Tugas Alqur'An
Tugas Alqur'An
mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi
apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat al-
Bukhari dari Usamah bin Zaid)
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-
Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan — baik dari al-
Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun
kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf
[7]: 31) Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya: Dari
Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk
daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan
tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti
lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat
at-Tirmidzi). Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun
ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-
Harali (wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut
rijs. Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena
sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145). Kata rijs diartikan sebagai keburukan
budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh
seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity
and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown.
Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran
kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum
diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang
memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqa’i
dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.: Penyakit
adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat
pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA
makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia
yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa. Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam
memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa penyakit.
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula
obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (Hadis Riwayat Abu
Dawud dan at-Tirmidzi dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik). Bahkan
seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip-
prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam
upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan
transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia.
Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan
dimaksud.
Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah: Agama Islam bertujuan memelihara
agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia. Anggota badan dan jiwa
manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan
untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama.
Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat. Jika
bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka
dahulukanlah kepentingan orang yang hidup. Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama
kontemporer menetapkan bahwa “transplantasi” dapat dibenarkan selama tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia — yang hidup maupun yang mati –
terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak
keluarga. Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan
(awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahgunakan
kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi “pemilik” organ
(jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya
dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut
pertanggungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya: Allah tidak memandang
kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu. (Hadis Riwayat
Muslim dari Abu Hurairah) Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan
oleh Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau
enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk
membantu sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan
disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa.
Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya
penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula
peranan izin. Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan: Oleh karena itu Kami
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-
keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Maidah [5]:
32). “Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara kehidupan”, tetapi juga
dapat mencakup upaya “memperpanjang harapan hidup” dengan cara apa pun yang
tidak melanggar hukum. Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan. Namun dalam ajaran
Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab
sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi
Ibrahim a.s. yang diabadikan al Quran dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 80, Apabila aku sakit,
Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku.
KESEHATAN MENTAL Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang
diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh
dinyatakan oleh Nabi Saw: Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki
datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Setelah lelaki itu
memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi s.a.w. dan
menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah
memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang keempat, Rasulullah
s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki tersebut masih lagi menyatakan:
Aku benar-benar telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah
mulas. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah berfirman: Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalam
minuman itu terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu,
mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah
s.a.w. sendiri yang memberikan minum madu, dan sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis
Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang
lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta
pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks
(pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian. Karena
itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang,
dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA
kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi
Karunia (TQS Ali 'Imran ayat 8). Kedua, hendaknya kita mencari nafkah yang halal dan
thayyib, kemudian mengonsumsinya pula secara yang halal dan baik. Nafkah yang
halal bukanlah sesuatu yang semata-mata berhubungan dengan hasil jerih payah
pekerjaan seseorang, melainkan juga berhubungan dari mana sumber dan dari mana
kita memperolehnya. Sebab dalam banyak kenyataan, seringkali ada di antara kita
berpikir "yang penting uang” tidak terpikirkan bagaimana dan apa akibat spiritualnya
pernyataan seperti itu. Mengenai petunjuk kehalalan dan kebaikan sesuatu yang
hendak kita konsumsi itu, antara lain Allah mengisyaratkan bahwa: “Wahai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan
janganlah kita mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu” (TQS Al-Baqarah ayat 68). Sebagai contoh,
daging yang baik untuk dikonsumsi antara lain dilihat dan ditentukan pula dari
bagaimana proses penyembelihannya, apakah sesuai dengan ajaran Allah atau tidak
(Alquran Surah Al-Maidah ayat 5). Ketiga, memohon perlindungan dan kesehatan
kepada Allah atas apa yang kita konsumsi. Setiap kali memulai kegiatan makan atau
minum secara proporsional "makan dan minumlah, dan janganlah berlebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan", demikian
peringatan dari Allah swt. Kemudian, dahuluilah dengan permohonan kepada Allah,
semoga apa yang hendak kita konsumsi itu, dijauhkan dari berbagai macam penyakit
melainkan sebaliknya akan mendatangkan kesegaran dan kebugaran tubuh. Sebab
pada dasarnya makan serta minum itu, bertujuan untuk menyehatkan tubuh dan
mengganti sel-sel yang diperlukan oleh setiap organ tubuh. Hakikat rezeki yang kita
peroleh dan konsumsi itu dari Allah juga. Karenanya, pedoman dalam menciptakan
pola konsumsi itu, misalnya Allah menyatakan harus proporsional (Alquran surah Al-
A'raf ayat 31). Demikian pula Nabi Muhammad saw. memberi isyarat dan contoh
untuk itu, misalnya, Makanlah pada saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Memang pola konsumsi masyarakat kita selama ini masih pada taraf makan untuk
sekadar kenyang bukan untuk kesehatan. Kita makan tidak beraturan waktunya, dan
lain-lain. Padahal kalau kita telusuri soal ini, maka dalam salah satu hadis Nabi
Muhammad saw. riwayat Muslim dinyatakan, "Perut itu adalah tempatnya bersarang
penyakit dan pengaturan makanan adalah obat utama. Maka, pantaslah jika kemudian
beliau sering kali melaksanakan ibadah puasa sunah, yang selanjutnya perlu kita
teladani, terutama setiap hari Senin dan Kamis. Keempat, memelihara keteraturan
hidup. Seringkali ada orang yang mudah terkena penyakit, karena penyebabnya ia
tidak memiliki disiplin diri terhadap makan, tidur, istirahat, bekerja dan berolahraga.
