Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Prestasi yang baik dalam bidang akademik akan berdampak ketika


individu berada dalam lingkungan yang membentuknya. Untuk itu, dalam
diri setiap individu diharapkan dapat memiliki kecerdasan emosional yang
membentuk pengelolaan diri, motivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain dan dukungan sosial orangtua yang dapat menghasilkan prestasi
belajar siswa. Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan teoritis yang
terdiri dari definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang mempengeruhi
dan hasil penelitian dari masing-masing variable.

2.1. Prestasi Belajar


2.1.1. Pengertian prestasi belajar
Belajar merupakan kegiatan yang paling pokok yang wajib
dilakukan oleh siswa dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah.
Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan banyak
bergantung pada proses belajar yang dialami oelh siswa tersebut. Slameto
(2003) menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperolah suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengamatan individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Santrock (2006) dalam bukunya “Education Psychology”
mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang bersifat tetap yang
sedang berlangsung menyangkut perilaku, pengetahuan, cara berpikir,
tentang perubahan yang terjadi, melalui proses belajar dapat diperoleh
pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan oleh individu guna
mencapai cita-cita. Menurut Hilgard dan Bower (1987) belajar adalah
suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku
karena adanya reaksi terhadap suatu situasi atau karena proses yang terjadi
secara internal di dalam diri seorang. Perubahan tersebut tidak terjadi
karena adanya respon secara alamiah, kedewasaan atau keadaan organism
yang bersifat temporer (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan
sebagainya). Oleh karena itu prestasi belajar bukan ukuran, tetapi dapat
diukur setelah melakukan kegiatan belajar. Keberhasilan seseorang dalam
mengikuti program pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar orang
tersebut (Bustalin,2004).
Prestasi dalam kamus Bahasa Indonesia (2002), diartikan sebagai
pengenalan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan melalui
mata pelajaran dan biasanya ditunjukkan dengan nilai atau angka yang

6
7

diberikan guru. Pendapat yang pertama dikemukakan oleh Sulistari


(2003), bahwa prestasi merupakan hasil dari penguasaan pengetahuan dan
atau ketrampilan yang diperoleh melalui kegatan belajar yang dinyatakan
dengan angka atau nilai.
Pada suatu kesempatan, Winkell (1996) mengatakan bahwa
prestasi belajar adalah penilaian terhadap suatu usaha kegiatan belajar
yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, dan kalimat yang
dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapa oleh siswa dalam periode
tertentu. Tu’u (2004) mengemukakan bahwa belajar adalah hasil yang
dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu.
Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau
ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan guru. Menurut
Poerwodarminto (dalam Puspitasari, 2013) prestasi adalah hasil yang telah
dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang, sedangkan prestasi
belajar adalah prestasi yang dapat dicapai seorang siswa pada jangka
waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Lebih lanjut
Puspitasari (2013) mengatakan bahwa prestasi selalu dihubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan atau aktivitas. Prestasi belajar merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar
merupakan proses, sedangkan prestasi belajar mahasiswa merupakan
output dari proses belajar.
Selanjutnya Arikunto (1993) mengemukakan bahwa prestasi
belajar adalah suatu angka yang mencerminkan sejauh mana siswa dapat
mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setiap jenjang studi. Winkell
(1996), juga mengatakan bahwa prestasi adalah bukti usaha yang didapat
atau dicapai siswa setelah melalui proses belajar di sekolah. Hasil kegiatan
tersebut merupakan perubahan berupa pengetahuan, ketrampilan, nilai-
nilai dan sikap. Sejalan dengan itu, Koster (2001) menyatakan bahwa
prestasi siswa adalah pencapaian siswa setelah mengalami proses belajar
yang terwujud dalam bentuk pengetahuan (kognitif) maupun konsep diri
(efektif) serta ketrampilan tertentu (psikomotorik) seperti persepsi, respon
siswa dan adaptasi.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
prestasi belajar adalah pencapaian seseorang setelah mempelajari materi
pelajaran dalam kurun waktu tertentu yang mencakup ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik, serta konatif yang ditunjukkan dengan nilai atau
angka nilai yang diberikan guru berdasarkan hasil belajar. Dalam
penelitian ini penulis hanya akan melihat aspek kognitif yang dinyatakan
dalam bentuk nilai harian siswa.
8

