Anda di halaman 1dari 20

PRO-KONTRA MAHKAMAH KONSTITUSI TETAPKAN

SARJANA NON KEPENDIDIKAN BEBAS MENJADI GURU


PROFESIONAL

MAKALAH

Dosen Pengampu :
Dra. Sri Susilaningsih, S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh:
Nama : Fani Kurnia Ardilasari
NIM : 1401416006
Rombel : 11

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
ABSTRAK

PRO-KONTRA MAHKAMAH KONSTITUSI TETAPKAN SARJANA NON


KEPENDIDIKAN BEBAS MENJADI GURU PROFESIONAL

Oleh:
Fani Kurnia Ardilasari

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan prokontra keputusan


Mahkamah Konstitusi mengenai sarjana non kependidikan yang bebas menjadi
guru profesional. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini
karena salah satu fungsi pendidikan yaitu mengoper kebudayaan ke generasi
berikutnya seolah kurang diperhatikan karena adanya keputusan bahwa sarjana
non kependidikan yang kurang mengetahui cara mengajar justru dibebaskan untuk
menjadi guru profesional hanya dengan PPG. Padahal untuk mejalankan fungsi
pendidikan tersebut diperlukan guru yang profesional dan mengetahui dasar dan
cara mengajar yang baik.
Fungsi pendidikan ada dua, yaitu menciptakan yang belum ada, melalui
pembinaan manusia yang kreatif dan mengoperkan kebudayaan (yang sudah ada)
kepada generasi demi generasi dalam rangka proses sosialisasi pribadi manusia.
Salah satu fungsi tersebut nampaknya kurang dipahami, perlu dipertanyakan, dan
menimbulkan prokontra di masyarakat. Penulis mengumpulkan bukti prokontra
tersebut dari beberapa artikel terkait.
Dari beberapa artikel yang penulis dapatkan, dapat disimpulkan bahwa
penetapan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembolehan sarjana non
kependidikan untuk menjadi guru profesional perlu dikaji ulang, sehingga dapat
diperoleh hasil yang diharapkan.

Kata kunci: Fungsi Pendidikan, Mengoper Kebudayaan, Sarjana Non


Kependidikan, PPG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman, manusia semakin membutuhkan ilmu
pengetahuan dan wawasan yang cukup untuk menghadapi segala
permasalahan yang ada. Dengan ilmu pengetahuan, manusia akan mampu
menjalani kehidupan dengan lebih baik. Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga
pendidik yang baik yang benar-benar mampu membimbing dan memberikan
ilmu pengetahuan kepada manusia.
Di Indonesia, sekarang ini justru tengah mengahadapi problematika
prokontra adanya keputusan yang membolehkan sarjana non kependidikan
untuk menjadi guru. Padahal kita tahu bahwa untuk menjadi guru harus
memiliki kemampuan mengajar yang baik, sehingga dapat menyampaikan
ilmu dengan baik pula. Tetapi di sini, dengan adanya keputusan ini seolah
mengatakan bahwa lulusan sarjana kependidikan kurang mampu mengajar dan
digantikan dengan lulusan sarjana non kependidikan yang hanya perlu
mengikuti PPG agar bisa menjadi guru.
Sekarang ini yang sebenarnya dibutuhkan adalah ilmu pengetahuan yang
baik yang disampaikan dengan cara yang benar dan mampu memberikan bekal
bagi manusia untuk menghadapi kehidupan di era yang semakin maju ini.
Salah satu cara mewujudkannya yaitu dengan benar-benar memperhatikan
kualitas pendidikan dengan mencetak tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas
dan berpengalaman dalam bidangnya.
Oleh karena hal-hal yang telah penulis jelaskan, pada kesempatan kali ini
penulis membuat makalah dengan judul “PRO-KONTRA MAHKAMAH
KONSTITUSI TETAPKAN SARJANA NON KEPENDIDIKAN BEBAS
MENJADI GURU PROFESIONAL”. Dalam makalah ini penulis akan
menjelaskan berbagai pro-kontra adanya keputusan yang membolehkan
sarjana non kependidikan untuk menjadi guru.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulisa sampaikan di atas dapat dibuat
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses perkembangan pendidikan dan kebudayaan?
2. Apa sajakah permasalahan yang timbul dari proses perkembangan
pendidikan dan kebudayaan?
3. Hal-hal apa sajakah mengenai pendidikan profesi guru?
4. Bagaimana pro-kontra keputusan mahkamah konstitusi mengenai sarjana
non kependidikan bebas menjadi guru profesional?

