Anda di halaman 1dari 10

Yusup Firmawan, AMG

Prodi Ilmu Gizi UNISA

1. Bagaimana Pandangan Alqur’an tentang Kesehatan


Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan
kesehatan. Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk
menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan dengan “sehat”. Afiat
diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan
baik segenap badan serta bagianbagiannya (bebas dari sakit). Tentu pengertian
kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang
memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan
masyarakat. Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu
digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang
dikandung oleh kata afiat. Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna
yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri
sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh
kata yang tidak disebut. Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat
wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti “dan”
adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang
disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami
adanya perbedaan makna di antara keduanya. Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam
hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan
afiat, di samping permohonan memperoleh sehat. Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat
diartikan sebagai “perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan
tipu daya”.
Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi
mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan
sebagai: “berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.”
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya
dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun
membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat
melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari
objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
KESEHATAN FISIK
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis
kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI),
misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan
sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan


memelihara serta mengembangkannya.” Memang banyak sekali tuntunan agama yang
merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya
ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata
bahwa Rasulullah saw telah bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di
siang hari dan dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya
Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu.
Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya
badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan
isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash) Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang
bermaksud melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya
terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan
meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.” Karena itu dalam
konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi saw.
yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan. Salah satu sifat manusia yang
secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dikaitkan
dengan tobat (taubah) dalam QS al-Baqarah [2]: 222: Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu
di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS al-Baqarah
[2]: 222) Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah
menghasilkan kesehatan fisik.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah: Dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (QS
al-Muddatstsir [74]: 4-5). Perintah tersebut berbarengan dengan perintah
menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang
amat populer tentang kebersihan yang berbunyi: Kebersihan adalah bagian dari iman.
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if. Kendati begitu, terdapat sekian
banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.: Iman,
terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah ucapan “Tiada Tuhan
selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu
adalah sebagian dari iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan
bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau
di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam
konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal ‘karantina’, Nabi
Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya, Apabila kalian
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi
apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat al-
Bukhari dari Usamah bin Zaid)
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-
Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan — baik dari al-
Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun
kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf
[7]: 31) Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya: Dari
Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk
daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan
tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti
lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat
at-Tirmidzi). Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun
ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-
Harali (wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut
rijs. Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena
sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145). Kata rijs diartikan sebagai keburukan
budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh
seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity
and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown.
Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran
kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum
diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang
memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqa’i
dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.: Penyakit
adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat
pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia
yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa. Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam
memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa penyakit.
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula
obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (Hadis Riwayat Abu
Dawud dan at-Tirmidzi dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik). Bahkan
seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip-
prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam
upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan
transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia.
Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan
dimaksud.
Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah: Agama Islam bertujuan memelihara
agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia. Anggota badan dan jiwa
manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan
untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama.
Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat. Jika
bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka
dahulukanlah kepentingan orang yang hidup. Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama
kontemporer menetapkan bahwa “transplantasi” dapat dibenarkan selama tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia — yang hidup maupun yang mati –
terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak
keluarga. Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan
(awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahgunakan
kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi “pemilik” organ
(jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya
dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut
pertanggungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya: Allah tidak memandang
kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu. (Hadis Riwayat
Muslim dari Abu Hurairah) Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan
oleh Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau
enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk
membantu sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan
disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa.
Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya
penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula
peranan izin. Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan: Oleh karena itu Kami
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-
keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Maidah [5]:
32). “Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara kehidupan”, tetapi juga
dapat mencakup upaya “memperpanjang harapan hidup” dengan cara apa pun yang
tidak melanggar hukum. Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan. Namun dalam ajaran
Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab
sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi
Ibrahim a.s. yang diabadikan al Quran dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 80, Apabila aku sakit,
Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku.
KESEHATAN MENTAL Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang
diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh
dinyatakan oleh Nabi Saw: Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki
datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Setelah lelaki itu
memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi s.a.w. dan
menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah
memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang keempat, Rasulullah
s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki tersebut masih lagi menyatakan:
Aku benar-benar telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah
mulas. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah berfirman: Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalam
minuman itu terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu,
mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah
s.a.w. sendiri yang memberikan minum madu, dan sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis
Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang
lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta
pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks
(pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian. Karena
itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang,
dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara


wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong,
kemudian ‘pipis’ [kencing] membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut
dengan kasar. Namun Nabi [lalu] menegurnya, dengan bersabda: Jangan hentikan
pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air,
tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa sebagian kompleksitas gejala
sakit kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya adalah
pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa. Agaknya kita dapat menyimpulkan
bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang
boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
Dalam al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fî qulûbihim maradh. Kata
qalb atau qulûb dipahami dalam dua makna, yaitu “akal dan hati.” Sedang kata maradh
biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa – Ibnu Faris – mendefinisikan
kata tersebut sebagai “segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas
keseimbangan/ kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan
kepada tidak sempurnanya amal seseorang.” Terlampauinya batas kesimbangan tersebut
dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan. Dari sini
dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang
menimpa hati dan yang menimpa akal. Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk
berlebihan adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan
adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat bersifat
tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal-ganda (jâhil murakkab).
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan
kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat.
Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan
karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah
diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya. Yang akan memperoleh keberuntungan
di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti
bunyi firman Allah dalam QS al Syu’arâ’ [26]: 88-89, (Yaitu) di hari harta dan anak-anak
laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih. Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang sehat dari segala
macam penyakit adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan
(Allah). Karena itulah Allah berfirman: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS al-Ra’d [13]: 28).
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

2. Kiat Sehat Menurut Alqur’an


Sehat dan sakit adalah dua bagian kehidupan manusia yang saling bertentangan serta
tidak bisa kita hindari, karena keduanya memang merupakan bagian dari sunnatullah
yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Allah menyatakan, "Segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah (
Surah Al-Dzariyat ayat 49).
A. Konsep Hidup Sehat Sehat (Arab"Al-shihah”), dalam Islam bukan hanya merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah fisik (jasmani), melainkan juga
menyangkut psikis (jiwa). Karena itulah mengapa Islam memperkenalkan konsepsi al-
Shihhah wa al-afiyat (lazim diucapkan sehat wal'afiat).
B. Maksud dari konsep itu yakni suatu kondisi sehat di mana seseorang mengalami
kesehatan yang paripurna, jasmani, dan rohani atau fisik dan psikis. Jika makna sehat
seluruhnya berhubungan dengan masalah fisik-ragawi, maka makna al-afiat ialah
segala bentuk perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam tipu daya.
Atau, menurut istilah Quraish Shihab ialah berfungsi bagi seluruh anggota tubuh
manusia sesuai dengan tujuan pencipta-Nya.
C. Penerapan Pola Hidup Sehat Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana cara
menerapkan pola hidup sehat itu di dalam kehidupan kita masing-masing, berikut ini
dapat kita ikuti beberapa terapi yang diajarkan oleh Islam kepada umat manusia:
Pertama, senantiasa memelihara kebersihan dzahir dan bathin. Kebersihan adalah
pangkal kesehatan, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: Al-nadhafatu min al-
iman (kebersihan itu sebagian dari iman). Yang paling esensial dari kebersihan diri itu
adalah kebersihan hati, jiwa (qalb), dan pikiran (aql). Dalam berbagai kenyataan, kita
sering menemukan ada saja di antara orang yang mudah berburuk sangka (su'udzan)
atau suka curiga kepada orang lain. Bahkan ada yang sampai berburuk sangka kepada