2.1.2. Teori Prestasi Belajar


Pada kesempatan berbeda, Bloom (1956) secara garis besar
memaknai prestasi belajar menjadi 3 aspek :
1. Ranah Kognitif, berkenan dengan hasil belajar intelektual yang
meliputi aspek-aspek pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Ingatan dan pemahaman disebut
kognitif tingkat rendah sedangkan aplikasi, analisis, sintesi dan
evaluasi disebut kognitif tingkat tinggi.
2. Ranah Afektif, berkenan dengan sikap yang meliputi aspek-aspek
penerimaan, tanggapan, berkeyakinan, organisasi dan internalisasi.
3. Ranah Psikomotorik, berkenan dengan ketrampilam dan
kemampuan bertindak meliputi aspek-aspek gerakan reflex,
ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan
atau ketepatan dan gerakan ketrampilan kompleks.
Sementara Good (dalam Riringgo,2013) mengatakan bahwa prestasi
belajar dalam hal ini berupa pengetahuan yang dicapai dalam hal ini
berupa pengetahuan yang dicapai atau ketrampilan yang dikembangkan
dalam mata pelajaran di sekolah. Adapun pengetahuan dan ketrampilan
yang dikembangkan tersebut meliputi: 1) bagian kognitif, seperti
informasi dan pengetahuan, konsep, dan prinsip, pemecahan masalah dan
kreativitas, 2) Bagian afektif, seperti perasaan,sikap, nilai dan integrase
pribadi, dan 3) bagian psikomotorik.
Nasution (1994) berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan
kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir, merasa dan berbuat.
Menurutnya, prestasi belajar seorang peserta didik dikatakan sempurna
jika memenuhi tiga aspek yaitu:
1. Aspek Kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan
dengan kegiatan berpikir. Aspek ini sangat berkaitan erat dengan
tingkat inteligensi (IQ) atau kemampuan berpikir peserta didik.
Sejak dahulu aspek kognitif selalu menjadi perhatian utama dalam
sistem pendidikan formal. Hal ini dapat dilihat dari metode
penilaian pada sekolah-sekolah dewasa ini sangat mengedepankan
kesempurnaan pada aspek kognitif.
2. Aspek Afektif. Aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan
nilai dan sikap. Penilaian pada aspek ini dapat terlihat pada
kedisiplinan, sikap hormat terhadap guru, kepatuhan dan lain
sebagainya. Aspek afektif berkaitan erat dengan kecerdasan emosi
(EQ) peserta didik.
9

3. Aspek Psikomotorik. Aspek Psikomotorik menurut kamus besar


Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
kemampuan gerak fisik yang mempengaruhi sikap mental. Jadi
sederhananya aspek ini menunjukkan kemampuan atau
ketrampilan (skill) peserta didik setelah menerima sebuah
pengetahuan.
Berdasar teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa individu yang
memiliki prestasi belajar tinggi harus memiliki tiga aspek utama yakni
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Masing-masing hal tersebut
memiliki fungsi tersendiri dalam membentuk individu dalam mencapai
prestasi belajar yang maksimal. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan
melihat aspek kognitif yang dinyatakan dalam nilai harian.

2.1.3. Pengukuran Prestasi Belajar


Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan
yang tidak dapat ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses
belajar dan mengajar. Di Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar
bidang akademik di sekolah-sekolah dicatat dalam sebuah buku laporan
yang disebut rapor. Dalam rapor dapat diketahui sejauhmana prestasi
belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal dalam
suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Suryabrata (1998) bahwa
rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai
kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa tertentu.
Selanjutnya, Syah (2010) mengatakan bahwa pada dasarnya hasil belajar
merupakan deskripsi siswa yang ditunjukkan melalui simbol atau angka
dari prestasi kognitif, evaluasi prestasi afektif, dan evaluasi prestasi
psikomotorik. Sedangkan, Sunarsih (2009) mengatakan bahwa untuk
mengetahui prestasi belajar isiwa dapat dilihat dari proses belajar siswa
dalam menguasai materi pelajaran berdasarkan nilai hariannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dimiliki mahasiswa
haris dilihat dari ketiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik, yang kemudian dituangkan sebagai nilai dalam bentuk
angka pada laporan hasil belajar melalui penilaian akhir belajar. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan nilai harian siswa.

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.