C. Tujuan
1. Untuk memahami proses perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
2. Untuk memahami permasalahan yang timbul dari proses perkembangan
pendidikan dan kebudayaan.
3. Untuk mengetahui hal-hal mengenai pendidikan profesi guru.
4. Untuk mengetahui pro-kontra keputusan mahkamah konstitusi mengenai
sarjana non kependidikan bebas menjadi guru profesional.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Perkembangan Pendidikan Dan Kebudayaan


Hubungan masyarakat dan pendidikan adalah hubungan antara subyek
dengan aktivitasnya. Masyarakat akan relatif lebih maju apabila masyarakat
itu aktif membina pendidikan,atau masyarakat itu menyelenggarakan
pendidikan yang maju. Apabila suatu masyarakat mengabaikan
pendidikan,maka masyarakat itu sukar untuk maju. Ini disebut hubungan
korelasi positif.
Sedangkan hubungan causalitas atau sebab-akibat,yaitu karena masyarakat
sadar dengan nilai dan peranan pendidikan,masyarakat aktif membina
pendidikan,maka masyarakat menjadi makin maju,makin baik. Hubungan
teleotologis berarti bahwa pendidikan masyarakat bergerak (aktif) menuju satu
tujuan tertentu, satu idealisme.
Hubungan pendidikan dan kebudayaan adalah hubungan antara aktivitas
dengan isinya. Pendidikan adalah satu proses,satu lembaga,satu aktivitas.
Sedangkan kebudayaan adalah isi didalam proses itu,isi suatu lembaga dan
aktivitas pendidikan itu.
Fungsi dan misi pendidikan adalah mengoperkan kebudayaan dari manusia
yang berkebudayaan kepada anak didik yang belum berkebudayaan. Mengolah
kebudayaan itu menjadi sikap mental,tingkah laku,bahkan menjadi
kepribadian anak didik. Membudayakan manusia,atau membina manusia
supaya berkebudayaan.
Sesungguhnya fungsi pendidikan masih mempunyai tujuan yang lebih
utama yaitu untuk membina kepribadian manusia agar lebih kreatif dan
produktif,yakni mampu menciptakan kebudayaan.
Pendidikan sesungguhnya melakukan peranan menciptakan kebudayaan,
mengembangkan kebudayaan, baik langsung maupun tak langsung.
Pendidikan mempunyai fungsi rangkap untuk kebudayaan:
1. Menciptakan yang belum ada, melalui pembinaan manusia yang kreatif.
2. Mengoperkan kebudayaan (yang sudah ada) kepada generasi demi
generasi dalam rangka proses sosialisasi pribadi manusia.
Sebagai perbandingan, Auguste Comte ahli sosiologi dan filsafat,
membedakan tingkat perkembangan kebudayaan umat manusia atas : tiga
tingkatan besar dalam sejarah perkembangan berpikir umat manusia :
tingkatan teologis atau tingkat animistis, tingkatan metafisis (filsafat) dan
tingkatan ilmu pengetahuan positif.
Jhon Dewey menganalisa perkembangan kebudayaan sebagai proses
integral daripada perkembangan social,yang dipengaruhi oleh:
1. Adanya kondisi khusus dan problem-problem yang dihadapi.
2. Tuntutan-tuntutan komunikasi sosial yang menuju pengertian suatu cita-
cita dan informasi.
3. Adanya penyelidikan secara kritis dan penilaian kembali atas tujuan dan
nilai-nilai kebudayaan yang ada.
4. Eksperimen yang terkontrol dan validasi atas hasil-hasil rekonstruksi pada
situasi yang spesifik.

