Anda di halaman 1dari 24

REFERAT JANUARI 2016

PENYAKIT MEMBRAN HIALIN


(HYALINE MEMBRANE DISEASE)

NAMA : BULAN PUTRI PERTIWI


STAMBUK : N 111 15 013
PEMBIMBING : dr. SULDIAH, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Distres respirasi atau gangguan napas merupakan masalah yang sering


dijumpai hari pertama kehidupan BBL, ditandai dengan takipnea, napas cuping
hidung, retraksi intercostal, sianosis dan apneu. Gangguan napas yang sering
salah satunya karena Respiratory Distress Syndrome (RDS). Respiratory Distress
Syndrome (RDS) atau Sindrom Gangguan Napas dikenal juga sebagai Penyakit
Membran Hialin (PMH), hampir terjadi sebagian besar pada bayi baru lahir.
Insidens dan derajat penyakit ini berhubungan erat dengan umur kehamilan.1
Penyakit Membran Hialin (PMH) disebut juga Sindrom Gangguan
Pernapasan (SGP), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Penyebab
terbanyak terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Penyebab
terbanyak dari angka morbiditas dan mortalitas pada bayi premature adalah PMH.
Sekitar 5-10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat
badan lahir 500 – 1500 gram. PMH merupakan salah satu penyebab utama
kematian bayi selama periode baru lahir.2
Penyakit membran hialin biasanya muncul dalam beberapa menit setelah
bayi lahir yang ditandai dengan pernapasan cepat, frekuensi lebih dari 60x/menit,
pernapasan cuping hidung, retraksi intercostal, suprasternal, dan epigastrium.
Manifestasi dari PMH disebabkan adanya atelectasis alveoli, edema, dan
kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Faktor yang mempermudah
terjadinya PMH adalah persalinan kurang bulan, asfiksia intrauterin, tindakan
section caesaria, diabetes mellitus dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan
sebelumnya, kelahiran yang dipercepat setelah perdarahan antepartum, serta
riwayat sebelumnya dengan penyakit membran hialin.3
Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertama kali oleh Avery dan Mead
padaa 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya PMH. Penemuan surfaktan untuk

2
PMH termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran karena pengobatan ini
dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi
oksigen yang tinggi. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan PMH maupun
sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi
atau kerusakan surfaktan.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Membran Hialin (PMH) adalah nama lain untuk Sindrom


Gangguan Napas (SGN) atau Respiratory Distress Syndrome (RDS). Ini adalah
diagnosis klinis pada bayi baru lahir prematur dengan kesulitan pernapasan,
termasuk takipnea (>60 x/menit), retraksi dada, dan sianosis di ruangan biasa yang
menetap atau berlangsung selama 48-96 jam pertama kehidupan, dan gambaran
foto rontgen dada yang karakteristik (pola retikulogranular seragam dan
bronkogram udara perifer).1
Menurut Petty dan Asbaugh, definisi dan kriteria RDS bila didapatkan
sesak napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis
yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,
adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thoraks dan adanya
atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline
membran pada saat otopsi. Sedangkan menurut Murray et.al, disebut RDS bila
ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan
paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ
non pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al, bila onset akut, ada infiltrat bilateral
pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg dan tidak ada bukti secara
klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 :
FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang
ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS. 2
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD)
didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada
paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap

4
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi
lahir dan akan bertambah berat. 2