Belajar di sekolah merupakan suatu produksi dengan berbagai
tahapan di mana setiap tahapan akan menghasilkan suatu produk dengan
berbagai ciri dan kualitas yang mempengaruhi hasil dan tahapan
10

berikutnya. Keefektifan proses belajar di sekolah dijadikan tolak ukur


untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajara. Hasil dari usaha inilah
yang lazimnya disebut prestasi belajar. Untuk meraih prestasi belaar yang
baik, banyak factor yang perlu diperhatikan karena di dalam dunia
pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada
siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan
kesempatan untuk meningkatkan prestasi tetapi dalam kenyataannya
prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
Purmaningtyas (2012) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut :
a. Faktor internal (dari dalam siswa), yaitu faktor fisiologis meliputi
keadaan jasmani dan faktor psikologis yang meliputi kecerdasan
baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosional,
kecakapan, bakat, minat, motivasi, perhatian dan kematangan.
b. Faktor eksternal (dari luar individu), yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dalam suatu kesempatan, Suryabrata (2002) menyebutkan faktor
yang mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut:
a. Faktor dari dalam individu, meliputi :
1) Faktor biologis, yang kematangan fisik, kesehatan badan, kualitas
makanan dan fungsi panca indera.
2) Faktor psikologis yaitu minat, rasa aman, dan motivasi,
pengalaman masa lampau, dan kecerdasan.
b. Faktor dari luar individu meliputi :
1) Faktor non sosial yaitu faktor belajar, cuaca, tempat, dan fasilitas.
2) Faktor sosial yaitu pribadi guru yang mengatur sikap orang tua
terhadap anaknya yang sedang belajar, situasi pergaulan dengan
teman sebaya.
Sedangkan Surya dan Amir (dalam Supeno,2004) menyatakan
bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa ada dua yaitu
faktor internal dan eksternal.
a. Faktor internal, terdiri dari :
1) Faktor jasmaniah (fisiologis) baik bersifat bawaan maupun
diperoleh yang terdiri atas pengindraan, pendengaran, dan struktur
tubuh.
11

2) Faktor Psikologis yang berasal dari bawaan maupun yang


diperoleh, terdiri atas faktor intelektual maupun potensi
kecerdasan, bakat, kecakapan, diam, tertutup seperti sikap
kebiasaan, kebutuhan motivasi, emosi dan penyesuaian dari faktor
kematangan.
Dalam penelitian ini pengukuran prestasi belajar menggunakan
penilaian sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif), yaitu nilai-nilai
harian pada masa semester I.

2.2. Dukungan Sosial Orangtua


2.2.1. Pengertian Dukungan Sosial
Menurut Rock (dalam Smet,1994) dukungan sosial adalah salah
satu di antara fungsi pertalian (ikatan) sosial. Ikatan-ikatan sosial
menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal.
Ikatan dan hubungan dengan orang lain dianggap sebagai aspek yang
memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu. Saat
seseorang didukung oleh lingkungan maka segalanya akan terasa lebih
mudah. Selain itu dukungan sosial yang menunjuk pada hubungan
interpersonal juga melindungi individu-individu terhadap konsekuensi
negatif dari stres. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu
merasa tenang, diperhatikan, dicintai, timbul rasa percaya diri dan
kompeten.
Menguatkan uraian tersebut di atas, Sarafino (1990) menyatakan
dukungan sosial merupakan faktor sosial luar individu yang dapat
meningkatkan kemampuan dalam menghadapi stress akibat konflik.
Dengan adanya dukungan sosial, individu dapat merasakan perasaan
nyaman, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu
dari orang lain. Seseorang yang mendapat dukungan sosial yang tinggi
akan memiliki banyak pengalaman positif dan pandangan yang optimi
terhadap kehidupannya. Adanya dukungan membuatnya yakin pada
kemampuan yang dimiliki sehingga dapat mengendalikan situasi di
manapun ia berada.
Dukungan sosial yang terdiri dari informasi atau nasehat verbal
atau non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh
keakraban sosial atau didapat karena kehadiran orang lain, mempunyai
manfaat atau efek perilaku bagi pihak penerima (Gottlieb dalam Smet,
1994). Selanjutnya Wellman (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa
dukungan sosial hanya dapat dipahami jika orang tersebut tahu tentang
struktur jaringan sosial dan menjadi anggotanya. Hal ini mengandung
pengertian bahwa dukungan sosial adalah sebagai perasaan sosial dasar
12