B. Permasalahan yang Timbul dari Proses Perkembangan Pendidikan Dan


Kebudayaan
Pendidikan sesungguhnya melakukan peranan menciptakan kebudayaan,
mengembangkan kebudayaan, baik langsung maupun tak langsung.
Pendidikan mempunyai fungsi rangkap untuk kebudayaan:
1. Menciptakan yang belum ada, melalui pembinaan manusia yang kreatif.
2. Mengoperkan kebudayaan (yang sudah ada) kepada generasi demi
generasi dalam rangka proses sosialisasi pribadi manusia.
dari pernyataan di atas kita bisa mengetahui bahwa untuk salah satu fungsi
pendidikan yaitu untukmengoperkan kebudayaan kepada generasi berikutnya
untuk mensosialisasikan pribadi manusia. Untuk itu, dibutuhkan tenaga
penidik yang berkualitas yang mampu mengajar atau mengoper kebudayaan
dengan baik. Maksudnya adalah bahwa negara ini butuh tenaga pendidik yang
benar-benar belajar atau mendalami dasar-dasar dan cara-cara mengajar yang
baik dan benar, bukan hanya sekedar mendapat akta mengajar lantas dikatakan
sebagai guru yang baik atau profesional.
Akhir-akhir ini dunia pendidikan justru diramaikan dengan penetapan
keputusan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai pembebasan sarjana non
kependidikan untuk menjadi guru profesional. Dari keputusan ini
menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama bagi para guru
honorer dan mahasiswa yang sedang kuliah di Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK). Hal ini dikarenakan sarjana non kependidikan bebas
menjadi guru profesional hanya dengan melalui program Pendidikan Profesi
Guru yang berlangsung selama 2 semester saja.

