsep yang telah dipelajari. (6) evaluasi,
merupakan kegiatan akhir setelah selesai satu konsep.
Penerapan pembelajaran dengan metode eksperimen akan membantu siswa untuk memahami
konsep. Pemahaman konsep dapat diketahui apabila siswa mampu mengutarakan secara lisan,
tulisan, , maupun aplikasi dalam kehidupannya. Dengan kata lain , siswa memiliki kemampuan
untuk menjelaskan, menyebutkan, memberikan contoh, dan menerapkan konsep terkait dengan
pokok bahasan .

Metode Eksperimen menurut Al-farisi (2005:2) adalah metode yang bertitik tolak dari suatu
masalah yang hendak dipecahkan dan dalam prosedur kerjanya berpegang pada prinsip metode
ilmiah.
7. Metode Karya Wisata

Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik
dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain
serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan.

Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut :


a. Karyawisata menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata
dalam pengajaran.
b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan
kebutuhan yang ada di masyarakat.
c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak.

Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut :


a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak.
b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang.
c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan utama, sedangkan
unsur studinya terabaikan.
d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan.
e. Biayanya cukup mahal.
f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak
didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh.

Kadang-kadang dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak ke luar sekolah, untuk
meninjautempat tertentu atau obyek yang lain. Menurut Roestiyah (2001:85) , karya wisata bukan
sekedar rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajarannya dengan melihat
kenyataannya. Karena itu dikatakan teknik karya wisata, ialah cara mengajar yang dilaksanakan
dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari atau
menyelidiki sesuatu seperti meninjau pabrik sepatu, suatu bengkel mobil, toko serba ada, dan
sebagainya.

Menurut Roestiyah (2001:85) ,teknik karya wisata ini digunakan karena memiliki tujuan sebagai
berikut: Dengan melaksanakan karya wisata diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman
langsung dari obyek yang dilihatnya, dapat turut menghayati tugas pekerjaan milik seseorang serta
dapat bertanya jawab mungkin dengan jalan demikian mereka mampu memecahkan persoalan yang
dihadapinya dalam pelajaran, ataupun pengetahuan umum. Juga mereka bisa melihat, mendengar,
meneliti dan mencoba apa yang dihadapinya, agar nantinya dapat mengambil kesimpulan, dan
sekaligus dalam waktu yang sama ia bisa mempelajari beberapa mata pelajaran.

Agar penggunaan teknik karya wisata dapat efektif, maka pelaksanaannya perlu memeperhatikan
langkah-langkah sebagai berikut: (a) Persiapan, dimana guru perlu menetapkan tujuan
pembelajaran dengan jelas, mempertimbangkan pemilihan teknik, menghubungi pemimpin obyek
yang akan dikunjungi untuk merundingkan segala sesuatunya, penyusunan rencana yang masak,
membagi tugas-tugas, mempersiapkan sarana, pembagian siswa dalam kelompok, serta mengirim
utusan, (b) Pelaksanaan karya wisata, dimana pemimpin rombongan mengatur segalanya dibantu
petugas-petugas lainnya, memenuhi tata tertib yang telah ditentukan bersama, mengawasi petugas-
petugas pada setiap seksi, demikian pula tugas-tugas kelompok sesuai dengan tanggungjawabnya,
serta memberi petunjuk bila perlu, (c) Akhir karya wisata, pada waktu itu siswa mengadakan diskusi
mengenai segala hal hasil karya wisata, menyusun laporan atau paper yang memuat kesimpulan
yang diperoleh, menindaklanjuti hasil kegiatan karya wisata seperti membuat grafik, gambar,
model-model, diagram, serta alat-alat lain dan sebagainya.

Karena itulah teknik karya wisata dapat disimpulkan memiliki keunggulan sebagai berikut: (a) Siswa
dapat berpartisispasi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para petugas pada obyek karya
wisata itu, serta mengalami dan menghayati langsung apa pekerjaan mereka. Hal mana tidak
mungkin diperoleh disekolah, sehingga kesempatan tersebut dapat mengembangkan bakat khusus
atau ketrampilan mereka, (b) Siswa dapat melihat berbagai kegiatan para petugas secara individu
maupun secara kelompok dan dihayati secara langsung yang akan memperdalam dan memperluas
pengalaman mereka, (c) dalam kesempatan ini siswa dapat bertanya jawab, menemukan sumber
informasi yang pertama untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapi, sehingga mungkin
mereka menemukan bukti kebenaran teorinya, atau mencobakan teorinya ke dalam praktek, (d)
Dengan obyek yang ditinjau itu siswa dapat memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan
pengalaman yang terintegrasi, yang tidak terpisah-pisah dan terpadu.

Penggunaan teknik karya wisata ini masih juga ada keterbatasan yang perlu diperhatikan atau
diatasi agar pelaksanaan teknik ini dapat berhasil guna dan berdaya guna, ialah sebagai berikut:
Karya wisata biasanya dilakukan di luar sekolah, sehingga mungkin jarak tempat itu sangat jauh di
luar sekolah, maka perlu mempergunakan transportasi, dan hal itu pasti memerlukan biaya yang
besar. Juga pasti menggunakan waktu yang lebih panjang daripada jam sekolah, maka jangan
sampai mengganggu kelancaran rencana pelajaran yang lain. Biaya yang tinggi kadang-kadang tidak
terjangkau oleh siswa maka perlu bantuan dari sekolah. Bila tempatnya jauh, maka guru perlu
memikirkan segi keamanan, kemampuan pihak siswa untuk menempuh jarak tersebut, perlu
dijelaskan adanya aturan yang berlaku khusus di proyek ataupun hal-hal yang berbahaya.

Suhardjono (2004:85) mengungkapkan bahwa metode karya wisata (field-trip) memiliki


keuntungan: (a) Memberikan informasi teknis, kepada peserta secara langsung, (b) Memberikan
kesempatan untuk melihat kegiatan dan praktik dalam kenyataan atau pelaksanaan yang
sebenarnya, (c) Memberikan kesempatan untuk lebih menghayati apa yang dipelajari sehingga lebih
berhasil, (d) membei kesempatan kepada peserta untuk melihat dimana peserta ditunjukkan kepada
perkembangan teknologi mutakhir.

Sedangkan kekurangan metode Field Trip menurut Suhardjono (2004:85) adalah: (a) Memakan
waktu bila lokasi yang dikunjungi jauh dari pusat latihan, (b) Kadang-kadang sulit untuk mendapat
ijin dari pimpinan kerja atau kantor yang akan dikunjungi, (c) Biaya transportasi dan akomodasi
mahal.

Menurut Djamarah (2002:105), pada saat belajar mengajar siswa perlu diajak ke luar sekolah, untuk
meninjau tempat tertentu atau obyek yang lain. Hal itu bukan sekedar rekreasi tetapi untuk belajar
atau memperdalam pelajarannya dengan melihat kenyataannya. Karena itu, dikatakan teknik karya
wisata, yang merupakan cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat
atau obyek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari atau menyelidiki sesuatu seperti meninjau
pegadaian. Banyak istilah yang dipergunakan pada metode karya wisata ini, seperti widya wisata,
study tour, dan sebagainya. Karya wisata ada yang dalam waktu singkat, dan ada pula yang dalam
waktu beberapa hari atau waktu panjang.

Metode karya wisata mempunyai beberapa kelebihan yaitu: (a) Karya wisata memiliki prinsip
pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran, (b) Membuat apa yang
dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan di masyarakat, (c) Pengajaran
serupa ini dapat lebih merangsang kreativitas siswa, (d) Informasi sebagai bahan pelajaran lebih
luas dan aktual.

Kekurangan metode karya wisata adalah: (a) Fasilitas yang diperlukan dan biaya yang diperlukan
sulit untuk disediakan oleh siswa atau sekolah, (b) Sangat memerlukan persiapan dan perencanaan
yang matang, (c) memerlukan koordinasi dengan guru-guru bidang studi lain agar tidak terjadi
tumpang tindih waktu dan kegiatan selama karya wisata, (d) dalam karya wisata sering unsure
rekreasi menjadi lebih prioritas daripada tujuan utama, sedang unsure studinya menjadi terabaikan,
(e) Sulit mengatur siswa yang banyak dalam perjalanan dan mengarahkan mereka kepada kegiatan
studi yang menjadi permasalahan.
Metode field trip atau karya wisata menurut Mulyasa (2005:112) merupakan suatu perjalanan atau
pesiar yang dilakukan oleh peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar, terutama
pengalaman langsung dan merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah. Meskipun karya
wisata memiliki banyak hal yang bersifat non akademis, tujuan umum pendidikan dapat segera
dicapai, terutama berkaitan dengan pengembangan wawasan pengalaman tentang dunia luar.

Sebelum karya wisata digunakan dan dikembangkan sebagai metode pembelajaran, hal-hal yang
perlu diperhatikan menurut Mulyasa (2005:112) adalah: (a) Menentukan sumber-sumber
masyarakat sebagai sumber belajar mengajar, (b) Mengamati kesesuaian sumber belajar dengan
tujuan dan program sekolah, (c) Menganalisis sumber belajar berdasarkan nilai-nilai paedagogis, (d)
Menghubungkan sumber belajar dengan kurikulum, apakah sumber-sumber belajar dalam
karyawisata menunjang dan sesuai dengan tuntutan kurikulum, jika ya, karya wisata dapat
dilaksanakan, (e) membuat dan mengembangkan program karya wisata secara logis, dan sistematis,
(f) Melaksanakan karya wisata sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhatikan
tujuan pembelajaran, materi pelajaran, efek pembelajaran, serta iklim yang kondusif. (g)
Menganalisis apakah tujuan karya wisata telah tercapai atau tidak, apakah terdapat kesulitan-
kesulitan perjalanan atau kunjungan, memberikan surat ucapan terima kasih kepada mereka yang
telah membantu, membuat laporan karyawisata dan catatan untuk bahan karya wisata yang akan
datang.

8. Metode latihan keterampilan ( Drill method )

Metode latihan keterampilan adalah suatu metode mengajar , dimana siswa diajak ke tempat latihan
keterampilan untuk melihat bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya,
untuk apa dibuat, apa manfaatnya dan sebagainya. Contoh latihan keterampilan membuat tas dari
mute/pernik-pernik.

Kelebihan metode latihan keterampilan sebagai berikut :

a. Dapat untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan
menggunakan alat-alat.
b. Dapat untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian, penjumlahan,
pengurangan, pembagian, tanda-tanda/simbol, dan sebagainya.
c. Dapat membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan.

Kekurangan metode latihan keterampilan sebagai berikut :

a. Menghambat bakat dan inisiatif anak didik karena anak didik lebih banyak dibawa kepada
penyesuaian dan diarahkan kepada jauh dari pengertian.
b. Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan.
c. Kadang-kadang latihan tyang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton
dan mudah membosankan.
d. Dapat menimbulkan verbalisme.

9. Metode mengajar beregu ( Team teaching method )

Metode mengajar beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang
yang masing-masing mempunyai tugas. Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai
kordinator. Cara pengujiannya, setiap pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan
maka setiap siswa yang diuji harus langsung berhadapan dengan team pendidik tersebut.

10. Metode mengajar sesama teman ( Peer teaching method )

Metode mengajar sesama teman adalah suatu metode mengajar yang dibantu oleh temannya sendiri
11. Metode pemecahan masalah ( Problem solving method )

Metode ini adalah suatu metode mengajar yang mana siswanya diberi soal-soal, lalu diminta
pemecahannya.

12. Metode perancangan ( projeck method )

yaitu suatu metode mengajar dimana pendidik harus merancang suatu proyek yang akan diteliti
sebagai obyek kajian.

Kelebihan metode perancangan sebagai berikut :

a. Dapat merombak pola pikir anak didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan menyuluruh
dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan.
b. Melalui metode ini, anak didik dibina dengan membiasakan menerapkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan dengan terpadu, yang diharapkan praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari.

Kekurangan metode perancangan sebagai berikut :

a. Kurikulum yang berlaku di negara kita saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal, belum
menunjang pelaksanaan metode ini.
b. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini sukar dan memerlukan
keahlian khusus dari guru, sedangkan para guru belum disiapkan untuk ini.
c. Harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan anak didik, cukup fasilitas, dan
memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan.
d. Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas.

13. Metode Bagian ( Teileren method )

yaitu suatu metode mengajar dengan menggunakan sebagian-sebagian, misalnya ayat per ayat
kemudian disambung lagi dengan ayat lainnya yang tentu saja berkaitan dengan masalahnya.

14. Metode Global (Ganze method )

yaitu suatu metode mengajar dimana siswa disuruh membaca keseluruhan materi, kemudian siswa
meresume apa yang dapat mereka serap atau ambil intisari dari materi tersebut.

15. Metode Discovery

Salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah
maju adalah metode discovery, hal itu disebabkan karena metode discovery ini: (a) Merupakan suatu
cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b) Dengan menemukan sendiri, menyelidiki
sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah
dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi
penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya
sendiri, (e) dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba
memecahkan probela yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan
bermasyarakat.

Dengan demikian diharapkan metode discovery ini lebih dikenal dan digunakan di dalam berbagai
kesempatan proses belajar mengajar yang memungkinkan.
Metode Discovery menurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar
yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai
kepada generalisasi.

Metode Discovery merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar
yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri
dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu strategi
yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan ketrampilan
menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan
pendidikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode discovery adalah suatu metode
dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri
informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.

Suryosubroto (2002:193) mengutip pendapat Sund (1975) bahwa discovery adalah proses mental
dimana siswa mengasimi

MODEL PEMBELAJARAN DALAM KURIKULUM 2013


(Materi Diklat Kurikulum 2013)
Posted by PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN on Wednesday, April 6, 2016

A. Pengertian Pembelajaran, Model pembelajaran dan Prinsip Pembelajaran dalam


Kurikulum 2013

1. Pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta didik,antara peserta


didik dan pendidik, dan antara peserta dan sumber belajar lainnya pada suatu lingkungan belajar
yang berlangsung secara edukatif, agar peserta didik dapat membangun sikap, pengetahuan dan
keterampilannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Proses pembelajaran merupakan
suatu proses yang mengandung serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan
hingga penilaian.

2. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang
menyangkut sintaksis, sistem sosial, prinsip reaksi dan sistem pendukung (Joice&Wells).
Sedangkan menurut Arends dalam Trianto, mengatakan “model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas.
3. Prinsi-prinsip pembelajaran meliputi: (1) peserta didik difasilitasi untuk mencari tahu, (2) peserta
didik belajar dari berbagai sumber belajar, (3) proses pembelajaraan menggunakan pendekatan
ilmiah, (4) pembelajaran berbasis kompetensi, (5) pembelajaran terpadu, (6) pembelajaran yang
menekankan pada jawaban divergen yang memiliki kebenaran multi dimensi, (7) pembelajaran
berbasis keterampilan aplikatif, (8) peningkatan keseimbangan, kesinambungan, dan keterkaitan
antara hard-skills dan soft-skills, (9)pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat, (10) pembelajaran yang
menerapkan nilai-nilai dengan memberiketeladanan (ingngarso sung tulodo), membangun
kemauan (ingmadyomangunkarso), dan mengembangkan kreativitas pesertadidik dalam proses
pembelajaran (tut wurihandayani), (11) pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah,
dan di masyarakat, (12) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pembelajaran, (13) pengakuan atas perbedaan individual dan latar
belakang budaya peserta didik, dan (14) suasana belajar menyenangkan dan menantang.

===================================

===================================

4. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di
dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan
pembelajaran, dan pengelolaan kelas.

5. Tujuan penggunaan model pembelajaran sebagai strategi bagaimana pembelajaran yang


dilaksanakan dapat membantu peserta didik mengembangkan dirinya baik berupa informasi,
gagasan, keterampilan nilai dan cara-cara berpikir dalam meningkatkan kapasitas berpikir secara
jernih, bijaksana dan membangun keterampilan sosial serta komitmen (Joice& Wells).

6. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yaitu:

a. Rasional teoretis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. Model
pembelajaran mempunyai teori berfikir yang masuk akal. Maksudnya para pencipta atau
pengembang membuat teori dengan mempertimbangkan teorinya dengan kenyataan sebenarnya
serta tidak secara fiktif dalam menciptakan dan mengembangankannya.

b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan
dicapai). Model pembelajaran mempunyai tujuan yang jelas tentang apa yang akan dicapai,
termasuk di dalamnya apa dan bagaimana siswa belajar dengan baik serta cara memecahkan
suatu masalah pembelajaran.
c. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil.
Model pembelajaran mempunyai tingkah laku mengajar yang diperlukan sehingga apa yang
menjadi cita-cita mengajar selama ini dapat berhasil dalam pelaksanaannya.

d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Model
pembelajaran mempunyai lingkungan belajar yang kondusif serta nyaman, sehingga suasana
belajar dapat menjadi salah satu aspek penunjang apa yang selama ini menjadi tujuan
pembelajaran. (Trianto, 2010).

7. Memilih atau menentukan model pembelajaran sangat dipengaruhi olehkondisi Kompetensi


Dasar (KD), tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran, sifat dari materi yang akan diajarkan,
dantingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu, setiap model pembelajaran mempunyai
tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan siswa dengan bimbingan guru.

8. Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan saintifik sebagaimana yang diterapkan pada


kurikulum 2013, sebaiknya dipadukan secara sinkron dengan langkah/tahapan
kerja (syntax) model pembelajaran.

B. Model pembelajaran dalam Kurikulum 2013

Model pembelajaran dalam Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model pembelajaran utama(Permendikbud No. 103 Tahun
2014)yang diharapkan dapat membentuk perilaku saintifik, perilaku sosial serta mengembangkan
rasa keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model Pembelajaran Berbasis
Masalah(Problem Based Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek (Project Based
Learning), dan model Pembelajaran Melalui Penyingkapan/Penemuan(Discovery/Inquiry
Learning). Disamping model pembelajaran di atas dapat juga dikembangkan model
pembelajaran Production Based Education (PBE) sesuai dengan karakteristik pendidikan
menengah kejuruan
Tidak semua model pembelajaran tepat digunakan untuk semua KD/materi pembelajaran. Model
pembelajaran tertentu hanya tepat digunakan untuk materi pembelajaran tertentu. Sebaliknya
materi pembelajaran tertentu akan dapat berhasil maksimal jika menggunakan model
pembelajaran tertentu.Oleh karenanya guru harus menganalisis rumusan pernyataan setiap KD,
apakah cenderung pada pembelajaran penyingkapan(Discovery/Inquiry Learning) atau pada
pembelajaran hasil karya (Problem Based Learning dan Project Based Learning).
Rambu-rambu penentuan model penyingkapan/penemuan:

1. Pernyataan KD-3 dan KD-4 mengarah ke pencarian atau penemuan;

2. Pernyataan KD-3 lebih menitikberatkan pada pemahaman pengetahuan faktual, konseptual,


procedural, dan dimungkinkan sampai metakognitif;

3. Pernyataan KD-4 pada taksonomi mengolah dan menalar

Rambu-rambu penemuan model hasil karya (Problem Based Learning danProject Based Learning):

1. Pernyataan KD-3 dan KD-4 mengarah pada hasil karya berbentuk jasa atau produk;

2. Pernyataan KD-3 pada bentuk pengetahuan metakognitif;

3. Pernyataan KD-4 pada taksonomi menyaji dan mencipta, dan

4. Pernyataan KD-3 dan KD-4 yang memerlukan persyaratan penguasaan pengetahuan konseptual
dan prosedural.

Masing-masing model pembelajaran tersebut memiliki urutan langkah kerja(syntax) tersendiri, yang
dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Model Pembelajaran Penyingkapan (penemuan dan pencarian/penelitian)

Model pembelajaran penyingkapan (Discovery Learning)adalah memahami konsep, arti, dan


hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih,
2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya
untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses
tersebut disebut cognitive processsedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of
assimilatingconcepts and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
a. Sintak model Discovery Learning

1) Pemberian rangsangan (Stimulation);

2) Pernyataan/Identifikasi masalah (Problem Statement);

3) Pengumpulan data (Data Collection);

4) Pembuktian (Verification), dan

5) Menarik simpulan/generalisasi (Generalization).

b. Sintak model Inquiry Learning Terbimbing

Model pembelajaran yang dirancang membawa peserta didik dalam proses penelitian melalui
penyelidikan dan penjelasan dalam settingwaktu yang singkat (Joice&Wells, 2003).

Model pembelajaran Inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu secara sistematis kritis dan
logis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri temuannya.

Sintak/tahap model inkuiri meliputi:

1) Orientasi masalah;

2) Pengumpulan data dan verifikasi;

3) Pengumpulan data melalui eksperimen;

4) Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi, dan

5) Analisis proses inkuiri.

2. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)


Merupakan pembelajaran yang menggunakans berbagai kemampuan berpikir dari peserta didik
secara individu maupun kelompok serta lingkungan nyata untuk mengatasi permasalahan
sehingga bermakna, relevan, dan kontekstual (Tan OnnSeng, 2000).

Tujuan PBL adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam menerapkan konsep-konsep pada
permasalahan baru/nyata, pengintegrasian konsepHigh Order Thinking Skills (HOT’s), keinginan
dalam belajar, mengarahkan belajar diri sendiri dan keterampilan(Norman and Schmidt).

a. Sintak model Problem Based Learning dari Bransford and Stein (dalam Jamie Kirkley, 2003:3)
terdiri atas:

1) Mengidentifikasi masalah;

2) Menetapkan masalah melalui berpikir tentang masalah dan menyeleksi informasi-informasi yang
relevan;

3) Mengembangkan solusi melalui pengidentifikasian alternatif-alternatif, tukar-pikiran dan


mengecek perbedaan pandang;

4) Melakukan tindakan strategis, dan

5) Melihat ulang dan mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari solusi yang dilakukan.

b. Sintak model Problem Solving Learning Jenis Trouble Shooting(David H. Jonassen, 2011:93)
terdiri atas:

1) Merumuskan uraian masalah;

2) Mengembangkan kemungkinan penyebab;

3) Mengetes penyebab atau proses diagnosis, dan

4) Mengevaluasi.
3. Model pembelajaran Project Based Learning (PjBL).

Model pembelajaran PJBL merupakan pembelajaran dengan menggunakan proyek nyata dalam
kehidupan yang didasarkan pada motivasi tinggi, pertanyaan menantang, tugas-tugas atau
permasalahan untuk membentuk penguasaan kompetensi yang dilakukan secara kerjasama
dalam upaya memecahkan masalah (Barel, 2000 and Baron 2011).

Tujuan Project Based Learning adalah meningkatkan motivasi belajar, team work, keterampilan
kolaborasi dalam pencapaian kemampuan akademik level tinggi/taksonomi tingkat kreativitas
yang dibutuhkan pada abad 21 (Cole & Wasburn Moses, 2010).

Sintak/tahapan model pembelajaran Project Based Learning, meliputi:

a. Penentuan pertanyaan mendasar (Start with the Essential Question);

b. Mendesain perencanaan proyek;

c. Menyusun jadwal (Create a Schedule);

d. Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the
Project);
e. Menguji hasil (Assess the Outcome), dan

f. Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience).

4. Di samping tiga model pembelajaran di atas, di SMK dapat digunakan model Production Based
Training (PBT) untuk mendukung pengembangan Teaching Factory pada mata pelajaran
pengembangan produk kreatif. Model Pembelajaran Production Based Trainingmerupakan proses
pendidikan dan pelatihan yang menyatu pada proses produksi, dimana peserta didik diberikan
pengalaman belajar pada situasi yang kontekstual mengikuti aliran kerja industri mulai dari
perencanaan berdasarkan pesanan, pelaksanaan dan evaluasi produk/kendali mutu
produk, hingga langkah pelayanan pasca produksi.Tujuan penggunaan model pembelajaranPBT
adalah untuk menyiapkan peserta didik agar memiliki kompetensi kerja yang berkaitan dengan
kompetensi teknisserta kemampuan kerjasama sesuai tuntutan organisasi kerja.

Sintaks/tahapan model pembelajaran Production Based Trainningmeliputi:

a. Merencanakan produk;

b. Melaksanakan proses produksi;

c. Mengevaluasi produk (melakukan kendali mutu), dan

d. Mengembangkan rencana pemasaran.

(G. Y. Jenkins, Hospitality 2005).

Proses pembelajaran yang mengacu pada pendekatan saintifik, meliputi lima langkah sebagai
berikut.

1. Mengamati, yaitu kegiatan siswa mengidentifikasi melalui indera penglihat (membaca,


menyimak), pembau, pendengar, pengecap dan peraba pada waktu mengamati
suatu objek dengan ataupun tanpa alat bantu. Alternatif kegiatan mengamati antara lain
observasi lingkungan, mengamati gambar, video, tabel dan grafik data, menganalisis peta,
membaca berbagai informasi yang tersedia di media masa dan internet maupun sumber lain.
Bentuk hasil belajar dari kegiatan mengamati adalah siswa dapat mengidentifikasi masalah.

2. Menanya, yaitu kegiatan siswa mengungkapkan apa yang ingin diketahuinya baik yang
berkenaan dengan suatu objek, peristiwa, suatu proses tertentu. Dalam kegiatan menanya, siswa
membuat pertanyaan secara individu atau kelompok tentang apa yang belum diketahuinya. Siswa
dapat mengajukan pertanyaan kepada guru, narasumber, siswa lainnya dan atau kepada diri
sendiri dengan bimbingan guru hinggasiswa dapat mandiri dan menjadi kebiasaan. Pertanyaan
dapat diajukan secara lisan dan tulisan serta harus dapat membangkitkan motivasi siswa untuk
tetap aktif dan gembira. Bentuknya dapat berupa kalimat pertanyaan dan kalimat
hipotesis. Hasil belajar dari kegiatanmenanya adalah siswa dapat merumuskan masalah
dan merumuskanhipotesis.

3. Mengumpulkan data, yaitu kegiatan siswa mencari informasi sebagai bahan untuk dianalisis
dan disimpulkan. Kegiatan mengumpulkan datadapat dilakukan dengan cara membaca buku,
mengumpulkan data sekunder, observasi lapangan, uji coba (eksperimen), wawancara,
menyebarkan kuesioner, dan lain-lain. Hasil belajar dari kegiatan mengumpulkan data
adalah siswa dapat menguji hipotesis.

4. Mengasosiasi, yaitu kegiatan siswa mengolah data dalam bentuk serangkaian aktivitas fisik dan
pikiran dengan bantuan peralatan tertentu. Bentuk kegiatan mengolah data antara lain
melakukan klasifikasi, pengurutan (sorting), menghitung, membagi, dan menyusun data dalam
bentuk yang lebih informatif, serta menentukan sumber data sehingga lebih bermakna. Kegiatan
siswa dalam mengolah data misalnya membuat tabel, grafik, bagan, peta konsep, menghitung,
dan pemodelan. Selanjutnya siswa menganalisis data untuk membandingkan ataupun
menentukan hubungan antara data yang telah diolahnya dengan teori yang ada sehingga dapat
ditarik simpulan dan atau ditemukannya prinsip dan konsep penting yang bermakna dalam
menambah skema kognitif, meluaskan pengalaman, dan wawasan pengetahuannya. Hasil belajar
dari kegiatan menalar/mengasosiasi adalah siswa dapat menyimpulkan hasil kajian dari
hipotesis.

5. Mengomunikasikan, yaitu kegiatan siswa mendeskripsikan dan menyampaikan hasil


temuannya dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan dan mengolah data, serta
mengasosiasi yang ditujukan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan dalam bentuk
diagram, bagan, gambar, dan sejenisnya dengan bantuan perangkat teknologi sederhana dan
atau teknologi informasi dan komunikasi. Hasilbelajar dari kegiatanmengomunikasikan
adalah siswa dapat memformulasikan dan mempertanggungjawabkan pembuktian
hipotesis.