yang dibutuhkan terus-menerus, dipuaskan dalam interaksi dengan orang


lain, namun tidak semua jaringan sosial yang ditemui selalu ada dukungan
sosial.
Weiss (dalam Cutrona,1994) mengemukakan dukungan sosial
sebagai hubungan orang-orang yang dapat diandalkan, bimbingan serta
kedekatan emosional terhadap suatu individu membuat dirinya
mendapatkan pengakuan. Adapun komponen-komponen menurut Weiss
dapat berdiri sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan, dan Weiss
membaginya ke dalam aspek-aspek dukungan sosial yaitu Reliable
alliance,Guidance, Opportunity for nurturance, Attachment, Sosial
integration, Reassurance of worth.
Selanjutnya menurut Suwarsiyah dan Haryanto (1989), dukungan
sosial dari orang tua dapat berupa menciptakan suasana yang hangat dan
harmonis, saling menghargai kepentingan dan privasi anggotanya, saling
membantu dan peka terhadap masalah yang mungkin dihadapi salah satu
dari mereka. Selain itu, dukungan dari orang tua juga berupa menyediakan
fasilitas untuk belajar di rumah, memberikan kesempatan dalam bidang
pendidikan. Jadi dalam hal ini, dukungan sosial orang tua dapat berupa
materi dan perhatian. Ditambahkan oleh Smet (1994), bahwa dukungan
sosial merupakan suatu bentuk perhatian, penghargaan atau pertolongan
yang diterima individu lain atau kelompoknya. Informasi tersebut
diperoleh dari pola hubungan keluarga, guru, teman sebaya, kelompok
atau organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial adalah ikatan sosial atau kebersamaan sosial yang dijalin dengan
akrab antara individu yang satu dengan yang lain dalam lingkungan
masyarakat, keluarga, organisasi dan sekolah atau kampus dan lain-lain.
Dukungan sosial diberikan dalam bentuk suatu informasi atau bantuan
yang diperoleh dari orang lain karena adanya keakraban sehingga individu
merasa diperhatikan, dicintai, dihargai, dihormati, serta mempunyai
kesempatan yang baik untuk dapat memahami masalah bersama dengan
orang lain.

2.2.2. Pengertian Dukungan Sosial Orangtua.


Dukungan sosial orang tua merupakan sikap perilaku orang tua
kepada anak atau remaja yang bisa diterima dengan baik oleh anak.
Misalnya : dengan memberikan pujian, harapan, perhatian, yang mana
sikap tersebut dapat membuat anak merasa berharga dan dicintai oleh
orang tuanya. Adanya dukungan orang tua dapat berwujud : pemenuhan
kebutuhan dari orang tua (jasmani dan rohani); kedekatan baik secara fisik
13

maupun emosi; penerimaan diri dan komunikasi yang terbuka antara


kedua pihak (Barnes et al.,2006).
Pemahaman dari Bean, Barber, dan Crane (2006) tidak berbeda
jauh dengan konsep Barnes (2006). Bean et al., (2006) mengkonsepkan
dukungan sosial orang tua sebagai tingkat penerimaan dan kehangatan dari
orang tua yang ditujukan kepada anaknya. Pada umumnya, dampak dari
adanya dukungan orang tua yang ditujukan kepada anaknya. Pada
umumnya, dampak dari adanya dukungan orang tua ini akan berdampak
positif pada prestasi akademis, self-esteem yang positif dan rendahnya
depresi yang dialami oleh anak atau remaja. Dukungan dari orang tua
secara konsisten merupakan kunci penting dalam perkembangan diri anak
dan remaja.
Sejalan dengan itu, Demaray dan Malecki (2002) mengatakan
dukungan sosial sebagai persepsi individu dari dukungan umum atau
tindakan spesifik yang bersifat mendukung dari orang-orang dalam
jaringan sosial, yang meningkatkan fungsi mereka atau sebagai pelindung
bagi mereka dari perbuatan negatif. Sumber dukungan ini dapat berasal
dari orang tua, teman, guru, teman dekat atau sekolah. Seperti yang
dikutip oleh Baron dan Byrne (2005), dalam teorinya mengatakan bahwa
dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan secara fisik dan psikologis
yang diberikan orang lain. Hal ini sangat bermanfaat bilamana individu
mengalami stress atau sesuatu yang sangat efektif jika individu mengalami
tekanan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan dukungan sosial orang
tua di dalam penelitian ini adalah persepsi individu mengenai sikap
orangtua terhadap dirinya yang membuatnya merasa diterima, dicintai,
diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dalam keluarga.