C. Hal-hal Mengenai Pendidikan Profesi Guru


1. Pengertian Pendidikan Profesi Guru
Pendidikan profesi guru (PPG) merupakan suatu program
pendidikan yang diberikan untuk para sarjana pendidikan atau diploma 4
yang berminat untuk menjadi guru. Agar dapat menjadi guru yang sesuai
dengan kebutuhan pendidikan serta standar nasional dalam masalah
pendidikan dan untuk memperoleh sertifikat sebagai pendidik, maka
diwajibkan bagi para calon guru untuk melanjutkan studinya untuk
mendapatkan pelatihan dan pembimbingan lagi agar dapat menjadi guru
yang profesional.
Terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam segala
aspek kehidupan akibat dari gelombang globalisasi serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan serangkaian tantangan baru
yang perlu disikapi dengan cermat dan sistematis. Perubahan tersebut
secara khusus berdampak terhadap tuntutan akan kualitas pendidikan
secara umum, dan kualitas pendidikan guru secara khusus untuk
menghasilkan guru yang profesional melalui Pendidikan Profesi Guru
(PPG).
Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugasnya
mampu menunjukkan kemampuannya yang ditandai dengan penguasaan
kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi substansi dan/atau
bidang studi sesuai bidang ilmunya. Calon guru harus disiapkan menjadi
guru profesional melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang
mempersiapkan mahasiswa didik untuk memiliki pekerjaan dengan
persyaratan keahlian khusus.
2. Tujuan Program Pendidikan Profesi Guru
a. Tujuan Umum
Tujuan umum PPG tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3,
yaitu menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dilaksanakannya pendidikan profesi guru tercantum
dalam Permendiknas No 8 Tahun 2009 Pasal 2 yaitu untuk
menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam
merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran,
menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, pelatihan
peserta didik, dan melakukan penelitian, serta mampu
mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik ada beberapa tujuan yang
ingin dicapai dengan mengadakan pelatihan antara lain:
1) Pelatihan berfungsi memperbaiki perilaku atau performance kerja.
Hal ini sangat diperlukan agar pendidik lebih mampu
melaksanakan tugas-tugasnya dan diharapkan berhasil dalam upaya
pelaksanaan program kerja organisasi atau lembaga.
2) Pelatihan berfungsi mempersiapkan promo ketenagaan untuk
jabatan yang lebih rumit dan sulit.
3) Pelatihan berfungsi untuk mempersiapkan tenaga kerja pada
jabatan yang lebih tinggi.
Penguasaan dan kemampuan melaksanakan kompetensi secara
prima dalam arti efektif dan efesien, menempatkan profesi guru
sebagai sebuah profesi.Sehubungan dengan itu Djojonegoro (1998)
menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu jabatan ditentukan
oleh tiga faktor penting.Ketiga faktor tersebut dapat disajikan sebagai
berikut:
1) Memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program
pendidikan keahlian atau spesialisasi.
2) Kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan
keahlian khusus yang dikuasai).
3) Penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian
khusus yang dimilikinya
3. Pembentukan Professional
Guru harus mencapai kemampuan pofesional tingkat tinggi.
Kemampuan itu dapat tercapai melalui pendidikan persiapan, praktik kerja
lapangan, pendidikan profesi, atau pengembangan profesional
berkelanjutan. Secara teoritis dan simultan, simultan kegiatan ini
dimaksudkan untuk membentuk guru profesinal sungguhan, yang mampu
melaksanakan proses pembelajaran secara baik dan bermutu. Menurut
Vigotsky dimensi yang terkait dalam pembentukan guru profesional
disajikan berikut ini.
Pembentukan guru sebagai pribadi yang utuh.Kemampuan ini
diperlukan agar guru mampu membimbing dan mengarahkan paserta didik
dalam setiap aspek pengembangan kepribadian dan dimensi sosialnya.
Pembentukan karakter sistemik yang diperlukan untuk
memberdayakan siswa, dimulai ketika siswa teregistrasi untuk keperluan
studinya dan hingga mereka dinyatakan lulus.
Pembentukan karakter pribadi (personalized character) dengan dua
jalur referensi, yaitu individualisasi (orientasi pada orang-orang tertentu
secara indifidual) dan integrasi (orientasi pada orang secara keseluruhan)
dengan mempertimbangkan berbagai sisi pengembangan, termasuk yang
terkait dengan tujuan edukatif.
Pembentukan karakter preventif, tidak hanya dalam kaitannya
dengan pemecahan masalah melainkan juga dalam rangka mengantisipasi
kesulitan dan dalam situasi defisit yang dapat menghambat pemenuhan
tujuan.
4. Kualifikasi Akademik Calon Pesera Didik Pendidikan Profesi Guru
a. S1 Kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang
akan di tempuh.
b. S1 Kependidikan yang serumpun dengan program pendidikan profesi
yang akan di tempuh dengan menempuh materikulasi.
c. S1/DIV Non kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan
profesi yang akan di tempuh dengan menempuh materikulasi mata
kuliah akademik kependidikan.
d. S1/DIV Non kependidikan serumpun dengan program pendidikan
profesi yang akan di tempuh dengan menempuh materikulasi.
e. S1 Psikologi untuk program PPG pada PAUD SD, dengan menempuh
materikulasi