2.2 Epidemiologi

Penyakit membran hialin (PMH) atau dikenal juga dengan hyaline


membrane disease (HMD) adalah penyakit pernafasan akut yang diakibatkan oleh
defisiensi surfaktan pada neonatus preterm, yaitu neonatus yang lahir pada umur
kehamilan kurang dari 37 minggu. Defisiensi surfaktan pada pulmo akan
menyebabkan tingginya tegangan permukaan alveolar sehingga pada saat akhir
ekspirasi akan terjadi kolaps alveolar. Kolaps alveolar akan mengakibatkan
buruknya oksigenasi, hiperkarbia dan asidosis.2
Penyakit membran hialin (PMH) merupakan penyebab terbanyak angka
kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, PMH didapatkan
pada sekitar 10% dari seluruh bayi prematur. Angka kematian PMH di Amerika
Serikat adalah 21,3 per 100.000. 2
Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab terbanyak angka
kesakitan dan kematian pada neonatus prematur. Menurut Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, angka kematian neonatus di
Indonesia adalah 19/1000 kelahiran hidup, dengan penyebab utama kematian
adalah asfiksia, BBLR, dan infeksi neonatal. Sedangkan menurut penelitian
Anggraini et al. proporsi kematian neonatus dengan penyakit membran hialin di
RSUP dr.Sardjito selama tahun 2007- Oktober 2011 adalah 52%, dengan asfiksia
merupakan faktor resiko independen kematian neonatus dengan penyakit
membran hialin. 2

5
2.3 Etiologi

Penyakit membran hialin atau sindroma gawat napas bayi baru lahir adalah
suatu penyakit yang menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi prematur
dapat disebabkan karena kekurangan surfaktan. Kekurangan surfaktan ini
menyebabkan kegagalan pengembangan kapasitas residu fungsional dan
kecenderungan paru-paru untuk mengalami atelektasis, ketidaksesuaian antara
ventilasi dan perfusi, hipoksemia, hiperkarbia yang dapat menyebabkan asidosis
respiratorik. Asidosis ini menyebabkan vasokonstriksi yang merusak integritas
endotel dan epitel paru menghasilkan kebocoran eksudat yang kemudian
membentuk suatu membran hialin.3
Penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan (BKB) terjadi karena
pematangan paru yang belum sempurna akibat kekurangan surfaktan. Tanpa
surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga menyebabkan
gagal nafas pada neonatus. Berbagai faktor ibu dan bayi berperan sebagai faktor
risiko untuk terjadinya PMH pada BKB namun sebagian di antaranya masih
kontroversial. 3
Penyakit membran hialin disebabkan oleh penurunan fungsi dan
pengurangan jumlah surfaktan. Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein
yang terdiri dari fosfolipid seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan
apoprotein (protein surfaktan; PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epitelial
alveolar tipe II dan sel Clara yang semakin banyak jumlahnya seiring dengan
umur kehamilan yang bertambah. Komponen-komponen ini selanjutnya disimpan
di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk
mengurangi tegangan permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu
mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur
kehamilan 35 minggu. Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka
fungsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas pada bayi
prematur, jumlah surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi
kebutuhan saat lahir. Surfaktan yang jumlahnya tidak mencukupi atau tidak ada
ini, menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus

6
dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang dan bayi
berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di antara
upaya pernapasan. Bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan hipoventilasi.
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi prematur yang
mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan dinding dada lemah
dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia sehingga menyebabkan peningkatan
gagal napas sehingga, dapat disimpulkan bahwa penyakit membran hialin
disebabkan oleh adanya atelektasis dari tiga faktor yang saling berhubungan: a)
tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal dan
defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan b) fungsi unit pernapasan yang
masih kecil, dan c) Dinding dada bayi yang masih lemah. 3
PMH yang terjadi pada bayi kurang bulan tersebut bervariasi dari yang
ringan sampai yang berat. Pada PMH ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik
sedangkan PMH berat memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat
PMH, semakin berat keterlibatan kardiovaskular. Terapi optimal PMH menuntut
teknologi canggih yakni pemberian ventilasi mekanik dengan atau tanpa
pemberian surfaktan eksogen.2
Kelainan kardiovaskular pada PMH ringan belum terlalu banyak diteliti,
sedang pada PMH berat kelainan kardiovaskular yang dijumpai antara lain
disfungsi faal sistolik dan diastolik ventrikel kiri dan kanan, hipertensi pulmonal
persisten, penurunan isi sekuncup dan curah jantung, bahkan bisa menyebabkan
hipotensi sampai syok. 3
Kelainan kardiovaskular yang lain adalah gangguan faal jantung seperti
penurunan pengisian ventrikel kiri, periode pra-ejeksi yang memanjang, dan
waktu ejeksi yang memendek. Masalah kardiovaskular lain yang terjadi pada bayi
yang sembuh dari PMH adalah terjadinya duktus arteriosus persisten (DAP).
Dengan bertambahnya harapan hidup bayi berat lahir rendah, terlihat pula
peningkatan jumlah bayi dengan DAP. Karena gangguan faal kardiovaskular pada
SGNN berhubungan dengan proses pematangan paru, dalam hal ini defisiensi
surfaktan, maka prognosis kelainan kardiovaskular pada PMH berkaitan erat
dengan tingkat kelainan paru. Didapati penurunan kematian pada bayi dengan