2.2.3. Aspek-Aspek Dukungan Sosial.


Aspek-aspek dukungan sosial merupakan suatu cara yang
mewujudkan bisa dalam bentuk ekspresi, ungkapan atau perwujudan
bantuan dari individu yang satu ke individu yang membutuhkan. Weiss
(Cutrona,1994), membagi dukungan sosial ke dalam 6 bagian yang berasal
dari hubungan dengan individu lain, yaitu:
a. Reliable alliance (Hubungan yang dapat diandalkan)
Pengetahuan yang dimiliki individu bahwa individu dapat
mengandalkan bantuan yang nyata yang dibutuhkan, individu yang
menerima bantuan ini akan merasa tenang karena individu
menyadari ada orang yang dapat diandalkan untuk menolong bila
individu menghadapi kesulitan.
14

b. Guidance (Bimbingan)
Dukungan sosial berupa nasehat dan informasi dari sumber yang
dapat dipercaya.
c. Reassurance of worth (Adanya Pengakuan)
Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan atau penghargaan
terhadap kemampuan dan kualitas individu, dukungan ini akan
membuat individu merasa dihargai dan diterima, misalnya
memberikan pujian kepada individu karena telah melakukan
sesuatu yang baik.
d. Attachment (kedekatan emosional)
Dukungan ini berupa pengekspresian dari kasih sayang dan cinta
yang diterima individu, yang dpat memberikan rasa aman kepada
individu yang menerimanya, kedekatan dapat memberikan rasa
aman.
e. Sosial integration (integrasi sosial)
Dikaitkan dengan dukungan yang dapat menimbulkan perasaan
memiliki pada individu karena menjadi anggota didalam kelompok
dalam hal ini dapat membagi minat, serta aktivitas sosialnya
sehingga individu merasa dirinya dapat diterima oleh kelompok
tersebut.
f. Opportunity to nurturance (kesempatan untuk Mengasuh)
Dukungan ini berupa perasaan bahwa individu dibutuhkan oleh
orang lain, jadi dalam hal ini subjek merupakan sumber dukungan
bago orang yang mendukungnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan emosional
sangat berarti bagi seseorang apabila jika ia memang membutuhkannya.
Kehadiran orang lain menjadi sangat penting karena secara umum
individu tidak dapat menyediakan dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dukungan sosial dapat berupa dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif.

2.2.4. Efek Dukungan Sosial Orangtua.


Sarason (dalam Kuntjoro, 2002) mengatakan bahwa dukungan
sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang
dapat diandalkan, serta menghargai dan menyayanginya. Sarason
berpendapat bahwa dukungan sosial selalu dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1. Jumlah dukungan sosial yang tersedia; merupakan persepsi individu
terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu
membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas)
15

2. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima; berkaitan


dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi
(pendekatan berdasarkan kualitas).
Hal tersebut di atas penting dipahami oleh orang tua yang ingin
memberikan dukungan sosial, karena menyangkut persepsi tentang
keberadaan (availibility) dan ketepatan (adequency) dukungan sosial bagi
seseorang. Dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi
yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari
bantuan itu. Hal tersebut, erat hubungannya dengan ketepatan dukungan
sosial yang diberikan. Dalam arti bahwa orang yang menerima sangat
merasakan manfaat bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang diterimanya
adalah aktual dan memberikan kepuasan.
Hasil penelitian Sarason, dkk, (Cutrona, dkk, 1994) menemukan
bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi akan
mengalami hal-hal positif dalam hidupnya, selain itu kecerdasan emosi
dan motivasinya akan lebih tinggi dari pada tingkat kecemasan. Individu
akan memandang hidupnya dengan lebih optimis, penuh keyakinan dan
mampu mengendalikan dan menghadapi masalah-masalah dalam
hidupnya. Keadaan seperti ini tidak ditemukan pada orang-orang yang
tidak mendapat atau sangat rendah tingkat dukungan sosial.
Sedangkan dampak dukungan sosial orangtua bagi motivasi belajar
menurut Kwartarini,dkk (1992) adalah dukungan sosial orangtua
merupakan fasilitator agar motivasi belajar dapat diperhatikan dengan
baik. Pendapat tersebut diperkuat oleh Maqsud dan Coleman (1993), yang
menunjukkan bahwa peranan orangtua dalam memberikan dukungan
sosial terhadap anak mereka berhubungan positif dan signifikan dengan
kecerdasan emosi pencapaian motivasi belajar pada anak mereka. Dalam
pengertian bahwa makin besar dukungan sosial orangtua, makin tinggi
motivasi belajar pada anak.