Sumber: Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 Tahun 2016, Kemdikbud

eori Belajar dan Pembelajaran Kejuruan/Vokasi

“TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KEJURUAN/VOKASI”

Dosen Pengampu: Dr. Hendra Jaya MT


Mata kuliah: Teori Strategi Pembelajaran PTK

Nama Mahasiswa: Andi Haerawati

S2/PTK Program Pasca Sarjana UNM

Pendidikan kejuruan dan vokasi tidak semata mata dikembangkan menggunakan instrument
kebijakan pendidikan tetapi juga menggunakan instrument kebijakan sosial, ekonomi, politik dan
ketenagakerjaan (Atchoarena,D. 2009). Pendidikan kejuruan dan vokasi peka terhadap masalah-masalah
dan perubahan sosial masyarakat. Diminati atau sebaliknya tidak diminati pendidikan kejuruan dan
vokasi itu sangat tergantung dengan keadaan sosial masyarakat itu sendiri.

Dalam perspektif sosial ekonomi pendidikan kejuruan dan vokasi adalah pendidikan ekonomi
sebab diturunkan dari kebutuhan pasar kerja, memberi urunan terhadap kekuatan ekonomi
(Singh,M.,2009;Ahadzie.W.,2009;Hawley,J.D .,2009; Pavlova,M.2009). Lebih lanjut menurut Wardiman
(1998;32), pendidikan kejuruan dikembangkan melihat adanya kebutuhan masyarakat akan pekerjaan.
Peserta didik membutuhkan program yang dapat memberikan ketermpilan, pengetahuan, sikap kerja,
pengalaman wawasan dan jaringan yang dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
pilihan kariernya .
Secara tradisional tujuan utama dari pendidikan kejuruan adalah persiapan langsung untuk
bekerja. Pendidikan tersebut dianggap memberikan pelatihan khusus yang reproduktif dan berdasarkan
instruksi pengajar dengan maksud untuk mengembangkan pemahaman tentang industri tertentu.

Untuk itu disiapkan Sekolah Menengah Kejuruan yang berlandaskan 3 tujuan pokok, yaitu
mempersiapkan lulusan untuk bisa bekerja, meneruskan, dan wirausaha yang dikenal dengan singkatan
BMW. BMW mengandung makna bahwa Sekolah Menengah Kejuruan harus dapat: 1) mempersiapkan
peserta didik dengan kompetensi-kompetensi untuk bekal bekerja memasuki dunia kerja, 2)
mempersiapkan peserta didik untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, 3) mempersiapkan
peserta didik untuk bekerja mandiri dengan berwirausaha. (Trilling, B. dan Fadel,C.2009) menyatakan
bahwa pekerjaan saat ini dan yang akan datang memerlukan keterampilan kompleks, keahlian, dan
kreativitas. Pergeseran paradigma pendidikan kejuruan dari hanya menciptakan tenaga kerja terampil
menjadi menciptakan tenaga kerja terampil berpengetahuan dan berkarakter akan berdampak pada
perubahan strategi pembelajaran di sekolah kejuruan.

Tuntutan kompetensi yang lebih luas yang tidak sekadar memiliki keterampilan teknis akan
berimplikasi pada strategi, model dan metode pembelajaran yang digunakan oleh pendidikan kejuruan.
Strategi, model dan metode pembelajaran tersebut tidak hanya mengantar peserta didik memiliki skill,
teknis, tetapi juga harus mengantar peserta didik menjadi insan yang kreatif, inovatif, mandiri, mampu
bekerja dalam tim, mampu berkomunikasi dan menerapkan budaya literasi.

Dalam proses pembelajaran SMK terdapat empat kategori utama atau kerangka filosofis
mengenai teori belajar yaitu: teori belajar behavioristik, teori belajar kognitivistik,
teori belajar konstruktivistik dan teori belajar humanistik.

A. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Teori belajar Behavioristik adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku
manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.

Behaviorisme merupakan kekuatan pendidikan sejak abad pertengahan. Sebagai suatu


pendekatan terhadap pendidikan, behaviorisme terbuka bagi manusia modern yang
mengutamakan metodologi ilmiah dan “obyektivitas” seperti sektor yang dapat diukur dari
komunitas bisnis yang menilai hasil, efisiensi, dan ekonomi yang terlihat mendesak (Haryo,
2007) Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini yaitu : Manusia
adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan cara yang sama seperti
yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah proses perubahan perilaku; peran guru
adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan
obyektivitas merupakan perhatian utama dalam pendidikan.

Pengertian belajar menurut teori Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu
apabila ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum
menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan proses
belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respons. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-gambar,
atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003).

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpendapat
bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil
belajar.

Para tokoh aliran behaviorisme setidaknya ada Thorndike, Skinner, Pavlov, Gagne, dan
Bandura. Pada intinya mereka menyetujui pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat akan kami bahas karya tokoh aliran
behaviouristik sebagai berikut.

Konsep dari teori belajar behavioristik adalah respon perubahan perilaku yang teramati, terukur,
dan ternilai konkrit karena stimulus dari luar. Kunci pokok dan prinsip dasar stimulus dalam belajar
adalah pengkondisian lingkungan belajar (Putu Sudira: 2016: 161). Behavioris melihat proses belajar
sebagai perubahan perilaku, dan akan mengatur lingkungan untuk memperoleh respon yang diinginkan
melalui perangkat seperti tujuan perilaku, pembelajaran berbasis kompetensi, dan pengembangan
keterampilan dan pelatihan. Pendekatan pendidikan seperti pengukuran berbasis kurikulum, dan
pembelajaran langsung muncul dari model ini
(https://en.wikipedia.org/wiki/Learning_theory_(education)#Behavior_ analysis).

Pada konsep belajar behaviorism ini lingkungan sangat besar perannya untuk membentuk anak.
Bila lingkungan memberikan stimulus positif maka anak akan berperilaku positif. Teori ini dapat
diterapkan dalam pendidikan kejuruan yakni dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran
langsung. Sebelum melakukan suatu pekerjaan anak melihat apa yang dicontohkan oleh guru, kemudian
mencoba dengan meniru perilaku guru dan dilakukan berulang-ulang. Menurut Putu Sudira (2016:163)
teori belajar behavioristik relevan digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula. Pembelajar
kejuruan pemula sebelum berlatih suatu skill motorik memerlukan interaksi sosial dengan mengamati
kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori Bandura), mempraktikkan secara langsung
(teori Skinner), diulang-ulang hingga menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan
mental peserta didik sebelum latihan (teori Thorndike). Teori belajar behavioristik bermanfaat pula untuk
menghadapi pembelajar kejuruan yang pasif. Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa
sebagai bentuk stimulus agar mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya siswa SMK masih
cenderung pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa pemula atau kelas X.

Menurut Budiningsih, 2005:24 dari semua teori pendukung tingkah laku, teori skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program
pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang diwujudkan dalam program-
program pembelajaran yang disertai oleh perangkat penguatan(reinforcement).

Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran


yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh
guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun
hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan
diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku
yang diinginkan.

Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas, kelenturan, daya tahan, contohnya
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dsb.
Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-
bentuk penghargaan langsung.

Kelemahan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya
mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.

Tokohnya Skinner, Watson, Thorndike. Dasar filosofis dari teori mereka adalah bahwa
perilaku itu terbentuk dari perlakuan individu lain dalam lingkungan sekitarnya. Kalau individu
tidak dapat melakukan self-determinism maka dirinya akan mudah sekali terhanyut.
Behavioristik dalam menjabarkan pandangannya selalu dihubungkan dengan prinsip stimulus-
respon. Kalau orang tua misalnya memberikan pola asuh otoriter yang didalamnya selalu penuh
dengan kritikan, celaan, maka anakpun akan belajar dan kemudian memberikan respon perasan
rendah diri Behavioristik lebih menekankan pada perilaku sekarang daripada menoleh kembali
ke masa kehidupan awal.

B. TEORI BELAJAR KOGNITIVISTIK

Teori belajar kognitivistik ini lebih menengkankan proses belajar dari pada hasil belajar. bagi
penganut aliran kognivistik belajar tidak sekedar melibatkan antara stimulus dan respons. lebih dari itu
belajar adalah melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Siregar & Nara, 20) Teori kognitif
fokus pada konseptualisasi proses belajar siswa dan mengatasi masalah bagaimana informasi yang
diterima, terorganisir, disimpan, dan diambil oleh pikiran. Belajar yang bersangkutan tidak begitu banyak
dengan peserta didik apa yang dilakukan, tetapi dengan apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka
datang untuk memperolehnya (Jonassen, 1991). Kognitivisme fokus pada aktivitas mental dan pikiran,
memproses informasi, memasukkan memory, memecahkan masalah, menalar Model kognitif ini memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir,
menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan
yang telah ada.

Adapun teori pendukung kognitivisme antara lain: 1) component display theory dari Merrill; 2)
teori elaborasi dari Reigeluth; 3) konstruktivisme kognitif dari Gagne, Bringgs, dan Bruner,; 4) structural
learning dari Scandura (Putu Sudira: 2016).

Dalam pendidikan kejuruan Teori belajar kognitif digunakan dalam pembelajaran ketrampilan berpikir (
thinking skills ). Selain skill motorik, skill kognitif diperlukan dalam pendidikan kejuruan abad 21 untuk
membekali lulusan mudah beradaptasi dalam dunia kerja yang mengalami perubahan sangat cepat
dibidang teknologi.

High Order Thinking Skill (HOTS) semakin dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21 (Sudira:2016).
Critical thinking, creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia, proses mendapatkan
informasi merupakan variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar mengkonstruksi pengetahuan.

C. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

Teori belajar Konstruktivisme adalah perspektif psikologis dan filosofis menyatakan bahwa
individu membentuk atau membangun pengetahuan dari apa yang dipelajari dan dipahami. Teori
dariPiaget and Vygotsky berpengaruh besar pada peningkatan constructivism melalui teori dan riset
pengembangan manusia. Belajar menurut teori kontruktivisme merupakan proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman, Pengetahuan merupakan hasil dari proses
mengkontruksi yang dilakukan individu. Wina Sanjaya (2010)

Teori belajar konstruktivistik menekankan bahwa belajar adalah proses aktif mengkonstruksi
pengetahuan. Peserta didik berperan sebagai konstruktor pengetahuan. Berlangsungnya proses mental
mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang ada sebelumnya merupakan proses
mengkonstruksi pengetahuan. Belajar merupakan proses aktif mengkonstruksi pengetahuan, ide baru
dengan pengalaman sebelumnya (Putu Sudira: 2016: 166).

Konsekuensi dari penggunaan teori konstruktivis dalam pembelajaran adalah bagaimana sekolah
dan guru menciptakan lingkungan konstruktivis yang kaya pengalaman. Pembelajaran konstruktivis
berbeda dengan pembelajaran tradisional. Dalam pembelajaran konstruktivis, kurikulum berfokus pada
konsep. Kegiatan pembelajaran biasanya memanfaatkan data dan bahan manipulatif sebagai sumber
utama. Guru berinteraksi dengan siswa dengan bertanya berdasarkan sudut pandang mereka. Siswa
sering bekerja dalam kelompok. Penilaiannya menggunakan penilaian otentik, observasi dan portofolio.
Kuncinya ada pada struktur lingkungan belajar, sehingga siswa dapat secara efektif membangun
pengetahuan dan keterampilan baru (Schunk, 2012: 261).
Berdasarkan teori konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran berpikir tingkat tinggi yang
diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan teori ini untuk menjawab tantangan dunia kerja yang
memerlukan tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi dengan
pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis menekankan pada kooperatif dan
kolaboratif dengan pembentukkan kelompok kerja siswa. Hal ini sesuai dengan kebutuhan skill abad 21
yang memerlukan kemampuan kerja dalam tim.

Transformasi global terhadap ekonomi berbasis pengetahuan, industri kreatif, tuntutan yang kuat
untuk pengembangan kualitas masyarakat, kompetisi internasional dan regional telah mendorong
perubahan pola penyelenggaraan pendidikan vokasi di berbagai belahan dunia (Cheng, 2005). Telah
terjadi peningkatan keterbukaan, fleksibilitas, kompleksitas, dan ketidakpastian dalam masyarakat
industri berbasis pengetahuan (Tessaring, 2009; Heinz, 2009; Billet, 2009; Wagner, 2008). Sehingga
kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi (VET) dituntut harus selalu beradaptasi dengan kondisi,
perubahan, dan kebutuhan dunia kerja. Pada prinsipnya, kurikulum VET harus mengakomodasi semua
kebutuhan baik kebutuhan fisik peserta didik, non-fisik, dan moral serta masa depan mereka untuk bisa
hidup aman, nyaman, bahagia sejahteran,dan harmonis bersama masyarakat dan alam sekitarnya
(Rojewski, 2009).

Teori konstruktivis menginspirasi para ahli pembelajaran untuk membuat model-model


pembelajaran baru berbasis konstruktivis Pendidikan kejuruan bersifat dinamis sehingga teori belajar
kontemporer yang banyak mewarnai pendidikan kejuruan. Berikut adalah macam-macam teori belajar
kontemporer, diantaranya:

a) Teori Operant Conditioning dari B.F Skinner

Berkembangnya teori Operant Conditioning berasal dari Classical Conditioning dari Pavlov. Inti dari teori
ini adalah bahwa setiap perilaku berwujud karena ada stimulus yang hasilnya berupa respon atau yang
biasa dikenal S-R (Stimulus Respon). Jadi dapat disimpulkan bahwa teori operant conditioning yaitu teori
yang berusaha untuk mengkondisikan siswa untuk merespon stimulus dan responnya berupa keinginan
untuk belajar.

b) Teori Condition of Laerning dari Robert Gagne

Dasar teori ini yaitu bahwa belajar tidak bisa berdiri sendiri hanya untuk menyampaikan materi
pembelajaran, tapi perlu didukung oleh faktor lingkungan atau kondisi. Dalam teori ini menyatakan bahwa
ada beberapa jenis atau tingkat pembelajaran. Pentingnya klasifikasi tersebut adalah bahwa setiap jenis
yang berbeda membutuhkan berbagi jenis instruksi.