7
berat lahir 1500 gram dan masa kehamilan > 34 minggu, bahkan tercatat tingkat
kematian 0% untuk bayi berat lahir 1500 gram dan 25% untuk bayi berat lahir
lebih kecil. Memang perawatan intensif dapat menurunkan angka kematian, tetapi
disisi lain dapat menambah kelainan neurologis dan kelainan perkembangan, baik
mental maupun kognitif di masa depan, yang sulit diperbaiki.3

2.4 Patofisiologi

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur


disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan
kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang
sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga
paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal,
pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi
hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.2
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak
berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru
memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal
menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi ductus alveoli,
tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan
adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai
dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek;

8
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD). 2
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin
dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka
surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat
memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi
stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada
akhir minggu pertama. 2
Surfaktan sebagai bahan aktif pemukaan ini akan dilepaskan ke dalam
alveoli, dimana mereka akan mengurangi tegangan permukaan dan membantu
mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah runtuhnya ruang udara
kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan
yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin mengalami homogenasi pada
usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai permukaan paru-paru sampai
nanti ia muncul dalam cairan amnion pada waktu di antara 28-32 minggu. Tingkat
maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu. 2
Asidosis dan atelectasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah
dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan. 2
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
yang terdiri dari penurunan aliran, transudasi, asidosis, hipoksia, atelectasis,
hambatan pembentukkan substansi surfaktan, darah paru. Hal ini akan
berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi. 2

9
BBLR dengan GA 8 minggu

Prematur

Paru belum matang Dinding dada lemah

Surfaktan <<< Kemungkinan tidak Bernapas


berhasil pada Ya spontan
Alveoli sulit untuk pernapasan pertama saat lahir
mengembang
Tidak
Menangis
Alveoli kolaps di akhir
ekspirasi Neonatus berusaha keras
untuk meningkatkan 10 menit
Gagal tekanan ekspirasi akhir kemudian:
Volume thoraks dan paru
dan memperpanjang cadangan
cenderung mendekati
Ronkhi pertukaran gas di alveoli surfaktan habis
volume residu halus Atelektasis

Terjadi metabolisme Hipoksia jaringan Sianosis Usaha ini bersamaan


anaerob serta dengan terjadinya
penimbunan asam laktat penutupan glottis
dan asam lainnya Hipoksia Kerusakan endotel
miokardium kapiler dan epitel
ductus alveoli Mendengkur
Asidosis
metabolik Bradikardi
Transudasi ke
dalam alveoli Hiperkarbia
↓ Cardiac output
Hiperventilasi

Vasokonstriksi Pembentukan Ventilasi alveoli


fibrin dan jaringan tak cukup
epitel nekrotik
Hipotensi
↑ kerja napas
Terbentuklah membran hialin

Paru-paru menjadi Volume


↑ ruang mati
kurang lentur tidal kecil
fisiologis

Gambar 1. Bagan Patogenesis Umum Penyakit Membran Hialin

10
2.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan


kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu :
adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan
takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding
dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. 2
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah: 2
a. Takipnea diatas 60x/menit
b. Grunting expiratoar (glottis tertutup sebagian)
c. Retraksi subcostal dan interkostal
d. Sianosis
e. Napas cuping hidung
f. Pada neonatus yang sangat immature dapat terjadi apneu dan/atau hipotermia.2

