1
BAB I
PENDAHULUAN
2
PMH termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran karena pengobatan ini
dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi
oksigen yang tinggi. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan PMH maupun
sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi
atau kerusakan surfaktan.2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
4
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi
lahir dan akan bertambah berat. 2
2.2 Epidemiologi
5
2.3 Etiologi
Penyakit membran hialin atau sindroma gawat napas bayi baru lahir adalah
suatu penyakit yang menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi prematur
dapat disebabkan karena kekurangan surfaktan. Kekurangan surfaktan ini
menyebabkan kegagalan pengembangan kapasitas residu fungsional dan
kecenderungan paru-paru untuk mengalami atelektasis, ketidaksesuaian antara
ventilasi dan perfusi, hipoksemia, hiperkarbia yang dapat menyebabkan asidosis
respiratorik. Asidosis ini menyebabkan vasokonstriksi yang merusak integritas
endotel dan epitel paru menghasilkan kebocoran eksudat yang kemudian
membentuk suatu membran hialin.3
Penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan (BKB) terjadi karena
pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan surfaktan. Tanpa
surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga menyebabkan
gagal nafas pada neonatus. Berbagai faktor ibu dan bayi berperan sebagai faktor
risiko untuk terjadinya PMH pada BKB namun sebagian di antaranya masih
kontroversial. 3
Penyakit membran hialin disebabkan oleh penurunan fungsi dan
pengurangan jumlah surfaktan. Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein
yang terdiri dari fosfolipid seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan
apoprotein (protein surfaktan; PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epitelial
alveolar tipe II dan sel Clara yang semakin banyak jumlahnya seiring dengan
umur kehamilan yang bertambah. Komponen-komponen ini selanjutnya disimpan
di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk
mengurangi tegangan permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu
mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur
kehamilan 35 minggu. Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka
fungsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas pada bayi
prematur, jumlah surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi
kebutuhan saat lahir. Surfaktan yang jumlahnya tidak mencukupi atau tidak ada
ini, menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus
6
dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang dan bayi
berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di antara
upaya pernapasan. Bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan hipoventilasi.
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi prematur yang
mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan dinding dada lemah
dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia sehingga menyebabkan peningkatan
gagal napas sehingga, dapat disimpulkan bahwa penyakit membran hialin
disebabkan oleh adanya atelektasis dari tiga faktor yang saling berhubungan: a)
tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal dan
defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan b) fungsi unit pernapasan yang
masih kecil, dan c) Dinding dada bayi yang masih lemah. 3
PMH yang terjadi pada bayi kurang bulan tersebut bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat. Pada PMH ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik
sedangkan PMH berat memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat
PMH, semakin berat keterlibatan kardiovaskular. Terapi optimal PMH menuntut
teknologi canggih yakni pemberian ventilasi mekanik dengan atau tanpa
pemberian surfaktan eksogen.2
Kelainan kardiovaskular pada PMH ringan belum terlalu banyak diteliti,
sedang pada PMH berat kelainan kardiovaskular yang dijumpai antara lain
disfungsi faal sistolik dan diastolik ventrikel kiri dan kanan, hipertensi pulmonal
persisten, penurunan isi sekuncup dan curah jantung, bahkan bisa menyebabkan
hipotensi sampai syok. 3
Kelainan kardiovaskular yang lain adalah gangguan faal jantung seperti
penurunan pengisian ventrikel kiri, periode pra-ejeksi yang memanjang, dan
waktu ejeksi yang memendek. Masalah kardiovaskular lain yang terjadi pada bayi
yang sembuh dari PMH adalah terjadinya duktus arteriosus persisten (DAP).