2.3 Kecerdasan Emosi


2.3.1. Pengertian kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dikenalkan oleh Peter
Salovey dan Jack Mayer pada tahun 1990. Mayer dan Salovey (dalam
Arbadiati, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan
untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk
membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta
mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual.
Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi adalah kemampuan
yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
16

menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,


serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang
dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan,
dan mengatur suasana hati. Menurut Hapsariyanti (2006), kecerdasan
emosi adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan
mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga individu tersebut
dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya dan dapat
memahami serta menjaga perasaan orang lain. Individu tersebut juga dapat
memotivasi diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam
kehidupan yang dijalani. Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara
selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi.
Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan untuk belajar mengakui,
menghargai perasaan pada diri, dan orang lain serta menanggapinya secara
tepat dengan menerapkan secara selektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari, sedangkan Patton (1998) memberi definisi tentang kecerdasan
emosi adalah kemampuan untuk menggunakanemosi secara efektif untuk
mencapai tujuan membangun dengan produktif dan meraih keberhasilan.
Howes dan Herald (2002) mengemukakan kecerdasan emosi sebagai
komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi,
lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia berada di wilayah dari
perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang
apabila diakui dan dihormati, akan menghadirkan pemahaman yang lebih
mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Dalam
penelitian ini menggunakan pengertian kecerdasan emosi dari Goleman
(2000) yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapai kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan
emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang
tepat, memilih kepuasan, dan mengatur suasana hati.

2.3.2. Teori Kecerdasaan Emosi


Goleman (2006) kecerdasaan emosional adalah kecakapan
emosional yang melipui kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan
memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, mampu mengendalikan
impuls dan tidak cepat merasa puas, mampu mengenali emosi, mengelola,
dan berempati, serta mampu mengatur suasana hai dan mampu mengelola
kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berpikir, mampu
membina hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya kecerdasaan emosi
adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika unuk mengaasi
masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan
17

emosi juga sebagai perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan


biologis, dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak,
oleh Goleman (2006). Sedangkan menurut Merda (2012) kecerdasan
emosional adalah kemampuan mengindera, memahami dengan efektif
menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi,
informasi dan pengaruh. Selain itu, Tsaosis (2008) kecerdasan emosi
adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan
dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga
membantu perkembangan emosional dan intelektual.
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengerian kecerdasan emosi yaitu; kemampuan seseorang untuk
mengenal, mengendalikan diri sendiri, dapat berinteraksi dengan orang
lain secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi, mampu
mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan, dan mampu
mengelola kecemasan agat idak mengganggu kemampuan berpikir dan
mengendalikan emosi

2.3.3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi


Menurut Goleman (2000), aspek kecerdasan emosional terdiri dari
lima, yaitu:
a. Pengenalan diri (self-awareness).
Mengenali perasaan sebagaimana yang terjadi adalah kunci dari
kecerdasan emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat individu berada dalam kekuasaan perasaan.
Orang-orang yang memiliki keyakinan lebih tentang perasaannya dapat
mengarahkan kehidupannya dengan lebih baik. Individu tersebut
memiliki pengertian dan merasa mantap dalam mengambil keputusan
terhadap kehidupan pribadinya, seperti dengan siapa akan menikah
sampai ke pekerjaan apa yang akan dilakukan.
b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self regulations)
Mengelola perasaan secara tepat merupakan kemampuan yang
diperlukan untuk mengendalikan diri. Orang-orang yang kurang dalam
kemampuan ini terus menerus berada dalam perasaan menderita,
sedangkan mereka yang dapat mengatasinya dapat merasa segar
kembali jauh dari kemunduran dan ganggguan dalam kehidupan.
c. Memotivasi diri sendiri (motivating ownself).
Mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang
mendasar untuk dapat memberikan perhatian, memotivasi diri dan
menguasai diri, serta mengembangkan kreativitas. Orang-orang yang
18

memiliki ketrampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif dalam


melakukan berbagai aktivitas.
d. Mengenali emosi orang lain atau empati (Empathy).
Empati adalah dasar dari ketrampilan pribadi. Orang-orang yang
empatik lebih peka dalam menangkap isyarat-isyarat sosial yang
mengindikasikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang lain.
e. Membina hubungan atau ketrampilan sosial (sosial skills).
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan ketrampilan
mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang unggul dalam
ketrampilan ini dapat melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka
dapat melakukan interaksi dengan orang lain dengan lancar dalam
pergaulan sosial. Dalam penelitian ini menggunakan lima aspek
kecerdasan emosi menurut
Goleman (2000) yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi atau
pengendalian diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain
atau empati, dan membina hubungan dengan orang.