D. Beberapa Artikel Pro-Kontra Mahkamah Konstitusi Tetapkan Sarjana


Non Kependidikan Bebas Menjadi Guru Profesional
1. Artikel I
SARJANA NON KEPENDIDIKAN BEBAS JADI
GURU PROFESIONAL
BEGITU MUDAHKAN UNTUK MENJADI SEORANG GURU
PROFESIONAL?
Saya berharap semoga saja tulisan ini tidak ada yang merasa
tersingggung, sakit hati dan marah kepada penulisnya – lalu berusaha
untuk membela diri dan membenarkan diri sendiri. Tulisan ini tidak
ditujukan kepada orang-orang yang responsif dan anti kritik. Sejak awal
saya berniat melalui tulisan ini ingin “menyentuh hati” orang-orang yang
ingin berbuat yang terbaik untuk bangsa ini siapapun dan dimanapun
mereka saat berada. Semoga Berkah!
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
akhirnya melegalkan sarjana non kependidikan untuk menjadi guru
profesional. Ke depan sarjana lulusan di luar FKIP (Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan) itu bersaing dengan sarjana yang empat tahun
mengenyam kuliah kependidikan. Di satu sisi telah membuka kesempatan
besar bagi lulusan non kependidikan untuk berkiprah dalam
dunia pendidikan sebagai guru, tentu setelah mereka menempuh
“pendidikan darurat” beberapa bulan dan meluluskan beberapa SKS Mata
Kuliah bidang kependidikan.
Namun pada sisi lain telah memperkecil ruang gerak dan
kesempatan bagi Alumni FKIP yang telah menempuh pendidikannya
bertahun-tahun sebagai calon guru. Di samping itu, juga terkesan (tentu
perasaan subyektif setiap orang berbeda-beda), sepertinya secara tidak
langsung ingin mengabarkan pada dunia, bahwa selama ini FKIP sebagai
lembaga yang dipercayakan berdasarkan UU mendidik calon guru telah
‘gagal’ atau belum berhasil dengan maksimal.
Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan. Silakan saja
untuk berdebat – jika ada yang mau berdebat dan ada pihak yang mau
melayani perdebatan itu. Saya sendiri tidak mau berdebat. Saya hanya
ingin memancing dan mengajak kita semua untuk bisa membuka mata dan
hati dalam melihat realitas sosial yang sedang terjadi di sekitar kita dan
yang sedang dirasakan oleh anak-anak bangsa kita saat ini.
Dan sayapun tidak bermaksud ingin menyalahkan siapapun.
Karena saya selalu berpikir dan berprinsip – tidak ada seorangpun manusia
di dunia ini yang mau disalahkan apalagi dipersalahkan. Ya, sudah — kita
nikmati saja hidup ini dengan senyuman, meskipun senyuman yang
dipaksakan.
Kebijakan membuka akses bagi sarjana non kependidikan untuk
menjadi guru ini tertuang dalam Permendikbud 87/2013 tentang
Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG). Sarjana dari fakultas non FKIP
itu bebas mengajar mulai dari jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA dan
sederajat. Sarjana non kependidikan juga diwajibkan mengikuti saringan
masuk PPG selayaknya sarjana kependidikan.
Meskipun aksesnya dibuka setara dengan lulusan FKIP, sarjana
non kependidikan wajib mengikuti dan lulus program matrikulasi dulu
sebelum menjalani PPG. Sedangkan untuk sarjana FKIP yang linier atau
sesuai dengan mata pelajaran yang bakal diampu atau diasuh, tidak perlu
mengikuti program matrikulasi itu.
Khusus untuk sarjana yang bakal mengajar di jenjang SMP dan
SMA dan sederajat, tidak ada perlakuan yang berbeda bagi lulusan
kependidikan maupun non kependidikan ketika mengikuti PPG. Mereka
diwajibkan untuk mengikuti PPG dengan bobot atau beban belajar
sebanyak 36 hingga 40 SKS.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) Sulistyo mengatakan, Kemendikbud harus bisa menanggung
resiko jika membuka akses luas kepada sarjana non kependidikan untuk
menjadi guru profesional. “Guru adalah profesi khusus. Mestinya
pendidikannya juga khusus dalam waktu yang cukup,” katanya.
Menurutnya, calon guru yang sudah kuliah selama empat tahun di
FKIP, sejatinya masih perlu ditingkatkan. Apalagi untuk sarjana non
kependidikan, yang baru mendalami urusan kependidikan setelah dia lulus
kuliah. “Sebaiknya, jika untuk mendidik calon guru profesional, dimulai
sejak lulus SMA. Bukan sejak lulus sarjana,” kata dia. Jika kebijakan
membuka akses calon guru profesional untuk sarjana non kependidikan itu
tetap dijalankan, Sulistyo meminta supaya program matrikulasi dijalankan
dengan serius.
Sehingga para sarjana non profesional itu tidak kikuk saat
mengikuti program PPG bersama calon guru lain lulusan FKIP. Ya sudah
begitu mudahkah sekarang ini untuk menjadi Guru yang
profesional?. Padahal mereka yang alumni FKIP saja tidak bisa langsung
untuk menjadi guru, meskipun telah bertahun-tahun menempuh kuliah dan
puluhan mata kuliah kependidikan diluluskan.
Sulistyo mengatakan sejak awal calon guru harus memiliki niat
yang mantap untuk menjadi guru. Sedangkan sarjana non kependidikan,
ketika masuk kuliah belum tentu berniat menjadi guru. Bisa saja ingin
menjadi guru karena tergiur penghasilan yang besar (tunjangan sertifikasi
guru), atau karena sulit mencari pekerjaan lain sesuai dengan bidang
keilmuannya.