Dengan bertambahnya harapan hidup bayi berat lahir rendah, terlihat pula
peningkatan jumlah bayi dengan DAP. Karena gangguan faal kardiovaskular pada
SGNN berhubungan dengan proses pematangan paru, dalam hal ini defisiensi
surfaktan, maka prognosis kelainan kardiovaskular pada PMH berkaitan erat
dengan tingkat kelainan paru. Didapati penurunan kematian pada bayi dengan
7
berat lahir 1500 gram dan masa kehamilan > 34 minggu, bahkan tercatat tingkat
kematian 0% untuk bayi berat lahir 1500 gram dan 25% untuk bayi berat lahir
lebih kecil. Memang perawatan intensif dapat menurunkan angka kematian, tetapi
disisi lain dapat menambah kelainan neurologis dan kelainan perkembangan, baik
mental maupun kognitif di masa depan, yang sulit diperbaiki.3
2.4 Patofisiologi
8
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD). 2
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin
dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka
surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat
memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi
stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada
akhir minggu pertama. 2
Surfaktan sebagai bahan aktif pemukaan ini akan dilepaskan ke dalam
alveoli, dimana mereka akan mengurangi tegangan permukaan dan membantu
mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah runtuhnya ruang udara
kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan
yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin mengalami homogenasi pada
usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai permukaan paru-paru sampai
nanti ia muncul dalam cairan amnion pada waktu di antara 28-32 minggu. Tingkat
maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu. 2
Asidosis dan atelectasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah
dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan. 2
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
yang terdiri dari penurunan aliran, transudasi, asidosis, hipoksia, atelectasis,
hambatan pembentukkan substansi surfaktan, darah paru. Hal ini akan
berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi. 2
9
BBLR dengan GA 8 minggu
Prematur
10
2.5 Manifestasi Klinik
2.6 Diagnosis
11
a. Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum
sangat diperlukan, antara lain tentang hal:2
1) Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, dysplasia pulmoner, trauma persalinan, kongesti nasal,
depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat, paralisis
nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal,
bayi lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
2) Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,
miastenia.
3) Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatica.
4) Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, ketuban pecah dini, oligohidroamnion, penggunaan obat
selama kehamilan. 2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti: 2
1) Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala menonjol.
2) Sianosis
3) Retraksi
4) Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia choana, ditandai
kesulitan memasukan pipa nasogastric melalui hidung.
5) Air ketuban bercampur meconium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat.
6) Abdomen mengempis (scaphoid abdomen). 2
12
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Analisa Gas Darah
a) Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 >50 mmHg, PaO2 <60 mmHg, atau saturasi oksigen
arterial <90%.
b) Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih
dari 20 menit, darah arterial lebih dianjurkan.
c) Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah
dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
d) Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis
respiratorik dan keadaan hipoksia.
e) Asidosis respiratorik terjadi karena atelectasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah.
f) Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobik. Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui
pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
g) Pulse oximeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau
saturasi oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.2
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
rasio L/S (lecithin sphingomyelin ratio) yang dilakukan pada air
ketuban yang diperoleh dengan cara amniosentesis, atau dari aspirasi
trakea dan lambung, dan deteksi fosfatidil gliserol yang menunjukkan
kematangan paru.
b) Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolik untuk hiperkapnea kronik.
c) Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
13
d) Kelainan elektrolit dapat juga diakibatkan karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan
gangguan kontraksi otot. 2
3) Radiologi
Penilaian kondisi paru neonatus yang akurat sedini mungkin pada
foto polos toraks akan memungkinkan diagnosis yang akurat pula sehingga
dapat diberikan terapi yang tepat dan cepat pada neonatus. Dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat maka morbiditas dan mortalitas
karena penyakit membran hialin dapat diturunkan. Disamping itu, selain
sebagai modalitas diagnostik, evaluasi keberhasilan terapi juga dapat
dinilai dengan menggunakan gambaran yang ditemukan pada foto polos
toraks. 2
Pemeriksaan radiologis dengan foto polos toraks memiliki
sensitivitas sebesar 89,1%, spesifisitas sebesar 86,9% dan akurasi
diagnostik sebesar 88,7% dalam mendiagnosis penyakit membran hialin,
dimana gambaran radiologis penyakit membran hialin pada foto polos
toraks tergantung dari beratnya penyakit, dengan inflasi pulmo yang buruk
sebagai tanda kardinalnya. 2
Gambaran radiologi paru pada bayi baru lahir dengan penyakit
membran hialin adalah gambaran serbuk kaca (ground glass) atau
retikulogranuler yang difus dan halus, volume paru kecil, serta
bronkogram udara yang sering lebih jelas pada lobus bagian bawah dan
pada jam pertama kelahiran, mungkin didapatkan gambaran yang normal.
Tanda khas tersebut biasanya ada pada 6-12 jam berikutnya. Apabila
diberikan CPAP kemungkinan terdapat variasi pada foto paru. Neontaus
yang diberikan CPAP dapat mempunyai gambaran yang lebih baik, paru
terisi udara dengan tanpa bronkogram udara. Bayi baru lahir yang
mempunyai satdium yang lebih berat, mungkin tidak mampu
mengembangkan parunya yang terlihat lebih opak. Ukuran jantung pada
14
umumnya normal, tetapi bisa tampak membesar karena berkurangnya
volume paru dan bayangan timus yang masih besar. 2
Gambaran radiologis kelainan paru pada PMH dibagi atas 4 derajat
yaitu derajat 1 pola retikulogranular (PRG), derajat 2 bronkogram udara
(BGU), derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih berat dengan
mediastinum melebar, derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak
putih (white lung) 2.