Berikut adalah lima kategori pembelajaran:

a. Informasi Verbal

b. Keterampilan Intelektual
c. Strategi Kognitif

d. Keterampilan Motorik

e. Sikap

Dari kelima kategori pembelajaran diatas, komponen utamanya yaitu berupa kondisi internal dan
eksternal yang berbeda diperlukan untuk setiap jenis belajar.

Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Conditioning of learning yaitu suatu kondisi atau lingkungan yang
dikondisikan untuk menstimulus suatu kegiatan pembelajaran.

c) Teori Information Processing dari Donald A. Norman

Teori ini bisa dianalogikan seperti kinerja otak manusia. Setiap informasi yang diperoleh kemudian diolah
oleh otak (disebut proses) dan hail belajar merupakan output dari proses informasi.

d) Karakteritik Cognitive Development dari Piaget

Teori ini, yang disebut sebagai teori perkembangan kognitif (cognitive-developmental theory)yang
berfokus pada bagaimana proses berpikir mengalami perubahan, secara kualitatif, seiring dengan usia dan
pengalaman. Anak-anak berperan aktif mencari tahu informasi dan sering mencoba hal-hal baru. Dalam
proses untuk mengerjakan hal ini, pemikiran anak-anak secara bertahap menjadi lebih abstrak dan
sistematis.

e) Teori Social Learning dari Albert Bandura

Teori ini menjelakan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil dari modelling/peniruan. Jadi perilaku
seseorang itu bisa dipengeruhi oleh lingkungan dan kemampuan kognitifnya, sehingga menghasilkan
suatu kepribadian. Teori kognitif sosial bandura manyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan faktor
manusia/kognitif semua penting dalam memahami kepribadian.

f f ) Teori attribution dari Weiner

Dalam teori ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekslporasi semua
kemampuannya. Sehingga ruang gerak siswa dalam mencari dan mengolah informasi tidak dibatasi.

Selanjutnya teori-teori belajar TVET berkembang pesat seiring dengan kebutuhan dunia pada
tenaga kerja yang siap pakai. Konsep belajar kontemporer dalam TVET antara lain belajar berbasis
kehidupan (life based learning), dan belajar sepanjang hayat (long life learning). TVET berperan
dalam pendidikan untuk semua (education for all ) baik pendidikan formal maupun non formal dari semua
tingkat usia.

Belajar berbasis kehidupan ( life based learning ) dan belajar sepanjang hayat (long life
learning)bertujuan untuk memperoleh ketrampilan menjalani hidup (life skill ). Life skill merupakan
keseluruhan skill yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sepanjang waktu. Konsep belajar
kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara sosial, situasional, kondisional,
berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar sepanjang hayat, dan belajar berbasis kehidupan.
Pembelajaran TVET selalu kontekstual sesuai dengan situasi terkini dan mengedepankan pendekatan
partnership serta interaksi sosial. Teori belajar kontemporer dalam TVET adalah sebagai berikut:

1. Life Based Learning

Industri berbasis pengetahuan ( Knowledge-based Industry) membutuhkan pekerja


berpengetahuan (knowledge workers) yang siap menerima tantangan pekerjaan dengan kondisi
lingkungan yang dinamis mengikuti perubahan dan arus tekanan yang semakin kontradiktif. Life-based
learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja, belajar mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar
di tempat kerja. Staron (2011) menyatakan “ Life-based learning proposes that learning for work is not
restricted to learning at work”. Pernyataan Staron inipun tidak cukup untuk kondisi Indonesia. Bagi
masyarakat Indonesia belajar untuk bekerja (learning for work ) merupakan sebagian dari kebutuhan
hidup. Masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi seperti kebutuhan bersosialisasi, beribadah,
berbangsa, dan bernegara.

Life-based learning adalah proses pemerolehan pengetahuan dan skills memahami hakekat
kehidupan, terampil memecahkan masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara seimbang
dan harmonis.

Life-based learning mengetengahkan konsep bahwa belajar dari kehidupan adalah belajar yang
sesungguhnya. Visi life-based learning dalam TVET adalah terbangunnya keyakinan dan budaya bekerja,
belajar untuk saling membantu diantara peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam
pengembangan potensi diri mereka masing-masing agar berkembang kapabilitasnya secara terus-
menerus dalam bidang kejuruannya (Putu Sudira, 2016: 174-176).

Life-based learning merupakan pengembangan spiral dari expert centred learning dan work-
based learning . Expert centred learning adalah pembelajaran berpusat kepada pakar, berbasis kelas,
proses adopsi dan implementasi. Work-based learning adalah pembelajaran yang terpasilitasi berbasis
projek.

Beberapa hal yang diketahui tentang belajar mandiri: (a) peserta didik dapat diberdayakan untuk
mengambil tanggung jawab semakin meningkat untuk berbagai keputusan yang terkait dengan usaha
pembelajaran; b) self-direction dipandang terbaik sebagai kontinum atau karakteristik yang eksis
untuk beberapa derajat pada setiap orang dan situasi belajar; c)self-direction tidak berarti semua
pembelajaran berlangsung dalam isolasi dari orang lain; c) peserta didik mandiri muncul dapat
mentransfer pembelajaran, baik dari segi keterampilan pengetahuan dan studi, dari satu situasi ke yang
lain; e) studi mandiri dapat melibatkan berbagai kegiatan dan sumber daya, seperti membaca dipandu diri
sendiri, partisipasi dalam kelompok belajar, magang, dialog elektronik, dan kegiatan menulis reflektif; (F)
peran yang efektif bagi guru dalam self-directed learning, seperti dialog dengan peserta didik,
mengamankan sumber daya, mengevaluasi hasil, dan mempromosikan berpikir kritis.

2. Belajar Berpartner Sosial (Social Partnerships Learning)

Perkembangan TVET memasuki fase tiga yang bercirikan sistem pendidikan kejuruan demand-
driven dimana sistem TVET dipengaruhi secara langsung oleh kebutuhan ekonomi pasar sehingga TVET
dituntut mampu menyediakan tenaga profesional dengan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan pemberi
kerja. Belajar berpartner sosial adalah jaringan belajar yang menghubungkan kelompok lokal dengan
organisasi atau lembaga eksternal yang bergerak lintas global, regional, nasional, lokal, kota, tempat
kerja, dan keluarga (Sudira:2012).

Kemitraan adalah fitur lama dari kebijakan publik. Misalnya, pendidikan sekolah didasarkan pada
kemitraan antara pemerintah dan profesi guru selama abad kedua puluh. Setelah tahun 1990-an,
pendidikan kejuruan dan pelatihan didasarkan pada kemitraan antara pengusaha, serikat pekerja dan
pemerintah dimana dibuat undang-undang melalui perguruan tinggi vokasional dan lembaga Technical
and Further Education (TAFE).

3. Pembelajaran Orang Dewasa (Mature Adult Learning )

Pembelajaran dalam kejuruan membutuhkan persyaratan dan kondisi kematangan dan


kedewasaan pada peserta didik. Lingkungan kerja membutuhkan kesiapan dan kematangan anak dalam
melaksanakan pekerjaan. Tanpa kedewasaan dan kematangan maka pekerja akan kesulitan dalam
mengembangkan karirnya. Semua pekerjaan membutuhkan tanggung jawab dan disiplin tinggi yang dapat
dilakukan oleh orang yang memiliki kedewasaan yang cukup (Putu Sudira, 2016: 190).

Konsep pembelajaran orang dewasa diarahkan untuk pembentukan konsep diri terhadap sesuatu
yang dipelajari, kemudian menemukan makna dari sesuatu yang dipelajari. Pembelajar mengembangkan
dan mengkonstruksi pengetahuan melalui usaha-usahanya sendiri.
4. Pengembangan Kompetensi Sebagai Proses Kolektif
(Competence As Collective Process)

Kompetensi adalah kapasitas diri seseorang yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan
berupa pengetahuan, skill, dan sikap sesuai bidangnya. Menurut Putu Sudira (2016: 192) seseorang
dikatakan kompeten jika mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan skill yang tinggi sesuai
bidangnya,mampu menjelaskan prosedur kerja dan pengetahuan kerja, serta memiliki sikap kerja yang
tepat sebagai pekerja yang efektif dan produktif. Pengembangkan kompetensi membutuhkan interaksi
sosial sebagai proses kolektif. Pekerjaan dan masalah pekerjaan membutuhkan penyelesaian kolektif
antar individu. Pengembangkan kompetensi kerja membutuhkan proses kolektif antar individu atau
kemampuan individu menjalin kerjasama dalam tim untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Persyaratan
kerja yang mengalami perubahan ke arah lebih komplek, non rutin, konseptual, bebas memilih, berbasis
interaksi dengan orang lain membutuhkan pembelajaran kompetensi yang interaktif kolektif diantara
peserta didik (Putu Sudira, 2016: 193).

5. Belajar Berbasis Kerja (Work Based Learning )

Work based learning diterapkan dalam TVET untuk memenuhi kebutuhan ketuntasan belajar
sesuai standar industri. Belajar berbasis kerja dapat dilakukan di sekolah atau di industri. Pendidikan
kejuruan dikatakan efektif bila menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Adanya
industri berbasis pengetahuan mengandung konsekuensi berubahnya konsep pembelajaran berbasis
kerja (Putu Sudira).

Work based learning harus mampu menghasilkan pekerja yang kompeten dan cakap dalam
menghadapi perubahan yang cepat serta memiliki karakter kerja ( soft skill ) sesuai tuntutan industri.
Perubahan teknologi yang cepat di dunia industri menuntut pekerja yang memiliki kecakapan Skill
motorik, knowledge, dan character.Kelemahan Prakerin umumnya DUDI kurang memberikan pelatihan
praktik peserta didik sesuai standar.

6. Belajar Di Tempat Kerja (Workplace Learning )

Setiap pemecahan masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah sampai pada
pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan kerja
dan berlangsungdi tempat kerja merupakan pembelajaran TVET abad 21 (Putu Sudira, 2016: 196).
Pembelajaran di tempat kerja membantu siswa untuk: 1) menguji coba pilihan pekerjaan dan karir
mereka, 2) menyelesaikan tugas yang diberikan dalam mata pelajaran yang bersangkutan di lingkungan
industri yang relevan, 3) mengetahui apa yang diinginkan oleh pemberi pekerjaan dari para pekerja
mereka, 4) membangun keahlian bekerja umum seperti komunikasi di tempat kerja, kemandirian dan
kerja sama tim, 5) mengembangkan keahlian khusus untuk bidang kerja yang mereka inginkan, 6)
mendapatkan kepercayaan diri dan kedewasaan melalui partisipasi dalam lingkungan kerja orang dewasa,
7) membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar ketika merencanakan pilihan yang akan
mereka ambil dalam transisi mereka selama di sekolah dan menuju pendidikan lebih lanjut, pelatihan dan
pekerjaan.

Ada 3 asumsi John Thompson (1973) yang disampaikan dalam bukunya yang berjudul “Foundations of
Vocational Education” yaitu:

a. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu mempersiapkan para siswanya
untuk suatu pekerjaan spesifik dalam masyarakat yang didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja yang riil.

b. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu menjamin adanya pasokan tenaga
kerja untuk suatu wilayah.

c. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila para lulusannya mendapatkan pekerjaan
sesuai apa yang dilatih.
D. TEORI HUMANISTIK

Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta
didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-
potensi yang ada dalam diri mereka.Dari teori-teori belajar, seperti behavioristik, kognitif dan
konstruktivistik teori inilah yang paling abstrak , yang paling mendekati dunia filsafat dari pada
dunia pendidikan. Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara
pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar,
dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati
dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan
manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.

Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun
ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku
belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanistik adalah pengembangan
nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas
tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif Pendekatan sistem bisa dapat di
lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana pelajaran agar mereka dapat
mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah pelajaran yang akan
dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin
dilakukan.pembatasan praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan bahan-
bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri tidak ada yang membatasi
keanekaragaman pendidikan ini.Tokoh utama teori humanistik adalah C. Rogger dan Arthur Comb.

Tujuan utama para pendidik adalah membantu si peserta didik. untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.

Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.

Beberapa prinsip Teori belajar Humanistik:

1. Manusia mempunyai belajar alami


2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud
tertentu

3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.

4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil

5. Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman peserta didik dalam memperoleh cara.

6. Belajar yang bermakna diperolaeh jika peserta didik melakukannya

7. Belajar lancar jika peserta didik dilibatkan dalam proses belajar

8. Belajar yang melibatkan peserta didik seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam

9. Kepercayaan pada diri pada peserta didik ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri

10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

DAFTAR REFERENSI

Australian: NCVER. https://www.ncver.edu.au/__data/assets/file/0014/5180/nr2002.


pdfTauhidBashori.Pragmatisme Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey),
http://www.geocities.com. Diakses tanggal 2 Maret 2017

Belajarpsikologi (2010). http://belajarpsikologi.com/macam-macam-teori-belajar.

Diakses tanggal 2 Maret 2017

Siregar,Evelin dan Nara,Hartini (2011). Teori Belajar dan Pembelajaran, Bogor:Galia Indonesia.

Sudira,Putu (2012).Filosofi dan Teori Pendidikan Vokasi dan Kejuruan.Yogyakarta:Uny Press.

Sudira,Putu (2016).Kurikulum Dan Pembelajaran Pendidikan Dan Pelatihan Vokasi


Menyongsong Skill Masa Depan. aff.uny.ac.id/sites/default/files/131655274/KURIKULUM-
VET-SKIL-MASA-DEPAN.pdf. Diakses tanggal 2 Maret 2017.