2.6 Diagnosis

Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun dengan


analisa gas darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks oksigenasi akan
menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi bayi dengan gangguan
napas harus hati-hati atau waspada karena dapat terjadi bayi dengan gejala
pernapasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan napas (misalnya
asidosis metabolik, DKA = diabetik ketoasidosis) dan sebaliknya gangguan napas
berat juga dapat terjadi pada bayi tanpa gejala distress respirasi (hipoventilasi
sentral akibat intoksikasi obat atau infeksi). Penilaian yang hati-hati berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat
menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian secara serial tentang kesadaran, gejala
respirasi, analisa gas darah dan respon terhadap terapi merupakan kunci berarti
untuk menentukan perlunya intervensi selanjutnya.2

11
a. Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum
sangat diperlukan, antara lain tentang hal:2
1) Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, dysplasia pulmoner, trauma persalinan, kongesti nasal,
depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat, paralisis
nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal,
bayi lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
2) Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,
miastenia.
3) Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatica.
4) Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, ketuban pecah dini, oligohidroamnion, penggunaan obat
selama kehamilan. 2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti: 2
1) Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala menonjol.
2) Sianosis
3) Retraksi
4) Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia choana, ditandai
kesulitan memasukan pipa nasogastric melalui hidung.
5) Air ketuban bercampur meconium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat.
6) Abdomen mengempis (scaphoid abdomen). 2

12
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Analisa Gas Darah
a) Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 >50 mmHg, PaO2 <60 mmHg, atau saturasi oksigen
arterial <90%.
b) Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih
dari 20 menit, darah arterial lebih dianjurkan.
c) Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah
dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
d) Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis
respiratorik dan keadaan hipoksia.
e) Asidosis respiratorik terjadi karena atelectasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah.
f) Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobik. Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui
pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
g) Pulse oximeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau
saturasi oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.2

2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
rasio L/S (lecithin sphingomyelin ratio) yang dilakukan pada air
ketuban yang diperoleh dengan cara amniosentesis, atau dari aspirasi
trakea dan lambung, dan deteksi fosfatidil gliserol yang menunjukkan
kematangan paru.
b) Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolik untuk hiperkapnea kronik.
c) Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.

13
d) Kelainan elektrolit dapat juga diakibatkan karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan
gangguan kontraksi otot. 2

3) Radiologi
Penilaian kondisi paru neonatus yang akurat sedini mungkin pada
foto polos toraks akan memungkinkan diagnosis yang akurat pula sehingga
dapat diberikan terapi yang tepat dan cepat pada neonatus. Dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat maka morbiditas dan mortalitas
karena penyakit membran hialin dapat diturunkan. Disamping itu, selain
sebagai modalitas diagnostik, evaluasi keberhasilan terapi juga dapat
dinilai dengan menggunakan gambaran yang ditemukan pada foto polos
toraks. 2
Pemeriksaan radiologis dengan foto polos toraks memiliki
sensitivitas sebesar 89,1%, spesifisitas sebesar 86,9% dan akurasi
diagnostik sebesar 88,7% dalam mendiagnosis penyakit membran hialin,
dimana gambaran radiologis penyakit membran hialin pada foto polos
toraks tergantung dari beratnya penyakit, dengan inflasi pulmo yang buruk
sebagai tanda kardinalnya. 2
Gambaran radiologi paru pada bayi baru lahir dengan penyakit
membran hialin adalah gambaran serbuk kaca (ground glass) atau
retikulogranuler yang difus dan halus, volume paru kecil, serta
bronkogram udara yang sering lebih jelas pada lobus bagian bawah dan
pada jam pertama kelahiran, mungkin didapatkan gambaran yang normal.
Tanda khas tersebut biasanya ada pada 6-12 jam berikutnya. Apabila
diberikan CPAP kemungkinan terdapat variasi pada foto paru. Neontaus
yang diberikan CPAP dapat mempunyai gambaran yang lebih baik, paru
terisi udara dengan tanpa bronkogram udara. Bayi baru lahir yang
mempunyai satdium yang lebih berat, mungkin tidak mampu
mengembangkan parunya yang terlihat lebih opak. Ukuran jantung pada

14
umumnya normal, tetapi bisa tampak membesar karena berkurangnya
volume paru dan bayangan timus yang masih besar. 2
Gambaran radiologis kelainan paru pada PMH dibagi atas 4 derajat
yaitu derajat 1 pola retikulogranular (PRG), derajat 2 bronkogram udara
(BGU), derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih berat dengan
mediastinum melebar, derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak
putih (white lung) 2.
Berdasarkan foto thoraks, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu: 2
a) Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara.
b) Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c) Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d) Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat
dilihat. 2