Umumnya masyarakat kita masih lebih mengutamakan tampilan lahiriah daripada
pemenuhan gizi makanan dan kalau sudah sibuk bekerja sampai lupa jadwal makan.
Akibatnya lambung dan usus terganggu, maag, kekurangan gizi, dan sebagainya. Nanti
memeriksakan kesehatannya pada waktu sakit. Padahal Islam menerapkan suatu
perinsip al-wiqayat khayr mi al-ilaj (pencegahan lebih baik dari mengobati). Kelima,
Yusup Firmawan, AMG
Prodi Ilmu Gizi UNISA
olahraga sedunia) misalnya, berasal dari budaya Yunani. Stadion olahraga dan
gymnasium pun berakar dari budaya Yunani. Kini, implementasi budaya Yunani ini
dapat kita saksikan dari maraknya kegiatan kontes kecantikan, pemberian gelar
“Pahlawan Bangsa” bagi para olahragawan yang berprestasi, dan masih banyak lagi.
Memang, Islam sama sekali tidak anti olahraga. Setiap orang tentu senang jika
memiliki tubuh yang sehat, kuat, tak mudah terserang penyakit. Namun janganlah
faktor fisik terlalu diagung-agungkan, seolah-olah tak ada yang lebih penting di dunia
ini ketimbang kesehatan, keindahan, dan kekuatan fisik. Kita perlu menjaga kesehatan
dan kekuatan fisik, yang tujuannya agar aktivitas ibadah kita semakin lancar. Jadi kita
berolah raga pun diniatkan untuk ibadah Orang yang selalu tawakal, berpikiran positif,
dan selalu menjaga kesucian hatinya, Insya Allah pikirannya akan tenang, aliran
darahnya lancar, dan jantungnya berdetak dengan normal. Sementara orang yang
suka negative thinking, pendendam, iri, gampang emosi, jantungnya sering berdebar-
debar, maka perasaannya jadi gelisah, dan metabolisme tubuhnya menjadi tidak
teratur. Kondisi ini merupakan lahan subur bagi berkembangnya berbagai jenis
penyakit. Kalau mau bukti, coba rasakan bagaimana kondisi tubuh Anda ketika Anda
marah atau membenci seseorang. Rasakan bagaimana debaran jantung dan aliran
darah Anda. Coba bandingkan dengan situasi ketika Anda tenang, tawakal, dan
bersabar. Jadi jelas bahwa kesehatan jiwalah yang bisa berpengaruh terhadap
kesehatan fisik (bukan sebaliknya, sebagaimana tercermin pada semboyan Yunani
Kuno di atas). Memang, jiwa yang sehat tidak bisa menjamin seratus persen bahwa
fisik kita pun akan selalu sehat. Punya pikiran sehat tapi makanannya mengandung
banyak kuman, dan rumah kotor tidak terawat, ya tetap saja tidak sehat. Tapi
setidaknya, dengan menjaga kesehatan dan kesucian jiwa kita, Insya Allah dapat
membantu meningkatkan kesehatan dan kekuatan fisik kita.