Taufiq, Ahiq ( 2014). Teori Belajar Kontemporer. http://upindonesia.blogspot.co.id/2014/02/ teori-


belajar-kontemporer. html. Diakses tanggal 2 Maret 2017.
Konsep Pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan
Jumat, 2 September 2016 09.30 oleh Taufiq Damarjati 55.401

Bagikan Twit! Google+

Perkembangan zaman menuntut pembinaan sumber daya manusia yang berkualitas. Daya saing
Indonesia dalam menghadapi persaingan antar negara maupun perdagangan bebas sangat ditentukan
oleh outcome dari pembinaan SDM-nya. Salah satu upaya negara dalam pemenuhan SDM level
menengah yang berkualitas adalah pembinaan pendidikan kejuruan.

Rumusan arti pendidikan kejuruan sangat bervariasi. Menurut Rupert Evans (1978), pendidikan kejuruan
adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada
satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15, pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu. Pendidikan kejuruan terdiri dari Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan.
Karakteristik Pendidikan Kejuruan (Djojonegoro, 1998) adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja

2. Pendidikan kejuruan didasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja)

3. Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap
dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja

4. Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada “hands-on” atau performa
dalam dunia kerja

5. Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan
6. Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi

7. Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning by doing” dan “hands-on experience”

8. Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik

9. Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar daripada
pendidikan umum

Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan menurut Charles Prosser (1925) adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan di mana siswa dilatih merupakan replika
lingkungan di mana nanti ia akan bekerja

2. Pendidikan kejuruan akan efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan
dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diterapkan di tempat kerja

3. Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri

4. Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap individu memodali minatnya,
pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi
5. Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan, atau pekerjaan hanya dapat
diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya, dan yang dapat
untung darinya

6. Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan
kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas seperti yang diperlukan dalam pekerjaan
nantinya

7. Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses dalam
penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan

8. Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap
dapat bekerja pada jabatan tersebut
9. Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan tanda-tanda pasar
kerja)

10. Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada
pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai)

11. Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah
dari pengalaman para ahlu pada okupasi tersebut

12. Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya

13. Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan
seseorang yang memang mememrlukan dan memang paling efektif jika dilakukan lewat
pengajaran kejuruan

14. Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi
dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut

15. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengalir daripada kaku dan
terstandar

16. Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan
kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi
Model Penyelenggaraan Pendidikan Kejuruan

Model Sekolah
Pada model ini pembelajaran dilaksanakan sepenuhnya di sekolah. Model ini berasumsi bahwa segala hal
yang terjadi di tempat kerja dapat diajarkan di sekolah dan semua sumber belajar ada di sekolah. Model
ini banyak di adopsi di Indonesia sebelum Repelita VI.

Model Magang
Pada model ini pembelajaran dasar-dasar kejuruan dilaksanakan di sekolah dan inti kejuruannya diajarkan
di industri melalui sistem magang. Model ini banyak diadopsi di Amerika Serikat.

Model Sistem Ganda


Model ini merupakan kombinasai pemberian pengalaman belajar di sekolah dan pengalaman kerja di
dunia usaha. Dalam sistem ini sistem pembelajaran tersistem dan terpadu dengan praktik kerja di dunia
usaha/industri.

Model School-based Enterprise


Model ini di Indonesia dikenal dengan unit produksi. Modul ini pada dasarnya adalah mengembangkan
dunia usaha di sekolahnya dengan maksud sesain untuk menambah penghasilan sekolah, juga untuk
memberikan pengalaman kerja yang benar-benar nyata pada siswanya. Model ini dilakukan untuk
mengurangi ketergantungan sekolah kepada industri.