Sumber: https://variyaka.wordpress.com/2016/05/14/sarjana-non-
kependidikan-bebas-jadi-guru-profesional/

2. Artikel II
MK TEGASKAN SARJANA NON-PENDIDIKAN BISA JADI GURU
Kamis, 28 Maret 2013 22:54 WIB

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (ANTARA/Dhoni


Setiawan) Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya,"
Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK)
menyatakan sarjana non pendidikan bisa menjadi guru setelah menolak
pengujian Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005.
"Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan
amar putusan di Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangannya, mahkamah menyatakan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang juga sebagai dasar pengujian dalam permohonan
pengujian UU Guru dan Dosen menentukan "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum."
"Kata setiap orang menunjukkan bahwa perlakuan yang sama di
hadapan hukum, tidak hanya dikhususkan kepada mereka yang tamatan
LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan)," kata hakim Konstitusi
Muhammad Alim, saat membacakan pertimbangan hukum.
Alim mengatakan bahwa setiap orang boleh diangkat menjadi
guru, atau pekerjaan apa saja demi kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
"Hal itu berarti bahwa selain persamaan hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, juga perlakuan yang sama di
hadapan hukum," katanya.
Menurut Mahkamah, seseorang yang bukan lulusan LPTK tidak
secara serta merta dapat menjadi guru jika tidak memenuhi syarat-syarat
sebagaimana tersebut di atas.
"Dengan demikian, posisi antara lulusan LPTK dan non-LPTK
telah ekuivalen terkait dengan syarat-syarat tersebut, sehingga tidak
terdapat perlakuan yang berbeda yang bertentangan dengan konstitusi,"
kata Alim.
Pengujian UU Guru dan Dosen ini dimohonkan oleh tujuh orang
mahasiswa dari universitas berlatar belakang kependidikan, yakni Aris
Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M
Khoirur Rosyid, dan Siswanto.
Mereka menilai telah menimbulkan ketidakadilan bagi sarjana
lulusan universitas berlatar pendidikan untuk dapat berprofesi sebagai guru
sebab aturan itu membolehkan sarjana nonkependidikan untuk diangkat
menjadi guru.
Pasal 9 berbunyi: "Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau
program diploma empat."
Menurut pemohon, guru merupakan profesi yang harus ditempuh
melalui jalur akademik khusus, yaitu kependidikan sehingga apabila pasal
itu tetap diterapkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
para sarjana lulusan kependidikan.
(J008/B012)

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/365865/mk-tegaskan-
sarjana-non-pendidikan-bisa-jadi-guru