Allah, Na'udzu bi Allah min dzalik. Dari lubuk hati yang bersih serta akal yang sehat,
seseorang akan memperoleh kesehatan yang sempurna. Bukankah banyak orang yang
mengalami gangguan kesehatan disebabkan oleh faktor tidak sehatnya kedua hal
tersebut? Maka, tidak mengherankan jika para dokter menyarankan setiap pasiennya
yang mengalami stres (ketegangan) untuk hidup secara teratur, mengurangi, bahkan
tidak membebani diri dengan pikiran dan perasaan yang berat-berat. Saran seperti itu,
sebenarnya telah kita kenal sejak lama melalui konsepsi, al-'aql al-salim fi al-jism al-
salim (akal yang sehat akan membuahkan jiwa yang sehat pula). Di dalam banyak ayat
Alquran, Allah mengisyaratkan betapa urgensnya kita memelihara kebersihan hati dan
jiwa itu. Misal, firman-Nya, ”Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya
Dia akan memberi petunjuk hatinya” ( TQS Al-Tagabun 64:11). Hati yang tidak bersih
akan sulit sekali untuk menerima petunjuk petunjuk Allah, dan itu merupakan
penyakit yang amat berbahaya. Untuk menjaga kebersihan hati sekaligus
menghindarkan dari hal seperti itu, maka Allah mengajari kita selalu bermohon
kepada-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi
Karunia (TQS Ali 'Imran ayat 8). Kedua, hendaknya kita mencari nafkah yang halal dan
thayyib, kemudian mengonsumsinya pula secara yang halal dan baik. Nafkah yang
halal bukanlah sesuatu yang semata-mata berhubungan dengan hasil jerih payah
pekerjaan seseorang, melainkan juga berhubungan dari mana sumber dan dari mana
kita memperolehnya. Sebab dalam banyak kenyataan, seringkali ada di antara kita
berpikir "yang penting uang” tidak terpikirkan bagaimana dan apa akibat spiritualnya
pernyataan seperti itu. Mengenai petunjuk kehalalan dan kebaikan sesuatu yang
hendak kita konsumsi itu, antara lain Allah mengisyaratkan bahwa: “Wahai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan
janganlah kita mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu” (TQS Al-Baqarah ayat 68). Sebagai contoh,
daging yang baik untuk dikonsumsi antara lain dilihat dan ditentukan pula dari
bagaimana proses penyembelihannya, apakah sesuai dengan ajaran Allah atau tidak
(Alquran Surah Al-Maidah ayat 5). Ketiga, memohon perlindungan dan kesehatan
kepada Allah atas apa yang kita konsumsi. Setiap kali memulai kegiatan makan atau
minum secara proporsional "makan dan minumlah, dan janganlah berlebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan", demikian
peringatan dari Allah swt. Kemudian, dahuluilah dengan permohonan kepada Allah,
semoga apa yang hendak kita konsumsi itu, dijauhkan dari berbagai macam penyakit
melainkan sebaliknya akan mendatangkan kesegaran dan kebugaran tubuh. Sebab
pada dasarnya makan serta minum itu, bertujuan untuk menyehatkan tubuh dan
mengganti sel-sel yang diperlukan oleh setiap organ tubuh. Hakikat rezeki yang kita
peroleh dan konsumsi itu dari Allah juga. Karenanya, pedoman dalam menciptakan
pola konsumsi itu, misalnya Allah menyatakan harus proporsional (Alquran surah Al-
A'raf ayat 31). Demikian pula Nabi Muhammad saw. memberi isyarat dan contoh
untuk itu, misalnya, Makanlah pada saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Memang pola konsumsi masyarakat kita selama ini masih pada taraf makan untuk
sekadar kenyang bukan untuk kesehatan. Kita makan tidak beraturan waktunya, dan
lain-lain. Padahal kalau kita telusuri soal ini, maka dalam salah satu hadis Nabi
Muhammad saw. riwayat Muslim dinyatakan, "Perut itu adalah tempatnya bersarang
penyakit dan pengaturan makanan adalah obat utama. Maka, pantaslah jika kemudian
beliau sering kali melaksanakan ibadah puasa sunah, yang selanjutnya perlu kita
teladani, terutama setiap hari Senin dan Kamis. Keempat, memelihara keteraturan
hidup. Seringkali ada orang yang mudah terkena penyakit, karena penyebabnya ia
tidak memiliki disiplin diri terhadap makan, tidur, istirahat, bekerja dan berolahraga.
Umumnya masyarakat kita masih lebih mengutamakan tampilan lahiriah daripada
pemenuhan gizi makanan dan kalau sudah sibuk bekerja sampai lupa jadwal makan.
Akibatnya lambung dan usus terganggu, maag, kekurangan gizi, dan sebagainya. Nanti
memeriksakan kesehatannya pada waktu sakit. Padahal Islam menerapkan suatu
perinsip al-wiqayat khayr mi al-ilaj (pencegahan lebih baik dari mengobati). Kelima,
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