MODEL – MODEL PEMBELAJARAN


Model pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dirancang
atau dikembangkan dengan menggunakan pola pembelajaran tertentu. Pola
pembelajaran yang dimaksud dapat menggambarkan kegiatan guru dan
peserta didik dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang
menyebabkan terjadinya proses belajar. Pola pembelajaran menjelaskan
karakteristik serentetan kegiatan yang dilakukan oleh guru-peserta didik. Pola
pembelajaran dikenal dengan istilah sintak ( Bruce Joyce, 1985)
Pada penjelasan pelaksanaan pembelajaran yang tertuang pada Lampiran
Permendiknas Nomor 41 tahun 2007, tentang Standar Proses, II poin C,
dinyatakan tentang beberapa model pembelajaran alternatif yang dapat
dikembangkan dan digunakan secara inovatif sesuai dengan kebutuhan dan
situasi yang dihadapi di kelas serta untuk mendukung iklim belajar PAKEM
(pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Iklim belajar PAKEM
diharapkan dapat menumbuhkembangkan secara optimal multi kecerdasan
yang dimiliki setiap peserta didik.
Model-model pembelajaran yang dapat digunakan terkait dengan iklim belajar
PAKEM antara lain:
A. Project Work
Project work adalah model pembelajaran yang mengarahkan peserta didik
pada prosedur kerja yang sistematis dan standar untuk membuat atau
menyelesaikan suatu produk (barang atau jasa), melalui proses
produksi/pekerjaan yang sesungguhnya. Model pembelajaran project work
sering digunakan untuk program pembelajaran produktif.
Langkah-langkah pembelajaran project work
1. Perencanaan Project Work
a. Inventarisasi jenis pekerjaan (job), standar kompetensi dan produk yang
dapat dihasilkan.
1) Inventarisasi Standar Kompetensi Lulusan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi standar kompetensi (SK)
yang terdapat dalam kurikulum/silabus.
SK1 …………………………..
SK2 …………….……………..
SK3 …………….……………..
Dst ……….…………………….
b. Inventarisasi Pekerjaan (Job)
Pendataan jenis pekerjaan (job) dapat mengacu: kepada jenis pekerjaan yang
ada di kurikulum, Standar Kompetensi Kerja (SKK) yang berlaku, dan atau
standar pekerjaan lain yang ada di DU/DI/masyarakat. Setiap kompetensi
keahlian pada umumnya memiliki lebih dari satu bidang/jenis pekerjaan yang
dapat di isi oleh lulusan.
P.1 ………………………………………….
P.2 ………………………………….………
P.3 …………………………………..………
Dst.
c. Inventarisasi Produk (Barang/Jasa) Setiap Pekejaan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengiden-tifikasi produk yang dapat
dihasilkan oleh setiap bidang/jenis pekerjaan sehingga peserta didik memilki
orientasi produk yang akan dihasilkan pada setiap pembelajaran.
Tabel 1. Daftar Nama Produk Setiap Bidang Pekerjaan
No Bidang/Jenis Pekerjaan Nama Produk (barang/Jasa)
1 P1 Pr1
Pr2
2 P2 Pr3
Pr3
3 P3 Pr4
Pr5
d. Analisis Standar Kompetensi Terhadap Produk (Barang/Jasa)
Hasil inventarisasi standar kompetensi lulusan, bidang pekerjaan, dan produk
tersebut, selanjutnya dianalisis standar kompetensi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan setiap produk dan bidang pekerjaan dengan menggunakan
tabel 2.
Tabel 2. Analisis Standar Kompetensi Terhadap Jenis Produk
Standar
Kompe-
tensi
Produk Kode Standar Kompetensi
SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SKn
Pr1 √ √ √
Pr2 √ √ √ √
Pr3
Prn
Baris pada kolom 1 diisi kode produk (nama barang/jasa), sedangkan kolom
berikutnya diisi dengan kode Standar Kompetensi hasil inventarisasi
(Kurikulum/Silabus).
Menentukan standar kompetensi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
produk (barang/jasa) dengan memberi tanda cek (√) pada kolom standar
kompetensi terkait.
Hasil analisis Standar Kompetensi terhadap Jenis Produk pada tabel 2 dapat
dimaknai sebagai berikut.
1. Produk (Pr1) dapat dikerjakan pada pembelajaran SK1, SK2, SK4
2. Produk (Pr2 ) dapat dikerjakan pada pembelajaran SK1, SK2, SK3 dan SK
5, demikian selanjutnya untuk Produk yang lain.
3. Produk (Pr1) dan (Pr2 ) dapat digunakan sebagai pilihan peserta didik
sebagai media pembelajaran SK1 dan SK2
4. Setelah seluruh standar kompetensi teridentifikasi terhadap produk yang
ada, maka guru menetapkan alternatif produk yang akan dikembangkan untuk
setiap standar kompetensi yang dipelajari. Alternatif produk dapat dipilih oleh
peserta didik.
e. Penetapan Bukti Belajar/Evidence of Learning
Berdasarkan hasil analisis standar kompetensi terhadap produk, guru diminta
untuk menetapkan bukti-bukti belajar (Evidence Of Learning) yang akan
digunakan sebagi acuan dalam penilaian hasil belajar peserta didik.
2. Pelaksanaan Model Pembelajaran Pendekatan Project Work
Pembelajaran dengan pendekatan Project Work dilaksanakan dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
a. Guru menyampaikan:
1. tujuan pembelajaran yang akan dicapai
2. strategi pembelajaran dengan pendekatan project work
3. alternatif judul/nama produk/jasa yang dapat dipilih peserta.
4. ruang lingkup standar kompetensi yang akan dipelajari oleh peserta didik
untuk setiap judul/nama produk/jasa
5. menyusun dan menetapkan pedoman penilaian kompetensi sesuai dengan
judul project work
6. memfasilitasi bimbingan kepada peserta didik dengan memanfaatkan
lembar bimbingan.
b. Peserta didik
1. memilih salah satu judul/nama produk/jasa. Dan menyusun rencana Project
Work sesuai dengan judul yang dipilih. Kerangka rencana Project Work
sebagai berikut.
1) LATAR BELAKANG
2) KEUNGGULAN DAN FUNGSI PRODUK/JASA.
3) SKETSA/GAMBAR KERJA (jika diperlukan)
4) BAHAN PRODUKSI
5) FASILITAS/PERALATAN PRODUKSI
6) PROSES PRODUKSI
• RENCANA ANGGARAN BIAYA
• SASARAN PASAR/KONSUMEN
• JADWAL PELAKSANAAN
2. melakukan proses belajar sesuai dengan proses produksi yang telah
direncanakan. Kegiatan dilakukan sesuai dengan rambu-rambu yang telah
ditetapkan dalam proposal di bawah bimbingan dan pengawasan guru.
Proses belajar menekankan pada pencapaian standar kompetensi yang
dibuktikan dengan bukti belajar (learning evidence) dan diorganisasi dalam
bentuk portofolio.
3. mengorganisasi bukti belajar sebagai portofolio.
4. melaksanakan kegiatan kulminasi (presentasi/
pengujian/penyajian/display).
5. menyusun laporan sesuai dengan pengalaman belajar yang diperoleh.
3. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian hasil belajar dengan pendekatan project work pada dasarnya
adalah penilaian standar kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, sikap, kesesuaian produk/jasa, dan kesesuaian waktu
pelaksanaan. Komponen project work yang dinilai terdiri dari penyusunan
rencana Project Work, pelaksanaan proses produksi, laporan, kegiatan, dan
kulminasi (presentasi/ pengujian/penyajian/display).
Peserta didik dinyatakan kompeten apabila memenuhi standar minimal yang
dipersyaratkan pada indikator dari setiap kompetensi dasar. Penetapan
pencapaian nilai mengacu pada Pedoman Penilaian dan Pelaporan Hasil
Belajar Peserta Didik SMK.
B. Quantum Teaching and Learning (QTL)
Merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan untuk
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi peserta didik. Filosofi
pendekatan pembelajaran Quantum dikenal dengan istilah TANDUR yang
merupakan kepanjangan dari :
T = Tumbuhkan, tumbuhkan minat dengan menunjukkan manfaat dari
kompetensi yang dipelajari terhadap kehidupan peserta didik
A = Alami, ciptakan dan berikan pengalaman langsung yang dapat dimengerti
oleh peserta didik
N = Namai, berikan kata-kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, untuk
mudah diingat dan dipahami
D = Demonstrasikan, sediakan waktu dan kesempatan bagi peserta didik
untuk menunjukkan kemampuan yang diperoleh selama proses pembelajaran
U = Ulangi, tunjukkan kepada peserta didik cara mengulangi materi dan
tegaskan bahwa “Aku mampu bahwa aku memang mampu”
R = Rayakan, akui hasil belajar peserta didik, baik dalam bentuk
penyelesaian, partisipasi, perolehan keterampilan ataupun ilmu pengetahuan
dan beri penghargaan
1. Pendekatan Pembelajaran Quantum
Kelas merupakan komunitas belajar yang menjadi tempat untuk
meningkatkan kesadaran, daya dengar, partisipasi, umpan balik dan
pertumbuhan bagi peserta didik. Kelas merupakan tempat bagi peserta didik
mencari dan terbuka terhadap umpan balik, mengalami perubahan,
kegembiraan dan kepuasan, memberi dan menerima, belajar mengakui dan
mendukung orang lain, serta belajar dan tumbuh sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
Untuk membentuk lingkungan kelas yang dapat mengakomodasi semua
tempat belajar yang baik, diperlukan langkah-langkah berikut:
a. Membangun ikatan emosional. Kunci untuk membangun ikatan emosional
adalah dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan,
dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar.
b. Menjalin rasa simpati dan saling pengertian. Untuk meningkatkan
keterlibatan peserta didik pada proses pembelajaran, guru harus membangun
hubungan dengan menjalin rasa simpati dan saling pengertian.
c. Menciptakan keriangan dan ketakjuban. Menumbuhkan lebih banyak
kegembiraan dalam pengajaran, melalui pemberian afirmasi (penguatan atau
penegasan), pengakuan, dan perayaan,
d. Mengambil Resiko
Peserta didik belajar berani mengambil resiko. Sebagai contoh peserta didik
berani menghabiskan sebagian waktunya untuk datang ke sekolah
merupakan salah satu resiko peserta didik dalam memasuki proses belajar.
e. Ciptakan rasa saling memiliki
Umumnya semua peserta didik ingin merasa saling memiliki, karena dengan
rasa saling memiliki akan memberikan nilai tambah, merasa lebih berdaya
dan diterima di dalam kelompoknya. Dengan rasa saling memiliki akan
menciptakan rasa kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan
dalam belajar.
f. Memberikan keteladanan
Keteladanan guru dalam segala hal menjadi cara yang ampuh dalam
membangun hubungan dan memahami perasaan orang lain. Keteladanan
akan memperkuat proses pembelajaran yang dilakukan.
Langkah-langkah pembelajaran quantum:
1) Menentukan tujuan pembelajaran
2) Komunitas dalam belajar memiliki tujuan yang sama. Dimanapun mereka
berada, baik di kelas, di sekolah maupun di lembaga diklat lain, memiliki
tujuan sama yaitu mengembangkan kecakapan peserta didik sesuai dengan
mata pelajaran yang diajarkan.
3) Meyakinkan kemampuan peserta didik dalam belajar, dan kemampuan
guru dalam mengajar
4) Menjaga agar komunitas kelas tepat berjalan agar peserta didik tetap
memiliki minat belajar tinggi
Lingkungan yang mendukung model pembelajaran quantum antara lain :
1) Poster ikon, poster afirmasi, penggunaan warna, alat
2) bantu dapat digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan tujuan
pembelajaran, kemampuan guru dan fasilitas yang dimiliki.
3) Pengaturan tempat duduk peserta didik memiliki peran penting dalam
proses pembelajaran. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengatur posisi
tempat duduk sehingga proses interaksi dapat berjalan dengan baik.
4) Tumbuhan, aroma dan unsur organik lainnya, dapat memperkaya
kesegaran ruangan kelas
5) Musik dapat digunakan untuk menata suasana hati, mengubah keadaan
mental peserta didik, serta mendukung lingkungan belajar.
C. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pembelajaran CTL (Contextual Teaching And Learning) merupakan suatu
proses belajar yang holistik, bertujuan membantu peserta didik untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengkaitkan
materi tersebut dengan konteks kehidupan peserta didik sehari-hari (konteks
pribadi, sosial dan kultural). Dengan demikian, mereka memiliki
pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer)
dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL
1) Kerjasama
2) Saling menunjang
3) Menyenangkan
4) Tidak membosankan
5) Belajar dengan bergairah
6) Pembelajaran terintegrasi
7) Menggunakan berbagai sumber
8) Peserta didik aktif
Guru perlu mengkondisikan dan mempersiapkan materi pembelajaran sesuai
dengan tujuan pembelajaran, dan mengkaitkannya dengan realitas dan
kebenaran (konstruktivisme).
Guru perlu memahami:
1. Belajar adalah kegiatan aktif, yaitu peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya, mencari sendiri arti dari apa yang mereka pelajari dan
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
2. Belajar bukanlah suatu proses mengumpulkan sesuatu, tetapi merupakan
suatu proses menemukan sesuatu melalui pengembangan pemikiran dengan
cara membuat kerangka pengertian yang baru.
3. Peserta didik mempunyai cara untuk mengerti sendiri, sehingga setiap
peserta didik perlu mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya dalam
menghadapi suatu apapun.
4. Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik,
tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya.
5. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan,
bersikap kritis, mengadakan justifikasi.
6. Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk
membantu proses belajar peserta didik agar berjalan baik.
Proses belajar lebih ditekankan pada peserta didik yang belajar.
1. Komponen CTL
a. INQUIRY (merumuskan masalah)
Bagaimana cara melukiskan suasana kerja di suatu unit kerja? Dapat
dilakukan antara lain melalui:
1) mengamati atau melakukan observasi.
2) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan atau gambar.
3) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain.
b. QUESTIONING ( bertanya)
Questioning dapat diterapkan antara peserta didik dengan peserta didik,
antara guru dengan peserta didik, antara peserta didik dengan guru, antara
peserta didik dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Questioning juga
dapat dilakukan saat berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika mengamati
atau menemui kesulitan.
c. KONSTRUKTIVISME
Merancang pembelajaran dalam bentuk peserta didik bekerja praktik
mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan,
mendemonstrasikan atau menciptakan ide.
d. LEARNING COMMUNITY (masyarakat belajar)
Masyarakat belajar dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan. Materi yang
diberikan, antara lain berupa pembentukan kelompok kecil, kelompok besar,
mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat atau bekerja
dengan kelas di atasnya, dan bekerja dengan masyarakat di lingkungan
sekolah.
e. AUTHENTIC ASSESSMENT (penilaian yang sebenarnya)
1) Kemajuan belajar dinilai dari proses dan hasil.
2) Menilai pengetahuan, keterampilan dan sikap (performansi) yang diperoleh
peserta didik.
3) Penilai tidak hanya oleh guru, tetapi juga bisa teman atau orang lain.
4) Karakteristik Penilaian dilaksanakan selama dan sesudah proses
pembelajaran. Penilaian dilakukan dalam bentuk formatif maupun sumatif.
5) Obyek yang diukur adalah pengetahuan dan keterampilan, bukan sekedar
mengingat fakta, bersifat berkesinambungan, terintegrasi dan dapat
digunakan sebagai feed back.
f. MODELING (pemodelan)
Guru bukan satu-satunya model, tetapi bisa juga model dari peserta didik
yang memiliki kelebihan dengan cara mendemonstrasikan kemampuannya
atau dari pihak luar yang bertindak sebagai native speaker.
g. REFLECTION (refleksi)
Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal yang sudah diketahui,
dan hal-hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan
penyempurnaan. Realisasi dari refleksi dapat berupa:
1) pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh peserta didik
2) Catatan atau jurnal peserta didik.
3) Kesan dan saran peserta didik mengenai pembelajaran
4) Proses dan hasil Diskusi.
5) Hasil karya.
Model pembelajaran CTL dilaksanakan dengan langkah sebagai berikut:
1) Mengkaji materi ajar yang bersifat konsep atau teori yang akan dipelajari
peserta didik.
2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup peserta didik melalui
proses pengkajian secara seksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal peserta didik,
selanjutnya memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang
akan dibahas.
4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang
dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman peserta didik dan
lingkungan kehidupannya.
5) Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong peserta didik untuk
mengkaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman
sebelumnya dan fenomena kehidupan sehari-hari, serta mendorong peserta
didik untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman peserta
didik terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
6) Melakukan penilaian autentik (authentic assessment) yang memungkinkan
peserta didik untuk menunjukkan penguasaan tujuan dan pemahaman yang
mendalam terhadap pembelajarannya, sekaligus pada saat yang bersamaan
dapat meningkatkan dan menemukan cara untuk peningkatan
pengetahuannya.
D. Problem-Based Learning (PBL)
1. Definisi PBL
PBL adalah pembelajaran yang didasari oleh dorongan penyelesaian
masalah. Pengertian tersebut sejalan dengan yang diutarakan oleh Barrows &
Tamblyn:
“…the learning which result from the process of working towards the
understanding of, or resolution of a problem.” (Barrows & Tamblyn, 1980).
Sebagai model pembelajaran, PBL menggunakan masalah sebagai langkah
awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru.
2. Prinsip Dasar
a. Pembelajaran berawal dari adanya masalah (soal, pertanyaan, dsb) yang
perlu diselesaikan.
b. Masalah yang dihadapi akan merangsang peserta didik untuk mencari
solusinya; peserta didik mencari/membentuk pengetahuan baru untuk
menyelesaikan masalah.
3. Tujuan PBL
a. Mendorong peserta didik untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar
b. Menilai sejauh mana pemahaman peserta didik tentang materi yang
dipelajari
4. Beberapa Kelebihan PBL
a. PBL merangsang keterbukaan pikiran serta mendorong peserta didik untuk
melakukan pembelajaran yang reflektif, kritis dan aktif.
b. PBL merangsang peserta didik untuk bertanya dan menggali pengetahuan
secara mendalam.
c. PBL mencerminkan sifat alamiah pengetahuan, yaitu: kompleks dan
berubah-ubah sesuai kebutuhan, sebagai respons terhadap masalah yang
dihadapi.
5. Kompetensi yang dikembangkan
a. Beradaptasi dan berpartisipasi dalam perubahan.
b. Mengenali dan memahami masalah serta mampu membuat keputusan
yang beralasan dalam situasi baru.
c. Menalar secara kritis dan kreatif.
d. Mengadopsi pendekatan yang lebih universal atau menyeluruh.
e. Mempraktikkan empati dan menghargai sudut pandang orang lain.
f. Berkolaborasi secara produktif dalam kelompok.
g. Mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri serta menemukan cara
untuk mengatasi kelemahan diri; self-directed learning.
6. Karakteristik Masalah PBL
a. Masalah dapat berupa tugas melakukan sesuatu, pertanyaan atau hasil
identifikasi dari keadaan yang ada di sekitar peserta didik.
b. Masalah berupa tugas yang tidak memiliki struktur yang jelas sehingga
merangsang peserta didik untuk mencari informasi untuk memperjelasnya.
c. Masalah harus cukup kompleks dan ambigu sehingga peserta didik
terdorong untuk menggunakan berbagai strategi penyelesaian masalah,
teknik dan ketrampilan berpikir.
d. Masalah harus bermakna dan ada hubungannya dengan kehidupan sehari-
hari sehingga peserta didik termotivasi mengarahkan dirinya untuk
menyelesaikan masalah dan mengujinya secara praktis.
7. Sumber Pembelajaran
a. Bahan bacaan, baik yang disediakan secara langsung maupun yang ada di
sekitar tempat belajar.
b. Informasi dari narasumber (dijelaskan sekilas dan berdasarkan pertanyaan
peserta didik).
c. Lingkungan dan hasil uji coba praktis.
d. Sumber-sumber lain yang dapat diakses peserta didik.
8. Metode dalam PBL
a. Diskusi kelompok.
b. Belajar mandiri (individual).
c. Eksperimen kelompok.
d. Observasi gejala dan wawancara terhadap narasumber.
e. Komparasi dengan hasil-hasil penyelesaian masalah yang sudah ada.
9. Karakteristik Kelompok
a. Peserta didik dibagi secara acak.
b. Jumlah anggota kelompok berkisar antara 5-8 orang.
c. Heterogen (latar belakang dan kemampuan cukup beragam).
d. Waktu kerja disesuaikan dengan jadwal belajar dan kesediaan anggota
kelompok.
10. Peran Guru
a. Guru berperan sebagai fasilitator
b. Menyusun ‘trigger problems’
c. Guru juga dapat berperan sebagai narasumber terutama utk informasi yang
sulit diperoleh dari sumber lain
d. Memastikan jalannya proses pembelajaran dan setiap anggota kelompok
terlibat
e. Melakukan evaluasi
11. Langkah-langkah PBL
a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang
dibutuhkan. Memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah yang dipilih.
b. Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasi tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik,
tugas, jadwal, dll.)
c. Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah,
pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
d. Guru membantu peserta didik dalam merencanakan menyiapkan karya
yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan
temannya
e. Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Contoh Pelaksanaan PBL
Proses Sasaran Hasil
Tutor memulai sesi dengan presentasi masalah Peserta didik dirangsang
untuk dapat mengidentifikasi masalah konkret Pembelajaran tentang konteks
masalah dan ruang lingkup materi
Peserta didik mencari dan menyusun kerangka berpikir untuk menyelesaikan
masalah Peserta didik aktif menggali berbagai sumber untuk memperoleh info
yang dibutuhkan Belajar secara kumulatif dan mengaitkan berbagai
pengetahuan
Peserta didik menguji pendekatan dan solusi masalah mereka Peserta didik
melatih kemampuan logika dan analisis Meningkatkan perkembangan mental
lebih kompleks
Peserta didik mengevaluasi dan merevisi solusi mereka; memanfaatkan feed-
back Membandingkan dengan kelompok lain dan menerima umpan balik
Memperoleh tambahan pengetahuan tentang masalah
Peserta didik menyusun ‘teori’ baru berdasarkan pengalaman penyelesaian
masalah Peserta didik belajar melakukan abstraksi dan generalisasi
brdasarkan pengalaman Mampu mengintegrasi pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman
Peserta didik menerapkan ‘teori’ untuk membahas masalah baru dan evaluasi
kritis Peserta didik menguji apakah pengetahuan yang diperolehnya berguna/
tidak. Mampu membuat solusi yang realistik dan tepat-guna.
E. MODEL MENGAJAR INQUIRY TRAINING
1. Pengertian
Model mengajar Inquiry Training adalah model pembelajaran yang diarahkan
untuk membantu peserta didik mengembangkan keterampilan intelektual yang
terkait dengan penalaran sehingga mampu merumuskan masalah,
membangun konsep dan hipotesis serta menguji untuk mencari jawaban
2. Langkah-Langkah Kegiatan Belajar
a. Fase satu, mengidentifikasi masalah
b. Fase dua: mengumpulkan informasi yang dilihat dan dialami terkait dengan
masalah
c. Fase tiga , mengelompokkan data:
1) Memisahkan variabel-variabel yang relevan.
2) Membuat hipotesa tentang hubungan-hubungan penyebab.
d. Fase empat, mengorganisasikan data dan memformulasikan suatu
paparan.
e. Fase lima, menganalisis strategi inquiri dan mengembangkan model
pembelajaran yang lebih efektif.
F. Model Bermain Peran (Role Playing)
1. Pengertian
Model pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan
analogi tentang situasi permasalahan kehidupan yang sebenarnya.
2. Langkah-Langkah Pembelajaran
a. Fase pertama memotivasi kelompok dengan
mengidentifikasi dan menjelaskan masalah, menginterpretasikan;
mengekplorasi isu-isu, menjelaskan peran.
b. Fase kedua, memilih peran.
c. Fase ketiga, menyiapkan pengamat.
d. Fase keempat, menyiapkan tahap-tahap peran.
e. Fase kelima, pemeranan.
f. Fase keenam, diskusi dan evaluasi.
g. Fase ketujuh, pemeranan ulang.
h. Fase kedelapan, diskusi dan evaluasi.
i. Fase kesembilan, membagi pengalaman dan menarik generalisasi.
(Sumber BSNP- sosialisasi KTSP 2009)