3. Artikel III
KONTROVERSI PENDIDIKAN PROFESI GURU
3 April 2014 02:52 Diperbarui: 24 Juni 2015 00:09 822 0 0
Saat ini santer kita dengar isu mengenai kebijakan dari
kemendikbud yang berupa Pendidkan Profesi Guru atau yang lebih di
kenal dengan PPG. Bahkan di beberapa daerah di indonesia sudah
dilaksanakan PPG. Kebijakan tersebut didasarkan pada UU No 20/2003
tentang SPN pendidikan profesi yaitu pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian program PPG
adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S-1
Kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan
minat menjadi guru. PPG merupakan program yang bertujuan untuk
mencetak guru Indonesia menjadi lebih bekualitas dan berbobot. PPG yang
juga merupakan program pengganti akta 4. Akan tetapi kebijakan tersebut
memiliki banyak kontroversi dan pro dan kontra.
Yang menjadi kontra dalam kebijakan tersebut, pertama mengenai
pasal 1 ayat 2 dalam peraturan mentri pendidikan yaitu Program
Pendidikan Profesi Guru Prajabatan yang selanjutnya disebut program
PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/DIV Nonkependidikan
yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi
guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat
memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Ada sedikit kejanggalan
dalam peraturan tersebut yang membebankan lulusan S1 kependidikan.
Dikarenakan dalam peraturan tersebut lulusan jalur nonkependidikan bisa
mengikuti PPG berarti lulusan jalur nonkependidikan bisa menjadi guru
hanya dengan mengikuti PPG. Selain itu gelar sarjana pendidikan yang di
raih dengan susah payah kurang lebih selama 4 tahun untuk menjadi guru
pada akhirnya di tentukan hanya dengan PPG.
Kedua yang perlu di benahi dari kebijakan tersebut yaitu apakah
hanya dengan mengikuti PPG selama kurang lebih 2 semester dalam 1
tahun bisa tercipta seorang guru yang profesional?. Jika seperti itu terkesan
PPG menghasilkan guru instan. Yang semula di persiapkan tidak utuk
menjadi seorang guru hanya dengan mengikuti pelatihan selama 1 tahun
bisa menjadi seorang guru. Mungkin PPG bisa menciptakan guru
profesional apabila pesertanya dari lulusan kependidikan yang semula
memang di persiapkan untuk menjadi pendidik. Yang ketiga adalah biaya
PPG yang cukup besar 6.000.000 persemester atau 12.000.000 pertahun.
Biaya tersebut sangatlah membebani para peserta yang mengikuti PPG.
Mereka yang sebelum menanggung biaya kuliah yang tidak sedikit harus
membayar 12.000.000 untuk mengikuti PPG. Apalagi para lulusan sarjana
kependidikan dituntut untuk mengikuti PPGyang bertujuan untuk
menjadikan guru profesional.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut walapun
kebijakan tersebut di buat untuk meningkatkan kualitas pendidikan
nasional akan tetapi kebijakan tersebut justru memberatkan
lulusan kependidikan. Apa lagi jika kebijakan tersebut terus di jalankan
maka lulusan kependidikan tidak ada artinya karena lulusan non
kependidikan dapat menjadi guru hanya dengan PPG. Maka dari itu
hendaknya pemerintah mengadakan pengkajian ulang terhadap setiap
kebijakan pendidikan yang akan diterapkan agar tidak menimbulkan
kesenjangan dalam dunia kependidikan nasional.

Sumber: https://www.kompasiana.com/khoeroni/kontroversi-pendidikan-
profesi-guru_54f7b9c7a33311747a8b4c0c