2.3.4. Efek atau peran Kecerdasan Emosi


Kecerdasaan emosi merupakanan kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain serta mampu
mengelolanya dengan baik sehingga tercapai tujuan-tujuan hidupnya dan
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Menurut Ciarrochi,
Forgas,dan Mayer (2001) seseorang yang memiliki kecerdasaan emosi
akan mampu mencapai akualisasi diri, berguna dalam hubungan sosial,
berguna dalam segala aspek pekerjaan yang berkaitan dengan kelompok
kerja, berguna unuk membantu seseorang menjadi lebih sehat dan
sejahtera dalam kehidupannya. Meskipun banyak manfaat yang diperoleh
dari kecerdasaan emosi, pada kenyataannya tidak sedikit ditemukan
seseorang yang tidak berhasil dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan
sosialnya, seperti sering membuat kesal orang lain, gagal dalam
pekerjaannya, tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena seseorang tersebut kurang memiliki
kecerdasaan emosi, maka dari itu diperlukan kemampuan mengendalikan
perasaan secara mendalam untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan (Stein dan Book, 2004).
19

2.4 Hasil-hasil Penelitian sebelumnya


2.4.1. Dukungan Sosial orangtua dan Prestasi Belajar
Siswa yang mempunyai kecerdasan emosional yang kuat dalam
meningkatkan prestasi belajar, juga diikuti dengan faktor dukungan sosial
orangtua. Penelitian yang dilakukan oleh Rensi dan Sugiarti (2010)
menunjukkan dukungan sosial yang berpengaruh terhadap prestasi belajar
dengan nilai probabilitas signifikansi untuk variable dukungan sosial
terhadap prestasi belajar sebesar 0,04<0,05. Rosenfeld (2000) menemukan
bahwa siswa dengan dukungan sosial yang tinggi dari teman sebaya,
orangtua dan guru memikili nilai atau prestasi yang terbaik dibandingkan
dengan siswa yang tidak memiliki dukungan sosial. Mackinnon (2008)
menemukan bahwa dukungan sosial berpengaruh pada prestasi belajar
siswa. Penelitian berbeda juga ditemukan oleh Taylor (1998) yang
menyatakan bahwa secara tidak langsung dukungan sosial orangtua
berpengaruh pada prestasi belajar. Dikatakan berpengaruh secara tidak
langsung karena untuk mencapai sebuah prestasi belajar maka harus
melalui persepsi dan pentngnya kemampuan akademis.
Sementara itu, Causce (1992) menyatakan bahwa dukungan
orangtua memiliki hubungan yang negatif dengan kompetens di sekolah,
yang dalam hal ini adalah kompetensi untuk berprestasi. Hal senada juga
diteliti oleh Maassen & landseer (2000), menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara dukungan sosial orangtua denga prestasi
belajar matematika. Kurniawati (2012), juga mengadakan penelitian
tentang hubungan dukungan sosial terhadap prestasi belajar mahasiswa
Kebidanan STIKes Kusuma Husada Surakarta menemukan bahwa ada
hubungan antara dukungan sosial dengan prestasi belajar dengan nilai
signifikan 0,004 (p<0.05). sejalan dengan itu, puspasari (2013) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan
sosial dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,01). Novitasari (2013), juga
mengatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial orangtua
dengan prestasi belajar siswa.

2.4.2. Kecerdasan Emosional dan Prestasi Belajar


Dalam kaitannya dengan prestasi belajar, kecerdasan emosional
memainkan peranan yang sangat penting dan mewarnai kehidupan siswa
dalam meraih prestasi yang memuaskan. Dalam penelitian yang
dilakuakan oleh Epstein dan Le Doux (dalam Nwadinigwe &
Obieke,2010) pada 156 siswa Menengah Atas di Lagos,Nigeria
20

menunjukkan ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional


dengan prestasi belajar (p<0.05). Cherniss (dalam Nwadinigwe & Obieke,
2010) menyatakan pentingnya kecerdasan emosional yang diperlukan
untuk meningkatkab kinerja dan kesejahteraan psikologis dalam prestasi di
sekolah. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Azizi, dkk (2012)
menunjukkan bahwa signifikan hubungan antara kesadaran diri (r=0,21),
manajemen emosional (r=0,21) dan empati (r=0,21) pada tingkat p<0,05
dengan prestasi akademik. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Mishra
(2012) menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kecerdasan
emosional dan prestasi belajar. Kelemahan emosional menyebabkan
berbagai masalah kesehatan fisik dan mental yang secara langsung
berdampak pada prestasi belajar. Menurutnya, pendidikan menyampaikan
informasi dan pengetahuan untuk daerah tertentu yang berorientasi karir.
Aspek emosional yang kurang dalam system pendidikan akan
menyebabkan prestasi belajar yang buruk. Oleh karena itu mengetahui
hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik menjadi
salah satu yang penting.
Maria (2004) juga dalam penelitiannya meunjukkan adanya
hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa. Mishra (2012), terhadap 100 siswa menengah atasdi Jaipur
menyatakan ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar. Hal ini senada juga diungkapkan oleh Preeti (2013)
terhadap 200 siswa di berbagai sekolah di India. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan positif signifikan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar. Wahyuningsih (2004), dalam
penelitiannya juga menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara
kecerdasan emosional dengan hasil belakar bioligi siswa keas II SMA
Negeri Pamulang. Sejalan dengan itu Bhatiar (2009), juga menemukan
adanya hasil positif pada penelitiannya tentang hubungan kecerdasan
emosional dengan prestasi signifikansi nilai 0,002 (p<0,05). Selanjutnya,
Guna (2012) dalam penelitiannya di SMA Negeri 3 Salatiga menggunakan
rank sperman nonparametik uji korelasi menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