perbanyak mengonsumsi buah-buahan, sayuran yang segar, serta sering meminum


madu. Buah-buahan sering diibaratkan Allah SWT dengan "makanan surga".
Mengapa? Dalam ayat ditemukan misalnya Allah menyatakan, "Dan Kami jadikan
kepadanya kebun-kebun kurma dan anggur dan pancarkan padanya beberapa mata
air, supaya mereka makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan
mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur (TQS Yaasin ayat 1-3). Bahkan
di dalam Al-Duhhan/44:55, Allah ta'ala berfirman, "Di dalamnya mereka meminta
segala macam buah buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran)." Adapun
madu, Allah menyatakan pula secara eksplisit bahwa madu itu adalah syifa (obat).
Firman-Nya: “Kemudian makanlah dari (tiap-tiap macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada apa yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang yang mau
memikirkan. (TQS An-Nahl ayat 69). Keenam, hendaknya kita sering membaca dan
mengikuti ajaran Alquran. Membaca Alquran adalah bagian dari zikir kepada Allah,
sedangkan zikir mendatangkan ketenangan jiwa. "Sesungguhnya dengan mengingat
Allah, jiwa akan memperoleh ketenangan." (Alquran surah Al-Ra'd ayat 28, Alquran
Surah Yunus ayat 57). Namun dalam banyak hal, terkadang manusia baru menjadikan
Alquran sebagai barang antik sehingga jarang disentuh apalagi untuk ditelaah isinya.
Padahal kalam Allah itu adalah hudan (petunjuk) bagi hidup dan kehidupan umat
manusia. Salah satu fungsinya, Alquran sebagai obat yang mujarab untuk mengobati
penyakit, terutama kejiwaan seseorang yang dilanda rasa gundah gulana. Kiranya
dapat kita pahami bahwa secara umum Allah swt telah menyatakan bahwa semua
penyakit ada obatnya. Seperti tersurat melalui pernyataan Nabi Ibrahim as. Bahwa,
"Apabila aku (Ibrahim as) sakit, Dialah yang menyembuhkan aku" (TQS As-Syu'ara
ayat 80). Demikian halnya dengan penjelasan Rasulullah saw. bahwa, "Berobatlah,
karena tiadalah suatu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya selain satu penyakit, yaitu ketuaan".
D. Tentang Semboyan “Dalam Tubuh yang Sehat tedapat Jiwa yang Sehat” Mensana
incorpore sano; Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang. Semboyan ini sangat
terkenal, sehingga banyak orang yang percaya begitu saja padanya, tanpa disertai
sikap kritis sama sekali. Apakah setiap orang yang memiliki fisik yang baik dan sehat,
otomatis jiwanya menjadi baik dan sehat pula? Tidak ada penjelasan ilmiah sama
sekali yang mendukung “kebenaran” semboyan ini. Justru banyak orang yang berfisik
sehat dan kuat, namun jiwa mereka kotor (suka iri, dengki, pendendam, dan
sebagainya), atau hidup mereka penuh dengan kegiatan maksiat. Dalam buku
postmodernisme, di sana disebutkan bahwa falsafah Yunani saat ini demikian
merasuki budaya hampir seluruh umat manusia. Dalam falsafah Yunani, unsur fisik
manusia menempati posisi yang amat terhormat, bahkan lebih terhormat dari unsur
spiritual. Kita bisa mengumpulkan sejumlah fakta mengenai hal ini. Olimpiade (pesta
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA

olahraga sedunia) misalnya, berasal dari budaya Yunani. Stadion olahraga dan
gymnasium pun berakar dari budaya Yunani. Kini, implementasi budaya Yunani ini
dapat kita saksikan dari maraknya kegiatan kontes kecantikan, pemberian gelar
“Pahlawan Bangsa” bagi para olahragawan yang berprestasi, dan masih banyak lagi.
Memang, Islam sama sekali tidak anti olahraga. Setiap orang tentu senang jika
memiliki tubuh yang sehat, kuat, tak mudah terserang penyakit. Namun janganlah
faktor fisik terlalu diagung-agungkan, seolah-olah tak ada yang lebih penting di dunia
ini ketimbang kesehatan, keindahan, dan kekuatan fisik. Kita perlu menjaga kesehatan
dan kekuatan fisik, yang tujuannya agar aktivitas ibadah kita semakin lancar. Jadi kita
berolah raga pun diniatkan untuk ibadah Orang yang selalu tawakal, berpikiran positif,
dan selalu menjaga kesucian hatinya, Insya Allah pikirannya akan tenang, aliran
darahnya lancar, dan jantungnya berdetak dengan normal. Sementara orang yang
suka negative thinking, pendendam, iri, gampang emosi, jantungnya sering berdebar-
debar, maka perasaannya jadi gelisah, dan metabolisme tubuhnya menjadi tidak
teratur. Kondisi ini merupakan lahan subur bagi berkembangnya berbagai jenis
penyakit. Kalau mau bukti, coba rasakan bagaimana kondisi tubuh Anda ketika Anda
marah atau membenci seseorang. Rasakan bagaimana debaran jantung dan aliran
darah Anda. Coba bandingkan dengan situasi ketika Anda tenang, tawakal, dan
bersabar. Jadi jelas bahwa kesehatan jiwalah yang bisa berpengaruh terhadap
kesehatan fisik (bukan sebaliknya, sebagaimana tercermin pada semboyan Yunani
Kuno di atas). Memang, jiwa yang sehat tidak bisa menjamin seratus persen bahwa
fisik kita pun akan selalu sehat. Punya pikiran sehat tapi makanannya mengandung
banyak kuman, dan rumah kotor tidak terawat, ya tetap saja tidak sehat. Tapi
setidaknya, dengan menjaga kesehatan dan kesucian jiwa kita, Insya Allah dapat
membantu meningkatkan kesehatan dan kekuatan fisik kita.

Anda mungkin juga menyukai