Sutopo, Ariesto Hadi. 2012. Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Graha Ilmu

Teknologi komunikasi dan informasi (TIK) tak henti-hentinya terus dan terus mengalami
perkembangan pesat. Teknologi dikembangkan agar komunikasi dan pertukaran
informasi dapat berlangsung cepat juga memudahkan manusia dalam berbagai
pekerjaan. Termasuk dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, teknologi memberikan
inovasi-inovasi baru yang dapat diterapkan agar pembelajaran dapat berlangsung lebih
mudah, efektif dan efisien. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan
banyak pengaruh dalam proses pembelajaran.
Internet sebagai salah satu produk perkembangan teknologi juga sangat berperan dalam
pembelajaran. Internet dapat dipergunakan sebagai sumber maupun media
pembelajaran, serta memudahkan pengguna dalam mencari informasi dan referensi
yang berkaitan dengan pembelajaran. Dibandingkan sumber-sumber lain seperti toko
buku maupun perpustakaan, internet lebih menawarkan kemudahan dan kecepatan
dalam pencarian informasi, referensi, hingga materi yang berhubungan dengan
pembelajaran.
Internet bahkan dapat dipergunakan untuk proses pembelajaran secara langsung.
Proses pembelajaran yang memanfaatkan medium internet ini dinamakan dengan e-
learning, ada juga yang memberikan istilah cyber teaching atau cyber learning. E-
learning dibangun agar pembelajaran dapat dilakukan secara jarak jauh. Tidak seperti
pembelajaran konvensional, e-learning dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja
selama terdapat koneksi internet. Dapat dikatakan bahwa e-learning merupakan
pembelajaran yang tidak dibatasi ruang dan waktu.
Menurut Rosenberg dalam Sutopo (2012: 28) menjelaskan bahwa e–learning merupakan
pembelajaran dengan menggunakan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran
dalam jangkauan luas. Kriteria e-learning tersebut adalah sebagai berikut:
 E-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan,
mendistribusi, dan membagi materi ajar atau informasi
 Pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi
internet standar
 Memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran dibalik paradigma
pembelajaran tradisional
Kriteria e-learning memang terlihat cukup sederhana, ini ditujukan agar pembelajaran
melalui e-learning ini mudah dan dapat digunakan siapa saja. E-learning berkembang
menjadi beberapa model pembelajaran seperti Computer Based Training (CBT), Computer
Based Instruction (CBI)’ Cybernetic Learning Environtment (CLE), Desktop Video Conferencing,
Integrated Learning System (ILS), Web Based Training (WBT), dan lain-lain.
Pembangunan website e-learning juga tidak sembarangan, diharapkan
melalui tahapan Web Development Life Cycle. Ini dimaksudkan agar website e-
learning mudah diakses, dinavigasi, serta digunakan oleh pengguna dengan mudah
sehingga pembelajaran yang dilaksanakan melalui media online ini dapat berjalan
dengan baik layaknya pembelajaran tatap muka pada umumnya bahkan mampu
memberikan hasil yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional

TEORI PENDIDIKAN BEHAVIORISME


15 Juni 2010

5 Votes

A. PENDAHULUAN
Menurut John A. Laska dalam Knight, 1982 Pendidikan dikatakan sebagai sebuah usaha
yang terencana oleh pelajar atau oleh orang lain untuk mengontrol (memberi panduan,
mengarahkan, atau mempengaruhi atau mengatur) suatu situasi belajar untuk mencapai
tujuannya. Pendidikan, dilihat dari sudut pandang ini tidak terbatas di sekolah, kurikulum atau
metode sekolah yang tradisional. Pendidikan dapat dipandang sebagai suatu proses belajar
seumur hidup yang dilaksanakan secara terarah dan terencana.

Sedangkan proses pembelajaran menurut Corey (1982) dalam Syaiful Sagala (2003:61)
adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau
menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.

Teori belajar Behavioristik adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku
manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.

B. PENGERTIAN BELAJAR MENURUT TEORI BEHAVIORISTIK


Behaviorisme merupakan kekuatan pendidikan sejak abad pertengahan. Sebagai suatu
pendekatan terhadap pendidikan, behaviorisme terbuka bagi manusia modern yang
mengutamakan metodologi ilmiah dan “obyektivitas” seperti sektor yang dapat diukur dari
komunitas bisnis yang menilai hasil, efisiensi, dan ekonomi yang terlihat mendesak (Haryo,
2007) Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini yaitu : Manusia
adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan cara yang sama seperti
yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah proses perubahan perilaku; peran guru
adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan
obyektivitas merupakan perhatian utama dalam pendidikan.

Pengertian belajar menurut teori Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila ia
mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum menunjukkan
perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan proses belajar. Teori
ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-gambar, atau cara-cara
tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003).

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan
dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar
ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran
atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah
laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru
yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.

C. TOKOH-TOKOH ALIRAN BEHAVIORISME


Para tokoh aliran behaviorisme setidaknya ada Thorndike, Skinner, Pavlov, Gagne, dan
Bandura. Pada intinya mereka menyetujui pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat akan kami bahas karya tokoh aliran
behaviouristik sebagai berikut.

1. Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)


Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-
peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R).

l Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat.

l Respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.

Eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya
tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons
yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-
kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error
learning atau selecting and connecting lerning” dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut
dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti
hukum-hukum berikut:

1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
2. Ivan Petrovich Pavlov (1849 – 1936)
Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan
dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:

1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral: Stimulus tidak dikondisikan yaitu
stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk
mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak
bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karen
anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung
menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara
terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing
mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya
CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui bahwa daging
yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus = Stimulus yang tidak
dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS
=Conditional Stimulus = Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air
liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Burrhus Frederic Skinner (1904 – 1990)
Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior
modification) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan
pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak
tepat.
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku operan
(penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang
kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas Skinner membuat
eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus yang telah
dilaparkan dalam kotak yang disebut ”Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai
peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur
nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama
tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan
keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang
ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
Unsur terpenting dalam belanja adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi
penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan
negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah
laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain:

1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi
penguat.

2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.

4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah,
untuk menghindari adanya hukuman.

6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan
digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
7. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah
satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak
merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri
kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun fisik
seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan seperti
penggunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran.
Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang diperlihatkan sehingga
dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para
siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari, atau
olahraga.

D. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR BEHAVIORISME


1. Stimulus dan Respons

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga, gambar
atau charta tertentu dalam rangka membantu belajarnya. Stimulus ini dapat terintegrasi dengan
baik melalui perencanaan program pembelajaran yang baik lengkap dengan alat-alat yang
membentu siswa mencapai tujuan belajar. Sedangkan respons adalah reaksi siswa terhadap
stimulus yang telah diberikan oleh guru tersebut, reaksi ini haruslah dapat diamati dan diukur.
2. Reinforcement (penguatan)

Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku disebut penguatan


(reinforcement) sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah perilaku
disebut dengan hukuman(punishment).

1. Penguatan positif dan negatif


Pemberian stimulus positif yang diikuti respon disebut penguatan positif, misalnya dengan
memuji siswa setelah dapat merespon pertanyaan guru. Sedangkan mengganti peristiwa yang
dinilai negatif untuk memperkuat perilaku disebut penguatan negatif, misalnya apabila siswa
mampu mengerjakan tugas dengan sempurna maka diperbolehkan tidak mengikuti ulangan.

1. Penguatan primer dan sekunder


Penguat primer adalah penguatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti air,
makanan, udara dll. Sedangkan penguatan sekunder adalah penguatan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan non fisik seperti pujian, pangkat, uang dll.

3. Kesegeraan memberi penguatan (immediacy)

Penguatan hendaknya diberikan segera setelah perilaku muncul karena akan menimbulkan
perubahan perilaku yang jauh lebih baik dari pada pemberian penguatan yang diulur-ulur
waktunya.

1. Pembentukan perilaku (Shapping)


Menurut skinner untuk membentuk perilaku seseorang diperlukan langkah-langkah berikut : 1.
Mengurai perilaku yang akan dibentuk menjadi tahapan-tahapan yang lebih rinci; 2. menentukan
penguatan yang akan digunakan; 3. Penguatan terus diberikan apabila muncul perilaku yang
semakin dekat dengan perilaku yang akan dibentuk.

1. Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak mendapatkan penguatan lagi
dalam waktu tertentu.

E. APLIKASI TEORI BEHAVIORISTIK TERHADAP PEMBELAJARAN SISWA


Menurut Budiningsih, 2005:24 dari semua teori pendukung tingkah laku, teori skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program
pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang diwujudkan dalam program-
program pembelajaran yang disertai oleh perangkat penguatan(reinforcement).

Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah
siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari
yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati,
kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang
diinginkan.
Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas, kelenturan, daya tahan, contohnya
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dsb.
Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-
bentuk penghargaan langsung.

Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya
mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
F. PENDEKATAN TEORITIK DALAM KONSELING
Pendekatan Behavioristik
Tokohnya Skinner, Watson, Thorndike. Dasar filosofis dari teori mereka adalah bahwa
perilaku itu terbentuk dari perlakuan individu lain dalam lingkungan sekitarnya. Kalau individu
tidak dapat melakukan self-determinism maka dirinya akan mudah sekali terhanyut.
Behavioristik dalam menjabarkan pandangannya selalu dihubungkan dengan prinsip stimulus-
respon. Kalau orang tua misalnya memberikan pola asuh otoriter yang didalamnya selalu penuh
dengan kritikan, celaan, maka anakpun akan belajar dan kemudian memberikan respon perasan
rendah diri.

Hal yang dipelajari di rumah inipun kemudian akan ditransfer dalam kehidupan sehari-hari. Ada
dua kemungkinan anak memberikan respon kepada lingkungan, di sekolah misalnya ia jadi lebih
suka menyendiri atau bila teman-temannya memberikan stimulus yang berbeda dengan yang
dialaminya yaitu mengakui dan menerima keberadaannya dan selalu memberi dukungan atas
perilakunya sekalipun negatif, maka siswa kemudian cenderung lebih memilih lingkungan
tersebut. Tujuan akhir konseling adalah untuk membuat siswa mengubah perilakunya yang
maladaptif dan mau menambah perbendaharaan peilaku, untuk mengetahui itu klien diminta
untuk membuat kontrak agar perilakunya dapat dinilai dan dipantau hingga tercapai perilaku
target yang diinginkan. Behavioristik lebih menekankan pada perilaku sekarang daripada
menoleh kembali ke masa kehidupan awal.
G. PENDEKATAN BEHAVIORISTIK DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Pendidikan akan tercapai apabila pihak pendidik dan terdidik memahami teori
pendidikan, tentu saja teori yang dipakai tidak bisa berdiri sendiri, tetapi satu dengan yang lain
akan saling melengkapi, sehingga dapat menggunakan teori tersebut sesuai yang dibutuhkan saat
itu. Pengaruh berbagai macam teori pendidikan dalam penentuan kebijakan tentu saja tidak dapat
dibantah lagi, termasuk pengaruh teori behaviorisme dalam penentuan kebijakan pendidikan di
Indonesia. Berikut sebagian kebijakan yang bisa dikaitkan dengan konsep filosofi behaviorisme,
yang diantaranya adalah :

1. Pendidikan adalah suatu proses untuk pembentukan perilaku. Tertuang secara jelas
dalam Tujuan pendidikan nasional.
Menurut para behavioris, manusia diprogram untuk bertindak dalam cara-cara tertentu oleh
lingkungannya. Jika benar akan diberi hadiah oleh alam dan bila salah akan dihukum oleh alam.
Tindakan yang diberi hadiah cenderung diulang sedangkan yang dihukum cenderung
dihilangkan. Oleh sebab itu, perilaku dapat dibentuk dengan memanipulasi proses penghargaan
dan hukuman tersebut. Tugas dari pendidikan adalah untuk menciptakan lingkungan
belajar yang mengarah pada perilaku yang diinginkan. Sekolah dipandang sebagai cara
untuk merancang suatu budaya.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas Menyatakan
bahwa “Pendidikan nasional berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadfi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Standar Sarana Prasarana, Pasal 45. ayat 1 bahwa “Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional,
dan kejiwaan peserta didik”

2. Proses belajar Behavioristik mengutamakan tentang bagaimana memberikan stimulus


yang tepat dan pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan pengulangan untuk
menghasilkan respon yang diiharapkan.
Proses pencarian stimulus yang tepat ini tertuang secara jelas dalam sebuah kebijakan
yang dinamakan kurikulum. Kurikulum di artikan sebagai program pendidikan yang disediakan
sekolah atau lembaga pendidikan bagi siswa. Berdasarkan program tersebut siswa melakukan
berbagai macam kegiatan belajar sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhan sesuai
tujuan pendidikan yang diharapkan. Kurikulum penganut behavioris mengutamakan proses
pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan pengulangan. Kurikulum ini sangat cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa,
suka mengulangi, suka meniru dan senang dengan bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian. Kurikulum behavioris juga masih diterapkan dalam ilmu-ilmu yang
membutuhkan unsur kecepatan, reflek, daya tahan dsb contohnya seperti menari, mengetik,
menggunakan komputer dsb.
Kebijakan lain yang juga diwarnai oleh teori ini adalah kebijakan tentang adanya kurikulum
khusus untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan siswa yang bersifat pembiasaan dan
kecakapan kecakapan tertentu misalnya kurikulum SMK tentu saja lebih banyak menekankan
pada latihan daripada proses pencarian ilmu secara mandiri. Hal-hal tersebut antara lain tercakup
dalam kebijakan-kebijakan seperti di bawah ini:

Permin Dik Nas No. 16-17 dan 18 Tahun 2007


Bab III, pasal 13 ayat:
1. Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajad, SMA/MA/SMALB atau
bentuk lain yang sederajad, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajad dapat memasukkan
pendidikan kecakapan hidup.
2. Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1 mencakup kecakapan pribadi,
sosial, akademik dan kecakapan vokasional.
3. Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1,2, dapat merupakan bagian
dari pendidikan kelompok mata pejaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan, dan
kepribadian , ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan estetika, pendidikan jasmani,
olahraga dan kesehatan.
4. Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1,2,3 dapat diperoleh peserta didik
dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah
memperoleh akreditasi.