2.5 Pengaruh dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi


terhadap prestasi belajar siswa
Agar berhasil mencapai prestasi belajar maksimal diperlukan
beberapa faktor yang salah satunya datang dari dukungan sosial. Menurut
21

kwartarini,dkk (1992),dukungan sosial merupakan fasilitator agar prestasi


belajar dapat diperhatikan dengan baik.
Dukungan sosial dapat diterima dari berbagai macam sumber, seperti
teman, keluarga, pasangan atau kekasih, lingkungan atau organisasi
masyarakat (sarafino,1990). Dari berbagai macam dukungan tersebut,
dukungan yang paling efektif untuk meningkatkan prestasi belajar adalah
dukungan keluarga. Menurut Suwarsiyah dan Haryanto (1989), dukungan
sosial keluarga dapat menciptakan suasana yang hangat dan harmonis,
saling menghargai kepentingan dan privasi anggota, saling membantu dan
peka terhadap masalah yang mungkin dihadapi salah satu dari mereka.
Bentuk kehangatan dan perhatian tersebut adalah berupa fasilitas atau
sarana pendukung dalam bidang pendidikan. Fasilitas dan sarana
pendukung yang diberikan akan berdampak besar bagi tercapainya prestasi
belajar.
Dukungan sosial keluarga khususnya orangtua berperan penting
sebagai aktualisasi diri pada anak dalam pencapaian prestasi belajarnya.
Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Masqud dan Coleman(1993),
yang menunjukkan bahwa peranan orangtua dalam memberikan dukungan
sosial terhadap anak mereka berhubungan positif dan signifikan dengan
aktualisasi pencapaian prestasi belajar pada anak mereka. Dalam
pengertian bahwa semakin besar dukungan sosialorangtua , makin tinggi
aktualisasi diri pencapaian prestasi pada anak.
Verkuyten dkk (2001), menemukan bahwa dukungan sosial
orangtua terhadap prestasi belajar pada anak lebih diperhatikan oleh
keluarga-keluarga yang masih mempertahankan budaya kekerabatan.
Dalam hubungan kekerabatan inilah dukungan sosial orangtua berperan
penting terhadap tercapainya prestasi belajar anak mereka
Selain pengaruh dukungan sosial orangtua terhadap prestasi belajar
kecerdasan emosi juga merupakan salah satu faktor dalam prestasi belajar
anak. Salovy & mayer (dalam Stein&Book,2002) mengemukakan
kecerdasan emosi adalah kualitas untuk meraih sukses, yaitu empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,
kemandirian, menyesuaikan diri, beridkusi, memecahkan masalah antar
oribadi, tekun, setia kawan, sikap hormat. Menurut goleman (2001)
kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan oranglain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan
orang lain.
22

Banyak usaha yang dilakukan para siswa untuk meraih prestasi


belajar agar menjadi lebih baik. Usaha tersebut jelas positif, namun faktor
lain yang terpenting adalah mencapai keberhasilan. Faktor tersebut adalah
dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi. Siswa dengan dukungan
sosial orangtua dan kecerdasan emosi yang baik kemungkina besar akan
berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa hubungan dukungan
sosial orangtua dan kecerdasan emosi merupakan dua faktor yang penting
bagi siswa untuk meraih prestasi yang lebih baik.

2.6 Model penelitian

Dukungan
Sosial
Orangtua Prestasi
Belajar

Kecerdasan
Emosi

2.7 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang telah
ditemukan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Ada pengaruh antara dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi
terhadap prestasi belajar siswa jurusan Keperawaatan di SMK PGRI I
Salatiga

Anda mungkin juga menyukai