15
Gambar 2. Foto Thoraks 4 Stadium Penyakit Membran Hialin

4) Uji Kocok Cairan Lambung (Gastric Aspirate Shake Test)


Diagnosis penyakit membran hialin dapat ditegakkan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, pemeriksaan radiologis, dan analisis gas darah,
sedangkan pemeriksaan uji kocok cairan lambung (gastric aspirate shake
test) digunakan untuk menilai maturitas pulmo dan memprediksi
terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus.2
Uji kocok cairan lambung dilakukan untuk menilai maturitas
pulmo neonatus dengan menilai keberadaan surfaktan dalam pulmo
neonatus yang dilihat dari cairan lambung neonatus. Ketiadaan surfaktan
dalam cairan lambung neonatus dapat digunakan untuk memprediksi

16
terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus. Kebermaknaan uji
kocok cairan lambung dinilai dari tidak terbentuknya gelembung udara (uji
kocok cairan lambung negatif) pada sampel cairan lambung neonatus yang
dicampur dengan alkohol absolut (95%) dan cairan salin fisiologis.
Sensitivitas dan spesifisitas uji kocok cairan lambung dalam menilai ada
tidaknya surfaktan dan memprediksi terjadinya penyakit membran hialin
menurut Chaudari et al. adalah sebesar 70% dan 100% dengan nilai
prediktif positif sebesar 100%, sedangkan menurut Iranpour et al. uji
kocok cairan lambung memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 66%, nilai
prediktif positif 64,5%, dan nilai prediktif negatif 100%.2
Selain foto polos toraks yang telah dikenal luas, dewasa ini uji
kocok cairan lambung telah menjadi salah satu bagian dari prosedur
penatalaksanaan penyakit membran hialin pada neonatus, terutama di
sarana pelayanan kesehatan rujukan. Dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediktif positif dan nilai prediktif negatif uji kocok cairan lambung yang
telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, tidak dapat dipungkiri bahwa
hasil uji kocok cairan lambung merupakan parameter yang handal untuk
memprediksi terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus dengan
sindrom gawat nafas (respiratory distress syndrome). 2

2.7 Diferensial Diagnosis


Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial dari
penyakit membran hialin adalah sebagai berikut: 2
a. Sindrom aspirasi mekonium
b. Reflux gastroesofageal
c. Hipoglikemia
d. Pneumonia

17
2.8 Penatalaksanaan

Tatalaksana yang diberikan untuk penyakit membran hialin adalah sebagai


berikut:4
a. Pencegahan
1) Kortikosteroid antenatal. National Institutes of Health Consensus
Development Conference pada tahun 1994 tentang efek kortikosteroid
untuk pematangan janin pada hasil perinatal menyimpulkan bahwa
kortikosteroid antenatal mengurangi risiko kematian, PMH, dan
intraventricular hemorrhage (IVH). Penggunaan betametason antenatal
untuk meningkatkan kematangan paru janin sekarang telah dilaksanakan
dan umumnya dianggap sebagai standar perawatan. Regimen
glukokortikoid yang direkomendasikan terdiri dari pemberian dua dosis
betametason terdiri dari pemberian dua dosis betametason 12 mg yang
diberikan intramuskuler 24 jam secara terpisah kepada ibu. Dexametason
tidak lagi dianjurkan karena peningkatan risiko leukomalacia
periventricular kistik pada bayi yang sangat premature yang mengalami
efek obat sebelum lahir.
2) Beberapa tindakan pencegahan dapat meningkatkan kelangsungan hidup
bayi beresiko untuk PMH dan termasuk ultrasonografi antenatal untuk
penilaian lebih akurat usia kehamilan dan kesejahteraan janin, pemantauan
janin secara berterusan untuk mendokumen kesejahteraan janin selama
persalinan atau tanda-tanda perlunya intervensi saat gawat janin
ditemukan, agen tokolitik yang mencegah dan mengobati persalinan
premature, dan penilaian kematangan paru janin sebelum persalinan (rasio
lesitin – sphingomyelin [LS] dan phosphatidyglycerol) untuk mencegah
prematuritas iatrogenik. 4
b. Terapi Pengganti Surfaktan
Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai gold standar perawatan
pada pengobatan bayi diintubasi dengan PMH. Sejak akhir 1980-an, lebih dari
30 percobaan klinis telah dilakukan secara acak yang melibatkan >6000 bayi