BAB IV. Standar Proses.


Pasal 19 ayat:
1. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.
2. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam proses pembelajaran pendidikan
memberikan keteladanan.
3. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran untuk
terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

3. Peran guru adalah untuk menciptakan lingkungan yang efektif


Elemen utama pendidikan yang telah hilang di kebanyakan lingkungan adalah
penghargaan yang positif. Pendidikan tradisional yang mempunyai guru yang tradisional pula,
masih sering menggunakan bentuk terapi kontrol yang negatif seperti hukuman. Seiring dengan
kemajuan dunia pendidikan, guru diharapkan mampu memberikan sebuah stimulus yang sesuai
dengan kondisi anak dan kondisi lingkungan yang ada saat ini. Seorang guru yang mempunyai
kualifikasi keilmuan dan pedagogis yang cukup tentunya mampu memberikan stimulus yang
tepat agar bisa menimbulkan respon yang positif dari siswa.

Dalam pasal 42 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas dikemukakan


bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Demikian pula yang terdapat pada permendiknas
no. 16/2007 tentang standar kompetensi guru.
Merujuk dari pasal diatas terlihat bahwa proses pendidikan di Indonesia masih terlihat
dijiwai oleh paham behaviorisme yang mengutamakan keefektifan pemberian stimulus oleh
seorang yang berkualifikasi. Dengan kualifikasi guru yang memadai ini diharapkan mampu
menciptakan lingkungan yang kondusif agar siswa dapat memberikan respon yang sesuai.

4. Sistem evaluasi behavoristik menekankan pada respon pasif, keterampilan secara


terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test.
Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual,
biasanya dalam bentuk evaluasi yang menuntut satu jawaban yang ”benar” sesuai dengan
keinginan guru atau keinginan ”kunci”. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah
dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah kegiatan pembelajaran.
Kebijakan berkaitan dengan pandangan ini tentu saja masih sangat dekat dalam kehidupan
pendidikan kita, misalnya dengan adanya test tengah semester, test akhir semester, bahkan
sampai kebijakan Ujian Nasional. Semua instrumen dari penilaian ini selalu dalam bentuk
pilihan yang menunjuk pada satu jawaban yang paling benar walaupun ada pertanyaan yang
menuntut jawaban sikap. Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang sampai saat ini masih banyak
dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental dengan suasana behaviorisme. Seperti
yang tercantum dalam Pasal 66 PP 19 tahun 2005 tentang (1) Penilaian hasil belajar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. (2) Ujian nasional
dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. (3) Ujian nasional diadakan sekurang-
kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.
Pada hakekatnya teori behavioristik ini masih sangat kental terasa dalam setiap kebijakan
pendidikan, terutama di Indonesia. Hampir semua kebijakan pendidikan yang ada selalu
menekankan pada pembentukan perilaku dan pemberian stimulus yang cocok untuk mencapai
perilaku yang diinginkan. Walaupun teori ini sarat dengan kritikan, namun banyak dalam hal
tertentu masih diperlukan, khususnya dalam mempelajari aspek-aspek yang bersifat tetap dan
permanen dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan secara ketat.

Tentu saja paparan diatas tidak bisa mewakili seberapa besar paham behavioris ini
mempengaruhi pendidikan yang ada di Indonesia, karena penerapan teori ini kadang berkaitan
dengan teori yang lain dalam mewarnai satu kebijakan sehingga sulit mendefinisi suatu
kebijakan itu lebih cenderung ke arah teori yang mana. Penerapan Teori pendidikan eklektik
merupakan solusi yang dirasa paling sesuai saat ini, dengan meniadakan kekurangan dari satu
teori dan menutupinya menggunakan teori yang lain diharapkan proses pendidikan yang terjadi
akan lebih sempurna.

H. KESIMPULAN
Behaviorisme adalah paham yang menekankan pada perubahan tingkah laku yang
didasari oleh prinsip stimulus dan respon. Dalam penentuan kebijakan pendidikan di indonesia
paham behavioris ini masih mendominasi terutama pada kebijakan-kebijakan yang bersifat
hakekat dan prinsip misalnya adanya tujuan nasional pendidikan. Sedangkan kebijakan
penetapan program kurikulum, penyiapan tenaga guru yang kualifikatif, serta sistem penilaian
yang baik merupakan sebuah usaha untuk memberikan stimulus yang terbaik untuk
menghasilkan respon yang diharapkan.
Untuk itu Kebijakan Pendidikan yang bersifat behavioristik tidak sepenuhnya tidak baik
Untuk mewujudkannya Pemerintah perlu melihat kenyataan dilapangan , untuk mengadakan
pendekatan inovatif untuk diupayakan keterlaksanaannya dalam proses pembelajaran. Namun
kesiapan dari berbagai unsur sistem pendidikan menjadi faktor penentunya. Oleh karena
kebijakan pendidikan yang relevan dengan tuntutan perubahan harus didukung oleh semua
pelaku pendidikan termasuk komponen pendidikan yang lain.

TERIMAKASIH
JIKA BANYAK KEKURANGAN KAMI MOHON MAAF DAN MOHON MASUKAN
DARI TEMAN-TEMAN DEMI SEMPURNANYA MAKALAH INI
DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam, 1988, Kearah Prospektif baru Pendidikan, Jakarta, Dep Dik Bud. Ditjen P.T.
P2LPTK.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Burhanuddin, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta An-Ruzz Media
Makalah Seminar Guru Bimbingan dan Konseling, 2003, Pembelajaran teori Behaviorisme
Knight, G.R. 1982, Issue and Alternativesen Educational Philosophy, Michigan : Andrews
University Press

Konstruktivisme dan Sekolah Kejuruan

Tingginya angka pengangguran yang mencapai sekitar 42 juta jiwa serta


rendahnya angka siswa melanjutkan ke perguruan tinggi membuat dunia pendidikan
di Indonesia harus mengoreksi landasan operasional persekolahan mereka. Salah
satu isu penting saat ini adalah mengembalikan fungsi dan peran sekolah menengah
kejuruan (SMK) sebagai salah satu solusi menyiapkan lulusan yang memiliki
keterampilan dan dapat diserap bursa kerja. Meskipun kebijakan ini dianggap belum
sepenuhnya dapat menjamin keberhasilan tujuan penyelenggaraannya, paling tidak
SMK akan sedikit memberi harapan kepada warga bangsa, sekaligus pemerintah,
tentang solusi alternatif dari tingginya angka pengangguran. Karena itu,

Depdiknas harus mampu mengembangkan bukan hanya aspek teknis penyiapan


SMK seperti assessment dan appraisal program agar bersinergi dengan dunia
industri, melainkan juga akan menghadapi tantangan teknis lainnya, yaitu penyiapan
tenaga pengajar yang profesional dan mengerti tujuan pendidikan kejuruan dan
keterampilan di sekolah.

Tulisan ini ingin memetakan persoalan teknis kedua hal di atas dengan mengajak
para pengelola sekaligus guru sekolah kejuruan untuk memahami kerangka
pembelajaran yang harus dilakukan untuk kebutuhan life-skills. Karena itu, guru
perlu pengenalan makna dan teori belajar secara lebih baik dalam rangka
membimbing dan membina siswa agar lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk
merekonstruksi dunia belajar ke dalam dunia kerja. Hal ini penting untuk diketahui
para pengelola sekolah kejuruan, karena hingga saat ini pandangan ahli pendidikan
tentang sekolah kejuruan masih mendua. Menurut Parnell (1966), sebagian ahli
pendidikan mengatakan bahwa Learning to know is most important; application can
come later. Sedangkan para penggagas sekolah kejuruan berpendapat bahwa
Learning to do is most important; knowledge will somehow seep (flow) into the
process. Memanfaatkan dan memahami teori konstruktivisme sebagai basis proses
belajar-mengajar di sekolah kejuruan adalah salah satu usaha untuk memperoleh
legitimasi teoretis sekaligus empiris tentang pentingnya sekolah kejuruan

Konstruktivisme pada Sekolah Kejuruan

Sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan, konstruktivisme menegasikan


bahwa pengetahuan kita sesungguhnya merupakan hasil konstruksi atau bentukan
kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994).

Artinya teori ini bersandarkan pikiran bahwa seorang siswa sesungguhnya


pengemudi sekaligus pengendali informasi dan pengalaman baru yang mereka
peroleh dalam sebuah proses memahami, mencermati secara kritis, sekaligus
melakukan re-interpretasi pengetahuan dalam sebuah siklus belajar-mengajar
(Billett 1996). Secara operasional memang tidaklah sederhana memahami teori ini.
Tetapi jika para guru mampu memahami ide bahwa pengetahuan bukanlah
merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi
kenyataan melalui kegiatan siswa (Mind as inner individual representation of outer
reality), maka baik guru maupun siswa dapat secara bersama-sama mengonstruksi
skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur dalam membangun pengetahuan,
sehingga setiap bangunan proses belajar-mengajar memiliki skema kognitif,
kategori, konsep, dan struktur yang lebih kaya sekaligus berbeda.

Fitur kunci yang lain dari konstruksi pengetahuan adalah konteks fungsional,
sosial, dan kegunaan. Ketika seluruh konteks dapat disatukan dalam sebuah skema
pembelajaran secara efektif, maka pengetahuan dapat digunakan secara maksimal
(Johnson dan Thomas 1994). Meskipun kita tahu bahwa belajar adalah suatu
penafsiran personal dan unik dalam sebuah konteks sosial, tetapi akan lebih
bermakna jika akhir dari suatu proses pembelajaran dapat secara langsung
memotivasi siswa untuk memahami sekaligus membangun arti baru (Billett 1996).

Untuk itu, seorang guru dalam pendekatan konstruktivis harus berfungsi sebagai
fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa untuk mempertanyakan asumsi
diam-diam mereka, serta melatih siswa dalam merekonstruksi makna baru dari
sebuah pengetahuan. Berbeda dengan behavioralist, seorang guru konstruktivis lebih
tertarik untuk membongkar sebuah makna daripada menentukan suatu materi.
Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah
menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang siswa
berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa.
Seluruh proses ini merupakan pendekatan paling baik dalam mekanisme
pengembangan kurikulum sekolah kejuruan.

Beberapa penelitian tentang bagaimana siswa belajar dalam sebuah lingkungan


dan tempat kerja menunjukkan bahwa proses magang-kognitif dari pendekatan
konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah penting. Penelitian dari para
praktisi ragam profesi (Buckmaster & LeGrand, 1992) mengungkapkan bahwa praktik
kerja dalam sebuah pendidikan kejuruan pada awalnya memang menempuh risiko
tinggi. Tetapi jika guru bertindak benar, baik sebagai fasilitator maupun pemandu,
guru dapat membantu para siswa dalam belajar merekonstruksi pikiran mereka
melalui sebuah prakondisi secara bersama-sama. Meskipun konstruksi dari sebuah
pemahaman adalah unik bagi setiap individu, hal tersebut akan mudah dibentuk oleh
kultur dan lingkungan tempat bekerja sekaligus belajar dalam sebuah sekolah
kejuruan. Yang harus selalu diingat oleh para guru di sekolah kejuruan adalah
menghargai siswa dengan instruksi langsung kepada sumber informasi. Kualitas
instruksi seorang guru/fasilitator sangat penting, terutama dalam membantu siswa
untuk memahami mengapa sesuatu harus dilakukan dan bagaimana mencapai
derajat atau level tertentu dari penguasaan sebuah pengetahuan dan keterampilan.

Aktivitas adalah salah satu faktor kunci dalam konstruksi pengetahuan, dan
keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari
merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih tinggi.
Bertambahnya pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan suatu
pekerjaan akan memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara
reflektif dan berkesinambungan. Karena itu diperlukan sinergi yang jelas antara
sekolah kejuruan dan industri terkait dalam rangka memberikan manfaat langsung
kepada siswa untuk melakukan proses magang. Pendekatan konstruktivisme
memandang bahwa penguatan keterampilan siswa melalui sebuah praktik magang
adalah dalam rangka menumbuhkan kepuasan batin agar perasaan siswa
terstimulasi secara positif. Dalam pandangan Billett (1996), tempat magang sebagai
bagian dari proses belajar-mengajar di sekolah kejuruan memiliki sejumlah kekuatan
sebagai lingkungan belajar yang: (1) asli (authentic), tujuan dari setiap aktivitas
diarahkan; (2) juga berfungsi sebagai panduan (guideline) untuk mengakses sumber
belajar secara langsung; (3) keterikatan siswa satu sama lain untuk memecahkan
masalah setiap hari; dan (4) penguatan intrinsik.

Hasil riset lainnya juga menunjukkan bahwa fokus dalam proses belajar-mengajar
harus tertuju pada aktivitas individual siswa dalam merekonstruksi pengetahuan
(Stevenson 1994, p 29). Dengan demikian peran penting sekolah kejuruan adalah
memfasilitasi konstruksi pengetahuan yang dilakukan para siswa melalui sederetan
pengalaman lapangan (magang), kontekstual dengan kondisi dan lingkungan sosial
yang berkembang (Lynch 1997, p 27). Karena titik fokus dari sekolah kejuruan
adalah upaya peningkatan keterampilan siswa, sekolah kejuruan harus digagas dan
dijadikan sebagai wadah dari sebuah proses belajar, bukan proses mengajar. Artinya,
baik siswa maupun guru harus sama-sama belajar membina hubungan yang positif
dan setia dalam berbagi kehendak dan tujuan pembelajaran (Stevenson 1994).

Anda mungkin juga menyukai