Dari ketiga artikel di atas, dapat disimpulkan bahwa sekarang ini


MK sudah memutuskan bahwa sarjana non kependidikan bebas menjadi
guru profesional. Hal ini menimbulkan banyak pro dan kontra karena
dianggap masih perlu pertimbangan yang matang.
Sehubungan dengan fungsi pendidikan yaitu mengoper kebudayaan
ke generasi berikutnya, maka dibutuhkan tenaga pendidik yang benar-
benar profesional yang mampu mengajar atau mengoper ilmu ke anak
didiknya. Sehingga tercipta kepribadian yang baik untuk masa depan.
Pada kenyataannya, dengan ditetapkannya keputusan di atas,
bahwa sarjana non kependidikan bisa menjadi guru profesional ini secara
tidak langsung mengatakan bahwa LPTK selama ini telah gagal
melaksanakan fungsinya untuk mencetak guru-guru yang profesional
(mengerti dasar dan cara mengajar), sehingga sarjana non kependidikan
pun bebas menjadi guru.
Di sisi lain, profesi guru seakan sudah tidak begitu diistimewakan.
Hal ini karena dahulunya yang kedudukan guru sebagai profesi (dilakukan
oleh orang-orang yang profesional dalam bidangnya) sudah tidak begitu
dianggap, karena seakan guru disamakan dengan pekerjaan lain yang boleh
dilakukan oleh siapapun tanpa pendidikan yang khusus mempelajari
mengenai kependidikan atau keguruan.
Beda halnya dengan dokter dan advokat. untuk menjadi dokter,
seseorang harus lulus sarjana kedokteran dulu baru menjadi koas dan bisa
menjadi dokter. Untuk menjadi advokat harus lulus sarjana hukum baru
bisa menjadi advokat. Sedangkan untuk menjadi guru, sarjana bertitel SE
dan sebagainya pun bebas dan memiliki hak untuk menjadi guru asalkan
memiliki bakat dan minat untuk menjadi guru.
Perjuangan para mahasiswa yang benar-benar belajar di LPTK
selama 4 tahun (8 semester) seakan hanya dibayar murah oleh adanya PPG
yang hanya berlangsung selama 2 semester saja. Sarjana lulusan
kependidikan dan non kependidikan seakan disamakan dan diharuskan
mengikuti PPG untuk menjadi seorang guru.
Setiap keputusan pasti sudah melalui pemikiran dan pertimbangan
yang matang. Tetapi akan lebih baiknya jika timbul pro dan kontra dalam
pelaksanaannya, maka harus dilakukan pengkajian ulang untuk
memperoleh hasil yang memang benar-benar diharapkan.
PENUTUP

A. Simpulan
Salah satu fungsi pendidikan untuk mengoper kebudayaan dari generasi ke
generasi untuk mensosialisasikan pribadi manusia sekarang ini perlu
dipertanyakan. Masalahnya akhir-akhir ini muncul pro-kontra karena MK
telah memutuskan bahwa sarjana non kependidikan bebas menjadi guru
profesional. Padahal, untuk dapat mewujudkan fungsi pendidikan mengoper
kebudayaan ke generasi berikutnya itu membutuhkan tenaga pendidik yang
profesional (yang mampu menyalurkan ilmu dan menjelaskan ke anak didik
dengan baik dan benar). Untuk itu, penulis merasa bahwa penetapan
keputusan mengenai pembolehan sarjana non kependidikan untuk menjadi
guru profesional perlu dikaji ulang untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

B. Saran
Sebagai masyarakat yang baik harus mengetahu mana keputusan yang baik
dan keputusan yang masih perlu dikaji lebih dalam. Khusus untuk para
mahasiswa dan lulusan sarjana kependidikan, akan lebih baik jika terus
melakukan hal yang terbaik, dan menjadikan tujuan kuliah kita untuk menjadi
seorang guru menjadi tujuan yang mulia dan dihargai oleh seluruh masyarakat,
bangsa, dan negara.
DAFTAR PUSTAKA

_____. 2016. Kontroversi Pendidikan Profesi Guru. Diunduh dari:


https://www.kompasiana.com/khoeroni/kontroversi-pendidikan-profesi-
guru_54f7b9c7a33311747a8b4c0c. Diakses tanggal 11 Mei 2018.
_____. 2016. Sarjana Non Kependidikan Bebas Jadi Guru Profesional. Idunduh
dari: https://variyaka.wordpress.com/2016/05/14/sarjana-non-
kependidikan-bebas-jadi-guru-profesional/. Diakses tanggal 11 Mei
2018.
Susilo, Joko. 2017. MK Tegasakan Sarjana Non Pendidikan Bisa Jadi Guru.
Diunduh dari: https://www.antaranews.com/berita/365865/mk-tegaskan-
sarjana-non-pendidikan-bisa-jadi-guru. Diakses tangga 11 Mei 2018.
Tim Penulis. 2017. Bahan Ajar/Diktat Filsafat Pendidikan. Semarang:
Kementerian Riset, Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Universitas Negeri
Semarang (Unnes).

Anda mungkin juga menyukai