18
telah dilakukan. Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pasien yang diobati dengan
surfaktan dan kelompok kontrol yang tidak diobati. Ada bukti menunjukkan
bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan ventilator total telah
berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia kehamilan,
walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat rendah. 4
Dosis yang direkomendasi untuk penggunaan surfaktan eksogen: 4
Produk Dosis Dosis Tambahan
Calfactant 3 ml/kgBB lahir Mungkin dapat diulang 12 jam
diberikan dalam 2 dosis sampai dosis 3 kali berturut-turut
dengan interval 12 jam bila ada
indikasi.
Beractant 4 ml/kgBB lahir Mungkin dapat diulang minimal
diberikan dalam 4 dosis total 4 dosis dalam waktu 48 jam
setelah lahir.

c. Dukungan Pernapasan
Intubasi endotracheal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan PMH yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 x/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Tekanan
terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen inspirasi
diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada jaringan
parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernapasan dapat mengurangi barotrauma. 4
d. Dukungan Cairan dan Nutrisi
Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan
dukungan gizi dengan nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang.
Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan telah dipahami dengan
baik, dan persiapan nutrisi yang tersedia mencerminkan pemahaman ini. 4

19
e. Terapi Antibiotik
Antibiotik yang mencakup infeksi neonatal yang paling sering biasanya
dimulai secara awal. Dosis interval aminoglikosida ditingkatkan untuk bayi
prematur. 4

2.9 Komplikasi

Pada penyakit membran hialin terdapat komplikasi jangka pendek dan


komplikasi jangan panjang. Komplikasi jangka pendek (akut) dapat terjadi adalah
sebagai berikut:5
a. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothoraks,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk
dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul karena tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan
alat-alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya. 5
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen
yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering
terjadi: 5
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu.
BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan
pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan

20
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi.
b. Retinopathy prematur: kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi
yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi. 5

2.10 Prognosis

Bayi dengan PMH, 80 – 90% bertahan hidup, dan sebagian besar korban
memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan
pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan
penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernapasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun
sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami
laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktivitas atau metakolin. Bayi prematur
dengan gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki gangguan
perkembangan dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan
neonatal. 5

21
BAB III

PENUTUP

Respiratory Distress Syndrome (Penyakit Membran Hialin) merupakan


penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal
ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi
rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.
Berdasarkan penelitian, surfaktan merupakan terapi yang penting dalam
menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi
profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi
prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada
perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah
lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome.
Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis
berhubungan dengan epitel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan
dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M.S., 2014. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Tobing, 2014. Sindrom Gawat Napas Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1,
Juni 2014. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-6.pdf>.
3. Anggraini, 2013. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan Penyakit
Membran Hialin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada – RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Diakses pada 30
Desember 2015 di <http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/15-2-3.pdf>.
4. Risa dkk., 2012. Pemberian Surfaktan pada Bayi Prematur dengan
Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.
Unair/RSUD Dr. Soetomo. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://old.pediatrik.com/buletin/06224113905-76.pdf>.
5. Rahmalia, M., 2012. Kematian Bayi Baru Lahir dengan Penyakit Membran
Hialin yang diberi CPAP. Diakses pada 30 Desember 2015 di +-
<http://eprints.undip.ac.id/46248/3/mustika_rahmalia_22010111110148.pdf>.

23
REFERAT JANUARI 2016

PENYAKIT MEMBRAN HIALIN


(HYALINE MEMBRANE DISEASE)

NAMA : BULAN PUTRI PERTIWI


STAMBUK : N 111 15 013
PEMBIMBING : dr. SULDIAH, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2016

24

Anda mungkin juga menyukai