Berdasarkan foto thoraks, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu: 2
a) Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara.
b) Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c) Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d) Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat
dilihat. 2
15
Gambar 2. Foto Thoraks 4 Stadium Penyakit Membran Hialin
16
terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus. Kebermaknaan uji
kocok cairan lambung dinilai dari tidak terbentuknya gelembung udara (uji
kocok cairan lambung negatif) pada sampel cairan lambung neonatus yang
dicampur dengan alkohol absolut (95%) dan cairan salin fisiologis.
Sensitivitas dan spesifisitas uji kocok cairan lambung dalam menilai ada
tidaknya surfaktan dan memprediksi terjadinya penyakit membran hialin
menurut Chaudari et al. adalah sebesar 70% dan 100% dengan nilai
prediktif positif sebesar 100%, sedangkan menurut Iranpour et al. uji
kocok cairan lambung memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 66%, nilai
prediktif positif 64,5%, dan nilai prediktif negatif 100%.2
Selain foto polos toraks yang telah dikenal luas, dewasa ini uji
kocok cairan lambung telah menjadi salah satu bagian dari prosedur
penatalaksanaan penyakit membran hialin pada neonatus, terutama di
sarana pelayanan kesehatan rujukan. Dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediktif positif dan nilai prediktif negatif uji kocok cairan lambung yang
telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, tidak dapat dipungkiri bahwa
hasil uji kocok cairan lambung merupakan parameter yang handal untuk
memprediksi terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus dengan
sindrom gawat nafas (respiratory distress syndrome). 2
17
2.8 Penatalaksanaan
18
telah dilakukan. Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pasien yang diobati dengan
surfaktan dan kelompok kontrol yang tidak diobati. Ada bukti menunjukkan
bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan ventilator total telah
berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia kehamilan,
walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat rendah. 4
Dosis yang direkomendasi untuk penggunaan surfaktan eksogen: 4
Produk Dosis Dosis Tambahan
Calfactant 3 ml/kgBB lahir Mungkin dapat diulang 12 jam
diberikan dalam 2 dosis sampai dosis 3 kali berturut-turut
dengan interval 12 jam bila ada
indikasi.
Beractant 4 ml/kgBB lahir Mungkin dapat diulang minimal
diberikan dalam 4 dosis total 4 dosis dalam waktu 48 jam
setelah lahir.
c. Dukungan Pernapasan
Intubasi endotracheal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan PMH yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 x/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Tekanan
terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen inspirasi
diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada jaringan
parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernapasan dapat mengurangi barotrauma. 4
d. Dukungan Cairan dan Nutrisi
Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan
dukungan gizi dengan nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang.
Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan telah dipahami dengan
baik, dan persiapan nutrisi yang tersedia mencerminkan pemahaman ini. 4
19
e. Terapi Antibiotik
Antibiotik yang mencakup infeksi neonatal yang paling sering biasanya
dimulai secara awal. Dosis interval aminoglikosida ditingkatkan untuk bayi
prematur. 4
2.9 Komplikasi
20
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi.
b. Retinopathy prematur: kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi
yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi. 5
2.10 Prognosis
Bayi dengan PMH, 80 – 90% bertahan hidup, dan sebagian besar korban
memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan
pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan
penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernapasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun
sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami
laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktivitas atau metakolin. Bayi prematur
dengan gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki gangguan
perkembangan dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan
neonatal. 5
21
BAB III
PENUTUP
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosim, M.S., 2014. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Tobing, 2014. Sindrom Gawat Napas Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1,
Juni 2014. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-6.pdf>.
3. Anggraini, 2013. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan Penyakit
Membran Hialin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada – RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Diakses pada 30
Desember 2015 di <http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/15-2-3.pdf>.
4. Risa dkk., 2012. Pemberian Surfaktan pada Bayi Prematur dengan
Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.
Unair/RSUD Dr. Soetomo. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://old.pediatrik.com/buletin/06224113905-76.pdf>.
5. Rahmalia, M., 2012. Kematian Bayi Baru Lahir dengan Penyakit Membran
Hialin yang diberi CPAP. Diakses pada 30 Desember 2015 di +-
<http://eprints.undip.ac.id/46248/3/mustika_rahmalia_22010111110148.pdf>.
23
REFERAT JANUARI 2016
24